Lafadz Al-Quran adalah bentuk mashdar dari qara’a—yaqr’u—qirâ’atan—wa qur’ânan. Menurut bahasa berarti kumpulan, gabungan, himpunan. Nama Al-Quran merupakan istilah khusus bagi kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, sebagaimana Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa As, dan Injil kepada Nabi Isa As, serta Zabur kepada Nabi Dawud As. Rahasia di balik penamaan kitab suci ini dengan nama Al-Quran, yang berarti gabungan dan himpunan, sebagian ulama berpendapat, karena kitab suci ini menghimpun seluruh inti sari dari beberapa kitab suci yang diturunkan sebelumnya, bahkan merupakan gabungan dari seluruh ilmu pengetahuan.
Sebagaimana firman Allah Swt: Dan kami turunkan untukmu Al-Kitab yang menerangkan segala sesuatu. Al-Quran menurut istilah adalah firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantara malaikat Jibril, yang sampai kepada kita sekarang ini dengan cara mutawatir. Membacanya dihitung ibadah. Dimulai dengan surah al-Fâtihah dan ditutup dengan surah an-Nâs. Al-Quran mempunyai beberapa nama lain, yang kesemuanya menunjukkan ketinggian kedudukannya dan benar-benar merupakan kitab samawi. Di antara nama-nama tersebut adalah: Al-Furqân, Adz-Dzikr, Al-Kitâb, dan At-Tanzîl.
Akan tetapi yang lazim dipakai adalah lafadz Al-Quran atau Al-Kitab. Penamaan dengan dua istilah ini mengandung isyarat bahwa hak Al-Quran adalah untuk dipelihara di dua tempat dengan dua cara. Yaitu di dada, dalam bentuk hafalan, dan di mushaf, dalam bentuk tulisan. Bila salah satunya khilaf, maka akan diingatkan oleh yang lain.
Dengan demikian, hafalan seorang al-hâfizh dapat diterima bila sesuai dengan rasm yang telah ditulis oleh para sahabat hingga sampai kepada generasi sekarang ini, persis seperti pertama kali Al-Quran ditulis.
Pemeliharaan ganda ini menjamin keaslian Al-Quran dari segala perubahan, baik dalam bentuk pengurangan maupun penambahan. Hal tersebut sesuai dengan janji Allah yang selalu memelihara kemurnian Al-Quran.
Meski demikian, muncul berbagai tuduhan miring tentang adanya perubahan Al-Quran (tahrîf al-qu‘ân). Tuduhan ini muncul karena adanya beberapa riwayat tentang proses pengumpulan Al-Quran, yang antara satu dengan lainnya saling bertentangan. Kenyataan tersebut menjadi senjata ampuh bagi siapa saja yang menyerang keaslian Al-Quran.
Berangkat dari realitas di atas, perlu kiranya pembahasan secara khusus berkenaan dengan proses pengumpulan Al-Quran. Analisa mendalam terhadap beberapa riwayat yang berkenaan dengan proses tersebut mutlak diperlukan, dengan tujuan ikut menjaga kemurnian Al-Quran dari segala serangan yang ditujukan padanya.
Jam‘ al-Qur‘ân
Jam‘ al-qur’ân atau pengumpulan Al-Quran, menurut para ulama mempunyai dua arti. Pertama, al-jam‘u dalam makna al-hifzhu (menghafal). Dengan demikian jam‘ al-qur’ân berarti hifzh al-qur’ân (menghafal Al-Quran). Merupakan kesepakatan umum yang sudah tidak dipertentangkan lagi bila di Zaman Rasulullah Saw banyak para penghafal Al-Quran.
Bahkan mayoritas Sahabat adalah para penghafal (al-huffâzh) Al-Quran. Makna di atas terkandung dalam kata al-jam‘u yang terdapat dalam firman Allah Swt: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Quran karena hendak cepat-cepat (menguasainya). Sesungguhnya atas tanggungan kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacannya maka ikutilah bacaannya.
Menurut Ath-Thabrasi, maksud kata al-jam‘u dalam ayat di atas adalah jaminan Allah Swt untuk menghimpun apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dan menjaga (dihafal)-nya di dada beliau. Ayat tersebut ditujukan kepada Rasulullah Saw yang selalu menggerakkan bibir dan lisannya untuk dapat menghafal wahyu yang diturunkan dengan cepat, di kala Malaikat Jibril belum selesai membacakan wahyu untuknya.
