Pesan Rahbar

Home » » Menjadi Muslim di Kumparan Rasialisme: Sejarah dan Fitrah Kemanusiaan

Menjadi Muslim di Kumparan Rasialisme: Sejarah dan Fitrah Kemanusiaan

Written By Unknown on Monday 23 May 2016 | 04:16:00

Malam semakin larut. Udara dingin mulai mendekap Kota Surabaya. Saya justru semangat untuk pergi memutari sudut-sudut kota yang menaikkan nama Walikota Tri Rismaharini itu. Perut yang lapar membawa saya, bersama seorang teman yang asli Surabaya, berhenti di Taman Bungkul. Sebagai seseorang yang sangat jarang berkunjung ke Surabaya, saya takjub melihat sudut-sudut kota yang bersih. Kota ini, hampir sama seperti Jogja, juga tidak tidur di malam hari.

Kami lalu berhenti di sebuah warung rawon yang cukup ramai.

“Terkenal memang. Ramai setiap hari.”

Saya menangkap pemandangan di warung makan dengan kikuk, namun sejurus kemudian menyadari sebuah tanda penting dari peristiwa itu. Penjual makanan mengenakan jilbab, yang menunjukkan karakter kemusliman. Pembeli lain terdiri dari beberapa keluarga, yang lebih didominasi oleh ras Tionghoa. Di belakang saya, berjejer entah lima hingga tujuh perempuan yang mengenakan pakaian sangat seksi, bermake-up tebal, rambut bercat, dan geliat tubuh serta suara yang khas. “Mungkin PSK. Biasalah,” teman saya berbisik. Saya hanya memberi isyarat antusias untuk situasi hangat malam itu.

Tepat di samping warung, terdapat sebuah makam Waliyullah, yang lebih dikenal dengan nama Mbah Bungkul. Kabarnya, situs Mbah Bungkul tersebut memiliki periodisasi sejarah yang lebih tua dibanding para Wali lain di Kota Surabaya, seperti Sunan Ampel. Nama masyhurnya itu memang terbukti. Kala itu, lewat tengah malam, tetapi di depan makam justru ramai orang, baik para peziarah maupun pedagang kecil serta beberapa peminta-minta. Para jamaah, yang dapat dengan mudah kita analisis sebagai Nahdiyyin itu, mengenakan simbol-simbol Muslim seperti peci, sarung, tasbih dan sorban. Mereka berfokus dengan ritual berdoa dan mengobrol di depan gerbang makam, dan tak keberatan apapun dengan situasi di kanan dan kiri mereka. Mereka tidak marah ketika orang lain tidak seperti mereka yang melakukan ritus ibadah.

Saya bergembira menyaksikan segala fragmen “keberagaman” yang menyatu menjadi semarak kehidupan malam khas Surabaya, namun sesungguhnya ia adalah potongan-potongan alegori tidak sederhana dan memiliki jejak ruang yang panjang.

Manusia, sesungguhnya adalah makhluk yang menyenangkan ketika saling bekerja sama untuk memenuhi hajat-hajat sekulernya. Seorang pedagang akan senang jika dagangannya laris pembeli, sebaliknya seorang pembeli akan senang jika makanan yang ia nikmati memiliki rasa yang enak. Asal kesepakatan tentang harga dan etik ruang publik berlangsung adil dan wajar, manusia akan saling bersepakat. Semua orang memiliki kebutuhan akan rasa aman, hingga dalam kondisinya yang paling fitrah, ia juga akan mewujudkan perdamaian dan toleransi bagi sekitarnya.


Saya teringat ungkapan teduh dari Gus Dur: “Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Walaupun saya tak tahu kapan dan di mana Gus Dur mengungkapkannya, namun saya bersepakat begitu saja sebab kalimat itu menyeru esensi adagium Rahmatan lil alamin.


Sejarah Gap Rasial dari Masa ke Masa

Nurcholish Madjid dalam Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan (1992) menyatakan bahwa setelah jatuhnya kerajaan-kerajaan Islam satu per satu ke bawah kekuasaan Belanda yang disusul dengan terciptanya struktur masyarakat kolonial, selain menempatkan Islam menjadi agamanya kaum “kelas bawah”, juga menjadikan Islam sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah.

Di zaman itu, struktur masyarakat kolonial menempatkan orang Cina dalam status sosial yang lebih tinggi, sehingga sekaligus mendapat posisi ekonomi yang lebih menguntungkan dibanding pribumi. Orang-orang Cina, pada masanya dahulu, membangun kehidupan sosial-budaya yang ekslusif sebab bukan hanya persoalan strata sosial yang akan “turun kelas”, namun dogma penjajah yang membangun sebuah pola bahwa berbaur dengan pribumi (Muslim) artinya berada dalam posisi politik yang melawan kolonial. Penjajah Belanda menerapkan politik adu domba berdasar kecemburuan politik ekonomi, yang kemudian diidentifikasi berdasar kecemburuan rasial.

Akan tetapi, selain mengidentifikasi diri sebagai kaum perkotaan yang ekslusif dan kaya raya, masyarakat Cina kemudian juga menjadi korban justifikasi ketidakadilan pada beberapa peristiwa, seperti peristiwa 65, yang kemudian mengalami semacam déjà vu pada tahun 1998. Sejak masyarakat Cina dituduh sebagai komunis, mereka acapkali sulit mendapat beberapa hak tertentu seperti memasuki lembaga pendidikan negeri, pegawai negeri maupun ABRI (sekarang Angkatan Darat). Masih teringat pula kebrutalan entah tentara, atau entah sipil, pada Mei 1998 yang menyeru reformasi, dengan menjarahi rumah-rumah serta unit usaha masyarakat Cina hingga banyak yang mengalami trauma yang cukup mendalam, dan yang pasti dendam yang akan terus digulirkan entah sampai kapan.

(Foto: nationalgeographic.co.id)

Manusia diciptakan Allah SWT berbeda-beda. Ia kemudian masuk pada kumparan konflik yang berkelindan dan bertumbukan diantara keterbatasannya dalam pemenuhan kebutuhan duniawi. Jika zaman dahulu, manusia merasa lebih unggul hanya karena merasa terlahir dari ras yang paling terang kulitnya, tinggi ekonominya, atau luhur darahnya, barangkali wajar. Toh di era pembangunan ala kapitalisme ini, nilai kehidupan lebih dihitung lewat tolok ukur materi, bukan lagi isu rasial. Dalam keseharian, kita dapat dengan mudah menemukan Muslim pengusaha yang merajai dunia bisnis lintas sektor. Dalam pemerintahan, Muslim Indonesia menduduki posisi-posisi strategis untuk mengambil keputusan yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Pada putaran peristiwa, di akhir masa sebelum kejatuhannya, Orde Baru telah kembali mengangkat hak-hak orang Islam dalam politik, ditandai dengan berjayanya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang merumuskan banyak hal penting dalam strategi politik dan kebudayaan Islam. Bahkan, hari ini justru kita sulit membedakan mana yang Islam, mana yang politisasi Islam. Saya tidak paham mengapa isu rasial masih laku menjadi alat untuk adu domba di abad ini. Hal tersebut nampak jelas dari bully-bully khas di sosial media untuk menyulut konflik politik. Belum lagi jika ditambah kedunguan sektarianisme yang membawa nalar dogmatis khas agama yang memiliki claim terhadap kebenaran mutlak. Manusia menjadi lebih brutal lagi dalam melihat apa yang berbeda, bukan dari apa yang sama dan apa yang mampu kita kerjakan bersama-sama.

Disadari atau tidak, pemandangan sederhana yang saya lihat pada sebuah malam di Surabaya bisa jadi kian langka. Masyarakat Muslim justru telah banyak mengekslusifkan diri pada banyak hal, seperti label-label syariah yang banyak muncul pada institusi-institusi politik maupun ekonomi. Lembaga pendidikan, utamanya lembaga sekolah, kini tidak hanya terbatas pada maraknya sekolah Islam. Namun, sekolah Islam yang dilandasi preferensi pada bibit kebenaran sektarian tertentu. Kurikulum mereka khas Negara Arab dengan ajaran agama yang mengacu pada Imam besar tertentu. Pakaian seragam serta nama sekolahnya dapat dengan mudah kita identifikasi. Semoga, kekhawatiran saya bahwa sekolah-sekolah Islam semacam itu tidak menanamkan semangat perdamaian dan toleransi berdasar penerimaan bahwa kita hidup di Negara Indonesia yang penuh keberagaman, tidak akan pernah terjadi. Seorang anak yang sejak kecil dididik dalam suasana non-multikultur, ditambah dengan ilmu-ilmu yang mengajarinya untuk menjadi ekslusif, mustahil untuk berhasil menjadi pemimpin seperti Muhammad SAW yang memahami persoalan masyarakatnya.

Saya pikir, tepat untuk mengakhiri esai ini dengan sebuah nasehat dari Emha Ainun Nadjib (saya tak ingat betul kapan dan di mana beliau mengucapkannya, tetapi saya mengingatnya sebab saya pikir tepat benar sekaligus indah betul), bahwa, ”Di Indonesia ini, semua keburukan yang terjadi adalah salah orang Islam, sebab kita adalah mayoritas. Dan, sekalipun kita adalah bangsa minoritas dalam sebuah Negara, jika terdapat keburukan di dalamnya, tetap kitalah yang harus merasa bersalah. Sebab kita adalah muslim yang mestinya bertanggung jawab menciptakan kebaikan.”

Semoga kita senantiasa menjadi umat yang mampu menjadi teladan, bukan justru menciptakan lebih banyak lagi kerusakan.

Wallahu a’lam bisshawab.

*Kalis Mardiasih. Menulis kolom dan Menerjemah. Bisa disapa di @mardiasih

(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: