Pangeran Diponegoro memiliki tongkat pusaka yang selalu dia bawa saat melakukan perang Jawa. Tongkat itu sempat tak jelas kabarnya, hanya isu-isu saja yang menyertainya.
Tongkat itu diberi nama Kanjeng Kiai Tjokro milik Pangeran Diponegoro (1785-1885). Pusaka itu hilang sewaktu masa peperangan pada abad ke-19, kini dikembalikan ke Indonesia.
Ternyata, keluarga Jean Chretien (JC) Baud dan keturunannya yang menyimpan tongkat ini 183 tahun.
Tongkat pusaka sepanjang 153 sentimeter dari kayu mahoni tersebut diberikan kakak beradik Michiel dan Erica Lucia Baud kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. Acara itu disaksikan perwakilan Kedutaan Besar Jerman, Kedutaan Besar Belanda, Goethe Institut, Erasmus Huis, serta tiga kurator pameran, yaitu Jim Supangkat, Werner Kraus, dan Peter Carey.
Pengembalian tongkat ini mengejutkan karena keluarga Baud sebelumnya meminta agar acara ini dirahasiakan hingga pembukaan pameran Kamis malam lalu. Michiel Baud mengatakan, keluarganya menerima tongkat itu pada tahun 1834 dari Adipati Notoprojo, keluarga keturunan Sunan Kalijaga. ”Kami dihubungi Harm Steven (kurator di Rijks Museum Belanda), katanya itu milik Pangeran Diponegoro. Hari ini kami bawa ke sini untuk rakyat Indonesia,” kata Michiel.
Pameran ”Aku Diponegoro” digelar 5 Februari hingga 8 Maret 2015. Ini pameran besar kedua setelah pameran ”Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia” tahun 2012. Di sini, digelar beragam karya seni rupa, artefak sejarah, serta foto dan video dokumentasi.
Bangkitkan semangat
Dalam sambutannya, Anies Baswedan berterima kasih dan menghargai pengembalian tongkat Diponegoro yang biasa digunakan untuk berziarah itu. Menurut dia, figur Diponegoro digambarkan cukup rinci dalam buku sejarah dibandingkan dengan para tokoh lain. Pangeran ini mengobarkan semangat melawan kolonialisme lewat perang, yang memunculkan narasi pada masanya dan masa berikutnya.
Pameran ”Aku Diponegoro” membangkitkan kesadaran terhadap sosok dan peran pahlawan itu. Semangat ini diharapkan menular kepada generasi muda Indonesia. Pengunjung juga bisa menikmati ekspresi seni dari peristiwa sejarah tersebut, termasuk lukisan Raden Saleh (tentang penangkapan Diponegoro).
”Pada Juni 2013, UNESCO mengakui naskah kuno Babad Diponegoro, yang ditulis Diponegoro sendiri, sebagai warisan ingatan dunia. Dunia mengakui Diponegoro. Kita berharap bisa mengenal lebih jauh. Karya Raden Saleh juga punya peran di Eropa,” kata Anies
Sejarahwan Peter Carey, yang telah melakukan penelitian panjang mengenai Pangeran Dipenogoro, kepada detikcom, Jumat, 6 Februari 2015 mengatakan, tongkat ini sebenarnya dibuat sekitar abad 16 untuk Sultan Demak, dan bukan dibuat untuk khusus untuk Pangeran Diponegoro.
Tongkat ini diberikan pada seseorang rakyat biasa kepada Pangeran Diponegoro pada sekitar tahun 1815, sekitar sepuluh tahun sebelum perang Jawa dimulai pada 1825. “Mungkin rakyat ini sudah melihat kalau Diponegoro akan menjadi pemimpin,” kata Peter.
Tongkat ini kemudian dipakai Diponegoro saat melakukan peziarahan di berbagai wilayah di Jawa. “Tapi Cakra di ujung tongkat ini cukup tajam, jadi bisa juga digunakan untuk membela diri,” katanya.
Tongkat ini kemudian bisa dirampas pada 1829, lalu setelah berpindah-pindah tangan akhirnya dibawa ke Belanda. “Tongkat ini kemudian dibawa ke Belanda,” katanya.
Peter mengatakan, keturunan keluarga pemilik tongkat ini kemudian mencari tahu asal muasal tongkat tersebut. Malahan mereka pernah berkirim surat mengenai tongkat tersebut pada Peter. Setelah diteliti ternyata benda ini adalah tongkat Kyai Cokro milik Diponegoro.
“Sebab itulah tongkat ini bisa dipamerkan di sini,” katanya.
JC Baud, adalah orang keturunan Swiss yang bekerja untuk Belanda, hingga menjadi Gubernur Jenderal Belanda di Jawa pada tahun 1833-1836.
JC Baud, diberi tongkat itu oleh Pangeran Notoprojo pada Juli 1834, saat melakukan inspeksi pertama di Jawa Tengah pada musim kemarau. Pangeran Notoprojo sendiri adalah cucu dari komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang. Tongkat itu berada di tangan Pangeran Notoprojo setelah penangkapan Diponegoro pada fase akhir Perang Jawa, kemungkinan pada 11 Agustus 1829.
Pangeran Notoprojo memberikan tongkat ini pada JC Baud, karena berusaha mengambil hati para penguasa kolonial yang baru di Jawa dengan mempersembahkan artefak ini. Notoprojo menjadi sekutu politik yang penting bagi Belanda setelah menyerahkan diri pada 24 Juni 1827. JC Baud membawa tongkat itu ke Belanda dan mewariskan pada keturunannya.
(CNN-Indonesia/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email