Jam‘ al-qur‘ân juga berarti kodifikasi Al-Quran dalam satu mushaf. Bila ini yang dimaksud dengan kata al-jam‘u, atau Al-Quran dikumpulkan dalam sebuah kitab yang utuh seperti yang kita saksikan sekarang, maka pendapat ulama terbagi menjadi dua kelompok:
Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa Al-Quran telah dihimpun secara lengkap semenjak masa Rasulullah Saw. Sebagian sahabat, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka‘ab, Abdullah bin Mas‘ud, Mu‘adz bin Jabal, telah mengumpulkan Al-Quran secara lengkap semasa hidup Rasulullah Saw. Kedua, kelompok yang mengatakan Al-Quran baru dikumpulkan dalam satu mushaf sepeninggal Rasulullah Saw atau di masa sahabat.
Kelompok ini berdalih, Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa tertentu, kemudian ditulis oleh para penulis wahyu dan dihafal oleh para sahabat yang lain. Dari waktu ke waktu, Rasulullah Saw senantiasa menanti turunnya wahyu. Adakalannya wahyu diturunkan untuk me-nasakh (menghapus) apa yang diturunkan sebelumnya. Maka, agar tidak terjadi perubahan di setiap waktu, Az-Zarkasyi memandang, Al-Quran belum perlu untuk dikumpulkan dalam satu mushaf yang utuh selama proses turunnya masih terus berlangsung. Itulah dua pendapat yang berbeda tentang proses pengumpulan Al-Quran.
Untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya, ada baiknya bila kita pelajari beberapa riwayat yang berkenaan dengan aktivitas jam‘ al-qur’ân. Berikut ini akan kita tampilkan beberapa riwayat tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam menguji kebenaran, atau—paling tidak—mendekatkan pada kebenaran keduanya atau salah satunya.
Pertama, riwayat dari Zaid bin Tsabit yang berkata, “Abu Bakar mengutus seseorang untuk memanggilku setelah terjadi pembunuhan di Yamamah. Tiba-tiba Umar telah berada di sampingnya. Abu Bakar berkata, ‘Umar telah mendatangiku dan mengatakan bahwa peperangan Yamamah telah menelan korban banyak penghafal Al-Quran.
Saya khawatir pada peperangan berikutnya akan menelan korban yang lebih banyak lagi, sehingga banyak ayat-ayat Al-Quran yang akan hilang. Saya menghimbau Anda untuk mengumpulkan Al-Quran.’ Kemudian saya berkata pada Umar, ‘Bagaimana Anda melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw?’ Umar menjawab, ‘Demi Allah, ini adalah gagasan yang paling baik.’
Setelah itu Umar selalu mendatangiku sampai Allah melapangkan dadaku untuk mengikuti pendapatnya. Zaid berkata, ‘Bahwa Abu Bakar berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya engkau pemuda berakal, yang jauh dari sangkaan jelek, dan engkau pula yang dahulu pernah menuliskan wahyu untuk Rasulullah Saw, maka lacaklah ayat-ayat Al-Quran dan kumpulkan.’ Kemudian Zaid berkata, ‘Demi Allah, jika mereka menyuruhku untuk memindahkan gunung, maka hal itu tidak lebih berat ketimbang tugas tersebut.’ Saya katakan, ‘Bagaimana kalian melakukan sesuatu hal yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw?’
Mereka menjawab, ‘Itu lebih baik.’ Abu Bakar selalu mendesaku hingga akhirnya Allah membukakan hatiku sebagaimana ia melapangkan dada Abu Bakar dan Umar. Lalu aku mulai melacak dan mengumpulkan Al-Quran dari pelepah-pelepah, kulit-kulit kayu, dari ingatan-ingatan orang yang masih menghafalnya, sampai akhirnya aku temukan akhir surah at-Taubah pada Abu Huzaimah al-Anshari, yang tidak saya temukan dari orang lain.
Ayat itu berbunyi sebagai berikut: (Sesungguhnya telah datang kepada kalian, seorang Rasul dari kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin) [QS at-Taubah 128] sampai surah Bara’ah. Akhirnya mushaf-mushaf terkumpul semua pada Abu Bakar hingga wafatnya. Kemudian mushaf ini pindah ke tangan Umar sebagai penggantinya dan akhirnya kepada putrinya, Hafshah.
Kedua, riwayat yang bersumber dari Anas bin Malik yang dibawakan oleh Ibnu Syihâb: Bahwa Anas bin Malik bercerita, “Suatu saat Hudzaifah al-Yamani pernah menemui Utsman. Ia pernah ikut bertempur melawan penduduk negeri Syam pada saat menaklukkan Armenia dan Azerbaijan bersama penduduk Irak.
Hudzaifah mengkhawatirkan terjadinya perselisihan pada bacaan Al-Quran. Ia berkata pada Utsman,‘Wahai Amirul Mu’minin, cepatlah selamatkan umat ini sebelum mereka terhanyut dalam perselisihan tentang Al-Quran sebagaimana perselisihan yang terjadi di kalangan kaum Nasrani dan Yahudi.’
Setelah mendengar gagasan itu Utsman segera mengutus seseorang menemui Hafshah agar meminjamkan lembaran naskah-naskah Al-Quran yang ada padanya untuk diperbanyak ke dalam mushaf-mushaf, dan berjanji mengembalikan lembaran tersebut kepadanya lagi.
Hafsah menuruti permintaan Utsman. Kemudian Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-Ash, Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam, untuk menulis ke dalam mushaf-mushaf. Kemudian Utsman berkata kepada ketiga bangsa Quraiys tersebut, “Jika kalian berbeda pendapat, sedangkan Zaid berpendapat lain mengenai Al-Quran, maka tulislah dengan dialek Quraisy. Sebab Al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa mereka.’ Perintah Utsman ini mereka penuhi sampai selesai.
Kemudian Utsman menepati janjinya, mengembalikan mushaf yang dipinjamnya kepada Hafshah. Kemudian memerintahkan satu mushaf yang telah disalin itu untuk dikirim ke setiap penjuru dan memerintahkan pula agar membakar seluruh mushaf yang lain.”
Ibnu Syihâb berkata, “Saya mendengar dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit, bahwa ia diberitahu oleh Zaid bin Tsabit yang berkata, ‘Saya kehilangan sebuah ayat dari surah al-Ahzab tatkala menyalin mushaf-mushaf, padahal saya pernah mendengar Rasulullah Saw pernah membacanya. Lalu kami pun mencarinya, hingga akhirnya kami dapatkan pada Khuzaimah bin Tsabit. Ayat tersebut berbunyi: Kemudian kami gabungkan dengan suratnya dalam mushaf tersebut.
Ketiga, juga dari Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Qatadah: “Qatadah pernah bertanya kepada Anas bin Malik, ‘Siapakah yang mengumpulkan Al-Quran pada Zaman Nabi Saw?’ Ia menjawab, ‘Empat orang! Seluruhnya dari Anshar, yaitu Ubay bin Ka‘ab, Mu‘adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid.
Keempat, diriwayatkan oleh Masruq. Masruq meriwayatkan dari Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Mas‘ud, ia berkata, ‘Hingga saat ini aku masih menyukainya. Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Ambillah Al-Quran dari empat orang, yaitu Abdullah bin Mas‘ud, Salim, Mu‘adz bin Jabal dan Ubai bin Ka‘ab.
Empat contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari banyaknya riwayat tentang proses pengumpulan Al-Quran. Untuk memperoleh kebenaran, ada baiknya bila kita cermati contoh riwayat tersebut. Riwayat pertama mengisyaratkan bahwa proses pengumpulan Al-Quran terjadi sepeninggal Rasulullah Saw, tepatnya di masa kekuasaan Khalifah Pertama, Abu Bakar, setelah Umar bin Khathab terus menerus mendesaknya untuk segera mengumpulkannya. Adapun riwayat kedua menunjukkan terjadi di masa khalifah Utsman bin Affan disebabkan oleh banyaknya pertentangan dalam bacaan Al-Quran.
Kelompok yang cenderung pada pendapat kedua (kodifikasi Al-Quran terjadi pada masa sahabat) berusaha menggabungkan dua riwayat pertama. Menurut mereka, bahwa jam‘ al-qur‘ân di masa Abu Bakar adalah dalam bentuk menghimpun dan mengumpulkan ayat-ayat yang berserakan di beberapa tempat. Sedangkan yang dilakukan Utsman tidak lebih dari menyalin mushaf yang telah dikumpulkan Abu Bakar, serta ditulisnya kembali dengan salah satu huruf dari tujuh huruf di saat Al-Quran diturunkan. Dengan demikian—menurut mereka—tiada lagi pertentangan di antara kedua riwayat tersebut.
Sedangkan di dalam kitab Kanz al-Ummal, seperti yang diungkap oleh M. Husein al-Habsyi, terdapat riwayat yang menyatakan bahwa khalifah Umarlah yang pertama kali mengumpulkan Al-Quran. Bila kita terima riwayat ini, kemudian disandingkan dengan kedua riwayat pertama, akan tampak di depan mata kita bahwa pengumpulan Al-Quran terjadi di tiga masa yang berbeda, yaitu, di masa Abu Bakar, Umar, dan Utsman.
Kemudian, bila kita mencermati ucapan Zaid bin Tsabit dalam riwayat kedua: “Selesai menyalin Mushaf, Kami kehilangan sebuah ayat dari surah al-Ahzab … kemudian kami mencari-carinya dan kami temukan pada Huzaimah bin Tsabit.”
Dan kita juga menganggap riwayat yang dibawakan oleh Imam Bukhari dalam riwayat pertama sebagai suatu kebenaran. Di mana dalam riwayat itu disebutkan, bahwa mushaf yang telah dihimpun oleh Abu Bakar tersebut disimpan oleh Hafshah binti Umar, yang kemudian dipinjam oleh Zaid untuk disalin menjadi Mushaf Utsmani. Yang demikian itu berarti bahwa mushaf yang telah dihimpun semasa Abu Bakar berkuasa terdapat kekurangan dengan tidak adanya sebuah ayat dari surah al-Ahzab.
Sedangkan riwayat ketiga dan keempat mengisyaratkan, bahwa Al-Quran telah dikumpulkan oleh sebagian sahabat semasa hidup Rasulullah Saw. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan aljam‘u dalam riwayat ketiga adalah menyimpannya di dada (dihafal)—bukan ditulis.
Sanggahan seperti ini bertentangan dengan sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh tokoh Ahlussunnah, Imam an-Nasa’i, dari Abdullah bin Umar yang berkata: Aku telah mengumpulkan Al-Quran, kemudian aku baca setiap malam. Yang demikian itu didengar oleh Rasulullah Saw, maka beliau berkata, “Bacalah dalam sebulan.”
Selain bertentangan dengan hadis di atas, pendepat demikian juga bertentangan dengan realita sejarah yang menunjukkan para sahabat saling berlomba untuk menghafal Al-Quran. Lalu bagaimana mungkin Rasulullah Saw memerintah untuk mengambil Al-Quran hanya dari keempat sahabat saja—sebagaimana dalam riwayat ke empat—bila seandainya yang dimaksud dengan al-jam‘u adalah menghafal?!
Kalaupun seandainya riwayat pertama memang benar, mengapa Abu Bakar hanya memanggil Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al-Quran yang tersebar di beberapa tempat? Mengapa tidak mengambil dari Abdullah bin Mas‘ud, Ubai bin Ka‘ab, ataupun Mu‘adz bin Jabal, padahal di saat proses tersebut berlangsung, mereka masih hidup?
Contoh keempat riwayat di atas menunjukan banyaknya tanda tanya seputar proses pengumpulan Al-Quran di masa sahabat. Di samping bertentangan antara satu dengan yang lainnya, riwayat tersebut bertentangan dengan apa yang terkandung di dalam Al-Quran itu sendiri.
Dalam Al-Quran disebutkan, bahwa Allah Swt menantang kaum musyrikin Quraisy untuk membuat yang semisal dengan Al-Quran atau satu surat saja yang mirip Al-Quran. Adanya tantangan ini menunjukan bila Al-Quran sudah beredar di masyarakat luas pada waktu itu dan gampang diperoleh, termasuk oleh kaum kafir Quraisy, yang menjadi sasaran tantangan Al-Quran.
(Sumber: Merajut Ukhuwah, Memahami Syiah karya Muhammad Babul Ulum; penerbit Marja, 2008. Buku ini telah disahkan Dirjen Pendidikan Agama Islam sebagai buku bacaan agama Islam)
(Miskat/Syiah-News/Tour-Mazhab/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email