Pesan Rahbar

Home » » Penjelasan-Penjelasan Atas Al-Qur'an Yang Pertama

Penjelasan-Penjelasan Atas Al-Qur'an Yang Pertama

Written By Unknown on Friday, 7 July 2017 | 08:04:00


Oleh: Abdul Husain Syahidi Shalihi

Tafsir yang ditulis oleh Abu Hajjaj Mujahid, putra dari Jabr (Jubayr), Makki, dan Makhzumi (21-104 atau 105/642-722 atau 723), merupakan karya mufasir terkemuka berkebangsaan Iran dan termasuk dalam golongan para tabi'in, yakni generasi setelah Nabi saw dan para sahabat beliau. Abu Hajjaj Mujahid belajar ilmu-ilmu al-Quran dan seni hermeneutika (tafsir dan takwil) di bawah bimbingan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dan Ibn Abbas. Dalam kitab Tahdijb al-Tahdzib[1] yang ditulis oleh Ibn Hajar Asqalani (w. 852/1448) dan Yaqut Hamawi (w. 626) dalam kitabnya Mu'jam al-Udaba[2] menyebutkan, di samping Amirul Mukminin Ali bin Abi as Thalib dan Ibn Abbas, nama-nama lain yang pernah menjadi gurunya, adalah: Jabir bin Abdullah Anshari, Ummu Salamah, Ummu Hani binti Abu Thalib, dan lain-lain.Ali bin Ibrahim Qummi, mufasir Syiah yang terkemuka, mencatat dalam tafsirnya, hadis-hadis Mujahid dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.[3]

Para ahli sejarah dan penulis biografi sepakat bahwa Mujahid bukanlah warga Arab, walaupun begtu mereka berbeda pendapat mengenai julukan yang diberikan kepada Mujahid sebagai "mawla" yang merupakan tradisi suku Arab. Sebagian mereka menganggap Mujahid menjadi "mawla" dan Qays bin Saib bin Uwaymar Makhzumi dan sebagian yang lain berpendapat dari Abdullah bin Saib ibn Abi Sa'ib, sedangkan sebagian lain lagi berpendapat ia pengikut dan Sa'ib bin Abi Saib, ayah dan Abdullah bin Saib.[4]

Mujahid digambarkan sebagai seorang laki-laki yang berperawakan tidak terlalu tinggi, berambut dan berjenggot putih, di mana ia tidak suka memotongnya.[5] Dalam tafsirnya banyak ditemukan pengaruh-pengaruh Persia dan gagasan-gagasan iluminasionis di samping kecenderungan rasional yang contoh-contohnya akan diuraikan nanti. Mujahid menjadi murid Ibn Abbas selama beberapa tahun dan menjadi salah satu dari teman dekat Ibn Abbas sampai ia menjadi salah satu mufasir yang terkemuka dan terkenal dari generasi berikumya. Abu Nu'aym Isfahani (w. 430/1038) dalam kitabnya Hilyat al-Awliya' dan Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, dan juga yang lainnya, menulis bahwa Mujahid mempresentasikan tafsirnya kepada Ibn Abbas sebanyak tiga puluh kali dan ia slalu mendiskusikan bersama gurunya tafsir setiap ayat, keadaan dan konteks dari wahyu tersebut.[6]

Mujahid digambarkan sebagai ilmuwan yang tekun dengan penampilan sederhana (rendah hati), raut muka yang tenang, dan berakhlak mulia. Dalam kitabnya Tadzkirat al-Huffazh, Dzahabi memujinya dengan menyebut Mujahid sebagai orang yang mempunyai pengetahuan luas (aw'iyat al-ilm). Ia menceritakan dari A'masy di mana ia mengatakan, "setiap saat saya memperhatikan Mujahid, ia nampak tenggelam dalam tafakur, seperti seorang yang kehilangan sesuatu dan ia berusaha untuk mencarinya." Ketika ia berbicara, "seakan-akan mutiara berjatuhan dari mulutnya."[7] Mujahid sering mengadakan perjalanan dan mengunjungi beberapa kota-kota Muslim, di mana ia dapat bertemu dan berdiskusi dengan ilmuwan-ilmuwan setempat. Ia gemar mengumpulkan peninggalan-peninggalan dan legenda-legenda kuno. Dzahabi (w. 748/1347) menulis dalam Siyar A'lam al-Nubala' bahwa Mujahid pernah mengunjungi Babel untuk menyelidiki sejarah Harut dan Marut. Ia juga mengadakan perjalanan ke Hadramaut di Yaman.[8] Di samping itu ia juga digambarkan sebagai seorang yang penuh semangat, prajurit sejati, dan mujahid.


Fase llmiah 

Seperti yang telah disebutkan, Mujahid memperoleh ilmu pengetahuan dan pengajaran-pengajaran al-Quran dari Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib as. Ali as dijuluki oleh Nabi saw sebagai "pintu gerbang kota ilmu pengetahuan." Setelah kesyahidan Imam Ali di tahun 40/660, Mujahid menjadi murid Ibn Abbas, yang kemudian dikenal dengan sebutan hibr al-ummah (rabbi atau orang yang terpelajar dalam masyarakat Muslim).

Mujahid selalu memanfaatkan kesempatan yang ada untuk belajar dan membuang rasa sombong. Ia sering berdialog dengan para ilmuwan Ahlul Kitab (kaum Yahudi dan Kristen) dan mengambil manfaat dari dialog tersebut, sehingga ia banyak dikritik oleh banyak kalangan. Abu Bakar Ayyasy berkata: "Saya bertanya kepada A'masy mengapa beberapa orang mengabaikan tafsir Mujahid. Ia menjawab, “karena tafsir Mujahid merupakan hasil dialog dengan Ahlul Kitab.[9]

Mujahid diceritakan sebagai orang yang sangat jenius, sehingga tidak mengherankan ia menduduki posisi tinggi sebagai ilmuwan dan pakar. Ketenarannya pun menyebar ke seluruh wilayah Muslim. Ia sangat dihormati oleh para ilmuwan pada masanya dan menjadi figur terkemuka di antara para tabi'in. Mujahid sangat tekun dalam memahami makna-makna dan penafsiran-penafsiran ayat-ayat al-Quran. Ia acap mengatakan, "Seandainya aku kenal seseorang yang dapat menjelaskan secara terperinci kepadaku makna dari ayat ini":
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. Allah telah menetapkan hukum ituu sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi MahabIjaksana. (QS. 4:24).

