Pasukan Israel dan warga Palestina berhadapan. (Foto: East News)
Oleh: Profesor Ahmad Syafii Maarif
Enam bulan setelah dilantik menjadi presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2009, pada 4 Juni 2009 Presiden Barack H Obama menyampaikan pidato bersejarah di Kairo dengan tuan rumah Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo.
Ada tujuh butir masalah yang disampaikan Obama dalam pidato itu. (1) Masalah ekstremisme politik-agama yang harus dicarikan penyelesaian segera. (2) Konflik Palestina-Israel yang tidak boleh dibiarkan terkatung-katung: sebuah Palestina merdeka harus secepatnya menjadi kenyataan. (3) Pembangunan nuklir yang harus diawasi, terutama dialamatkan kepada Iran yang harus didekati secara lebih arif, tidak mengikuti rezim Amerika sebelumnya.
Kemudian, (4) cita-cita demokrasi yang sedang menjadi gelombang besar peradaban, tetapi tidak boleh dipaksakan kepada bangsa yang belum siap untuk itu. (5) Perlunya kemerdekaan agama dijamin secara penuh. (6) Hak-hak perempuan mesti ditegakkan dan dihormati. (7) Pembangunan ekonomi dan peluang yang terbuka bagi semua bangsa, sekalipun globalisasi bagi banyak bangsa telah memunculkan suasana saling bertentangan. (Lihat Resonansi “Obama dan Dunia Islam” (II), Republika, 23 Juni 2009).
Setelah Obama memasuki tahun terakhir masa jabatan keduanya sebagai presiden Amerika, mungkin hanya butir tiga dan enam yang relatif berhasil, sedangkan lima yang lain gagal atau setengah gagal. Kita ambil misalnya butir dua, Palestina sampai sekarang belum juga merdeka, sekalipun sudah mulai banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, telah meneriakkan dengan suara semakin keras tentang hak kemerdekaan Palestina itu.
Obama rupanya tak berdaya menghadapi lobi Zionis di Amerika yang tetap bersikukuh menentang kemerdekaan Palestina itu. Dan ingat, selama rezim Obama, beberapa negara Arab malah semakin berantakan, baik karena perang saudara maupun karena faktor eksternal yang bermain di kawasan panas itu.
Di antara orang yang memuji pidato Obama di Kairo tujuh tahun yang silam itu adalah Gilad Atzmon (lahir 1963), pemusik jazz mantan Zionis yang sudah hengkang dari Israel, negara rasialis itu. Dalam artikel “God Blessed Amerika” yang dikirim dari Kolorado yang saya terima pada 6 Juni 2009, Atzmon tampak optimistis bahwa politik luar negeri Amerika di bawah Obama akan berubah secara mendasar, khususnya dalam kaitannya dengan kemerdekaan Palestina.
Lalu Atzmon berandai, “Sekiranya sayalah dalam posisi (Obama) itu, saya akan mengultimatum Israel dalam tempo 24 jam untuk membuka Jalur Gaza. Jika mereka gagal melaksanakannya, saya akan panggil duta besar saya di Tel Aviv. Saya akan hentikan segala bentuk bantuan keuangan dan militer kepada Israel. Saya akan bekukan aset-aset Israel karena masih tetap saja sebagai sebuah negara teroris. Saya akan mulai proses cepat deportasi orang Israel dari Amerika.”
Obama bukanlah Atzmon karena pemusik jazz ini telah lama putus urat takutnya berhadapan dengan Zionisme. Posisi sebagai presiden Amerika bila berhadapan dengan gerakan Zionisme telah menorpedo Obama untuk merealisasikan isi pidatonya di Kairo itu. Tetapi, untuk berapa lama lagi Zionisme ini harus mengangkangi dunia sampai suatu ketika dapat dilumpuhkan oleh kesadaran kemanusiaan sejagat?
Suara Atzmon dan kelompoknya yang lantang-radikal dalam menghadapi kekejaman Zionisme atas nasib rakyat Palestina tidak bisa dibendung. Pada waktu praktik genosida pasukan Israel atas Gaza pada 2009, misalnya, nyaris media Barat bersikap bungkam.
New York Times, CNN, BBC, dan the Guardian adalah di antara media yang bungkam itu. Situasi ini pernah membuat Atzmon mengeluh yang disampaikan kepada koleganya Mary Rizzo, “…we failed to make it to the main press” (…kita gagal memasuki media pers gelombang besar).
Mary segera menghibur, “Gilad, you may fail to see it, we do not want to assimilate into the called-media, we do not need them. From now on we are the media” (Gilad, Anda bisa saja gagal melihatnya, kita tidak ingin memasukkan diri ke dalam apa yang disebut media itu, kita tidak memerlukannya. Sejak sekarang dan seterusnya kitalah media itu).”
Seorang pejuang suatu saat bisa saja mengalami kejatuhan mental. Dalam situasi kritikal inilah siraman sahabat amat diperlukan dan itulah yang dimainkan Rizzo.
Jawaban Rizzo yang meyakinkan di atas telah memulihkan semangat Atzmon untuk terus bersuara dan bersuara melawan segala bentuk kezaliman dan kekejaman kekuatan Zionis, demi perdamaian dan kemerdekaan Palestina. Amat disesalkan, sebagian negara Arab malah tidak sungguh-sungguh membela Palestina. Dan juga, kita kecewa, antara Fatah dan Hamas masih saja bertikai.
Yang beruntung tentu saja Israel. Inilah dunia yang sedang mengalami kekeringan nurani, tidak terkecuali dunia Islam. Namun, fenomena Atzmon tidak akan redup karena yang disuarakannya adalah pesan inti kemanusiaan. Tentu, Atzmon kecewa karena pada akhir masa jabatan kedua Obama masalah Palestina belum juga tuntas diselesaikan.
Setelah Obama terpilih untuk masa jabatan kedua, Atzmon pada 7 November 2012 menulis, “Dear president, this is your second and last chance to save us all, please don’t disappoint us again (Presiden yang terhormat, ini adalah peluang kedua dan terakhir Anda untuk menyelamatkan kami semua, jangan kami dikecewakan lagi).”
Artinya, di mata Atzmon, selama empat tahun dalam jabatan pertama, Obama tidak banyak berbuat untuk perdamaian dunia, khususnya dalam kaitannya dengan masalah Palestina. Oleh sebab itu, pada masa jabatan terakhir, bagi Atzmon, Obama semestinya melakukan terobosan-terobosan penting dan strategis untuk perbaikan kondisi global, tetapi ternyata jauh panggang dari api.
Maka, ungkapan “jangan kami dikecewakan lagi” sampai awal 2016 ini masih tetap berlaku. Dunia kecewa, Obama dalam menjalankan politik luar negerinya setengah lumpuh memenuhi janji-janjinya. Israel semakin mengganas, apalagi dengan munculnya ISIS, masalah Palestina seperti telah terabaikan. Rakyat Amerika yang kabarnya rasional itu ternyata mudah sekali dikibuli kaum Zionis.
Saya sudah menelusuri lewat internet, apakah kira-kira ada pernyataan Atzmon yang lebih keras mengkritik pemerintahan Obama, ternyata belum ditemukan. Memang sulit bagi orang yang simpati kepada seorang tokoh dunia untuk meluncurkan kecaman, sekalipun Atzmon kecewa dengan kepemimpinan Obama yang tak berdaya berhadapan dengan Israel.
Kita tidak tahu berapa lama lagi tanah Palestina dirampok oleh Israel. Sebagaimana pernah dikutip dalam “Resonansi” ini beberapa tahun yang lalu, ungkapan puitis, tetapi sangat tajam dari Atzmon tentang eksistensi Israel di tanah Palestina, saya turunkan lagi di sini, “Hidup di atas waktu pinjaman di sebuah tanah curian.” Bagi Atzmon, cepat atau lambat, Israel harus hengkang dari tanah rampokannya. Tidak ada satu alasan pun bagi Israel untuk tetap tinggal di tanah curian.
Terlalu besar harapan Atzmon semula kepada Obama bagi kepentingan Palestina, tetapi ternyata berujung dengan kekecewaan. Inilah kalimat harapan yang ditulis Atzmon pada 2009 itu, “Tidak seperti boneka Zionis sebelumnya, Presiden Amerika sekarang (Obama) mengerti tentang ide persamaan dan saling menghormati.”
Bagi Atzmon, Presiden George Bush adalah boneka Zionis yang taat dan tunduk kepada titah Tel Aviv. Saya tidak tahu dengan kegagalan Obama memaksa Israel untuk mengakui kemerdekaan Palestina, sebutan apa yang pantas diberikan kepada presiden Amerika yang semula dikaguminya itu. Selama tatanan dunia yang masih berada di bawah pengaruh Zionisme, memang belum banyak yang dapat diharapkan dari seorang presiden Amerika yang kuat sekalipun bagi kemerdekaan Palestina.
Akhirnya, saya masih menunggu komentar Atzmon tentang Obama pada awal 2017 saat meninggalkan Gedung Putih. Ungkapan Atzmon, “Hidup di atas waktu pinjaman di sebuah tanah curian” akan tetap dicatat sebuah sumber ilham yang tak akan pernah basi bagi batin seluruh pejuang kemerdekaan, apa pun bangsa dan agamanya. Tak akan Palestina lenyap dari bumi!
(Republika/Mahdi-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email