Tulisan ini bukan untuk mendukung legalisasi atau mendiskreditkan kaum LGBT. Bolehkah kaum Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) beribadah?
Pertanyaan ini mengemuka setelah terdengar kabar penutupan Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Fatah di Celenan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, yang merupakan pondok pesantren kaum waria pada Rabu 24 Februari 2016 lalu.
Penutupan pondok pesantren waria ini terjadi setelah adanya tekanan Front Jihad Islam (FJI) terhadap pimpinan desa setempat dimana tuntutan penutupan itu didasarkan pada tuduhan bahwa Ponpes Al-Fatah tidak memiliki izin.
Lokasi pesantren tersebut merupakan rumah tinggal Shinta Ratri, pengasuh Ponpes Al-Fatah. Selain itu, ada pula tuduhan bahwa di dalam pesantren itu terdapat minuman keras dan ada aktivitas karaoke.
Keputusan untuk menutup pesantren diawali oleh kedatangan 20 anggota FJI ke Ponpes Al-Fatah usai sholat Jumat 19 Februari 2016 untuk untuk menyegel dan menutup Ponpes Al-Fatah.
Namun mereka urung untuk melakukan penyegelan karena di lokasi Ponpes Al-Fatah sudah banyak aparat dan aktivis HAM yang bersiaga setelah mendengar adanya rencana aksi sepihak tersebut.
Akhirnya, para anggota FJI kemudian hanya menitip surat permohonan untuk meminta klarifikasi atas kebenaran rencana Ponpes Al-Fatah membuat fikih waria serta isu peredaran minuman keras dan narkoba di pesantren tersebut.
Shinta Ratri, waria yang menjadi pengasuh Ponpes Waria Al Fatah, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta
Tapi cerita ternyata tak berhenti di situ. Pada 24 Februari 2016 berlangsung pertemuan yang menghadirkan Shinta, Pimpinan Kecamatan Banguntapan, perwakilan warga, dan pimpinan FJI. Pertemuan Rabu malam itu dilakukan di kantor Balai Desa Jagalan, Banguntapan. Melalui pertemuan itu, diputuskan agar pesantren Al-Fatah dibekukan.
Kuasa hukum Shinta dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Aditya Arif, menganggap pertemuan itu dilakukan bukan untuk mencari titik temu atau bahkan untuk mencari kebenaran, melainkan merupakan pengadilan sepihak.
Menurut Aditya, Shinta tidak pernah diberi kesempatan untuk mengklarifikasi tudingan soal karaoke dan miras. Karena itu, wajar saja, bila hasil pertemuan itu adalah menutup pesantren tempat para waria belajar agama.
Ponpes Al-Fatah yang merupakan satu-satunya pesantren waria di Indonesia sudah berdiri sejak 2008. Pesantren yang didirikan mendiang Maryani, seorang waria, itu semula berada di Kampung Notoyudan, Yogyakarta. Pesantren yang juga dikenal dengan sebutan ‘Pesantren Waria Senin-Kamis’ itu berlokasi di tengah perkampungan penduduk.
Jangan membayangkan fisik pesantren ini seperti pesantren pada umumnya. Ponpes Al-Fatah hanyalah kontrakan tempat tinggal Maryani. Tapi kontrakannya itu ia ‘wakafkan’ sebagai lembaga pendidikan bagi teman-temannya sesama waria. Ruang tamu dan bagian tengah rumah dimanfaatkan Maryani sebagai tempat pengajian.
Setiap Minggu dan Rabu malam, para waria dari sejumlah daerah yang menetap di Yogyakarta belajar tata-cara sholat, membaca al-Quran, mengaji fikih, dan pengetahuan Islam lainnya.
Di pesantren itu, para "santri" tidak ada yang mondok. Mereka semuanya adalah santri kalong yang pulang ke tempat masing-masing usai belajar. Adapun kegiatan yang sifatnya tahunan adalah ziarah kubur, bakti sosial, kegiatan bulan Ramadhan, Syawalan, dan Hari Raya Kurban.
Ketertarikan Maryani untuk mendalami pengetahuan keislaman dimulai sejak 1997. Ia kerap mengikuti pengajian Mujahadah al-Fattah di bawah bimbingan KH. Hamroeli Harun di Desa Pathuk.
Maksud Maryani mendirikan Ponpes Al-Fatah karena sejumlah alasan. Pertama, dia kerap dipandang sebelah mata ketika mengikuti pengajian di beberapa tempat. Kedua, ia ingin menyediakan tempat pengajian yang ramah bagi teman-temannya sesama waria.
Pengorbanan Maryani untuk menghidupkan kegiatan di Ponpes Al-Fatah tidak sedikit. Ia harus menyisihkan uang pribadinya dari usaha salon dan makanan miliknya untuk operasional pesantren. Tapi itu kadangkala tidak cukup. Maryani mengaku pernah menghentikan sementara waktu kegiatan Ponpes Al-Fatah karena ia harus mencari uang untuk membayar kontrakan.
Karena dinilai unik, banyak media yang mendatangi dan meliput kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan Ponpes Al-Fatah. Maryani pernah berkelakar bahwa Ponpes Al-Fatah adalah satu-satunya ponpes waria yang ada di dunia.
Beberapa stasiun televisi nasional pun pernah memberitakan tentang Ponpes Al-Fatah. Saat Ramadhan beberapa tahun yang lalu, salah satu stasiun televisi membuat liputan acara tentang Ponpes Al-Fatah dan kegiatannya selama Ramadhan. Bahkan, pemberitaan tersebut tidak menghakimi apa yang sudah dilakukan Maryani dan teman-temannya itu. Malah terkesan mengapresiasi.
Maryani meninggal dunia pada 22 Maret 2014 lalu. Sejak itu Ponpes Al-Fatah berhenti dari berbagai kegiatan rutinnya. Shinta Ratri yang saat itu adalah ketua santri Ponpes Al-Fatah mengajak santri waria lainnya untuk bersama-sama bermusyawarah memutuskan nasib Ponpes Al-Fatah.
Akhirnya diputuskan kegiatan Ponpes Al-Fatah tetap dilanjutkan. Hasil lain musyawarah tersebut ialah menjunjuk Shinta Ratri sebagai pengasuh Ponpes Al-Fatah yang baru. Mengingat kediaman pengusaha kerajinan itu daerah Celenan, Bantul, maka seluruh kegiatan Ponpes Al-Fatah pun dipindahkan. Pada 18 April 2014, Ponpes Al-Fatah yang baru resmi dibuka.
Di tempat barunya, kegiatan Ponpes Al-Fatah pun dikurangi. Bila sebelumnya sepekan dua hari, belakangan hanya sepekan sekali yaitu pada Minggu sore. Saat ini secara resmi ada 26 santri waria yang belajar di Ponpes Al-Fatah. Di luar daftar resmi itu, cukup banyak waria yang datang untuk mengikuti kegiatan ibadah di Ponpes Al-Fatah, meski hanya sesekali.
Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat Keluarga Besar Waria Yogyakarta (LSM Kebaya) Vinolia Wakijo menyayangkan sikap penolakan sebagian masyarakat terhadap kehadiran Ponpes Al-Fatah. Padahal pesantren itu digunakan sebagai sarana ibadah dan tempat pengembangan kapasitas pengetahuan dan keimanan kelompok waria sebagai pemeluk agama Islam.
Vinolia Wakijo yang merupakan waria berhijab mempertanyakan tindakan sebagian kelompok masyarakat itu yang secara tiba-tiba memaksakan kehendaknya untuk menutup secara paksa Ponpes Al-Fatah, walaupun untuk sementara waktu. Baginya, penutupan secara paksa itu adalah bagian dari bentuk kekerasan.
“Mengapa tidak ada dialog dan musyawarah dengan suasana kekeluargaan? Janganlah seperti itu. Kan, bisa dicari solusi yang lebih adil dan lebih manusiawi?” kata Mantan Koordinator Divisi Waria Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta itu.
Kalau memang benar-benar masyarakat sekitar dikatakan terganggu dengan aktivitas menyimpang yang dilakukan di Ponpes Al-Fatah seperti berkaraoke dan meminum minuman keras, Mami Vin, begitu ia disapa anak-anak asuhnya, meminta agar itu dibuktikan kebenarannya. Aparat pemerintah, menurutnya, jangan hanya menerima laporan sepihak tanpa melakukan penyelidikan secara fair dan transparan.
“Pemerintah bisa mengirim tim untuk memantau kegiatan di dalam pesantren. Tim itu jangan tinggal di dalam pesantren, tapi secara diam-diam tinggal di rumah masyarakat sekitar pesantren. Biar informasi yang didapat tentang kegiatan di pesantren itu riil dan apa adanya. Tanpa rekayasa,” saran sosok kelahiran Yogyakarta 1958 itu.
Vinolia melihat penutupan Ponpes Al-Fatah itu adalah anomali. Menurutnya, selama ini semua kegiatan yang diselenggarakan kaum waria tidak pernah mendapat ancaman, apalagi dibubarkan. Ia mengakui ketika kaum waria menginisiasi sejumlah kegiatan sering dihinggapi rasa khawatir akan mengundang reaksi negatif dari gerombolan vigilante tertentu. Tapi nyatanya sampai akhir, acara itu berjalan baik dan tertib.
Kaum waria yang sudah tobat dan dalam proses tobat oleh Ponpes Al Fatah sedang melaksanakan sholat. Foto ini diambil saat Ramadhan tahun 2015 lalu
Sejauh ini, sudah ada beberapa kaum waria yang berhasil dikembalikan kepada "kondrat"-nya oleh Pesantren Al Fatah. Dahulunya mereka berpenampilan sebagai perempuan kini mereka sudah kembali berpenampilan normal. Mereka pun masih dalam proses untuk kembali pada orientasi seksual yang normal.
(Madina/Tempo/Berbagai-Sumber-Lain/Memobee/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email