Aku akan pergi jauh untuk menemuinya! (la-dharabtu ilayhi akbad al-ibil)."[10]

Usaha kerasnya untuk mengungkap tema-tema bahasa Arab dan menemukan metode ilmiah dari tafsir dan penjelasan permasalahan linguistik dan kegunaan dan kata-kata al-Quran, membawanya berhubungan dengan para pakar bahasa dan literatur Arab yang memberikan kepadanya pengetahuan mendalam berbagai bacaan (qira'at) mengenai al-Quran. Beberapa dari bacaan-bacaan tersebut diturunkan kepadanya, dan Dzahabi, dalam Siyar A'lam al-Nubala, menyebutnya sebagai imam dan syaikhnya para qari' dan mufasir al-Quran.[11]

Sufyan al-Tsawri mengatakan: "Jika engkau mendapatkan tafsir Mujahid maka cukuplah bagi engkau."[12] Sekelompok qari, yang mencakup A'masy, Abdullah bin Katsir, dan Ibn Muhaysin dan lain-lain, mempelajari bacaan-bacaan (qira'at) al-Quran di bawah bimbingannya.

Dengan cara yang sama, ia tidak mengecualikan usaha apapun dalam mencari pengetahuan, setiap orang berusaha mendatanginya untuk menanyakan isu-isu ilmiah atau mengenai penjelasan-penjelasan terperinci beberapa ayat, atau mengenai adat istiadat dan legenda Arab. Selain belajar kepada para ilmuwan dan mempelajari buku-buku di kota-kota yang berbeda, ia juga mengajar dan memberikan kuliah. Ia pun sering mengadakan perjalanan yang sulit ke tempat-tempat jauh untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Ibn Asakir menulis bahwa ia mengadakan perjalanan ke kota-kota Suriah[13] dan mengunjungi Konstantinopel.

Mujahid menjalin hubungan dengan sejumlah ilmuwan Suriah seperti Khalid bin Ma'dan dan‘Abdullah bin Abi Zakariyya' Khuza'i.[14] Ia tinggal untuk beberapa waktu di Mesir, tetapi sebagian besar hidupnya ia habiskan di Makkah dan Irak. Ia mengadakan sesi pengajaran ilmu-ilmu al-Quran di masjid Kufah, salah satu pusat aktivitas Syiah, dan di Karbala, tempat suci Syiah yang pertama, yang telah diubah oleh kaum Syiah menjadi pusat pengajaran Islam setelah masjid Nabawi. Sebagian besar mufasir Sunni dan Syiah dan para pakar ilmu-ilmu al-Quran dan qira'at diberi pengajaran di bawah bimbingannya.

Ibn Hajar Asqalani dalam Tahdzib al-Tahdzib dan al-Dzahabi dalam Siyar A'lam al-Nubala' menyebutkan lebih dari tiga puluh nama yang menjadi murid-muridnya.[15] Beberapa kaum tradisional dan para pakar ilmu-ilmu al-Quran dan juga para qari yang mengajar di Irak sepeninggalnya adalah murid-murid Mujahid. Mereka mengajar di Kufah, Karbala, pusat-pusat pengajaran lainnya di Makkah dan di Masjid Nabawi di Madinah. Mereka selalu mengatakan, "Mujahid meriwayatkan kepada kami dari Ibn Abbas..."


Mujahid dalam Pandangan Ahli Sejarah dan Ilmuwan

Ibn Sa'ad menggambarkan Mujahid dalam kitabnya al-THabaqat al-Kubra dengan kata-kata berikut ini, "ilmuwan yang dapat dipercaya, seorang fakih besar, orang tradisional yang cepat berkembang, ia adalah seorang mawla Sa'ib.[16] Syamsuddin Muhammad al-Dzahabi banyak memberikan pujian terhadapnya dalam karya-karyanya dan dalam kitabnya al-I'bat menjuluki Mujahid sebagai "lencana para tabi'in" (insignia of the tabi'un)."[17] Pengarang kitab Tadzkirat al-Huffazh menggambarkan Mujahid sebagai qari, mufasir, dan hafiz al-Quran.[18]

Dalam kitab Mizan al-I'tidal, ia dianggap sebagai pakar Islam yang terkenal dan ulama yang terpercaya yang mempunyai posisi utama dalam jajaran ulama umat.[19]

Ibn Asakir (w. 571/1175) dalam Tarikh Dimasyq, memberikan catatan biografi mengenai Mujahid dan menggambarkannya dalam kata-kata berikut: "Sufyan al-Tsawri mengatakan, "Orang harus mempelajari tafsir al-Quran yang mulia dari empat orang ini, yaitu Sa'id bin Jubayr, Mujahid, Ikrimah, dan Dhahhak bin Muzahim"," Qatadah mengatakan: "Mujahid adalah orang yang paling terpelajar di antara para tabi'in dalam tafsir al-Quran. Yahya ibn Ma'in, Abu Zur'ah dan Abu Abdurrahman al-Nasa'i semuanya sepakat bahwa Mujahid adalah pakar yang dapat dipercaya di antara para tabi'in dan murid Ibn Abbas. Mujahid kadang-kadang tinggal di Makkah dan belakangan ia menetap di Kufah selama beberapa periode."[20]

Ibn Hajar Asqalani dalam Tahdzib al-Tahdzib, Thabari dan yang lainnya menulis bahwa Mujahid merupakan fakih yang takwa, penganut Islam yang sangat taat, ilmuwan bacaan-bacaan al-Quran, dan orang yang terpercaya dan berpengetahuan dalam golongan tabi'in dalam tafsir al-Quran yang mulia. Tidak ada yang pernah mendapati orang yang melakukan penafsiran-penafsiran al-Quran demi keridhaan Allah, selain ketiga orang ini, yaitu Atha, Thawus, dan Mujahid.[21]

Ibn Imad Hambali menulis dalam Syadzarat al-Dzahab, "Mujahid adalah ilmuwan terkemuka di era tabi'in dalam hal penafsiran-penafsiran al-Qur'an." Kemudian ia menambahkan tulisan dari A'masy bahwa, "Setiap saya berjumpa dengan Mujahid, ia kelihatan seperti tenggelam dalam perasaan berduka." Ketika ditanya kenapa Mujahid berduka, ia menjawab, "Pada satu hari Ibn Abbas menggandengku dan berkata kepadaku, "Mujahid, kamu harus tahu bahwa suatu hari Rasul Allah saw membawa tanganku dan berkata kepadaku: "Wahai Abdullah, hiduplah di dunia seperti orang asing dan pengelana.""[22]

Al-Dzahabi dalam Siyar A'lam al-Nubala' menggambarkan Mujahid dengan kata-kata mi, "Ia seorang imam dan syaikh para qari' dan mufasir. Ikrimah, Thawus dan Atha', yang kesemuanya adalah teman sebaya dalam mempelajari ilmu-ilmu dan tafsir-tafsir al-Quran adalah murid Mujahid." Ia mengemukakan, Khusayf dan Qathadah menyatakan bahwa Mujahid adalah orang yang paling terpelajar dalam golongan tabi'in dalam hal penafsiran-penafsiran al-Quran, dan ketika Mujahid berbicara, seakan-akan mutiara yang keluar dari mulutnya. Mujahid sendiri menyatakan bahwa, “Kapan pun aku membaca kembali al-Quran dalam qira'at Ibn Mas'ud, aku merasa tidak butuh lagi untuk bertanya kepada Ibn Abbas mengenai tafsir-tafsir beberapa ayat."[23]

Mujahid mempunyai catatan biografi dalam sebagian besar karya-karya biografi, dan sebagian besar dari karya-karya tersebut meliputi kitab Khulasat al-Tahdzib (h. 369), Kasyf al-Zunun, (hal. i, 485), A'lam (jild 2, 5 h. 378), Mu'jam al-Mu'allafin (jilid 8, h.177), Shafwat al-Shafwat (jilid 2, h. 177) dan yang lainnya menggambarkan Mujahid dengan istilah-istilah yang serupa. Singkatnya, ia seorang yang paling berilmu. dalam golongan tabi'in di bidang ilmu-ilmu al-Quran dan mufasir Muslim dunia terkemuka setelah Ibn Abbas. Ia mempunyai fase istimewa dalam ilmu-ilmu al-Quran, qira'at, dan bidang-bidang lain yang berhubungan dengan tulisan-tulisan (scripture) ketuhanan. Ia memperoleh ketenaran yang luas. Ulama Sunni dan Syiah menegaskan, ia mempunyai tingkatan paling tinggi mengenai ilmu-ilmu dan tafsir-tafsir al-Quran, dan kesemuanya itu menunjuk Mujahid sebagai seorang imam.


Kecintaan Mujahid terhadap Ahlulbait

Mujahid mempunyai kedekatan yang dilandasi cinta kasih terhadap Ahlulbait as. Ia telah meriwayatkan banyak hadis sekaitan dengan kebajikan-kebajikan Amirul Mukminin Ali as. Ia mengatakan, di manapun di berbagai tempat ada frase "wahai orang-orang yang beriman" di dalam al-Quran. Amirul Mukminin Ali as dianggap paling utama dan paling berwibawa, sebagaimana ia telah mendahului mereka semua dalam memeluk Islam.[24]

Dalam tafsirnya terhadap ayat 2:274,
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara rersemhunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.

Ia menjelaskan, "Ayat ini berhubungan dengan Ali bin Abi Thalib. Ali mempunyai empat dirham dan ia menyedekahkan satu dari empat dirham secara sembunyi-sembunyi, satu dirham lagi secara terang-terangan, satu dirham di malam hari, dan satu dirham lagi di hari yang lain."[25]

Komentar atas surat 58: 12,
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih.

Ia menwayatkan dari Amirul Mukminin Ali bahwa ia berkata, "Dalam kitab Allah terdapat ayat di mana tidak seorang pun dapat bertindak sebelum atau sesudahku dan ayat tersebut berkenaan dengan najwah (berbicara secara berbisik atau melakukan pembicaraan khusus), saya mempunyai satu dirham di mana saya melipatgandakannya menjadi sepuluh dirham. Oleh karena itu, di manapun saya melakukan pembicaraan khusus dengan Rasul saya akan menafkahkan satu dirham. Akhirnya ayat ini dihapus oleh ayat, "apakah kamu takut akan menjadi miskin karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul?.... dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. 58:13)[26]

Mengenai surat 66:4,
Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah berdosa (semoga Allah mengampuni kamu), tetapi jika kamu berdua bantu membantu untuk menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang baik di antara orang-orang yang beriman, dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.
Mujahid menafsirkan kata "orang baik di antara orang-orang yang beriman" (righteous among the believers) menunjuk pada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.[27]

Dalam tafsir surat 91:1-4, Mujahid, menafsirkan ayat-ayat tersebut dari Ibn Abbas sebagai berikut: "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari," yaitu Rasul, dan "bulan ketika mengiringinya,"" yaitu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, "dan siang apabila menampakkannya," yaitu Imam Hasan dan Husain, "dan malam apabila menutupinya," menunjuk pada Bani Umayyah."[28]


Pendekatan Rasional dalam Tafsir Mujahid

Mujahid bisa dianggap sebagai penemu aliran baru dalam hermeneutika al-Quran yang mempunyai ciri adanya ruang luas bagi akal dalam menjelaskan ayat-ayat al-Quran yang mulia. Dalam banyak hal, diketahui bahwa tafsir Mujahid berbeda dari gurunya, Ibn Abbas. Mujahid memperlihatkan orisinalitasnya dengan banyak menyandarkan pada akal dalam memahami makna-makna firman Allah, seperti yang ditunjukkan oleh catatan-catatan sejarah.

Hal ini menciptakan kegemparan di masanya. Anaknya, Abdul Wahhab bin Mujahid, mengatakan: "Pada suatu hari seorang laki-laki mendatangi ayahku dan berkata: "Apakah engkau yang menafsirkan al-Quran menurut pertimbangan pribadi (akal)?" Ayahku menangis tersedu-sedu dan berkata kepadanya, "Aku telah belajar tafsir- tafsir al-Quran lebih dari sepuluh sahabat Rasulullah saw, semoga Allah meridhai mereka.""[29]


Manfaat atau Pendapat Subjektif dalam Tafsir Mujahid

Sebagaimana disebutkan, Mujahid menggunakan akal dan pertimbangan-pertimbangan subjektif untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran dalam beberapa kasus. Berikut ini kami akan mengetengahkan di antaranya.
Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, dan kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina."(QS. 2:65).

Komentar atas ayat ini, Mujahid menafsirkan hal ini bukanlah berakibat langsung, di mana mereka tidak berubah secara fisik menjadi kera. Apa yang menjadi makna di sini adalah persamaan metafora atas ayat, "Perumpamaan mereka seperti keledai yang membawa beban."

Menurut cerita lain dari Mujahid, bahwa hati mereka yang diubah dan diburukkan, bukan diri mereka yang berubah menjadi kera.[30] Mereka tetap memiliki bentuk manusia sedangkan hati dan jiwa mereka menjadi rusak bentuknya seperti kera-kera itu.

"Dan pakaianmu bersihkanlah" (QS. 74:4)

Mujahid menafsirkannya ke dalam arti "Buatlah kebaikan-kebaikanmu."[31] Di sini Mujahid menafsirkan sesuai dengan pertimbangan subjektifnya.

"Pada hari itu, wajah-wajah (orang-orang mukmin) berseri-seri" (QS. 75:22). Mujahid mengartikan, “Mereka akan diputuskan menjadi berseri-seri ketika mereka menatap Tuhan mereka yang Mahaagung dan Mahakuasa, yang melihat dan Yang kepada-Nya tak satu bisa melihat."[32]

Jenis tafsir ini didasarkan atas pemahaman subjekdf dan penggunaan akal yang luas, sehingga mengakibatkan beberapa ilmuwan menjadikan Mujahid sebagai target tuduhan-tuduhan yang tidak pantas. Muhammad Husain al- Dzahabi, dalam al-Tafsir wa al-Mufasirun, menulis: "Jenis tafsir seperti ini yang ditulis oleh Mujahid menjadi pijakan kuat bagi prinsip-prinsip Mu'tazilah."[33]

Goldziher, orientalis terkenal, berkomentar atas penggunaan akal oleh Mujahid:
Mujahid menggunakan pendekatan rasional dalam tafsirnya mengenai surat 2:65. Mujahid percaya, perubahan menjadi kera bukanlah bersifat fisik, tetapi menyangkut hati dan jiwa dari orang-orang yang berdosa (pelanggar). Mereka masih memiliki bentuk manusianya sedangkan hati dan jiwa mereka menjadi seperti kera-kera itu. Hal ini berarti bahwa ayat ini adalah metafora abstrak, seperti penjelasan lain, dalam ayat "Perumpamaan mereka seperti keledai yang membawa beban,"
Ia menambahkan:
Di antara mereka yang mengajukan pendapat seperti itu setelahnya adalah para ilmuwan Mu’tazilah yang tidak mempunyai keraguan mengenai kejadian metafora fisik, memberikannya penafsiran rasional, sebagai hasil dan kondisi- kondisi lingkungan dan sebagainya.[34]


Perlawanan Mujahid terhadap Bani Umayyah

Murid-murid Mujahid dan para sejawatnya setuju bahwa ia selalu bersedih hati dan tenggelam dalam tafakkur, seperti seseorang yang sedang dalam pencarian sesuatu yang dianggapnya hilang.[35]

Karakteristik yang diperlihatkannya ini membawa beberapa spekulasi. Spekulasi tersebut di antaranya mungkin Mujahid sangat dipengaruhi oleh peristiwa Karbala yang sangat tragis. Pada waktu terjadi pemberontakan oleh Abu Abdullah al-Husayn as, Mujahid telah menjadi murid Ibn Abbas di Makkah dan ia memperhatikan perkembangan dan jarak dekat. Ia berumur 40 tahun ketika peristiwa itu terjadi pada tahun 61/680, dan ia sangat menyesal tidak dapat ikut dalam pemberontakan tersebut.

Walaupun tidak mempunyai bukti- bukti sejarah untuk dugaan ini, tetapi peristiwa-peristiwa hidupnya dan catatan-catatan sejarah mengindikasikan bahwa Mujahid adalah seorang penentang yang gigih terhadap pemerintahan Bani Umayyah. Para ahli sejarah menulis perjuangannya melawan mereka.

Selama beberapa tahun, Mujahid menjadi korban dendam Bani Umayyah, mengalami penganiayaan dan hukuman penjara. Thabari, Ibn Khaldun dan lainnya mengemukakan perlawanannya terhadap undang-undang yang dibuat oleh Bani Umayyah dan detailnya ditemukan dalam tulisan-tulisan sejarah. Pada waktu ia menetap di Kufah, ia bergabung dengan Abdurrahman bin Muhammad bin Asy'ats dalam pemberontakannya melawan Bani Umayyah selama tahun 80-83/699- 702, dan setelah Abdurrahman gugur dan pengikutnya bercerai berai, Mujahid melarikan diri dari Kufah dengan sekelompok kaum Syiah dan mengungsi di Makkah.

Pada waktu itu, Umar bin Abdul Aziz yang menjadi gubernur Makkah dan ia tidak menyiksa mereka. Belakangan, ketika Khalid bin Abdullah al-Qasri menjadi gubernur Makkah, Hajjar menulis surat kepada Khalid ibn Abdul Malik (86-96/705-714) untuk menginformasikan kepadanya tentang beberapa pengkhianatan dan bid'ah yang dilakukan oleh para pengungsi di Makkah. Ia meminta izin kepada khalifah Bani Umayyah untuk menempatkannya dalam penguasaannya. Walid menulis kepada Khalid untuk menangkap mereka dan mengirimkan mereka ke Irak untuk diserahkan kepada Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi. Khalid menangkap Mujahid, Sa'id bin Jubayr, dan seluruh kaum Syiah Irak dan membawa mereka ke Irak. Sa'id bin Jubayr dibunuh oleh Hajjaj pada tahun 94/712 atau 95/713 dan ia memasukkan Mujahid ke dalam penjara bersama sejumlah kaum Syiah. Mujahid tetap dipenjara sampai Hajjaj meninggal pada tahun 94/714[36]. Kemudian Mujahid kembali ke Makkah di mana ia kembali mengajar ilmu-ilmu al-Quran. Mujahid merupakan ilmuwan unik pada masanya sampai ia meninggal, dalam keadaan sujud, di dalam Masjidil Haram, semoga Allah memberkatinya.


Pendekatan Tafsir al-Quran Mujahid

Mujahid mempunyai gaya unik dalam menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat al-Quran. Ia juga merupakan penemu aliran baru dalam hermeneutika al-Quran. Pendekatannya atas tafsir al-Quran kurang lebih mendasarkan atas empat prinsip. 
1. Prinsip bahwa salah satu bagian dan al-Quran adalah penjelas bagian- bagian yang lain, misalnya ketika ia menafsirkan surat 29:13,
Mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri, dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan.
Mujahid menafsirkan ayat ini dengan merujuk pada ayat lain, yaitu 16:25,
(ucapan mereka) menyehahkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya di hari kiamat, dan sebagian dosa- dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan)[37].
2. Penafsiran berdasarkan hadis-hadis. Sembari memilih ungkapan- ungkapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait, dan juga gurunya Ibn Abbas, Mujahid menjelaskan ayat-ayat dengan cara yang sesuai dengan akal.
3. Akal: Seperti yang kami katakan, Mujahid merupakan orang pertama dalam golongan tabi'in yang telah membangun mazhab baru dalam tafsir al-Quran, yang sama sekali berbeda dari mufasir lain selama abad pertama.

Penyandarannya atas. pertimbangan pribadi dan kepercayaan dirinya yang besar pada akal dalaih usahanya memahami makna firman-firman Allah Swt merupakan bukii seluruh tafsirnya. Upayanya adalah membangun kembali peranan pemikiran dan penerapannya terhadap prinsip-prinsip rasional dalam menafsirkan ayat-ayat.

Fenomena seperrti itu muncul dalam dekade ketiga abad pertama bukanlah hal yang aneh. Sebab, ia merupakan kelanjutan pendekatan yang diterapkan oleh Amirul Mukminin Ali sebagai penggagas pemikiran kontemplatif, ijtihad dan penalaran. Setelah kesyahidan Imam Ali as pada tahun 40/660, ia terus berkembang dengan anak cucunya, sampai mencapai puncaknya selama era Abu Ja’far Muhammad al-Baqir (56-114/675-732) dan anaknya Abu Abdullah Ja'far al-Shadiq (80-148/699-765). Mujahid mengatakan, "Bentuk ibadah terbaik adalah pertimbangan (judgement) yang baik."[38]

Tulisan-tulisan setiap masa merefleksikan kecenderungan-kecenderungan intelektual dan watak ilmiah dari era tersebut.

Abdurrahman Thahir al-Surati telah melakukan penelitian yang ekstensif atas tafsir Mujahid. Dalam pengantarnya terhadap tafsir Mujahid, ia menulis:
Dalam karya tafsirnya, Mujahid menggunakan pertimbangannya untuk menyeleksi hadis-hadis dan riwayat-riwayat yang ia dengar. Ia tidak menceritakan apa saja yang ia dengar, tetapi ia merupakan golongan tabi'in yang paling terkenal dalam melakukan pertimbangan pribadi.[39]

Tulisan-tulisan Mujahid dan metodenya sepenuhnya asli. Metodenya tidak dapat dilacak di berbagai karya tafsir abad pertama. Gaya penafsirannya menempatkan tafsirnya terpisah dari karya-karya lainnya.

Dalam tafsirnya, ia mempunyai kecenderungan kuat untuk mengedepankan pendapat dan pertimbangan pribadinya sebagai dasar dari karyanya. Ijtihad dan pengetahuan yang dimiliki oleh Mujahid menjaganya untuk mengemukakan segala sesuatu yang ia dengar dari gurunya. Oleh kareua itu, dalam sebagian besar kasus, teks tulisan-tulisannya beserta kandungan di dalamnya berbeda dari gurunya, Ibn Abbas.[40]

Ketika kami menyebut tafsir Mujahid sebagai karya dari seorang rasionalis bukanlah hal yang berlebih-lebihan. Surati berkata mengenai hat ini, "Tafsir Mujahid dianggap tradisional dari hadis-hadis yang ia sampaikan, dan rasional dari sisi pemikiran."[41]

Ketika menafsirkan beberapa ayat, Mujahid terkadang menyebutkan lebih dari satu penafsiran bagi ayat tersebut. Misalnya, ketika ia mengulas surat 13 ayat 41,
Apakah mereka tidak melihat bagaimana Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah- daerah itu (sedik demi sedikit) dari tepi-tepinya?
Ia mengemukakan, "Ini berarti, kematian orang-orang itu, kejatuhannya berkaitan dengan populasi dan produksi, jatuhnya daerah-daerah dan kematian para ilmuwan."[42]

4. Penjelasan-penjelasan yang berbau sastra. Mujahid menggambarkan keaslian yang indah dengan menampilkan kemampuan sastra dalam tafsirnya. Salah satu dari prinsip-prinsip dasarnya adalah kajian sastra terhadap kandungan kitab suci al-Quran. Ia telah menemukan suatu pendekatan baru yang juga berkaitan dengan kajian-kajian sastra, filologi dan retorika. Ia pun meninggalkan kepada kita suatu bentuk pembahasan yang unik. Tidak ada bukti bahwa apa yang ia tulis merupakan pengulangan dari berbagai penjelasan-penjelasan lain. Ia mendasarkan pentingnya atas pembahasan-pembahasan sastra dan filologi, dan seseorang yang tidak mengetahui idiom bahasa Arab tentunya akan kesulitan untuk menggunakannya dalam tafsir al-Quran.[43]

Ia menunjukkan suatu cita rasa yang bagus dan elegan yang tinggi dalam penafsiran sastra dari ayat-ayat dan kata-kata yang sulit dan samar dari bahasa Arab. Di sini ia memperlihatkan pengetahuannya yang mendalam dalam hal literatur dan filologi. Jenis penjelasan yang berbau sastra seperti ini tidak ditemukan dalam berbagai karya tafsir lainnya.

Keasliannya yang terbesar menyangkut aspek sastra al-Quran, sampai pada suatu tingkat di mana pembaca banyak terkesan cita rasanya yang tinggi dan elegan. Orisinalitas pendekatannya dalam tafsir al-Quran menggambarkan sisi sastra dan pemahaman mendalam di bidang filologi dan pengetahuan terhadap bahasa Arab, idiom dan gayanya. Abdurrahman Surati berkata mengenai hal ini,
Bagian terbesar dari tafsir Mujahid terdiri dari penjelasan kata- kata yang tidak umum, ungkapan-ungkapan yang tidak lazim dan penyelesaian butir-butir masalah yang samar. Penjelasan kata-kata dan frase-frase sulit atau tidak biasa dalam sebagian besar karya- karya hermeneutikanya menjadi bukti bagi kita, seolah-olah ia adalah filologis yang terpelajar dengan suatu penguasaan bahasa Arab, yang meliputi dialek dan gaya pembahasan, penggunaan idiom dan kata-katanya. Benar adanya untuk mengatakan bahwa Mujahid adalah salah satu pakar filologi Arab, dan tafsirnya merupakan kamus istilah-istilah yang rumit dan tidak umum yang pertama kali di bidang leksikografis, yang tidak disusun berdasarkan susunan alfabet di masanya.[44]

Mengenai tafsir surat 24:36,
Di dalam masjid-masjid yang Allah perintahkan untuk dimuliakan.

Ada dua pendapat. Pendapat pertama, mereka menafsirkan ayat itu sebagai pernyataan tidak langsung mengenai penghormatan yang diberikan kepada rumah-rumah ibadah (masjid). Pendapat kedua adalah pendapat Mujahid yang menafsirkan sebagai membangun rumah-rumah ibadah. Thabari lebih condang pada pendapat Mujahid seraya mengemukakan surat 2:17 sebagai contoh: "Dan ketika Ibrahim (dan Ismail) meninggikan dasar-dasar Baitullah." Mujahid menulis, sebagian besar kasus-kasus al-raf al-buyut berarti membangun masjid-masjid.[45]

Dalam tafsir surat 22:29, ia menjelaskan kalimat al-bayt al-'atiq dengan pernyataan bahwa Ka'bah dibebaskan oleh Allah dari klaim kalangan tirani.[46]
Dalam tafsir surat 22:30,"Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah. "Ia menafsirkannya dengan makna kesucian dari Makkah, haji, umrah, dan dosa-dosa yang dilarang oleh Allah untuk berhubungan dengannya.[47]

Dalam tafsir surat 2:195, "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." Ia mengemukakan bahwa itu berarti "tidak menafkahkan di jalan Allah karena takut jatuh miskin."[48]

Tafsir ini didasarkan atas empat prinsip yang disebutkan di atas. Tafsir tersebut memperhatikan penjelasan kata-kata rumit dan kalimat- kalimat yang tidak umum dari al-Quran. Terkadang ia mengalihkan perhatiannya pada kondisi-kondisi di mana ayat-ayat tertentu diwahyukan dan episode-episode yang terkait.

Kadang-kadang ia menaruh perhatian pada masalah-masalah nasakh-mansukh ayat, bermacam-macam qiraat, dan pemahaman baku terhadap ayat-ayat. Ketika melakukan penafsiran, Mujahid memperhatikan gaya-gaya wacana, idiom-idiom dan perilaku bangsa Arab. Abdurrahman Surati berkata berkenaan pendekatan Mujahid:
Tafsir Mujahid adalah cermin dari pemahaman dan pendapat pribadinya terhadap makna-makna al-Quran dari sisi pengetahuannya mengenai bahasa dan idiom al-Quran. Ia seorang mufasir sekaligus mujtahid yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan pada masanya dan meninggalkan warisan berharga kepada kita, di mana ijtihad dalam memahami al-Quran memungkinkan kita untuk benar pada satu waktu dan salah di waktu yang lain. Kesemuanya itu menghasilkan dinamika dalam hermeneutika yang akan menerangi bumi dengan cahayanya.

Komentar-komentar Thabari dan Suyuthi dalam kitabnya Al-Durr al-Mantsur menyebutkan bahwa terdapat banyak sejarah dan legenda Yahudi dan Kristen yang diriwayatkan dari Mujahid, dan kita telah menyebutkan bahwa ia biasa untuk berkonsultasi dengan ilmuwan-ilmuwan Yahudi dan Kristen. Ibn Sa'ad (w. 230/844), dalam Al-Thabaqat al-Kubra, menulis dengan isnadnya, mengutip A'masy, bahwa ketika ditanya tentang alasan beberapa ilmuwan menghindari tafsir Mujahid. Ia mengatakan, dilaporkan bahwa Mujahid sering berkonsultasi dengan Ahlulkitab."[50]

Tafsir Mujahid disampaikan dari satu abad ke abad selanjutnya dan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di antara rantai penyebaran itu adalah Sam'ani (w. 562/1166), dari gurunya Abu ‘Amr Utsman Balkhi, yang menceritakannya dengan isnad yang terhubung pada Mujahid[51].


Naskah-Naskah Tafsir Mujahid

Ada satu naskah yang bertitimangsa 544 H (/1149-50 H) no. 1075 dalam kitab Dar al-Kutub al-Mishriyah. Fu'ad Sayyid menyebutkan dalam daftar naskah-naskahnya.[52] Jilid pertamanya berisikan permulaan surat al-Baqarah sampai ayat 43 surat al-Nisa; kedua dari ayat 44 surat al-Nisa sampai surat ai-Antal; ketiga dari surat al- awbah sampai ayat 24 surat Bani Israil; keempat dari ayat surat Bani Isra'il sampai ayat 25 surat al-Furqan; kelima dari ayat 27 surat al-Furqan sampai akhir surat al-Yasin; keenam dari surat al-Shaffat sampai akhir surat al-Najm; ketujuh dari surat al-Qamar sampai akhir surat "Amma Yatasa' alun; kedelapan dari surat al- Nazi'at sampai akhir surat al-Nas[53].

Versi ini diceritakan oleh Abul Qasim Abdurrahman bin Ahmad bin Muhammad ibn Ubayd Amdani dan isnadnya sampai Mujahid melalui Ibrahim, dari Adam, dari Warqa', dari Abu Najih. Ini merupakan rantai penyebaran yang paling terkenal dari tafsir Mujahid. Pembukaan dan penutup masing-masing jilid dari naskah-naskah Dar al-K utub al-Mishriyyah mengandung salinan catatan riwayat Mujahid melalui Syaikh Abu Mansur bin Muhammad bin Abdul Malik bin Hasan bin Khayrun, dari pamannya Abul Fadhl Ahmad bin Hasan bin Khayrun, dati Abu Ali Hasan bin Ahmad bin Ibrahim bin Hasan bin Muhammad bin Syadzan, dari Abul Qasim ‘Abdurrahman bin Hasan. Permulaan sesi riwayat berkaitan dengan jilid pertama dimulai pada bulan 1 Rajab 538 H dan diakhiri pada hari Selasa 18 Rabi'ul Awwal 544 H.

Versi ini merupakan ringkasan tafsir Mujahid, yang telah dipadatkan oleh kolektornya dari naskah yang dimilikinya. Daiam pembahasannya, ia berupaya menghindar dari periwayatan legenda-legenda Ahlulkitab dan si pembaca jarang menjumpai sesuatu yang disebut dengan Isra'iliyyat.

Salinan dari naskah ini dibuat oleh Lembaga Masyarakat untuk Penelitian Islam di Pakistan. Naskah ini telah disunting oleh Abdurrahman Thahir al-Surati dalam dua jilid, di bawah perlindungan Amir Qatar, Syaikh Khalifah bin Hamd al-Tsani. Naskah ini dicetak ulang oleh al-Mansurar al-Ilmiyah, Beirut. Mungkin disebutkan bahwa dalam catatan-catatan kaki sang editor menyebutkan pelbagai teks tafsir dan juga materi tambahan yang ditemukan dalam tafsir Thabari dan meradukan pekerjaan yang sukar namun bermanfaat.

Ada dua naskah tafsir Mujahid yang dimiliki mufasir terkenal, Syaikh Muhammad Shalih Barghani Hairi (w. 1271/1854).[54]

Naskah pertama diperoleh pada abad kedelapan atau keempat belas, dan ia kemukakan dalam tafsirnya Bahr al-Irfan.[55]

Naskah kedua yang bertitimangsa 490 H adalah naskah yang berharga dan unik yang telah diperolehnya setelah 1266/1849; naskah ini mengandung uraian-uraian tafsir berbagai ayat yang menjelaskan wi/ayah Amirul Mukminin Ali as dan para imam as dari keluarganya dan keutamaan-keutamaan mereka. Ia memasukkan semua uraian tersebut ke dalam tafsirnya yang lain yang bertajuk Kanz al-Irfan.

Yang kedua ini lebih lengkap ketimbang yang pertama dan masing-masing mereka lebih komprehensif ketimbang naskah Dar al-Kutub al-Mishriyyah. Sekarang ini semua naskah tersebut dapat ditemukan dalam kumpulan naskah penulis ini (seorang keturunan Allamah Barghani) di kota suci Karbala.

Saya ingin menarik perhatian para pakar kajian Islam di universitas-universitas terhadap masalah ini, di mana mahasiswa-mahasiswa tingkat doktoral diberi tugas untuk menyelesaikan tesis doktoralnya dengan mengumpulkan tradisi-tradisi tafsir Mujahid dari karya-karya Sunni, khususnya tafsir Thabari, Al-Durr al-Mantsur yang ditulis oleh Suyuthi, tafsir Sufyan al-Tsawri, Abu Nu'aim dengan Hilyar al-Awliya' dan karya-karya lainnya, yang ditulis secara terpisah. Oleh karena itu, komentar lengkap dan komprehensif tentang Mujahid terletak pada penyelesaian tafsir al-Quran, kajian-kajian dan ilmu-ilmu al-Quran.


Akidah Mujahid 

Di akhir pembahasan mengenai pendekatan tafsir Mujahid dan kehidupannya, hal yang penting untuk dibahas adalah menyangkut akidahnya, apakah ia seorang Sunni atau Syiah, karena hal ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ilmuwan Sunni dan Syiah mengenai masalah tersebut.
Ketika penulis ini telah digiring untuk percaya bahwa Mujahid adalah seorang Syiah berdasarkan kajian tafsirnya, catatan-catatan biografinya, dan juga latar belakang lainnya, tampaknya tepat untuk mengajukan pertanyaan di sini dan menyebutkan alasan-alasan saya, seraya mengharapkan lingkaran-lingkaran yang terkait dengan kajian-kajian al- Quran dan agama akan menemukan manfaat dari pandangan para ulama dan sejarahwan tentang topik ini.

Sumber tertua yang menyebutkan ke-syiah-an Mujahid adalah tafsir Syaikh AbulQasim Furat al-Kufi, mufasir Syiah (+/- 260-329/873-940)[56], dan Tafsir al-Qummi, karya Syaikh Abul Hasan Ali bin Ibrahim al-Qummi, mufasir Imamiyah yang terkenal yang hidup selama akhir abad ke-3/9 dan di awal abad ke-4/10.[57]

Mereka menyebut Mujahid sebagai perawi dan mufasir Syiah yang handal. Dalam kitab-kitab mereka, mereka telah meriwayatkan darinya hadis-hadis yang juga menunjukkan karakter Syiâahnya. Sumber tua yang ketiga yang menyebut Mujahid sebagai seorang mufasir Syiah adalah Syaikh Abu al-Rasyid Abdul Jalil Qazwini dalam kitabnya Kitab al-Naqd, yang ditulis sekitar 560/1164.[58]

Ia merupakan salah satu ulama muta'akhir yang telah mencatat karakter Syiah Mujahid. Mufasir Syiah yang terkemuka, Syaikh Muhammad Shalih Barghani telah mencantumkan seluruh tafsir Mujahid dalam tafsir al-Qurannya, Kanz al-Irfan.[59] dan sebagian yang lain terdapat dalam tafsirnya yang lain Bahr al-Irfan.[60]

Di antara ulama kontemporer, Ayatullah al-Khu'i, dalam kitabnya Mu'jam Rijal al-Hadits, telah menyebut Mujahid, tanpa menyebut nama bapaknya atau gelar dan tanpa membuat gelar lain, sebagai salah satu mufasir Syiah.[61]

Adalah hal yang mengejutkan bagaimana mufasir Syiah yang tersohor yang hadis-hadisnya yang diriwayatkan dalam karya-karya Imamiyah yang dapat dipercaya, seperti empat kumpulan hadis yang penting, kutub al-arba'ah, dipandang rendah oleh Qadhi Nur Allah Syusytari dalam kitabnya Majalis al-Mu'minin. Juga, masalah ini tidak diperhatikan oleh Sayyid Hasan Shadr Kazhimi, pengarang Ta'sis al-Syiah li-Irfan. Demikian pula, guru kami Aqa Buzurg Tehrani; dalam jilid keempat kitab Al-Dzari'ah, yang dicurahkan untuk tafsir-tafsir Syiah, tidak menyebut-nyebut tafsir Mujahid.

Setelah mereka, penulis A'yan al-Syiah juga abai memberikan catatan biografi Mujahid dalam karyanya. Lebih jauh, namanya jarang disebut-sebut dalam.sumber-sumber kaum Syiah.
Ada banyak alasan berkaitan dengan Mujahid yang menjadi Syiah. Menyebutkan semua alasan tentunya akan keluar dari ruang lingkup artikel ini. Oleh karena itu, kami akan menyebutkan dua butir utama:
Pertama, setelah wafatnya Rasul pada tahun 11/632, Abu Bakar memberikan perintah melarang penulisan hadis. Larangan ini berlanjut sampai masa khalifah Umar binAbd al-Aziz. Setelah Umar ibn Abd al-Aziz berkuasa pada tahun 99/717 larangan tersebut dihapuskan.

Dzahabi, meriwayatkan dari Hakim dengan isnad sampai Aisyah, melaporkan bahwa Aisyah berkata: Ayahku telah menulis lima ratus hadis Rasul saw yang telah aku simpan. Kemudian suatu hari ia menyuruhku untuk menyerahkan hadis-hadis itu kepadanya dan meminta api lalu membakar semuanya [62].

Setelah khalifah pertama, Umar dan khalifah seterusnya memberikan larangan terhadap penulisan hadis. Hanya kaum Syiah yang tidak mengikuti perintah ini. Mereka tetap menulis hadis mengikuti imam mereka Amir al-Mu'minin Ali as dan para imam lainnya[63].

Mujahid merupakan orang Syiah yang tidak mempersoalkan perintah-perintah khalifah dan tetap menulis hadis dan mengajar tafsir. Ibn Abi Malikah biasa berkata, "Saya melihat Mujahid bertanya kepada Ibn Abbas menyangkut tafsir al-Qur'an dan Mujahid bersamanya dengan kertas di tangannya. Ibn Abbas biasa berkata kepadanya, "Tulislah!" Lalu ia menulis seluruh tafsir dari Ibn Abbas[64].

Mujahid juga memberitahukan kepada muridnya, "Jangan menulis setiap pendapat hukumku. Tulislah hadis dariku saja". Abu Yahya Kunasi mengatakan, "Saya bersama Mujahid di separuh hidupnya dan ia mengeluarkan bukunya dan aku menyalinnya""[65].

Kedua, terdapat indikasi-indikasi kepercayaan akan wilayah dalam tafsir Mujahid dan perumpamaan-perumpamaannya akan dikemukakan nanti.


Catatan Kaki:

1. Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (Beirut: Dar al-Fikr), vol. 10. h. 39.
2. Yaqut al-Hamawi, Mu'jam al-Udaba' (Kairo: Dar al-Ma'mun), vol. 17, p. 78.
3. Ali bin Ibrahim Qummi, Tafsir al-Qummi (Najaf, 1387 H.) ii, 357.
4. Muhammad Dawudi, Thabaqat al-Mufasirin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), ii, 305-306.
5. Ibn Sa'id, Al-Thabaqat al-Kubra (Beirut: Dar Sadr, 1377/1957), v, 466-467.
6. Abu Nu'aym Isfahani, Hilyat al-Awlia" (Beirut: Dar al-Fikr), iii, 279-280; Ibn Manzur, Mukhtasar Tarikh Dimasyq (Damaskus: Dar al-Fikr, 1409/1989), xxiv, 88.
7. Syamsuddin Muhammad Dzahabi, Tadzkirat al-Huffazh (Beirut: Dar Ihya' al- Turats al-Arabi), I, 92.
8. Dzahabi, Siyar A'lam al-Nubala, iv, 449.
9. Ibn Manzur, Mukhtasar Tarikh Dimasyq (Damaskus, Dar al-Fikr).
10. Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, di bawah ayat 4:24.
11. Al-Dzahabi, Siyar A'lam al-Nubala, iv, 449.
12. Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, 1,19
13. Ibn Manzur, Mukhtasar TarikhDimasyq, xxiv, 87
14. Abdurrahman Thahir Surati, Tafsir Mujahid (Beirut: al-Manshurat al-Ilmiyah), Pengantar, I, 43.
15. Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, x, 39; al-Dzahabi, Siyar A'lam al-Nubala, iv, 450.
16. Ibn Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, v, 466-467.
17. Al-Dzahabi, al-Ibar (Kuwait,1984), I, 125
18. Al-Dzahabi, Tadzkirat al-Huffazh (Beirut: Dar Ihya' al-Turats al-Arabi), I,125.
19. Al-Dzahabi, Mizan al-I'dal (Beirut: Dar al-Fikr), iii, 439-440.
20. Ibn Manzur, Mukhtasar Tarikh Dimasyq, XXIV, 87-90.
21. Ibn Hajar Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, X, 38-40.
22. Ibn Imad Hanbali, Syadzarat al-Dzahab (Beirut: Dar al-Fikr, 1409/1988), 1,125.
23. Al-Dzahabi, Siyar A'lam al-Nubala iv, 449-457.
24. Furat al-Kufi, TafsrFurat al-Kufi (Teheran: 1410/1990), h. 49.
25. Ibid., h. 72.
26. Ibid., h. 470; Ali Ibrahim al-Qummi, Tafsir al-Qummi, ii, 357.
27. Furat al-Kufi, Tafsir Furat al-Kufi, h.490
28. Ibid., h. 562.
29. Muhammad Husayn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufasirun (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1396/1976), I, 107.
30. Abul Hajjaj Mujahid, Tafsir Mujahid, I, 77-78.
31. Abu Nu'aim Isfahani, Hilyat al-Awliya' (Beirut: Dar al-Fikr), ii, 281.
32. Mujahid, Tafsir Mujahid, ii, 708.
33. Muhammad Husain Dzahabi, al-Tafsir wal-Mufasirun, I, 106.
34. Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islami, t.t, Abdul Halim Najjar, 129-130
35. Ibn Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, V, 466-467.
36. Ibn Khaldun, Al-I'bar wa al-Diwan al-Mubtada' wa al-Khabar (Beirut: Mu'assasat al-A'lami, 139/1971), iii, 65.
37. Mujahid, op.cit., ii, 496.
38. Ibn Qutaybah, Takwil Mukhtalaf al-Hadits (Beirut: Maktabat al-Ilmiyah), h. 69.
39. Mujahid, Tafsir Mujahid, I, 34.
40. Ibid., I, 25, 260.
41. Ibid., I, 24.
42. Ibid., I, 330.
43. Sayyid Mahmud Alusi, Ruh al-Ma'ani (Beirut: Dar Ihya' al-Turats al-Arabi), I, 5.
44. Mujahid, Tafsir Mujahid, I, 27.
45. Ibid., I, 28.
46. Ibid., ii, 423.
47. Ibid., ii, 99.
48. Ibid., I, 99.
49. Ibid., I, 37-38.
50. Ibn Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, V, 467.
51. Abdul Karim Sam'ani, Al-Tahbir fi Mu'jam al-Kabir (Kairo, Diwan Awqaf, 1395/ 1975), I, 556.
52. Fu'ad Sayyid, Fihrist al-Makhtutat al-Musawwarah (Kairo, 1954), I, h. 30-31.
53. Da'irat al-Ma'arif, Tasyayyu' (Teheran, 1373 H, SH), iv, h. 473.
54. Syaikh Muhammad Shalih Barghani Hairi, Bahr al-Irfan, ii, folio 369, ms, dalam perpustakaan pribadi penulis, Qazwin.
55. The Journal Bayyinat, II, no. 8, h. 182-184.
56. Furat al-Kufi, Tafsir al-Kufi, h. 49.
57. Ali bin Ibrahim Qummi, Tafsir al-Qummi, ii, 357.
58. Abdul Jalil Qazwini, Kitab al-Naqd (Teheran, Anjuman-e Atsar-e Milli, 1358 Sh), h. 212.
59. The Journal Bayyinat, II, h. 182-184.
60. Muhammad Shalih Barghani Hairi, op.cit., ii, folio. 369.
61. Ayatullah Sayyid Abul Qasim al-Khu'i, Mu'jam Rijal al-Hadits (Beirut, 1409/1989), xiv, 187-188.
62. Al-Dzahabi, Tadzkirat al-Huffazh, I, h. 5.
63. The Journal Howzeh, no. 66, h. 162-163.
64. Sayyid Muhammad Ridha Jalali, Tadwin al-Sunnat al-Syarifah (Qum, 1413), h. 247.
65. Ibid., h. 248.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: