11. Apakah Ali dan Abbas Menerima Hadis Abu Bakar dan Umar Tentang Warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]?
Mohon maaf jika ada yang bosan dengan tema tulisan yang seperti ini. Tulisan ini kami tulis sebagai bantahan kepada “orang yang suka berbasa-basi” tetapi miskin ilmu [baca : alfanarku]. Jika ada orang yang suka membantah tulisan tanpa ilmu maka dialah orangnya. Orang ini tidak punya modal lain selain keahliannya bersilat lidah. Orang yang suka mengotak-atik riwayat dan suka menolak hadis shahih dengan alasan naïf “itu kitab tidak mu’tabar” atau “itu bukan riwayat kutubus sittah”. Ia berkata:
Mengapa mereka (orang syi’ah) masih selalu mempermasalahkannya? Karena mungkin itulah yang mereka bisa lakukan dan menu keyakinan yang mereka miliki tidak lain dan tidak bukan hanya mengekspose kasus-kasus yang sudah selesai ribuan tahun silam dimana para pelakunya sudah menghadap yang Maha Kuasa, hal itu dimaklumi karena jika tidak membahas hal-hal tersebut, sama saja mereka merasa seperti tidak punya keyakinan.
Yang mempermasalahkan itu bukan hanya orang Syi’ah, wahai kisanak. Dan itu termasuk masalah sejarah yang terus dikaji ulang oleh mereka yang memang mau meneliti dengan objektif. Orang seperti anda yang terbiasa taklid memang tidak mengenal semangat meneliti seperti itu. Masalah sejarah ya memang sudah selesai ribuan tahun lamanya mengingat para pelaku sejarah itu sudah menghadap Allah SWT. Apakah sejarah yang berlangsung ribuan tahun lamanya tidak boleh dibahas? Itu kan hanya pemikiran sakit yang anda derita. Di masa kini, dimana ilmu berkembang pesat studi kritis terhadap sejarah adalah sesuatu yang lumrah. Apalagi jika sejarah yang dimaksud termasuk sejarah yang didistorsi oleh kalangan salafiyun maka lebih utama untuk dibahas.
Salah seorang syi’ah mengatakan bahwa Ali dan Abbas tetap tidak terima atas keputusan Abu Bakar mengenai harta fa’i peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan mereka tetap tidak membenarkan hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang disampaikan Abu Bakar bahwa Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang ditinggalkan beliau adalah sedekah. Menurutnya hal ini diketahui karena pada masa pemerintahan Umar mereka masih meminta harta tersebut kepada beliau. Apakah demikian adanya?
Bukan Syi’ah yang mengatakan seperti itu tetapi hadis-hadis shahih yang menyatakan demikian. Imam Ali tidak membenarkan hadis yang disampaikan oleh Abu Bakar dan Umar. Imam Ali masih tetap menganggap Ahlul Bait berhak dalam masalah ini. Dan pada masa pemerintaha Umar, Imam Ali memang masih meminta warisan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang Beliau pinta kepada Abu Bakar sebelumnya. Mari kita lihat basa-basi nashibi ini. Ia berkata
Di dalam hadits di atas dengan jelas dan tegas disebutkan pembenaran Ali dan Abbas beserta sahabat yang lainnya yang hadir pada saat itu atas hadits yang disampaikan oleh Abu Bakar bahwa Nabi tidak mewariskan dan apa yang ditinggalkannya adalah sedekah, perkara mereka mengetahui langsung atau tidak langsung mengenai hadits tersebut tidaklah menggugurkan pembenaran mereka atas hadits tersebut.
Orang ini memang tidak punya “akal yang cukup”. Kami sudah membahas tuntas masalah ini. Pertama yang kami bahas adalah apakah Ali dan Abbas mendengar hadis tersebut dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Kami jawab “tidak” dan mereka mendengar adanya hadis itu dari Abu Bakar. Kedua kami sudah membahas bahwa Ali dan Abbas tidak menerima hadis yang Abu Bakar sampaikan. Buktinya juga ada di hadis riwayat yang sama yaitu riwayat Malik bin ‘Aus juga yaitu:
Terdapat hadis Az Zuhri dari Malik bin Aus yang mengandung lafaz dimana Ali dan Abbas memang mengingkari hadis Abu Bakar tersebut. Dalam riwayat Abdurrazaq dengan sanad dari Ma’mar dari Az Zuhri dari Malik bin Aus, Umar berkata:
فلما
قبض رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أبو بكر أنا ولي رسول الله صلى
الله عليه و سلم بعده أعمل فيه بما كان يعمل رسول الله صلى الله عليه و سلم
فيها ثم أقبل على علي والعباس فقال وأنتما تزعمان أنه فيها ظالم فاجر
والله يعلم أنه فيها صادق بار تالع للحق ثم وليتها بعد أبي بكر سنتين من
إمارتي فعملت فيها بما عمل رسول الله صلى الله عليه و سلم وأبو بكر وأنتما
تزعمان أني فيها ظالم فاجر والله يعلم أني فيها صادق بار تابع للحق
Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat, Abu Bakar berkata “aku adalah Wali Rasulullah setelahnya dan aku akan memperlakukan terhadap harta itu sebagaimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memperlakukannya kemudian datanglah Ali dan Abbas. Umar berkata “kalian berdua menganggap bahwasanya ia berlaku zalim dan durhaka” dan Allah mengetahui bahwa ia dalam hal ini seorang yang jujur baik dan mengikuti kebenaran. Kemudian aku menjadi Wali Abu Bakar selama dua tahun dari pemerintahanku aku perbuat terhadap harta itu sebagaimana yang diperbuat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar dan kalian menganggap aku berlaku zalim dan durhaka, Allah mengetahui bahwa aku dalam hal ini jujur, baik dan mengikuti kebenaran [Mushannaf Abdurrazaq 5/469 no 9772 dengan sanad yang shahih].
Kemudian ditambah lagi dengan kesaksian Imam Ali yang dengan jelas mengakui kalau ahlul bait berhak dalam urusan ini sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Bukhari setelah wafatnya Sayyidah Fathimah.
فَدَخَلَ
عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَقَالَ إِنَّا قَدْ
عَرَفْنَا فَضْلَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ
خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا
بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَرَى لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَصِيبًا
Maka Abu Bakar masuk, Ali mengucapkan syahadat dan berkata “kami mengetahui keutamaanmu dan apa yang telah Allah karuniakan kepadamu, kami tidak dengki terhadap kebaikan yang diberikan Allah kepadamu tetapi kamu telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami, kami berpandangan bahwa kami berhak memperoleh bagian karena kekerabatan kami dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Shahih Bukhari no 4240 & 4241]
Pernyataan Imam Ali bahwa Abu Bakar dan Umar berlaku zalim padahal mereka hanya melaksanakan hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang mereka katakan, menunjukkan kalau Imam Ali tidak menerima hadis yang disampaikan Abu Bakar dan Umar. Begitu pula pernyataan Imam Ali yang mengaku kalau ahlul bait lebih berhak dan Abu Bakar sewenang-wenang adalah bukti kalau Imam Ali menolak hadis yang disampaikan Abu Bakar.
Dalam dialog dengan Umar, Ali dan Abbas tidak membenarkan hadis yang disebutkan Umar. Mereka mengakui telah mengetahui adanya hadis itu dari Abu Bakar dan Umar sebelumnya sedangkan sikap mereka sendiri jelas yaitu mereka tetap tidak menerima hadis tersebut bahkan dimasa pemerintahan Umar.
Perlu diketahui bahwa dalam permasalahan ini, Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu bukanlah orang yang bersendirian dalam meriwayatkan hadits. Beberapa shahabat lain memberikan kesaksiannya. Perhatikan riwayat berikut :
Kemudian ia membawakan dua buah riwayat yaitu riwayat ‘Amru bin Al Haarits dan riwayat Abu Hurairah. Soal riwayat ‘Amru bin Al Haarits itu telah kami bahas dalam thread khusus dan menunjukkan bahwa yang bersangkutan cuma mengkopipaste argument idolanya Abul-Jauzaa dan telah kami tunjukkan kebathilannya. Soal riwayat Abu Hurairah, maka kami katakan Abu Hurairah juga meriwayatkan hadis itu dari Abu Bakar, buktinya sebagai berikut:
حدثنا
محمد بن المثنى قال نا أبو الوليد هشام بن عبد الملك قال : نا حماد يعني
ابن سلمة ، عن محمد بن عمرو ، عن أبي سلمة ، عن أبي هريرة ، عن أبي بكر رضي
الله عنه ، عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : « لا نورث ، ما تركنا
صدقة
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Walid Hisyaam bin ‘Abdul Malik yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammad yakni Ibnu Salamah dari Muhammad bin ‘Amru dari Abi Salamah dari Abu Hurairah dari Abu Bakar radiallahu ‘anhu dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahwa Beliau bersabda “kami tidak mewariskan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” [Musnad Al Bazzar 1/26 no 18 dengan sanad yang shahih].
Abu Hurairah memang pernah melakukan tadlis seperti yang pernah kami tunjukkan dalam tulisan yang lain. Abu Hurairah mengetahui adanya hadis Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mewariskan itu juga dari Abu Bakar. Jadi tidak tepat menjadikan hadis Abu Hurairah sebagai syahid bagi hadis Abu Bakar.
Dari riwayat di atas dapat dilihat bahwa sebenarnya saat itu Ali sedang menjelaskan duduk perkara awal mengapa terjadi hubungan yang kurang enak diantara dia dan keluarganya dengan Abu Bakar dan pada kenyataannya akhirnya Ali menerima keputusan Abu Bakar mengenai harta tersebut dengan bukti bai’at beliau kepada Abu Bakar. Jadi hadits di atas justru menunjukkan penerimaan Ali atas keputusan Abu Bakar pada akhirnya.
Riwayat yang ia maksud adalah riwayat Shahih Bukhari yang kami kutip dimana setelah enam bulan Imam Ali menyatakan kalau ahlul bait lebih berhak dalam urusan ini dan Abu Bakar telah bertindak sewenang-wenang. Imam Ali memang berbaiat kepada Abu Bakar tetapi ketika ia melakukan baiat Beliau menjelaskan bahwa Abu Bakar telah bertindak sewenang-wenang terhadap ahlul bait dan ahlul bait lebih berhak. Jadi tidak ada keterangan Imam Ali menerima keputusan Abu Bakar, justru sampai Imam Ali membaiat beliau menegaskan bahwa Abu Bakar bertindak sewenang-wenang dan ahlul baitlah yang berhak. Kalau memang Imam Ali mengakui bahwa beliau keliru dan Abu Bakar yang benar maka Beliau akan menegaskan kekeliruannya dan menyatakan Abu Bakar yang benar. Faktanya Imam Ali justru menyatakan kalau Abu Bakar telah bertindak sewenang-wenang. Ini fakta jelas yang tidak dipahami oleh akalnya alfanarku. Mungkinkah dikatakan Imam Ali menerima keputusan Abu Bakar padahal dengan jelas Imam Ali menyatakan Abu Bakar bertindak sewenang-wenang. Silakan pembaca pikirkan
Pemberian baiat kepada Abu Bakar bukan berarti Imam Ali membenarkan semua yang telah dilakukan oleh Abu Bakar. Cuma logika orang sakit yang mengatakan begitu. Justru dalam riwayat tersebut Imam Ali tetap menunjukkan pendiriannya yang berbeda dengan Abu Bakar. Kita lihat sekarang bagaimana alfanarku ini suka memelintir riwayat agar sesuai dengan kehendaknya.
Demikian juga dengan Umar, beliau berpandangan sama dengan Abu Bakar, hanya saja di masa pemerintahan-nya, Umar melakukan sendiri apa yang dilakukan Abu Bakar terhadap harta Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam selama 2 tahun saja, kemudian beliau serahkan pengelolaan sebagian harta (harta fa’i Bani Nadhir) kepada Ali dan Abbas, karena mereka berdua datang kepada Umar dan meminta Umar untuk mempercayakan harta tersebut kepada mereka. dan Umar setuju untuk menyerahkan pengelolaan harta tersebut dengan menarik perjanjian dari mereka untuk mengelola harta tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, Abu Bakar dan dirinya sendiri.
Soal Abu Bakar dan Umar memperlakukan harta tersebut maka bukan itu yang kami permasalahkan. Yang kami permasalahkan adalah apakah ahlul bait berhak atau tidak akan harta tersebut?. Jika harta tersebut ada pada ahlul bait kami yakin ahlul bait akan melakukan terhadap harta itu sebagaimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukannya. Pada masa pemerintahan Umar, Ali dan Abbas datang meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi Umar menolak dengan hadis Nabi tidak mewariskan. Ali dan Abbas menyatakan Umar berlaku zalim dan durhaka sama seperti Abu Bakar kemudian karena Umar merasa keduanya terus-terusan meminta harta tersebut maka untuk meredakan sikap mereka maka Umar menyerahkan pengelolaan harta tersebut kepada Ali dan Abbas.
Disini saya berpandangan berbeda dengan orang Syi’ah tersebut, kedatangan Ali dan Abbas kepada Umar bukanlah meminta harta tersebut untuk menjadi milik mereka, tetapi mereka meminta Umar untuk mempercayakan harta tersebut kepada mereka karena kedekatan kekerabatan mereka dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam. Si penulis syi’ah tersebut berdalilkan riwayat berikut ini :
Silakan kalau memang anda berbeda pandangan, tetapi silakan ukur pandangan anda dengan hadis yang jelas-jelas menyatakan Imam Ali dan Abbas meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Umar. Kami sebelumnya membawakan hadis.
فَقُلْتُ
أَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي
بَكْرٍ فَقَبَضْتُهَا سَنَتَيْنِ أَعْمَلُ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ ثُمَّ
جِئْتُمَانِي وَكَلِمَتُكُمَا عَلَى كَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ وَأَمْرُكُمَا
جَمِيعٌ جِئْتَنِي تَسْأَلُنِي نَصِيبَكَ مِنْ ابْنِ أَخِيكِ وَأَتَانِي
هَذَا يَسْأَلُنِي نَصِيبَ امْرَأَتِهِ مِنْ أَبِيهَا
Aku [Umar] berkata “aku adalah Wali Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar, aku pegang harta itu selama dua tahun dan aku perbuat sebagaimana yang diperbuat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Abu Bakar kemudian kalian berdua mendatangiku dan ucapan kalian berdua sama dan perkara kalian pun sama, engkau [Abbas] mendatangiku untuk meminta bagianmu dari putra saudaramu dan dia ini [Ali] mendatangiku untuk meminta bagian istrinya dari ayahnya [Shahih Bukhari no 7305]
Riwayat di atas sebenarnya dapat dipahami bahwa kedatangan Ali dan Abbas kepada Umar bukanlah meminta harta tersebut untuk dimiliki oleh mereka (harta warisan) karena pasti akan ditolak oleh Umar, tetapi mereka berdua meminta hak pengelolaan atas harta tersebut karena kedekatan kekerabatan mereka dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dimana di masa Abu Bakar mereka tidak bisa mendapatkannya karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam menjaga amanat tersebut. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa pemahaman ini lebih mendekati kebenaran? Buktinya adalah dalam riwayat selanjutnya Umar menyetujui untuk menyerahkan harta tersebut kepada Ali dan Abbas dengan syarat keduanya harus mengikuti jalan yang ditempuh oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, Abu Bakar dan Umar dalam mengelola harta tersebut. Jika harta tersebut diserahkan kepada mereka berdua dalam rangka untuk dimiliki oleh mereka (harta warisan), tentu Umar akan menolaknya.
Pernyataan “Abbas meminta bagian dari putra saudaranya” dan “Ali meminta bagian istrinya dari ayahnya” adalah terkait dengan warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukannya seperti penjelasan basa-basi ala alfanarku. Ini bukti yang lebih jelas bahwa yang dipinta oleh Abbas dan Ali kepada Umar adalah warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Dalam riwayat yang sama dari Abdurrazaq dengan sanad yang shahih. Umar berkata:
ثم
جئتماني جاءني هذا يعني – العباس – يسألني ميراثه من بن أخيه وجاءني هذا –
يعني عليا – يسألني ميراث امرأته من أبيها فقلت لكما أن رسول الله صلى
الله عليه و سلم قال لانورث ما تركنا صدقة
Kemudian kalian berdua mendatangiku, datang kepadaku dia yakni Abbas meminta kepadaku warisannya dari putra saudaranya dan dia ini datang kepadaku yakni Ali meminta warisan istrinya dari ayahnya. Maka aku berkata kepada kalian berdua bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “kami tidak mewariskan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah” [Mushannaf Abdurrazaq 5/469-470 no 9772 dengan sanad yang shahih].
Duduk permasalahan sebenarnya adalah Imam Ali dan Abbas meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Umar dan Umar menolak keduanya dengan menyatakan hadis Nabi tidak mewariskan. Setelah beberapa lama karena Umar melihat keduanya seperti tidak menerima keputusan Abu Bakar dan Umar [bahkan menganggap Umar berlaku zalim dan durhaka] dan terus-terusan meminta warisan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka untuk meredakan sikap mereka Umar menyerahkan urusan pengelolaan harta tersebut kepada mereka berdua.
Jadi bukan seperti yang dikatakan nashibi itu bahwa Ali dan Abbas datang kepada Umar meminta hak pengelolaan atau kepengurusan harta. Sebenarnya Ali dan Abbas datang meminta warisan tetapi ditolak oleh Umar baru setelah beberapa lama untuk meredakan ketegangan antara Umar dengan Ali dan Abbas maka kemudian Umar berinisiatif memberikan kepengurusan harta itu. Lucu sekali kalau ada yang mengatakan Imam Ali dan Abbas menerima keputusan Abu Bakar sebelumnya. Kalau memang menerima kenapa mereka berdua masih meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Umar.
Dengan demikian jelas bahwa ahlul bait dan keturunannya telah mengelola harta tersebut sesuai keputusan Abu Bakar dan Umar. Maka sungguh lemah pandangan orang syi’ah tersebut yang menganggap Imam Ali tetap menolak keputusan Abu Bakar.
Ahlul Bait [Imam Ali] mengelola harta tersebut di masa Umar tidak menunjukkan Imam Ali menerima keputusan Abu Bakar sebelumnya. Abu Bakar tidak pernah tuh menyerahkan urusan ini kepada ahlul bait. Pada masa Umar, Imam Ali meminta warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Umar padahal Abu Bakar telah menyampaikan hadis Nabi tidak mewariskan kepada Imam Ali. Orang yang punya akal pikiran akan paham bahwa Imam Ali tidak menerima hadis yang disampaikan Abu Bakar sehingga Beliau meminta kembali warisan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada Umar. Umar ternyata juga menolak permintaan Imam Ali dengan hadis Abu Bakar tetapi setelah beberapa lama baru kemudian Umar menyerahkan kepengurusan harta tersebut kepada Imam Ali dan Abbas. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Abu Bakar dan Umar bertujuan untuk meredakan ketegangan antara dirinya dengan Ali dan Abbas.
Satu pertanyaan yang sederhana tetapi cukup membuat orang-orang syi’ah menjadi pusing dan marah-marah karenanya, mengapa ketika Imam Ali telah menjabat khalifah beliau tidak merubah status harta peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam tersebut?
Lho anda tahu dari mana Imam Ali tidak mengubah status harta peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kalau boleh tahu wahai nashibi, bagaimana status harta peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada masa Utsman, pada masa Imam Ali dan pada masa Muawiyah?. Apa anda mengetahui statusnya?. Riwayat mana yang anda jadikan hujjah?
Padahal beliau memegang kekuasaan saat itu, jawabnya, tidak lain dan tidak bukan adalah karena beliau menerima dan membenarkan keputusan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagaimana diceritakan dalam riwayat di atas.
Itu kan jawaban anda yang memang sesuai dengan doktrin yang anda anut. Kami pribadi tidak mengetahui bagaimana status harta peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut pada masa pemerintahan Imam Ali. Dan bagi kami wajar sekali kalau masalah harta peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ini belum dibahas secara tuntas karena Imam Ali menghadapi masalah yang lebih mendesak yaitu pertentangan dari para sahabat lainnya sehingga terjadi perang Jamal dan perang Shiffin. Jadi logika cetek anda itu jangan dijadikan tolak ukur, Imam Ali jauh jauh jauh lebih bijaksana dari pandangan anda yang sangat naïf.
Dan yang lebih lucu lagi orang syi’ah ini mencoba mencari-cari dalih bahwa hadits yang didengar Abu Bakar tidaklah benar, karena terdapat beberapa peninggalan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam yang tidak dijadikan sedekah.
Kalau terdapat peninggalan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] yang tidak menjadi sedekah maka itu menjadi kemusykilan bagi hadis Abu Bakar bahwa semua peninggalan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] menjadi sedekah. Orang yang sedikit saja “bisa mikir” akan paham kemusykilan yang kami maksud
Riwayat di atas menunjukkan bahwa A’isyah menyimpan kain dan baju kasar tersebut, apakah itu artinya A’isyah mewarisinya? Suatu pertanyaan yang aneh, sebagaimana ketika harta fa’i Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam berada di tangan ahlul bait yang diserahkan oleh Umar, apakah kemudian harta tersebut menjadi warisan buat mereka? Aneh-aneh saja orang syi’ah ini dalam mencari-cari dalih.
Lho apa alasannya Aisyah menyimpan pakaian Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam]?. Bukankah semua peninggalan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] adalah sedekah. Ingat hadis Abu Bakar tidak hanya berbunyi “Nabi tidak mewariskan” tetapi juga berbunyi “semua yang kami tinggalkan menjadi sedekah”. Pakaian Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] termasuk peninggalan Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] maka berdasarkan hadis Abu Bakar hukumnya menjadi sedekah. Apa anda tidak bisa memahaminya wahai nashibi?.
Analogi anda dengan kepengurusan harta oleh Ali dan Abbas jelas tidak nyambung. Kepengurusan harta itu seperti tugas yang diberikan untuk kepentingan orang banyak. Bukannya disimpan sebagai milik pribadi. Dalam masa pemerintahan Umar, kepengurusan harta itu tetap ditujukan untuk sedekah kaum muslimin sedangkan pakaian Nabi [shallallahu 'alaihi wasallam] yang ada pada Aisyah itu tetap Beliau simpan bahkan sampai Aisyah wafat dan bukan untuk sedekah.
Demikian juga dengan riwayat di atas ini, apalagi akhirnya jubah tersebut dimanfaatkan untuk dipakaikan kepada orang yang sedaag sakit diantara mereka. Satu hal yang musykil menurut saya pribadi dalam riwayat ini adalah bukankah Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam mengharamkan mengenakan sutra untuk laki-laki? Suatu hal yang tidak mungkin beliau memakai pakaian yang mengandung sutra di saat beliau masih hidup. Maka cukuplah ini sebagai petunjuk kelemahan hadits di atas. Allahu A’lam.
Soal pemanfaatan Jubah oleh Asma’ binti Umais itu setelah Aisyah wafat gak ada kaitannya dengan kepemilikan jubah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tersebut oleh Aisyah ra sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Yang menjadi pokok permasalahan adalah mengapa pakaian itu tidak diambil oleh Abu Bakar padahal semua pakaian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] juga jadi statusnya adalah sedekah untuk kaum muslimin tepat setelah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat.
Soal kemusykilan yang anda katakan, itu muncul akibat anda terlalu banyak bicara tetapi tidak ada ilmunya. Justru hadis Asma’ binti Umais riwayat Ibnu Sa’ad juga diriwayatkan dalam Shahih Muslim dimana Asma’ membantah Ibnu Umar yang mengharamkan sutera secara mutlak [termasuk pakaian dengan sedikit campuran sutera] untuk laki-laki [Shahih Muslim 3/1640 no 2069]. Pakaian yang didalamnya ada campuran sedikit sutera seperti Jubah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] diperbolehkan sebagaimana yang disebutkan dalam hadis shahih.
وحدثنا
ابن أبي شيبة ( وهو عثمان ) وإسحاق بن إبراهيم الحنظلي كلاهما عن جرير (
واللفظ لإسحاق ) أخبرنا جرير عن سليمان التيمي عن أبي عثمان قال كنا مع
عتبة بن فرقد فجاءنا كتاب عمر أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ( لا
يلبس الحرير إلا من ليس له منه شيء في الآخرة إلا هكذا ) وقال أبو عثمان
بإصبعيه اللتين تليان الإبهام فرئيتهما أزرار الطيالسة حين رأيت الطيالسة
Telah menceritakan kepada kami Ibn Abi Syaibah [ia adalah Utsman] dan Ishaq bin Ibrahim Al Hanzhaliy, keduanya dari Jarir [dan lafaz ini adalah lafaz Ishaq] yang berkata telah mengabarkan kepada kami Jarir dari Sulaiman At Taimiy dari Abu Utsman yang berkata kami bersama Utbah bin Farqad kemudian datang kepada kami surat dari Umar bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Tidak boleh memakai sutera karena ia tidak akan mendapatkan apa-apa di akhirat nanti kecuali hanya seperti ini”. Abu Utsman berkata sambil menunjukkan kedua jari tangannya maka aku melihatnya seperti Jubah Thayalisah ketika aku melihat Jubah Thayalisah dahulu [Shahih Muslim 3/1641 no 2069]
Jadi hadits tersebut bisa dikatakan ada kelemahan pada matan-nya karena bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih.
Ucapan ini sudah jelas hanya ucapan ngelantur dari orang yang cuma bisa kopipaste tetapi tidak meneliti permasalahan dengan baik. Hadis tersebut jelas shahih dan tidak bertentangan dengan hadis-hadis larangan memakai sutera yang ia kutip. Kemusykilan yang ia katakan muncul karena ia tidak melihat keseluruhan hadis tentang larangan memakai sutera.
Sebenarnya untuk menjawab syubhat ini ada satu pertanyaan yang bisa kita lontarkan, jika Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam wafat dengan meninggalkan rumah yang sedang ditempati istri-istri dan keluarga beliau yang masih hidup apakah kemudian rumah-rumah tersebut harus disedekahkan sementara rumah-rumah tersebut masih dimanfaatkan oleh keluarga beliau? pakailah akalmu wahai kawan.
Lho justru itu yang pernah kami tanyakan wahai kawan. Kalau memang hadis Abu Bakar benar bahwa “semua yang ditinggalkan Nabi menjadi sedekah” maka bagaimana dengan rumah-rumah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
kesimpulannya harta yang disedekahkan adalah harta Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sesudah dikurangi harta yang menjadi nafkah bagi keluarga beliau yang ditinggalkan, nafkah kalau dalam bahasa kita adalah sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan (rumah).
Silakan kalau anda mau menjawab demikian, sekarang mari kita ikuti apa yang anda katakan. Anggap saja harta yang disedekahkan adalah harta Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] setelah dikurangi “nafkah”. Mari lihat kembali tanah Fadak, bahkan dari hadis yang anda kutip sendiri tanah Fadak adalah sumber nafkah bagi keluarga Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yaitu kalau dalam bahasa anda adalah pangan. Maka menurut anda seharusnya tanah Fadak tidak masuk dalam harta yang disedekahkan. Bukan begitu wahai nashibi, atau anda akan mulai ngeles seribu bahasa lagi.
Kemudian soal nafkah yang anda sebut “sandang” [pakaian], kalau yang kita bicarakan dalam hal ini nafkah Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] terhadap istri-istri Beliau, maka pakaian yang dimaksud adalah pakaian untuk istri Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bukannya pakaian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri. Logika dari mana, kalau pakaian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah nafkah untuk Aisyah. Jadi hadis-hadis yang menyebutkan pakaian Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] ada pada Aisyah jelas merupakan kemusykilan bagi hadis Abu Bakar bahwa semua peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjadi sedekah. Apakah menurut Abu Bakar, Aisyah boleh memiliki peninggalan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi Sayyidah Fathimah tidak boleh?.
Silakan wahai nashibi, kalau mau menjawab tetapi tolong dijawab dengan berpikir terlebih dahulu bukan asal mengucapkan “matilah dengan kemarahanmu”. Kalau anda mengeluarkan bantahan ngelantur seperti yang anda tunjukkan ini kami tidak akan marah justru kami kasihan ternyata ada ya orang yang parah sekali cara berpikirnya.
12. Hadis Imam Ali Penduduk Madinah Yang Paling Utama : Keutamaan Di Atas Abu Bakar, Umar Dan Utsman.
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa sebagian sahabat menyatakan kalau Imam Ali adalah penduduk Madinah yang paling utama. Tidak diragukan lagi bahwa Madinah adalah tempat tinggal mayoritas sahabat besar kaum muhajirin dan anshar termasuk Abu Bakar, Umar dan Utsman, jadi adanya hadis ini menunjukkan di mata sebagian sahabat Imam Ali lebih utama dibanding para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar, Umar dan Utsman.
حدثنا
محمد بن أحمد بن الجنيد قال نا يحيى بن السكن قال نا شعبة قال نا أبو
إسحاق عن عبد الرحمن بن يزيد عن علقمة عن عبد الله قال كنا نتحدث أن أفضل
أهل المدينة ابن أبي طالب
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Junaid yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin As Sakaan yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq dari ‘Abdurrahman bin Yazid dari Alqamah dari ‘Abdullah yang berkata “kami mengatakan bahwa penduduk Madinah yang paling utama adalah Ibnu Abi Thalib” [Musnad Al Bazzar 5/20 no 1437].
Hadis ini sanadnya hasan. Para perawinya adalah perawi tsiqat kecuali Yahya bin As Sakaan dia seorang perawi yang hadisnya hasan.
1. Muhammad bin Ahmad bin Junaid adalah perawi yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 15639]. Telah meriwayatkan darinya Ibnu Abi Hatim dan ayahnya dimana Ibnu Abi Hatim menyatakan ia shaduq [Al Jarh Wat Ta’dil 7/183 no 1039]. Telah meriwayatkan darinya Abdullah bin Ahmad [Al Ikmal Al Husaini no 758] dan Abdullah bin Ahmad seperti ayahnya [Ahmad bin Hanbal] hanya meriwayatkan dari orang yang perawinya tsiqat dalam pandangan mereka.
2. Yahya bin As Sakan termasuk sahabat Syu’bah. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menyatakan kalau telah meriwayatkan darinya Ahmad bin Hanbal [Ats Tsiqat juz 9 no 16282]. Ahmad bin Hanbal termasuk ulama yang hanya meriwayatkan dari perawi yang tsiqat menurutnya maka di sisi Ahmad, Yahya bin As Sakan itu tsiqat. Abu Hatim menyatakan “laisa bil qawiy [tidak kuat]” [Al Jarh Wat Ta’dil 9/155 no 643]. Di sisi Abu Hatim pernyataan ini berarti seorang yang hadisnya hasan atau tidak mencapai derajat shahih apalagi Abu Hatim sendiri termasuk yang meriwayatkan dari Yahya bin As Sakaan. Adz Dzahabi berkata “Yahya bin As Sakan mendengar dari Syu’bah, didhaifkan oleh Shalih Jazarah dan diterima oleh yang lainnya” [Al Mughni 2/735 no 6975]. Dalam biografi Yahya bin ‘Abbad Adh Dhuba’iy, Ibnu Main menyatakan kalau Yahya bin ‘Abbad seorang yang shaduq dan Yahya bin As Sakan lebih tsabit darinya [At Tahdzib juz 11 no 383]. Hal ini berarti di sisi Ibnu Ma’in, Yahya bin As Sakan seorang yang shaduq atau tsiqat.
3. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418].
Abu Ishaq adalah Amru bin Abdullah As Sabi’i perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i, Abu Hatim, Al Ijli menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 100]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat ahli ibadah dan mengalami ikhtilath di akhir umurnya [At Taqrib 1/739]. Tetapi yang meriwayatkan darinya adalah Syu’bah dimana Bukhari dan Muslim telah berhujjah dengan riwayat Syu’bah dari Abu Ishaq begitu pula Bukhari Muslim telah berhujjah dengan riwayat Abu Ishaq dari ‘Abdurrahman bin Yazid An Nakha’i [Tahdzib Al Kamal 22/102 no 4400].
4. Abdurrahman bin Yazid An Nakha’iy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat memiliki banyak hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli berkata “tabiin kufah yang tsiqat”. Daruquthni menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 583]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/596].
5. Alqamah bin Qais An Nakha’iy adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit faqih dan ahli ibadah [At Taqrib 1/687].
Riwayat Abdullah bin Mas’ud di atas sanadnya hasan. Yahya bin As Sakan adalah seorang yang hadisnya hasan dan dalam periwayatannya dari Syu’bah ia memiliki mutaba’ah dari Muhammad bin Ja’far yaitu riwayat berikut:
حدثنا
عبد الله قال حدثني أبي قثنا محمد بن جعفر نا شعبة عن أبي إسحاق عن عبد
الرحمن بن يزيد عن علقمة عن عبد الله قال كنا نتحدث ان أفضل أهل المدينة
علي بن أبي طالب
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Ishaq dari ‘Abdurrahman bin Yazid dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah yang berkata “kami mengatakan bahwa penduduk Madinah yang paling utama adalah Ali bin Abi Thalib” [Fadha’il Ash Shahabah no 1033].
Hadis ini sanadnya shahih dengan syarat Bukhari dan Muslim. Abdullah bin Ahmad dan ayahnya Ahmad bin Hanbal telah dikenal dan disepakati ketsiqahannya. Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129]. Sedangkan sisa perawi lainnya adalah perawi shahih sebagaimana telah berlalu penjelasannya.
Maka riwayat Ahmad bin Hanbal disini kedudukannya shahih sesuai dengan syarat Bukhari Muslim. Muhammad bin Ja’far atau Ghundar adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah dan disini ia memiliki mutaba’ah dari Yahya bin As Sakan seorang yang hasanul hadits. Kesimpulannya riwayat tersebut shahih tanpa keraguan.
Penjelasan Hadis
Hadis tersebut menggunakan lafaz “kami” dimana secara umum dalam ilmu hadis lafaz ini menunjukkan para sahabat atau mayoritas sahabat atau ijma’ sahabat. Tentu dengan pengertian ini maka dapat dikatakan kalau mayoritas sahabat atau ijma’ sahabat menganggap Imam Ali adalah penduduk Madinah yang paling utama. Diketahui pula bahwa Abu Bakar [radiallahu ‘anhu], Umar [radiallahu ‘anhu] dan Utsman [radiallahu ‘anhu] termasuk penduduk madinah dan diriwayatkan dalam atsar Ibnu Umar kalau sebagian sahabat mengutamakan Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman diatas para sahabat lainnya.
حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ بَزِيعٍ حَدَّثَنَا شَاذَانُ حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ الْمَاجِشُونُ عَنْ عُبَيْدِ
اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
كُنَّا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
نَعْدِلُ بِأَبِي بَكْرٍ أَحَدًا ثُمَّ عُمَرَ ثُمَّ عُثْمَانَ ثُمَّ
نَتْرُكُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
نُفَاضِلُ بَيْنَهُمْ
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim bin Bazii’ yang menceritakan kepada kami Syadzaan yang menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abi Salamah Al Majsyuun dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibnu Umar radiallahu’anhuma yang berkata “kami di zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam tidak membandingkan Abu Bakar dengan seorangpun kemudian Umar kemudian Utsman kemudian kami membiarkan sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam yang lain dan tidak mengutamakan siapapun diantara mereka” [Shahih Bukhari no 3697].
Maka sudah seharusnya kita memahami kalau atsar Ibnu Mas’ud bukan sebagai mayoritas sahabat atau ijma’ sahabat tetapi sebagian sahabat. Jadi makna atsar Ibnu Mas’ud adalah sebagian sahabat menganggap Imam Ali sebagai orang yang paling utama diantara penduduk madinah. Begitu pula atsar Ibnu Umar di atas dipahami bahwa sebagian sahabat lain telah mengutamakan Abu Bakar kemudian Umar kemudian Utsman kemudian setelah Utsman mereka tidak mengutamakan siapapun diantara para sahabat bahkan mereka juga tidak mengutamakan Imam Ali di atas para sahabat lainnya.
Di zaman Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] bahkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri yang mengutamakan Imam Ali di atas para sahabat lainnya. Siapakah yang ditunjuk di Khaibar yang dikatakan sebagai “mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai Allah dan Rasul-Nya”?, bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan Utsman tetapi Ali bin Abi Thalib. Siapakah yang dikatakan kedudukannya di sisi Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan Utsman tetapi Ali bin Abi Thalib. Siapakah yang dikatakan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di ghadir khum dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutamakannya di atas semua sahabat lainnya? Bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan Utsman tetapi Ali bin Abi Thalib. Siapakah yang Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] katakan sebagai Ahlul Bait salah satu Ats Tsaqalain pegangan umat agar tidak tersesat sepeninggal Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam]? Bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan Utsman tetapi Ali bin Abi Thalib. Justru aneh sekali kalau sebagian sahabat itu tidak mengutamakan Imam Ali di antara sahabat lainnya bahkan setelah Utsman pun mereka menganggap Imam Ali tidak lebih utama dari sahabat yang lain. Kami disini lebih memilih pandangan sebagian sahabat yang mengutamakan Imam Ali di atas para sahabat lainnya termasuk di atas Abu Bakar, Umar dan Utsman karena pendapat ini kami nilai dalilnya lebih kuat berdasarkan berbagai hadis shahih Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Ada lagi yang aneh terkait hadis Ibnu Umar di atas, munculnya kelompok yang ngaku-ngaku salafy terus mengartikan hadis Ibnu Umar berarti terdapat ijma’ sahabat yang mengutamakan Abu Bakar, terus Umar dan terus Utsman. Baik sadar atau tidak mereka ini sudah inkonsisten atau tanaqudh atau menentang dirinya sendiri. Kalau memang atsar Ibnu Umar di atas dipandang ijma’ sahabat maka yang pertama menentang ijma’ itu adalah mereka sendiri, toh kelompok itu mengakui bahwa setelah Utsman, Imam Ali adalah sahabat yang paling utama diantara yang lainnya, secara bahasa mereka Imam Ali itu utama yang keempat. Nah ini kan bertentangan dengan atsar Ibnu Umar yang jika diartikan ijma’ sahabat maka sahabat telah berijma’ kalau setelah Utsman mereka tidak mengutamakan satupun sahabat dari yang lainnya termasuk disini Imam Ali. Apakah mereka paham soal ini? tidak, inkonsisten ini malah dijadikan pilar utama dalam keyakinan mereka, bahkan dengan inkonsisten ini mereka menuduh siapapun yang melanggar dogma inkonsitensi yang mereka anut sebagai sesat atau menyimpang. Betapa kebodohan menjadi begitu menyakitkan dan betapa keangkuhan telah menjadi tameng untuk menolak kebenaran yang akhirnya membuat mereka sangat konsisten dalam inkonsistensi mereka.
Syubhat Para Pengingkar
Mereka yang suka melemahkan keutamaan ahlul bait tidak henti-hentinya menghembuskan syubhat. Setiap hadis keutamaan ahlul bait yang melebihi keutamaan Abu bakar dan Umar selalu saja ada syubhat yang dicari-cari. Diantara syubhat mereka untuk melemahkan hadis di atas adalah mereka mengatakan hadis tersebut lafaznya khata’ atau salah, yang benar adalah hadis berikut:
أخبرنا
وهب بن جرير بن حازم وعمرو بن الهيثم أبو قطن قالا أخبرنا شعبة عن أبي
إسحاق عن عبد الرحمن بن يزيد عن علقمة عن عبد الله قال كنا نتحدث أن من
أقضى أهل المدينة بن أبي طالب
Telah mengabarkan kepada kami Wahab bin Jarir bin Hazm dan ‘Amru bin Al Haitsam Abu Quthn yang keduanya berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Abu Ishaq dari ‘Abdurrahman bin Yazid dari Alqamah dari Abdullah yang berkata “kami mengatakan bahwa penduduk Madinah yang paling mengetahui dalam masalah hukum adalah Ibnu Abi Thalib” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 2/81].
Hadis ini memang sanadnya shahih. Baik hadis ini dan hadis di atas keduanya shahih, keduanya diterima dan tidak ada pertentangan sedikitpun. Telah dibuktikan sebelumnya bahwa hadis dengan lafaz “penduduk madinah yang paling utama” adalah hadis yang shahih dan tsabit. Tidak ada dasar sedikitpun menyatakan lafaz hadis tersebut salah, mereka yang mengatakan ini memang sengaja mencari-cari syubhat untuk melemahkan hadis keutamaan Imam Ali. Sekali lagi hadis dengan lafaz “penduduk Madinah yang paling utama” telah diriwayatkan oleh Ghundar dan Yahya bin As Sakan dari Syu’bah dan Ghundar adalah orang yang paling tsabit riwayatnya dari Syu’bah. Jadi tidak ada dasarnya menyatakan lafaz hadis tersebut salah. Pendapat yang benar kedua hadis tersebut benar, Imam Ali adalah penduduk Madinah yang paling utama dan Imam Ali adalah penduduk Madinah yang paling mengetahui atau paling ahli dalam masalah hukum.
Syubhat lain yang dihembuskan adalah mereka menyimpangkan makna hadis tersebut yaitu bahwa Imam Ali adalah penduduk Madinah yang paling utama setelah Abu Bakar, Umar dan Utsman. Jadi dengan ini mereka tetap bisa menyatakan kalau hadis ini tidak menunjukkan keutamaan Imam Ali di atas Abu Bakar, Umar dan Utsman. Inipun sebenarnya hanya syubhat yang dicari-cari, prinsipnya kita berpegang pada zahir lafaz. Lafaz hadis ini umum, bukankah Abu Bakar, Umar dan Utsman adalah penduduk Madinah maka jika ada sebagian sahabat mengatakan Imam Ali penduduk Madinah yang paling utama maka itu berarti menurut mereka Imam Ali lebih utama dari Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Kesimpulan:
Sebagian sahabat memang diketahui mengutamakan Imam Ali diatas para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar, Umar dan Utsman dan sebagian sahabat lainnya mengutamakan Abu Bakar, Umar dan Utsman di atas para sahabat lainnya dan setelah itu mereka tidak menganggap Imam Ali lebih utama dari sahabat yang lain. Perbedaan pandangan di sisi para sahabat adalah hal yang wajar, justru yang tidak benar adalah doktrin yang dianut sebagian orang kalau ijma’ sahabat menganggap Abu Bakar, Umar dan Utsman lebih utama dari Imam Ali. Jika dikatakan sebagian sahabat maka itulah yang benar tetapi jika dikatakan ijma’ sahabat maka itu jelas keliru. Terdapat riwayat shahih dimana sebagian sahabat mengutamakan Imam Ali seperti yang telah ditunjukkan di atas.
13. Mengapa Abu Bakar Radiallahu’anhu Disebut Ash Shiddiq?
Pembahasan ini bukanlah untuk menafikan gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar tetapi bertujuan untuk menilai sejauh mana validitas dalil yang sering dijadikan dasar penamaan Ash Shiddiq bagi Abu Bakar. Gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar adalah gelar yang masyhur. Terkait dengan gelar Ash Shiddiq ada dua kemungkinan, gelar Ash Shiddiq ini diberikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam atau gelar ini diberikan oleh para sahabat dan menjadi masyhur di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga masa sekarang. Kita sering mendengar dari sejarah yang kita baca waktu masih kecil kalau gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar ini diberikan atau muncul karena ia membenarkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam peristiwa isra’ mi’raj di hadapan kaum Quraisy. Nah tulisan ini akan membahas hadis gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar yang berkaitan dengan peristiwa isra’ dan mi’raj Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Riwayat Aisyah
حدثنا
أبو عمرو عثمان بن أحمد بن السماك الزاهد ببغداد ثنا إبراهيم بن الهيثم
البلوي ثنا محمد بن كثير الصنعاني ثنا معمر عن الزهري عن عروة عن عائشة رضى
الله تعالى عنها قالت لما أسري بالنبي صلى الله عليه وسلم إلى المسجد
الأقصى أصبح يتحدث الناس بذلك فارتد ناس ممن كان آمنوا به وصدقوه وسعى رجال
من المشركين إلى أبي بكر رضى الله تعالى عنه فقالوا هل لك إلى صاحبك يزعم
أنه أسري به الليلة إلى بيت المقدس قال أو قال ذلك قالوا نعم قال لئن قال
ذلك لقد صدق قالوا أو تصدقه أنه ذهب الليلة إلى بيت المقدس وجاء قبل أن
يصبح فقال نعم إني لأصدقه ما هو أبعد من ذلك أصدقه في خبر السماء في غدوة
أو روحة فلذلك سمي أبا بكر الصديق رضى الله تعالى عنه هذا حديث صحيح على
شرط الشيخين ولم يخرجاه فإن محمد بن كثير الصنعاني صدوق
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amru ‘Utsman bin Ahmad bin As Simaak Az Zaahid di baghdad yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Al Haitsam Al Balawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir Ash Shan’aniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhriy dari Urwah dari ‘Aisyah radiallahu ta’ala anha yang berkata ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam isra’ [diperjalankan] ke masjidil Aqsha maka pada pagi hari orang-orang membicarakannya. Orang-orang yang awalnya termasuk beriman dan membenarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi murtad. Orang-orang dari kalangan kaum musyrikin mendatangi Abu Bakar radiallahu ta’ala anhu dan berkata “apa pendapatmu tentang sahabatmu, ia menyangka dirinya diperjalankan tadi malam ke baitul maqdis”. [Abu Bakar] berkata “apakah Ia berkata demikian?”. [mereka] berkata ‘benar”. [Abu Bakar] berkata “jika Ia mengatakan demikian maka dia benar”. [mereka] berkata “apakah kamu membenarkan Ia tadi malam pergi ke baitul maqdis dan kembali sebelum pagi”. [Abu Bakar] berkata “benar, bahkan aku membenarkannya pada perkara yang lebih dari pada itu, aku membenarkannya tentang khabar [wahyu] yang Ia terima dari langit di pagi ataupun sore hari”. Oleh karena itu Abu Bakar dinamakan Ash Shiddiq. Hadis ini shahih dengan syarat Bukhari Muslim dan mereka berdua tidak mengeluarkannya, Muhammad bin Katsir Ash Shan’ani seorang yang shaduq [Al Mustadrak Ash Shahihain Al Hakim 3/62 no 4458].
Kisah ini juga disebutkan Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash Shahabah dengan jalan sanad dari ‘Abdullah bin Muhammad bin Ja’far dari Muhammad bin Al Abbas dari Mufadhdhal bin Ghasan dari Muhammad bin Katsir dari Ma’mar dari Zuhri dari Urwah dari Aisyah seperti di atas [Ma’rifat Ash Shahabah no 62]. Hadis ini juga diriwayatkan Al Hakim dalam Al Mustadrak no 4407 dimana Al Hakim dan Adz Dzahabi bersepakat menshahihkan hadis ini, dan pernyataan keduanya ini perlu ditinjau kembali. Riwayat ini juga disebutkan Baihaqi dengan sanad yang sama dengan sanad Al Hakim [Dala’il An Nubuwah 2/361].
Hadis riwayat Aisyah di atas sanadnya tidak shahih di dalamnya terdapat Muhammad bin Katsir Ash Shan’aniy. Bukhari berkata “Ahmad mendhaifkannya”. Abdullah bin Ahmad menyebutkan kalau Ayahnya sangat melemahkan Muhammad bin Katsir dan sangat melemahkah hadis-hadisnya dari Ma’mar dan ia berkata “mungkar al hadits”. Shalih bin Ahmad berkata dari ayahnya kalau Muhammad bin Katsir bukan seorang yang tsiqat. Hatim bin Laits berkata dari Ahmad “ia tidak ada apa-apanya meriwayatkan hadis-hadis mungkar yang tidak ada asalnya”. Abu Hatim menyatakan kalau ia seorang yang shalih tetapi sebagian hadis-hadisnya terdapat kemungkaran. Shalih bin Muhammad berkata “shaduq tetapi banyak melakukan kesalahan”. Bukhari berkata “lemah sekali”. Ibnu Ma’in terkadang menyatakan shaduq terkadang menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “sering salah dan memiliki riwayat gharib”. Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat tetapi disebutkan kalau ia mengalami ikhtilath di akhir umurnya. Nasa’i berkata “tidak kuat dan banyak melakukan kesalahan”. As Saji berkata “shaduq banyak melakukan kesalahan”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “tidak kuat di sisi para ulama”. Ibnu Ady menyebutkan kalau ia memiliki hadis-hadis yang tidak diikuti oleh seorangpun [At Tahdzib juz 9 no 685].
Ibnu Hajar dalam At Taqrib menyatakan ia shaduq banyak melakukan kesalahan tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Muhammad bin Katsir seorang yang dhaif tetapi dapat dijadikan i’tibar [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 6251]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Mughni Adh Dhu’afa [Al Mughni no 2/626 no 5924]. Ibnu Jauzi memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Adh Dhu’afa Ibnu Jauzi no 3168]. Al Uqaili memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa dimana ia mengatakan kalau Muhammad bin Katsir meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari Ma’mar dan tidak diikuti oleh seorangpun [Adh Dhu’afa Al Uqaili 4/128 no 1687]
Al Hakim keliru ketika menyatakan hadis ini shahih dengan syarat Bukhari Muslim karena Muhammad bin Katsir bukanlah perawi Bukhari Muslim dan pendapat yang rajih ia seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar begitu pula Adz Dzahabi keliru ketika menyepakati penshahihan Al Hakim.
Tinjauan Terhadap Syaikh Al Albaniy
Syaikh Al Albani memasukkan hadis ini dalam Silsilah Ahadits Ash Shahihah no 306 dan menyatakan hadis ini shahih dengan syawahid. Pernyataan syaikh perlu ditinjau kembali. Syaikh terkesan melakukan campur aduk dalam mencari syawahid bagi hadis ini. Diantaranya syaikh memasukkan hadis Imam Ali dan hadis Abu Wahb maula Abu Hurairah soal gelar Ash Shiddiq yang turun dari langit sebagai penguat. Hal ini jelas tidak benar, perkara gelar Ash Shiddiq turun dari langit adalah perkara lain dan telah kami bahas dalam thread khusus kalau hadis-hadis seputar itu dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Hadis Aisyah di atas menceritakan bagaimana sikap kaum kafir Quraisy ketika mendengar kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bagaimana sikap Abu Bakar yang membenarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi penguat bagi riwayat Aisyah harus memuat kedua hal tersebut. Diantara riwayat yang ditampilkan Syaikh Al Albani dan relevan sebagai penguat adalah riwayat Syadad bin Aus secara marfu’ dan riwayat Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf.
Riwayat Syadad bin Aus diantaranya disebutkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 7/282 no 7142 dan Baihaqi dalam Ad Dala’il 2/355-357. Riwayat ini dhaif karena di dalam sanadnya terdapat Ishaq bin Ibrahim bin Dhahhak Az Zubaidiy dimana ia meriwayatkan dari ‘Amru bin Al Haarits. Ibnu Ma’in memujinya dan berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Hatim berkata “syaikh” [Al Jarh Wat Ta’dil 2/209 no 711].
Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 8 no 12489]. Nasa’i berkata “tidak tsiqat”. Abu Dawud berkata “tidak ada apa-apanya [laisa bisyai’]”. Muhammad bin ‘Auf menyatakan ia pendusta [Al Mizan juz 1 no 730]. Ibnu Hajar dalam At Taqrib menyatakan ia shaduq banyak melakukan kesalahan dan Muhammad bin ‘Auf menyatakan ia pendusta kemudian dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Ishaq bin Ibrahim seorang yang shaduq dan dhaif riwayatnya dari ‘Amru bin Al Haarits [Tahrir At Taqrib no 330]. Disini adalah riwayat Ishaq bin Ibrahim dari ‘Amru bin Al Haarits maka riwayatnya dhaif. Selain itu dalam matan riwayat Syadad bin Aus tidak terdapat pernyataan bahwa Abu Bakar mendapatkan gelar Ash Shiddiq karena membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam padahal hal itu yang menjadi pokok permasalahan.
Riwayat Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf disebutkan oleh Baihaqi dalam Dala’il Nubuwah 2/360 dengan matan sebagai berikut:
قال
ابن شهاب قال أبو سلمة بن عبد الرحمن فتجهز ناس من قريش إلى أبي بكر
فقالوا له هل لك في صاحبك يزعم أنه قد جاء بيت المقدس ثم رجع إلى مكة في
ليلة واحدة فقال أبو بكر أو قال ذلك قالوا نعم قال فأشهد لئن كان قال ذلك
لقد صدق قالوا فتصدقه بأن يأتي الشام في ليلة واحدة ثم يرجع إلى مكة قبل أن
يصبح قال نعم إني أصدقه بأبعد من ذلك أصدقه بخبر السماء قال أبو سلمة فبها
سمي أبو بكر الصديق رضي الله عنه
Ibnu Syihab berkata Abu Salamah bin ‘Abdurrahman berkata “orang-orang dari kalangan quraisy bersiap-siap menemui Abu Bakar, mereka berkata “apa pendapatmu tentang sahabatmu yang menganggap dirinya datang ke baitul maqdis kemudian kembali ke Makkah dalam satu malam. Abu Bakar berkata “apakah Ia berkata demikian?”. [mereka] berkata “benar”. [Abu Bakar] berkata “maka aku bersaksi sungguh jika Ia berkata demikian maka ia benar”. [mereka] berkata “kamu membenarkan Ia pergi ke Syam dalam satu malam kemudian kembali ke Makkah sebelum shubuh?”. [Abu Bakar] berkata “benar, aku membenarkannya bahkan aku membenarkannya untuk perkara yang lebih dari itu yaitu khabar dari langit”. Abu Salamah berkata “maka oleh sebab itu Abu Bakar disebut dengan Ash Shiddiq” [Dala’il An Nubuwah 2/360].
Syaikh Al Albani mengatakan kalau riwayat Abu Salamah ini shahih mursal. Memang demikianlah kedudukannya. Abu Salamah bin ‘Abdurrahman adalah seorang tabiin, ia tidaklah menyaksikan peristiwa tersebut. Riwayat ini yang lebih tepat dikatakan penguat bagi riwayat Aisyah ra.
Jika kita memperhatikan matan riwayat Abu Salamah dengan baik maka dapat dilihat kalau alasan pemberian gelar Ash Shiddiq karena sikap Abu Bakar dalam peristiwa isra’ adalah pendapat Abu Salamah. Sebagaimana yang tampak dalam lafaz Abu Salamah berkata “maka dari itu Abu Bakar disebut Ash Shiddiq”. Dalam riwayat Aisyah sebelumnya, lafaz akhir matan tersebut “oleh karena itu Abu Bakar dinamakan Ash Shiddiq” juga mengandung kemungkinan kalau lafaz tersebut berasal dari salah satu perawinya. Menyatakan perkataan tersebut sebagai lafaz Aisyah belum tentu benar karena hadis tersebut sanadnya tidaklah tsabit sampai ke Aisyah akibat kelemahan Muhammad bin Katsir. Sangat mungkin karena kelemahan hafalan Muhammad bin Katsir maka ia mencampuradukkan antara perkataan Aisyah dan perkataan perawi lainnya.
Riwayat Ummu Hani’
حدثنا
بهلول بن إسحاق بن بهلول الأنباري ثنا أبي عن عبد الأعلى بن أبي المساور
عن عكرمة قال خبرتني أم هانئ قالت قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لما
أسري به ( إني أريد أن أخرج إلى قريش فأخبرهم ) فأخبرهم فكذبوه وصدقه أبو
بكر فسمي يومئذ الصديق
Telah menceritakan kepada kami Buhlul bin Ishaq bin Buhlul Al Anbariy yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku dari Abdul A’la bin Abi Musaawir dari Ikrimah yang berkata telah mengabarkan kepadaku Ummu Hani’ yang berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Beliau diperjalankan [isra’] bersabda “aku berniat keluar menemui kaum quraisy dan mengabarkan kepada mereka”. Maka [Beliau] mengabarkan kepada mereka, mereka mendustakannya dan Abu Bakar membenarkannya, maka sejak hari itu ia dinamakan Ash Shiddiq [Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 1/55 no 15].
Hadis Ummu Hani’ ini juga diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash Shahabah no 61 dan Ibnu Abi Ashim dalam Al Ahad Wal Matsaniy 1/83 no 39 dengan jalan sanad dari ‘Abdul A’la bin Abi Musaawir dari Ikrimah dari Ummu Hani’ secara marfu’. Riwayat ini dhaif jiddan karena ‘Abdul A’la bin Abi Musaawir seorang yang matruk. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya” terkadang berkata “pendusta” terkadang berkata “tidak tsiqat”. Ali bin Madini berkata “dhaif tidak ada apa-apanya”. Ibnu ‘Ammar Al Maushulliy berkata “dhaif bukan hujjah”. Abu Zur’ah berkata “dhaif jiddan”. Abu Hatim menyatakan ia dhaif al hadits dan matruk. Bukhari berkata “mungkar al hadits”. Abu Dawud berkata “tidak ada apa-apanya”. Nasa’i dan Ibnu Numair berkata “matruk al hadits”. Daruquthni berkata “dhaif” [At Tahdzib juz 6 no 204].
Akhir Pembahasan
Kami tidak menemukan adanya riwayat lain yang menyebutkan soal gelar Ash Shiddiq Abu Bakar terkait dengan peristiwa isra’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selain apa yang telah kami tuliskan di atas. Berdasarkan riwayat-riwayat ini maka dapat disimpulkan tidak ada satupun dalil yang tsabit [kuat] bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan gelar Ash Shiddiq bagi Abu bakar karena Abu Bakar membenarkan isra’ Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Tetapi tidak dapat diingkari kalau kisah ini adalah kisah yang masyhur.
Supaya jangan ada yang salah memahami pandangan kami, maka kami tekankan disini kami bukannya menolak atau menafikan peristiwa isra’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, perkara ini benar dan telah diriwayatkan berbagai hadis shahih dan mutawatir. Kami juga tidak menolak atau menafikan kisah dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan peristiwa isra’ kepada kaum quraisy dan mereka mendustakannya, perkara ini benar dan diriwayatkan dalam hadis shahih. Kami juga tidak menolak atau menafikan kisah dimana Abu bakar membenarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, walaupun hadis-hadis seputar itu dhaif tetapi masih bisa saling menguatkan [riwayat Aisyah dan riwayat Abu Salamah] maka kedudukannya adalah hasan lighairihi [bukannya shahih seperti yang dikatakan Syaikh Al Albani]. Kami juga tidak menolak gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar karena gelar tersebut adalah gelar yang masyhur. Kesimpulan kami disini adalah kami tidak menemukan adanya dalil shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang memberikan gelar Ash Shiddiq tersebut kepada Abu Bakar dalam peristiwa isra’ ini. Masih terdapat kemungkinan kalau gelar tersebut diberikan oleh para sahabat bukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Selain itu jika kita melihat alasan pemberian gelar Ash Shiddiq karena Abu Bakar ra telah membenarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka itu bukan kekhususan buat Abu Bakar, mengingat Imam Ali adalah orang yang pertama selalu membenarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan selalu membenarkan wahyu yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukankah perkara datangnya wahyu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] adalah perkara yang lebih berat dari peristiwa isra’ Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagaimana yang diakui Abu Bakar sendiri. Jika Abu Bakar dinyatakan shiddiq karena peristiwa isra’ ini maka Imam Ali lebih layak untuk dikatakan shiddiq karena beliau adalah orang yang pertama membenarkan wahyu yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
14. Hadis Imam Ali Mengakui Beliau Adalah Ash Shiddiq
Imam Ali pernah berkhutbah di hadapan orang-orang dan mengakui kalau dirinya adalah Ash Shiddiq disebabkan Beliau adalah orang yang pertama kali membenarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, masuk islam dan beribadah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Pengakuan ini menunjukkan bahwa beliau juga adalah Ash Shiddiq sebagaimana yang dimaksud dalam berbagai hadis tentang Hira dan Uhud dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kalau di atasnya terdapat Nabi, Shiddiq dan Syahid. Inilah alasan mengapa kami menafsirkan kalau shiddiq yang dimaksud dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya merujuk pada Abu Bakar tetapi juga kepada Imam Ali ‘alaihis salam.
Riwayat Mu’adzah Al Adawiyah
حدثنا
زياد بن يحيى أبو الخطاب قال حدثنا نوح بن قيس وحدثني أبو بكر مصعب بن عبد
الله بن مصعب الواسطي قال حدثنا يزيد بن هارون قال أنبأ نوح بن قيس
الحداني قال حدثنا سليمان بن عبد الله أبو فاطمة قال سمعت معاذة العدوية
تقول سمعت علي بن أبي طالب رضي الله عنه يخطب على منبر البصرة وهو يقول أنا
الصديق الأكبر آمنت قبل أن يؤمن أبو بكر وأسلمت قبل أن يسلم
Telah menceritakan kepada kami Ziyad bin Yahya Abul Khaththab yang berkata telah menceritakan kepada kami Nuh bin Qais. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Mush’ab bin ‘Abdullah bin Mush’ab Al Wasithi yang berkata telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun yang berkata telah memberitakan kepada kami Nuh bin Qais Al Hadaaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin ‘Abdullah Abu Fathimah yang berkata aku mendengar Mu’adzah Al ‘Adawiyah yang berkata aku mendengar Ali bin Abi Thalib radiallahu’anhu berkhutbah di atas mimbar Bashrah dan ia mengatakan “aku adalah Shiddiq Al Al Akbar aku beriman sebelum Abu Bakar beriman dan aku memeluk islam sebelum ia memeluk islam” [Al Kuna Ad Duulabiy 5/189 no 1168].
Hadis ini juga disebutkan Ibnu Abi Ashim dalam Al Ahad Wal Matsani 1/151 no 187, Al Uqaili dalam Adh Dhu’afa 2/131 no 616, Ibnu Ady dalam Al Kamil 3/274 dan Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 4 no 1835 semuanya dengan jalan sanad dari Nuh bin Qais dari Sulaiman bin Abdullah Abu Fathimah dari Mu’adzah Al ‘Adawiyah dari Ali radiallahu ‘anhu. Riwayat Ad Duulabiy di atas diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Sulaiman bin Abdullah Abu Fathimah.
1. Ziyad bin Yahya Abul Khaththab adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan ia tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 710]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/324].
2. Mush’ab bin ‘Abdullah bin Mush’ab adalah perawi Nasa’i dan Ibnu Majah yang tsiqat. Ahmad bin Hanbal menyatakan tsabit. Daruquthni menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Maslamah bin Qasim dan Abu Bakar bin Mardawaih menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 311]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 2/186]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat [Al Kasyf no 5467]
3. Yazid bin Harun adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ia dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Madini dan Ibnu Ma’in. Al Ijli berkata tsiqat tsabit dalam hadis, Abu Bakar bin Abi Syaibah berkata “aku belum melihat orang yang lebih kuat hafalannya dari Yazid”. Abu Hatim berkata tsiqat imam shaduq. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat memiliki banyak hadis”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat ma’mun” [At Tahdzib juz 11 no 612]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat mutqin ahli ibadah” [At Taqrib 2/333]
4. Nuh bin Qais adalah perawi Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Abu Dawud menyatakan tsiqat. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli berkata “orang Bashrah yang tsiqat” [At Tahdzib juz 10 no 877]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tasyayyu’ [At Taqrib 2/254]
5. Sulaiman bin ‘Abdullah Abu Fathimah dimasukkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat dan berkata “Sulaiman bin ‘Abdullah orang Bashrah yang meriwayatkan dari Mu’adzah Al Adawiyah dan telah meriwayatkan darinya Nuh bin Qais Ath Thahiy” [Ats Tsiqat juz 6 no 8211]. Al Bukhari berkata “hadisnya tidak memiliki mutaba’ah tidak dikenal sima’ [pendengaran] Sulaiman dari Mu’adzah” [Tarikh Al Kabir juz 4 no 1835]. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa seraya mengutip pernyataan Bukhari [Adh Dhu’afa 2/131 no 161]. Ibnu Ady dalam Al Kamil berkata “Sulaiman dikenal melalui hadis ini, tidak dikenal ia memiliki riwayat lain dan riwayat ini tidak memiliki mutaba’ah seperti yang dikatakan Bukhari” [Al Kamil Ibnu Ady 3/274]. Sangat jelas kalau Al Uqaili dan Ibnu Ady hanya mengikuti pernyataan Bukhari dan pernyataan Bukhari disini keliru. Riwayat Sulaiman bin Abdullah dari Mu’adzah Al Adawiyah dari Ali dengan lafaz “aku adalah shiddiq al akbar” memiliki penguat dari riwayat Abbad bin Abdullah Al Asady dari Ali, kemudian Bukhari juga keliru ketika mengatakan tidak dikenal Sulaiman mendengar dari Mu’adzah karena riwayat Yazid bin Harun dan Ziyad Abul Khattab dari Nuh bin Qais yang disebutkan Ad Duulabiy dengan jelas menyatakan Sulaiman mendengar langsung dari Mu’adzah begitu pula yang diriwayatkan dari Muslim bin Ibrahim dari Nuh bin Qais yang disebutkan Ibnu Abi Ashim dalam Al Ahad Wal Matsaniy.
6. Mu’adzah binti Abdullah Al ‘Adawiyah adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 12 no 2895]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 2/659]
Atsar Imam Ali ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Sulaiman bin ‘Abdullah Abu Fathimah, ia telah dimasukkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat dan telah meriwayatkan darinya Nuh bin Qais. Nuh bin Qais dalam periwayatannya dari Sulaiman bin ‘Abdullah Abu Fathimah memiliki mutaba’ah dari Abu Hilal Rasibi sebagaimana yang disebutkan Al Baladzuri.
حدثني
محمد بن أبان الطحان عن أبي هلال الراسبي عن أبي فاطمة عن معاذة العدوية
قالت سمعت عليا على منبر البصرة يقول أنا الصديق الاكبرآمنت قبل أن يؤمن
أبو بكر وأسلمت قبل أن يسلم
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Aban Ath Thahaan dari Abi Hilal Ar Raasibiy dari Abu Fathimah dari Mu’adzah Al ‘Adawiyah yang berkata aku mendengar Ali di atas mimbar Basrah berkata “aku adalah shiddiq al akbar aku beriman sebelum Abu Bakar beriman dan aku memeluk islam sebelum ia memeluk islam” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 1/287].
Muhammad bin Aban Ath Thahaan termasuk perawi Bukhari telah meriwayatkan darinya Abu Zur’ah dan Baqiy bin Makhlad dimana keduanya dikenal hanya meriwayatkan dari perawi tsiqat. Maslamah menyatakan ia tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “pernah salah” [At Tahdzib juz 9 no 1]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq [At Taqrib 2/49].
Abu Hilal Ar Raasibiy adalah Muhammad bin Sulaim Al Bashri dia adalah perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari dan Ashabus Sunan. Abdurrahman bin Mahdi meriwayatkan darinya yang berarti ia menganggap Muhammad bin Sulaim tsiqat. Ibnu Ma’in terkadang berkata shaduq terkadang berkata tidak ada masalah padanya. Abu Dawud menyatakan ia tsiqat. Yahya bin Sa’id tidak meriwayatkan darinya. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ibnu Sa’ad berkata ada kelemahan padanya. Ahmad bin Hanbal menyatakan ia mudhtharib al hadis dari Qatadah. [At Tahdzib juz 9 no 303]. Ibnu Hajar menyatakan “shaduq ada kelemahan padanya” [At Taqrib 2/81]. Adz Dzahabi menyatakan ia shalih al hadits [Man Tukullima Fiihi Wa Huwa Muwatstsaq no 301]. Pada dasarnya ia seorang yang shaduq tetapi ada kelemahan padanya yaitu riwayatnya dari Qatadah yang mudhtharib sehingga sebagian ulama membicarakannya. Tetapi disini bukan riwayatnya dari Qatadah maka riwayatnya baik.
Riwayat ‘Abbad bin ‘Abdullah Al Asdiy
Riwayat Mu’adzah Al Adawiyah dari Ali dengan lafaz “shiddiq al akbar” dikuatkan oleh riwayat ‘Abbad bin ‘Abdullah Al Asadiy dari Ali yaitu riwayat berikut:
حدثنا
محمد بن إسماعيل الرازي حدثنا عبيد الله بن موسى أنبأنا العلاء بن صالح عن
المنهال عن عباد بن عبد الله قال قال علي أنا عبد الله وأخو رسوله صلى
الله عليه و سلم . وأنا الصديق الأكبر لا يقولها بعدي إلا كذاب صليت قبل
الناس لسبع سنين
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismail Ar Raziy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Musa yang berkata telah memberitakan kepada kami Al A’la bin Shalih dari Minhal dari ‘Abbad bin ‘Abdullah yang berkata Ali berkata “aku hamba Allah dan saudara Rasul-Nya dan aku adalah shiddiq al akbar tidak ada yang mengatakan setelahku kecuali ia seorang pendusta. Aku shalat tujuh tahun sebelum orang lain shalat [Sunan Ibnu Majah 1/44 no 120].
Riwayat ini juga disebutkan dalam Mustadrak Al Hakim no 4584, Sunan Al Kubra An Nasa’i no 8338, Khasa’is An Nasa’i no 7, Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 32084, Ma’rifat As Shahabah Abu Nu’aim no 322, Al Ahad Wal Matsani 1/148 no 178 dan As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1125. Semuanya diriwayatkan dari jalan Minhal bin Amru dari ‘Abbad bin Abdullah dari Ali. Riwayat ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan shaduq kecuali ‘Abbad bin ‘Abdullah Al Asadiy ia seorang yang diperselisihkan tetapi pendapat yang rajih ia seorang yang hadisnya hasan.
1. Muhammad bin Ismail Ar Raziy adalah perawi Ibnu Majah telah meriwayatkan darinya Ibnu Majah, Abu Hatim dan yang lainnya. Abu Hatim berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 9 no 60]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 2/56]. Adz Dzahabi menyatakan ia shaduq [Al Kasyf no 4725]
2. Ubaidillah bin Musa seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat shaduq hasanul hadits. Al Ijli, Ibnu Ady dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menyatakan ia tasyayyu’. Ibnu Qani’ berkata orang kufah yang shalih dan tasyayyu’ [At Tahdzib juz 7 no 97]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat dan tasyayyu’ [At Taqrib 1/640]
3. Al A’la bin Shalih adalah perawi Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i. Ibnu Ma’in dan Abu Dawud menyatakan tsiqat. Abu Hatim berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Yaqub bin Sufyan, Al Ijli dan Ibnu Numair menyatakan ia tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia meriwayatkn hadis-hadis mungkar”. Ibnu Khuzaimah berkata “syaikh” [At Tahdzib juz 8 no 331]. Ibnu Hajar berkata “shaduq pernah keliru” [At Taqrib 1/763]. Adz Dzahabi menyatakan ia tsiqat memiliki riwayat gharib [Al Kasyf no 4334]
4. Minhal bin ‘Amru Al Asdiy adalah perawi Bukhari dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in dan Nasa’i menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Daruquthni menyatakan ia shaduq. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. [At Tahdzib juz 10 no 556]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq tertuduh keliru tetapi dikoreksi dalam At Tahrir kalau ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 6918].
5. ‘Abbad bin ‘Abdullah Al Asdiy seorang yang diperbincangkan kedudukannya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 5 no 4268]. Al Ijli menyatakan ia tabiin kufah yang tsiqat [Ma’rifat Ats Tsiqat no 840]. Bukhari berkata “fihi nazhar”. Ali bin Madini menyatakan ia dhaif al hadits. Ibnu Sa’ad berkata “ia memiliki hadits”. Ibnu Jauzi berkata “Ahmad bin Hanbal melemparkan hadisnya dari Ali “aku adalah shiddiq al akbar” dan berkata mungkar. Ibnu Hazm menyatakan ia majhul [At Tahdzib juz 5 no 165].
Mengenai perkataan Bukhari “fihi nazhar” maka terdapat pembicaraan oleh para ulama mengenai istilah ini. Ada yang mengatakan istilah ini bersifat jarh yang keras namun ada pula yang berkata bersifat pertengahan [tergantung qarinah yang ada]. Jarh ini dinyatakan oleh Bukhari dalam kitabnya Tarikh Al Kabir biografi Abbad bin ‘Abdullah Al Asdiy [tetapi ia tidak memasukkannya dalam Adh Dhu’afa] dan kemudian Bukhari menyebutkan hadis peristiwa turunnya ayat al inzar dimana Nabi mengumpulkan para kerabatnya. Tampaknya hadis ini yang dipermasalahkan oleh Bukhari.
Hadis yang dipermasalahkan Bukhari juga disebutkan oleh Ibnu Jarir Ath Thabari dalam kitabnya Tahdzib Al Atsar dan ia berkata “kabar ini di sisi kami sanadnya shahih” [Tahdzib Al Atsar no 1367]. Pernyataan Ibnu Jarir bahwa sanadnya shahih berarti di sisi Ibnu Jarir, ‘Abbad bin ‘Abdullah Al Asdiy adalah seorang yang tsiqat. Hadis yang disebutkan Bukhari itu juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dimana Al Haitsami berkata “riwayat Ahmad dan sanadnya jayyid” [Majma’ Az Zawaid 9/146 no 14665] padahal Al Haitsami mengetahui kalau dalam sanad tersebut terdapat ‘Abbad bin ‘Abdullah Al Asdiy. Pernyataan Al Haitsami kalau sanadnya jayyid itu berarti di sisi Al Haitsami ‘Abbad bin ‘Abdullah itu mendapat predikat ta’dil. Tidak bisa dikatakan kalau Al Haitsami tidak mengetahui pernyataan Bukhari soal ‘Abbad karena jelas-jelas dalam kitabnya Majma’ Az Zawaid, Al Haitsami pernah menulis “riwayat Abu Ya’la dan didalamnya ada ‘Abbad bin ‘Abdullah Al Asdiy ditsiqatkan Ibnu Hibban dan berkata Bukhari “fihi nazhar” [Majma’ Az Zawaid 7/475 no 12029]. Hal ini membuktikan bahwa jarh Bukhari “fihi nazhar” di sisi Al Haitsami tidak mencegahnya untuk menta’dilkan ‘Abbad bin ‘Abdullah Al Asdiy.
Mengenai pernyataan Ali bin Madini yang dikutip Ibnu Hajar itu tidak memiliki asal penukilan yang tsabit kecuali ia mengutip apa yang disebutkan Ibnu Jauzi dalam Adh Dhu’afa [Ad Dhu’afa Ibnu Jauzi no 1780]. Pernyataan Ali bin Madini ini tidak ditemukan dalam Tahdzib Al Kamal biografi ‘Abbad bin ‘Abdullah dan tidak juga ditemukan dalam Su’alat Ibnu Abi Syaibah yang merupakan kitab yang memuat pendapat Ali bin Madini terhadap para perawi hadis. Dan juga tidak ditemukan dalam kitab Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim yang terkadang memuat pendapat Ali bin Madini soal perawi hadis. Abu Hatim menyebutkan biografi ‘Abbad bin ‘Abdullah tanpa menyebutkan jarh maupun ta’dil [Al Jarh Wat Ta’dil 6/82 no 420]. Ini membuktikan jarh terhadap ‘Abbad tidaklah masyhur di kalangan mutaqaddimin.
Begitu pula dengan perkataan Ibnu Jauzi yang mengutip pendapat Ahmad bin Hanbal juga tidak memiliki asal penukilan, pernyataan ini tidak ditemukan dalam kitab Al Ilal Ma’rifat Ar Rijal Ahmad bin Hanbal apalagi ternyata hadis ‘Abbad bin ‘Abdullah Al Asdiy ini dimuat oleh Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya Fadhail Ash Shahabah no 993. Bagaimana mau dikatakan Ahmad bin Hanbal melemparkan hadis itu kalau ternyata ia sendiri menyebutkannya dalam kitabnya Fadhail Ash Shahabah.
Mengenai pernyataan Ibnu Hazm kalau ‘Abbad majhul maka tertolak dengan adanya tautsiq dari para ulama seperti Ibnu Hibban, Al Ijli, Ibnu Jarir Ath Thabari dan Al Haitsami dimana sudah jelas majhulnya menjadi terangkat dengan adanya ta’dil dari ulama lain. Al Bushairi berkata soal hadis shiddiq al akbar riwayat ‘Abbad bin ‘Abdullah “hadis ini sanadnya shahih dan para perawinya tsiqat” [Misbah Az Zujajah 1/20 no 49]. Itu berarti Al Bushairi juga menyatakan ‘Abbad bin ‘Abdullah tsiqat.
Kesimpulan yang kami pilih soal kedudukan ‘Abbad bin ‘Abdullah Al Asdiy ini adalah ia seorang yang hadisnya hasan apalagi ia tergolong tabiin yang mendengar langsung dari Imam Ali. Kami tidak menafikan kalau ada sekelompok ulama yang melemahkan ‘Abbad seperti yang kami sebutkan diantaranya Bukhari, Ali bin Madini, Ibnu Jauzi yang diikuti oleh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi. Tetapi seperti yang telah kami bahas pada thread yang lain kalau sebenarnya mereka yang membicarakan ‘Abbad bin ‘Abdullah karena mereka menganggap bathil atu mungkar hadis yang ia riwayatkan. Tuduhan ini tidaklah memiliki bukti yang kuat, ambil contoh hadis “shiddiq al akbar” di atas yang dikatakan bathil atau mungkar oleh Adz Dzahabi dan yang lainnya, ternyata perkataan Imam Ali ini juga dikuatkan oleh riwayat Mu’adzah Al Adawiyah seperti yang kami sebutkan di atas. Soal lafaz lainpun juga tidak bisa dikatakan bathil karena juga telah diriwayatkan perawi lain dengan sanad yang hasan seperti berikut:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللهِ بْنُ نُمَيْرٍ , عَنِ الْحَارِثِ بْنِ حَصِيرَةَ , قَالَ :
حَدَّثَنِي أَبُو سُلَيْمَانَ الْجُهَنِيُّ , يَعْنِي زَيْدَ بْنَ وَهْبٍ ،
قَالَ : سَمِعْتُ عَلِيًّا عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُولُ : أَنَا
عَبْدُ اللهِ , وَأَخُو رَسُولِهِ صلى الله عليه وسلم , لَمْ يَقُلْهَا
أَحَدٌ قَبْلِي , وَلاَ يَقُولُهَا أَحَدٌ بَعْدِي إلاَّ كَذَّابٌ مُفْتَرٍ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair dari Al Harits bin Hashirah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Sulaiman Al Juhani yakni Zaid bin Wahb yang berkata aku mendengar Ali berkata di atas mimbar “aku adalah hamba Allah dan saudara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada seorangpun sebelumku yang mengatakannya dan tidak pula seorang pun setelahku mengatakannya kecuali ia seorang pendusta yang mengada-ada” [Al Mushannaf 12/62 no 32742].
Atsar ini kedudukannya hasan. Telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqat kecuali Al Harits bin Hashirah seorang yang shaduq hasanul hadis.
1. Abdullah bin Numair Al Hamdani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Al Ijli dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 6 no 110]
2. Al Harits bin Hashirah adalah perawi yang shaduq hasanul hadis. Ia adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad dan perawi Nasa’i dalam Khasa’is Ali. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Hibban, Al Ijli dan Ibnu Numair menyatakan tsiqat. Abu Dawud berkata “seorang syiah yang shaduq”. Al Uqaili mengatakan “hadisnya tidak memiliki mutaba’ah”. [At Tahdzib juz 2 no 236]
3. Zaid bin Wahb Al Juhani adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in, Ibnu Khirasy, Ibnu Sa’ad, Ibnu Hibban dan Al Ijli menyatakan “tsiqat” [At Tahdzib juz 3 no 781]
Begitu pula dengan perkataan Imam Ali kalau Beliau shalat tujuh tahun sebelum orang lain shalat tidak bisa dikatakan bathil karena memang dinyatakan dalam kabar yang shahih bahwa Beliau adalah orang yang pertama kali shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika belum diwajibkan perintah shalat kepada mereka yang baru memeluk islam.
حدثنا
أبو داود قال حدثنا شعبة قال أخبرني عمرو بن مرة قال سمعت أبا حمزة عن زيد
بن أرقم قال أول من صلى مع رسول الله صلى الله عليه و سلم علي
Telah menceritakan kepada kami Abu Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah yang berkata telah mengabarkan kepada kami Amru bin Murrah yang berkata telah mendengar Abu Hamzah dari Zaid bin Arqam yang berkata “Orang yang pertama kali shalat bersama Rasulullah SAW adalah Ali” [Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 2/61 no 713 dengan sanad yang shahih].
Kesimpulan Pembahasan
Kembali ke riwayat dengan lafaz “shiddiq al akbar”. Riwayat perkataan Imam Ali ini telah diriwayatkan oleh Mu’adzah Al Adawiyah dan ‘Abbad bin ‘Abdullah Al Asdiy. Riwayat Mu’adzah terdapat pembicaraan seputar Sulaiman bin ‘Abdullah Abu Fathimah dimana ia dimasukkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat dan telah meriwayatkan darinya Nuh bin Qais dan Abu Hilal Raasibiy. Riwayat ‘Abbad bin ‘Abdullah Al Asdiy terdapat pembicaraan seputar dirinya dimana ia dita’dilkan oleh sebagian ulama dan dilemahkan oleh sebagian yang lain. Secara keseluruhan kedua riwayat ini saling menguatkan karena diantara para perawinya tidak ada pendusta atau terbukti pemalsu hadis maka riwayat perkataan Imam Ali tersebut adalah riwayat yang hasan.
Terdapat sebagian orang [terutama dari kalangan syiah] yang menjadikan hadis ini sebagai dasar untuk menolak atau menafikan gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar. Kami tidak sependapat dengan pandangan ini. Pengakuan Imam Ali kalau beliau adalah shiddiq al akbar itu tidaklah menafikan kalau ada selain beliau yang dikatakan shiddiq. Sebagaimana yang diketahui kalau shiddiq al akbar itu berbeda dengan shiddiq. Gelar shiddiq bagi Abu Bakar adalah gelar yang masyhur dinisbatkan pada beliau dan disebutkan dalam tarikh kalau gelar ini diberikan karena beliau membenarkan peristiwa isra’ mi’raj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dihadapan orang kafir. Kami pribadi tidak pernah menafikan gelar ash shiddiq bagi Abu Bakar tetapi gelar tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk mengutamakan beliau dari Imam Ali karena Imam Ali juga adalah seorang shiddiq bahkan beliau adalah shiddiq al akbar karena Imam Ali lebih dahulu membenarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dibanding Abu Bakar.
15. Pembahasan Hadis “Ash Shiddiq” dan “Bintu Ash Shiddiq”
Tulisan ini hanya sekedar melanjutkan pembahasan mengenai sebutan Ash Shiddiq yang dinisbatkan kepada Abu Bakar radiallahu ‘anhu dan bagi kami juga layak dinisbatkan kepada Imam Ali alaihis salam. Sekali lagi kami tekankan agar pembaca tidak salah memahami pandangan kami dalam masalah ini. Dengan melihat berbagai dalil yang ada maka kami katakan bahwa nisbah Ash Shiddiq tidak hanya diperuntukkan bagi Abu Bakar tetapi juga kepada Imam Ali.
Hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih dalam penyebutan shiddiq adalah ketika Beliau bersama para sahabatnya berada di atas Hira atau Uhud, dan saat itu Abu Bakar dan Imam Ali juga ada bersama Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Seperti yang telah kami singgung sebelumnya terdapat beberapa hadis yang menunjukkan gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar tetapi hadis tersebut tidaklah tsabit dan begitu pula terdapat beberapa hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan sebutan Ash Shiddiq bagi Imam Ali tetapi hadis tersebut juga tidak tsabit. Berikut adalah hadis yang dijadikan dalil sebutan Ash Shiddiq bagi Abu Bakar.
Hadis Aisyah Lafaz “Bintu ASh Shiddiq”
حدثنا
ابن أبي عمر حدثنا سفيان حدثنا مالك بن مغول عن عبد الرحمن بن سعيد بن وهب
الهمداني أن عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم قالت سألت رسول الله صلى
الله عليه و سلم عن هذه الآية { والذين يؤتون ما آتوا وقلوبهم وجلة } قالت
عائشة هم الذين يشربون الخمر ويسرقون قال لا يا بنت الصديق ولكنهم الذين
يصومون ويصلون ويتصدقون وهم يخافون أن لا يقبل منهم أولئك الذين يسارعون في
الخيرات
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Umar telah menceritakan kepada kami Sufyaan telah menceritakan kepada kami Maalik bin Mighwal, dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Wahb Al-Hamdaaniy Bahwa ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat : ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang Rabb mereka berikan, dengan hati yang takut’ (Al Mu’minuun: 60)”. ‘Aaisyah bertanya : ”Apa mereka orang-orang yang meminum khamar dan mencuri ?”. Beliau menjawab : “Bukan, wahai putri Ash-Shiddiiq. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang puasa, shalat, dan bersedekah. Mereka takut kalau amalan mereka tidak diterima. Mereka itulah orang yang bersegera dalam kebaikan [Sunan Tirmidzi 5/327 no 3175].
Hadis ini juga disebutkan dalam Musnad Ahmad 6/159 no 25302 dengan lafaz “bukan wahai putri Abu Bakar wahai putri Ash Shiddiq” dan Musnad Ahmad 6/205 no 25746 dengan lafaz “bukan wahai putri Abu Bakar atau bukan wahai putri Ash Shiddiq”, Musnad Al Humaidi 1/132 no 275 dengan lafaz “bukan wahai putri Ash Shiddiq”, Mustadrak Al Hakim 2/393-394 no 3486 dengan lafaz “bukan” , Syu’ab Al Iman Baihaqi 1/477 no 762 dengan lafaz “bukan”, Tafsir Ath Thabari 19/47 dengan lafaz “bukan wahai putri Abu Bakar atau putri Ash Shiddiq”.
Hadis ini sanadnya dhaif karena ‘Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb Al Hamdani tidak pernah bertemu Aisyah radiallahu ‘anhu. Abu Hatim berkata “Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb Al Hamdani tidak pernah bertemu Aisyah radiallahu ‘anhu” [Jami’ Al Tahsil Fi Ahkam Al Marasil no 429].
Hadis ‘Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb Al Hamdani ini juga diriwayatkan dengan sanad yang bersambung kepada Aisyah tetapi masih terdapat pembicaraan dalam sanadnya. Hadis tersebut diriwayatkan dengan jalan dari ‘Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb Al Hamdani dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dari Aisyah sebagaimana yang disebutkan dalam Tafsir Ath Thabari 19/46 dengan lafaz jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “bukan” tanpa tambahan “putri Ash Shiddiq” dan disebutkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Awsath 4/198 no 3965 dengan lafaz “bukan wahai Aisyah” tanpa menyebutkan lafaz “putri Ash Shiddiq”.
Hadis ini juga diriwayatkan dalam Tafsir Ath Thabari 19/47 dengan sanad telah menceritakan kepada kami Al Qasim yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain yang berkata telah menceritakan kepadaku Jarir dari Laits bin Abi Sulaim dan Husyaim dari ‘Awwam bin Hausyab keduanya [Laits dan ‘Awwam] dari Aisyah hadis di atas dengan lafaz “wahai putri Abu Bakar atau wahai putri Ash Shiddiq”. Hadis ini memiliki dua jalan sanad yaitu:
1. Dari Qasim dari Husain dari Jarir dari Laits bin Abi Sulaim dari Aisyah.
2. Dari Qasim dari Husain dari Husyaim dari ‘Awwam bin Hausyab dari Aisyah.
Kedua jalan ini dhaif. Jalan pertama dhaif karena Laits bin Abi Sulaim telah dilemahkan oleh jumhur muhadditsin apalagi disebutkan kalau ia mengalami ikhtilath di akhir umurnya dan tidak diketahui apakah periwayatan Jarir dari Laits ini diriwayatkan sebelum atau setelah Laits mengalami ikhtilath. Selain itu Laits bin Abi Sulaim dimasukkan Ibnu Hajar dalam thabaqat keenam artinya ia tidak bertemu dengan seorangpun dari kalangan sahabat sehingga riwayatnya dari Aisyah adalah mursal [At Taqrib 2/48]. Jalan kedua tidak tsabit sampai ke ‘Awwam bin Hausyab karena Husyaim bin Basyir adalah mudallis martabat ketiga [Thabaqat Al Mudallisin no 111] dan disini riwayatnya dengan ‘an anah adalah dhaif. Selain itu ‘Awwam bin Hausyab dimasukkan Ibnu Hajar dalam tabaqat keenam artinya tidak bertemu dengan Aisyah sehingga riwayatnya disini mursal [At Taqrib 1/759].
Hadis Laits bin Abi Sulaim juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya dengan jalan sanad telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Abi Israil yang berkata telah menceritakan kepada kami Jarir dari Laits dari seorang laki-laki dari Aisyah hadis di atas dengan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq atau wahai putri Abu Bakar” [Musnad Abu Ya’la 8/315 no 4917]. Hadis ini dhaif karena kelemahan Laits bin Abi Sulaim dan tidak diketahui apakah periwayatan Jarir dari Laits ini diriwayatkan sebelum atau setlah Laits mengalami ikhtilath serta majhulnya laki-laki yang meriwayatkan dari Aisyah.
Secara keseluruhan hadis ini sanadnya dhaif terutama lafaz “wahai putri Ash Shiddiq”. Yang meriwayatkan dari Aisyah adalah Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb, Laits bin Abi Sulaim dan ‘Awwam bin Hausyab. Jalan ini tidak bisa saling menguatkan. Jalan Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb dhaif karena inqitha’ dan tidak bisa dikuatkan oleh jalan Laits bin Abi Sulaim karena Laits sendiri seorang yang dhaif dan riwayatnya juga inqitha’. Sedangkan jalan ‘Awwam bin Hausyab sendiri tidaklah tsabit sampai kepadanya ditambah lagi jalan ‘Awwam bin Hausyab juga inqitha’.
Memang jika dilihat diantara para syaikh [guru] Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb termasuk perawi-perawi yang tsiqat yaitu Sa’id bin Wahb, Salman Abu Hazim dan Asy Sya’bi tetapi hal ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk menguatkan riwayat ini seolah-olah riwayat ini berasal dari salah satu dari ketiga syaikh-nya bukan selainnya. Ini namanya menduga-duga alias mencari-cari hujjah karena yang namanya kemungkinan tidaklah menafikan kemungkinan yang lain apalagi diantara para syaikh Abdurrahman yang dikatakan meriwayatkan dari Aisyah adalah Asy Sya’bi dan riwayat Asy Sya’bi dari Aisyah sendiri ternyata mursal juga [Jami’ At Tahsil Fi Ahkam Al Marasil no 322].
Catatan : dalam kebanyakan riwayat Aisyah ini dibawakan dengan lafaz “wahai putri Abu Bakar atau wahai putri Ash Shiddiq”. Terdapat keraguan perawi soal lafaz yang benar, ada yang mengatakan keraguan ini tidak memudharatkan karena tidak menafikan satu dengan yang lainnya. Tentu saja yang jadi masalah ini bukan soal menafikan atau tidak tetapi soal yang mana yang tsabit dari lafaz tersebut karena tidak mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan dengan lafal yang mengandung syak [keraguan] seperti itu. Bahkan dalam sebagian riwayat Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb yang dikatakan sanad paling kuat dalam masalah ini tetap saja memuat lafaz “wahai putri Abu Bakar atau wahai putri Ash Shiddiq” [lihat riwayat Ahmad dan Ath Thabari] dan sebagian lainnya hanya memuat lafaz “tidak” tanpa ada tambahan “putri shiddiq” [lihat riwayat Al Hakim dan Baihaqi]. Jadi masih ada kemungkinan lafaz “putri shiddiq” ini adalah tambahan dari perawinya. Riwayat Abdurrahman bin Sa’id dalam Sunan Tirmidzi di atas yang dengan jelas menyebutkan lafaz “putri Ash Shiddiq” tidak bisa dijadikan hujjah untuk menolak kemungkinan ini karena bisa saja perawi diantara Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb dan Aisyah yang menambahkan lafaz “putri Ash Shiddiq” tersebut karena dalam jalan sanad yang maushul dari Aisyah tidak terdapat lafaz “wahai putri Ash Shiddiq”.
حدثنا
الحميدي قال ثنا سفيان قال ثنا داود بن أبي هند عن الشعبي عن مسروق عن
عائشة أنها قالت يا رسول الله يوم تبدل الأرض غير الأرض فأين الناس يومئذ
قال على الصراط يا بنت الصديق
Telah menceritakan kepada kami Al Humaidi yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abi Hind dari Asy Sya’bi dari Masruq dari Aisyah bahwa ia pernah berkata “wahai Rasulullah pada hari ketika bumi diganti dengan bumi yang lain, maka dimanakah manusia pada saat itu?. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “di atas shiraath wahai putri Ash Shiddiq” [Musnad Al Humaidi 1/132 no 274].
Penyebutan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” dalam hadis ini adalah tambahan dari salah satu perawinya karena dalam semua riwayat hadis ini selain riwayat Al Humaidi di atas tidak mengandung lafaz tersebut. Hadis di atas diriwayatkan dari Dawud bin Abi Hind dari Asy Sya’bi dimana terkadang ia meriwayatkan dari Aisyah dan terkadang melalui perantaraan Masruq.
1. Abdul A’la meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” [Musnad Ishaq bin Rahawaih 3/802 no 1438 dan 3/932 no 1633, Tafsir Ath Thabari 17/50]. Abdul A’la bin Abdul A’la seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/551].
2. Wuhaib bin Khalid meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” [Musnad Ahmad 6/134 no 25067]. Wuhaib bin Khalid seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/293].
3. Ismail bin ‘Ulayyah meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” [Musnad Ahmad 6/218 no 25870]. Ismail bin ‘Ulayyah seorang yang tsiqat hafizh [At Taqrib 1/90].
4. Yazid bin Zurai’ meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” [Tafsir Ath Thabari 17/50]. Yazid bin Zurai’ seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/324].
5. Bisyr bin Mufadhdhal meriwayatkan dari Dawud dengan matan riwayat serupa dengan riwayat Yazid bin Zurai’ yaitu dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” [Tafsir Ath Thabari 17/50]. Bisyr bin Mufadhdhal seorang ahli ibadah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/130]
6. Rib’iy bin Ibrahim Al Asdiy meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” [Tafsir At Thabari 17/51]. Rib’iy bin Ibrahim Al Asdiy seorang yang tsiqat shalih [At Taqrib 1/292].
7. Abdurrahiim bin Sulaiman Al Kinaniy meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” [Tafsir Ath Thabari 17/50]. Abdurrahiim bin Sulaiman Al Kinaniy seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/598].
8. Ismail bin Zakariya Al Asdiy meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz serupa lafaz riwayat Abdurrahiim bin Sulaiman Al Kinaniy yaitu “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” [Tafsir Ath Thabari 17/50]. Ismail bin Zakariya seorang yang shaduq dan sedikit salahnya [At Taqrib 1/94].
9. Muhammad bin Ibrahim bin Abi ‘Adiy meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” [Musnad Ahmad 6/35 no 24115]. Muhammad bin Ibrahim bin Abi ‘Adiy seorang yang tsiqat [At Taqrib 2/50].
10. Aliy bin Mushir meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” [Sunan Ibnu Majah 2/1430 no 4279 dan Shahih Muslim 4/2150 no 2790]. Aliy bin Mushir seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/703].
11. Khalid bin ‘Abdullah meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” [Sunan Ad Darimi 2/423 no 2809]. Khalid bin Abdullah Al Wasithiy seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/259].
12. Ubaidah bin Humaid Al Kufiy meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” [Shahih Ibnu Hibban 16/387 no 7380]. Ubaidah bin Humaid Al Kufiy seorang yang shaduq tetapi pernah salah [At Taqrib 1/649].
13. Hafsh bin Ghiyats meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” [Shahih Ibnu Hibban 2/40 no 331]. Hafsh bin Ghiyats seorang yang tsiqat faqih mengalami sedikit perubahan hafalan di akhir umurnya [At Taqrib 1/229].
14. Mahbub bin Hasan meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” [Mustadrak Al Hakim juz 2 no 3344]. Mahbub Bin Hasan adalah Muhammad bin Hasan bin Hilal seorang yang shaduq tetapi ada kelemahan padanya [At Taqrib 2/67]
Dapat dilihat bahwa jamaah tsiqat telah meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq”. Hanya Sufyan bin Uyainah yang meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath wahai putri Ash Shiddiq”. Lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” adalah tambahan dari perawinya mungkin Sufyan bin Uyainah atau mungkin Al Humaidi disini kemungkinan besar yang keliru adalah Sufyan bin Uyainah karena walaupun ia dikatakan seorang yang tsiqat faqih hafizh imam hujjah tetapi ia juga mengalami perubahan hafalan di akhir umurnya [At Taqrib 1/371]. Apalagi di saat lain Sufyan bin Uyainah juga meriwayatkan dari Dawud dengan lafaz “di atas shiraath” tanpa tambahan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” seperti riwayat berikut:
حدثنا
ابن أبي عمر حدثنا سفيان عن داود بن أبي هند عن الشعبي عن مسروق قال تلت
عائشة هذه الآية { يوم تبدل الأرض غير الأرض } قالت يا رسول الله فأين يكون
الناس ؟ قال على الصراط
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Umar yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Dawud bin Abi Hind dari Asy Sya’bi dari Masruq yang berkata Aisyah bertanya tentang ayat “pada hari ketika bumi diganti dengan bumi yang lain” Aisyah bertanya wahai Rasulullah dimanakah manusia pada saat itu?. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab “di atas shiraath” [Sunan Tirmidzi 5/296 no 3121 dishahihkan oleh Tirmidzi].
Riwayat dengan lafaz inilah yang sesuai dengan riwayat jamaah tsiqat dari Dawud bin Abi Hind sedangkan riwayat dengan lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” bisa jadi adalah tambahan dari Sufyan bin Uyainah karena diantara semua murid Dawud bin Abi Hind tidak ada satupun yang meriwayatkan dengan lafaz tambahan tersebut. Padahal kalau diperhatikan baik-baik lafaz “wahai putri Ash Shiddiq” terikat dengan lafaz “di atas shiraath” karena merupakan satu kalimat jawaban dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi sangat tidak masuk akal kalau jamaah perawi tsiqat bersepakat untuk memotong atau tidak menyebutkan lafaz perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaiahi wasallam tersebut. Jauh lebih mungkin kalau Sufyan bin Uyainah yang keliru menambahkan lafaz tersebut apalagi disini yang meriwayatkan dengan tanpa tambahan lafaz itu sangat banyak bukannya satu atau dua orang perawi bahkan sebagian diantaranya tidak kalah tsiqat tsabit dibanding Sufyan bin Uyainah.
Atsar Muhammad bin Sirin
حدثنا
أبو أسامة عن هشام عن محمد قال ذكر رجلان عثمان فقال أحدهما قتل شهيدا ،
فتعلق به الآخر فأتى به عليا فقال هذا يزعم أن عثمان بن عفان قتل شهيدا ،
قال قلت ذاك ، قال نعم ، أما تذكر يوم أتيت النبي صلى الله عليه وسلم وعنده
أبو بكر وعمر وعثمان ، فسألت النبي صلى الله عليه وسلم فأعطاني وسألت أبا
بكر فأعطاني ، وسألت عمر فأعطاني ، وسألت عثمان فأعطاني فقلت : يا رسول
الله ! ادع الله أن يبارك لي قال ” وما لك لا يبارك لك وقد أعطاك نبي وصديق
وشهيدان ” ، فقال علي دعه دعه دعه
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah dari Hisyaam dari Muhammad ia berkata dua orang laki-laki membicarakan ‘Utsmaan. Salah seorang di antara keduanya berkata “Ia terbunuh sebagai syahiid”. Namun temannya membantahnya, yang kemudian ia menghadapkannya kepada ‘Aliy. Orang tersebut berkata “Orang ini berkata bahwa ‘Utsmaan bin ‘Affaan terbunuh sebagai syahiid”. ‘Aliy bertanya kepada temannya “Apakah engkau mengatakannya ?”. Ia berkata “benar, tidakkah engkau ingat pada hari ketika aku mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimana di samping beliau ada Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan. Maka aku meminta sesuatu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pun memberiku. Dan aku meminta sesuatu kepada Abu Bakr, ia pun memberiku. Dan aku meminta meminta sesuatu kepada ‘Umar, ia pun memberiku. Dan aku meminta sesuatu kepada ‘Utsmaan, ia pun memberiku. Lalu aku berkata ‘Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar aku diberikan barakah”. Beliau bersabda “Bagaimana engkau ini tidak diberkahi, padahal Nabi, shiddiiq, dan dua orang syahiid telah memberimu”. ‘Aliy berkata “Biarkan ia, biarkan ia, biarkan ia” [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 12/19].
Riwayat ini juga dibawakan Abu Ya’la dalam Musnad-nya dengan jalan sanad dari Hudbah dari Hammam dari Qatadah dari Ibnu Sirin dengan matan seperti di atas [Musnad Abu Ya’la 3/176 no 1601]. Dan diriwayatkan oleh Aslam bin Sahl Al Wasithi dengan jalan sanad dari Mubarak bin Fadahalah dari Yunus bin Ubaid dari Ibnu Sirin [Tarikh Wasith 1/211]. Kisah ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqat hingga ke Muhammad bin Sirin tetapi riwayat ini mengandung illat [cacat] yaitu inqitha’ sanadnya [terputus] karena Muhammad bin Sirin tidaklah menyaksikan peristiwa tersebut.
Muhammad bin Sirin memang menemui masa kekhalifahan Ali, tetapi ketika itu ia masih sangat kecil dan belum memenuhi syarat untuk menerima atau meriwayatkan hadis. Muhammad bin Sirin lahir dua tahun akhir kekhalifahan Utsman radiallahu ‘anhu [At Tahdzib juz 9 no 338]. Jadi ketika Utsman terbunuh dan Imam Ali memegang pemerintahan umur Muhammad bin Sirin masih sekitar dua atau tiga tahun, tentu saja dengan usia seperti ini periwayatannya tidak bisa diterima. Selain itu tidak ada satupun ulama yang menyebutkan kalau Muhammad bin Sirin meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib. Walaupun dikatakan ia juga meriwayatkan dari para sahabat tetapi tidak bisa dinafikan kalau iapun sering mengirsalkan hadis diantaranya riwayat mursalnya adalah dari Ibnu Abbas, Abu Darda, Ma’qil bin Yasar, Aisyah dan yang lainnya [Jami’ At Tahsil Fi Ahkam Al Marasil no 683].
Hadis Nabi Shiddiq dan Syahid
Seperti yang telah kami jelaskan dalam pembahasan sebelumnya kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama para sahabatnya di atas Uhud atau Hira dimana Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kalau di atasnya terdapat Nabi, shiddiq dan syahid adalah shahih. Hanya saja kami menafsirkan kalau shiddiq yang ada disana tidak hanya tertuju pada Abu Bakar ra tetapi juga tertuju kepada Imam Ali alalihis salam. Tentu saja penafsiran ini berdasarkan dua hal:
1. Keduanya Imam Ali dan Abu Bakar ikut berada di sana baik di atas Hira atau Uhud ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan sabda tersebut.
2. Keduanya memiliki kelayakan untuk dinyatakan sebagai Shiddiq. Imam Ali layak dikatakan shiddiq karena Beliaulah yang pertama kali membenarkan risalah Kenabian [berdasarkan riwayat shahih] dan Beliau senantiasa membenarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Bakar ra layak dikatakan shiddiq karena telah masyhur bahwa ia telah membenarkan peristiwa isra’ dan mi’raj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dihadapan kaum kafir.
Mengenai kisah ini memang terdapat sebagian riwayat yang menunjukkan kalau peristiwa itu terjadi di uhud dan sebagian riwayat yang menunjukkan kalau peristiwa itu terjadi di hira. Menurut kami semua riwayat itu tsabit sehingga tidak mungkin dilakukan tarjih menguatkan yang satu dan menafikan yang lainnya. Kesimpulan yang benar sudah tentu menjamak kedua versi riwayat tersebut. Kisah ini terjadi di kedua tempat tersebut yaitu di Hira dan di Uhud. Kemudian baik di Hira dan di Uhud Imam Ali dan Abu Bakar ada di sana bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hadis Tentang Hira
حدثنا
عاصم الأحول ثنا معتمر عن أبيه عن قتادة عن أبي غلاب عن رجل من أصحاب
النبي صلى الله عليه وسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم وأبا بكر وعمر
وعثمان كانوا على حراء فرجف بهم أو تحرك بهم فقال النبي صلى الله عليه وسلم
اثبت فإنما عليك نبي وصديق وشهيدان
Telah menceritakan kepada kami ‘Ashim Al ‘Ahwal yang menceritakan kepada kami Mu’tamar dari ayahnya dari Qatadah dari Abu Ghallab dari seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman berada di atas Hira’ kemudian tanah mengguncangkan mereka atau menggerakkan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “diamlah, sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi, Shiddiq dan dua orang syahid” [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1440 dan Al Ahad Wal Matsaaniy 5/341 no 2902].
حدثنا
عبد الله حدثني أبي ثنا علي بن الحسن أنا الحسين ثنا عبد الله بن بريدة عن
أبيه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان جالسا على حراء ومعه أبو بكر
وعمر وعثمان رضي الله عنهم فتحرك الجبل فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم
أثبت حراء فإنه ليس عليك إلا نبي أو صديق أو شهيد
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hasan yang berkata menceritakan kepada kami Husain yang berkata menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di atas Hira’ dan bersamanya ada Abu Bakar, Umar dan Utsman radiallahu ‘anhum kemudian gunung tersebut bergerak [bergetar] maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “diamlah Hira’ sesungguhnya tidak ada diatasmu kecuali Nabi atau shiddiq atau syahid” [Musnad Ahmad 5/346 no 22986, Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya kuat”].
Tentu kalau hanya berlandaskan hadis di atas maka dapat disimpulkan kalau yang berada di Hira bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya Abu Bakar ra, Umar ra dan Utsman ra. Tetapi kalau kita mengumpulkan berbagai riwayat lain tentang Hira ini maka dapat diketahui kalau Imam Ali berada di sana dan juga sahabat lainnya.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الأَزْدِيُّ قَالَ نا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ
بْنِ شَقِيقٍ قَالَ أنا الْحُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عَلَى حِرَاءٍ فَتَحَرَّكَ ، فَقَالَ مَا
عَلَيْكَ إِلا نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ شَهِيدٌ وَكَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ
وَعَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya Al Azdiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hasan bin Syaqiq yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Waqid dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya radiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atas Hira’ kemudian tanahnya bergerak-gerak. Beliau berkata “tidaklah diatasmu kecuali Nabi atau shiddiq atau syahid” yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali radiallahu ‘anhum ajma’iin [Musnad Al Bazzar no 4419].
حدثنا
قتيبة بن سعيد حدثنا عبد العزيز بن محمد عن سهيل بن أبي صالح عن ابيه عن
أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان على حراء هو و
أبو بكر و عمر و علي و عثمان و طلحة و الزبير رضي الله عنهم فتحركت الصخرة
فقال النبي صلى الله عليه و سلم اهدأ إنما عليك نبي أو صديق أوشهيد
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah berada di atas Hira’ bersama Abu Bakar, Umar, Ali, Utsman, Thalhah dan Zubair. Kemudian tanahnya bergerak-gerak, maka Nabi SAW bersabda “diamlah, sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid” [Sunan Tirmidzi 5/624 no 3696 dengan sanad shahih].
ثنا
محمد بن جعفر ثنا شعبة عن حصين عن هلال بن يساف عن عبد الله بن ظالم قال
خطب المغيرة بن شعبة فنال من علي فخرج سعيد بن زيد فقال ألا تعجب من هذا
يسب عليا رضي الله عنه أشهد على رسول الله صلى الله عليه و سلم انا كنا على
حراء أو أحد فقال النبي صلى الله عليه و سلم أثبت حراء أو أحد فإنما عليك
صديق أو شهيد فسمى النبي صلى الله عليه و سلم العشرة فسمى أبا بكر وعمر
وعثمان وعليا وطلحة والزبير وسعدا وعبد الرحمن بن عوف وسمى نفسه سعيدا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang menceritakan kepada kami Syu’bah dari Hushain dari Hilal bin Yisaaf dari Abdullah bin Zhaalim yang berkata “Mughirah bin Syu’bah berkhutbah lalu ia mencela Ali. Maka Sa’id bin Zaid keluar dan berkata “tidakkah kamu heran dengan orang ini yang telah mencaci Ali, Aku bersaksi bahwa kami pernah berada di atas gunung Hira atau Uhud lalu Beliau bersabda “diamlah hai Hira atau Uhud, karena di atasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid. Kemudian Nabi SAW menyebutkan sepuluh orang. Maka [Sa’id] menyebutkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad, Abdurrahman bin ‘Auf dan dirinya sendiri Sa’id” [Musnad Ahmad no 1638 dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir].
حدثنا
محمد قثنا محمد بن إسحاق قثنا روح قثنا شعبة عن قتادة عن أنس قال صعد
النبي صلى الله عليه وسلم حراء أو أحدا ومعه أبو بكر وعمر وعثمان فرجف
الجبل فقال اثبت نبي وصديق وشهيدان
Telah menceritakan kepada kami Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq yang berkata menceritakan kepada kami Rawh yang berkata menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Anas yang berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendaki Hira’ atau Uhud dan bersamanya ada Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian gunung berguncang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “ diamlah, ada Nabi, Shiddiq dan dua orang syahid” [Fadha’il Ash Shahabah no 869 dishahihkan oleh Washiullah ‘Abbas].
Di dalam hadis ini dikatakan terdapat lafal yang mengandung syak yaitu “Hira atau Uhud”. Ada yang mengatakan kalau syak seperti ini bukan jenis yang dapat dijamak karena kedua tempat tersebut berbeda dan berjauhan letaknya sedangkan peristiwa yang dibicarakan satu. Pernyataan ini keliru dan mungkin memang begitulah keterbatasan akalnya dalam memahami matan riwayat. Syak seperti ini masih dapat dijamak yaitu dengan memahami bahwa peristiwa tersebut terjadi di kedua tempat yaitu Hira dan Uhud. Terdapat riwayat shahih kalau peristiwa ini terjadi Hira dan terdapat riwayat shahih kalau peristiwa ini juga terjadi di Uhud. Jadi dimana letak susahnya menjamak lafal tersebut. Pendapat yang benar adalah riwayat yang mengandung lafal “Hira atau Uhud” menunjukkan kalau peristiwa itu memang terjadi di kedua tempat tersebut baik di Hira ataupun Uhud.
ثنا
يحيى بن خلف حدثنا أبو داود ثنا عمران عن قتادة عن أنس ابن مالك أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم كان على حراء فرجف بهم فقال أثبت فإنما عليك نبي
أو صديق أو شهيد وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم وعمر وعثمان وعلي
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Khalaf yang menceritakan kepada kami ‘Abu Dawud yang menceritakan kepada kami ‘Imran dari Qatadah dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atas Hira’ kemudian gunung mengguncangkan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “diamlah, sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid” yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Umar, Utsman dan Ali [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1439].
Hadis di atas para perawinya tsiqat kecuali ‘Imran Al Qaththan dia seorang yang hasanul hadis. Dia adalah perawi Bukhari dan Ashabus Sunan. Abdurrahman bin Mahdi meriwayatkan darinya yang berarti ia menganggapnya tsiqat. Yahya Al Qaththan memujinya. Ahmad berkata “ aku berharap hadisnya baik”. Ibnu Ma’in berkata “tidak kuat”. Abu Dawud terkadang berkata “termasuk sahabat Hasan dan tidaklah aku dengar tentangnya kecuali yang baik” terkadang Abu Dawud berkata “dhaif”. As Saji berkata “shaduq”. ‘Affan menyatakan tsiqat. Bukhari berkata “shaduq terkadang salah”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Daruquthni berkata “banyak melakukan kesalahan”. Al Hakim berkata “shaduq”. Ibnu Ady berkata “ditulis hadisnya” [At Tahdzib juz 8 no 226]. Pendapat yang rajih tentangnya adalah ia seorang yang shaduq terdapat kelemahan pada hafalannya tetapi tidak menurunkan hadisnya dari derajat hasan seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Al Albani. Ada orang yang melemahkan hadis Imran dari Qatadah ini dengan alasan ia telah menyelisihi para perawi tsiqat yang meriwayatkan dari Qatadah dimana:
1. Imraan menyebutkan Hira sedangkan perawi yang lain menyebutkan Uhud.
2. Imraan menyebutkan Ali sedangkan perawi yang lain menyebutkan Abu Bakar.
Tentu saja penyelisihan yang dimaksud tidaklah benar. Bukankah telah disebutkan sebelumnya berbagai riwayat tsabit menyatakan bahwa kisah ini tidak hanya terjadi di Uhud tetapi terjadi juga di Hira. Berbagai hadis Hira yang lain menjadi saksi kebenaran riwayat Imraan dari Qatadah dari Anas tentang Hira. Apakah suatu hal yang aneh jika Anas terkadang menyatakan peristiwa di Uhud dan terkadang di Hira?. Jelas tidak karena peristiwa itu memang terjadi di kedua tempat Hira dan Uhud. Begitu pula terbukti dalam hadis-hadis Hira tersebut kalau Imam Ali memang berada disana jadi Imraan tidaklah menyendiri dalam penyebutan Imam Ali di Hira. Tentu saja tidak bisa disimpulkan dari riwayat Imraan kalau orang yang dimaksud hanya terbatas pada Umar Utsman dan Ali karena berbagai riwayat lain juga menunjukkan kalau Abu Bakar dan sahabat lainnya juga berada disana. Kesimpulannya hadis Imraan ini hasan dan penyelisihan yang dituduhkan itu telah dikuatkan oleh berbagai riwayat tsabit yang lain.
Dengan berbagai hadis ini maka dapat disimpulkan kalau penyebutan Abu Bakar, Umar dan Utsman disana tidak bersifat mengkhususkan karena terbukti para sahabat lain termasuk Imam Ali juga berada di sana. Kesimpulan pada pembahasan hadis Hira ini adalah Imam Ali dan Abu Bakar keduanya berada disana bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hadis Tentang Uhud
حدثنا
محمد بن بشار حدثنا يحيى بن سعيد عن سعيد بن أبي عروبة عن قتادة عن أنس
حدثهم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صعد أحدا و أبو بكر و عمر و عثمان
فرجف بهم فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم اثبت أحد فإنما عليك نبي
وصديق وشهيدان
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar yang menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Sa’id bin Abi Arubah dari Qatadah dari Anas yang menceritakan kepada mereka bahwa Rasulullah SAW mendaki gunung uhud bersama Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian gunung Uhud mengguncangkan mereka. Rasulullah SAW bersabda “diamlah wahai Uhud sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi, shiddiq dan dua orang syahid” [Sunan Tirmidzi 5/624 no 3697].
Jika melihat hadis ini saja maka terlihat hanya Abu Bakar, Umar dan Utsman yang ada di Uhud bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam padahal riwayat-riwayat lain membuktikan kalau terdapat sahabat lain termasuk Imam Ali yang ikut berada di sana.
حَدَّثَنَا
أَبُو خَالِدٍ يَزِيدُ بْنُ سِنَانٍ وَعَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ الْمُغِيرَةِ قَالا ثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ قَالَ أَنْبَأَ
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ قَالَ
أَخْبَرَنِي رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى
الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْكُوفَةِ فِي زَمَانِ زِيَادِ بْنِ أَبِي
سُفْيَانَ وَهُوَ يَوْمَئِذٍ يَسُبُّ أَصْحَابَنَا وَاللَّهِ لا نَفْعَلُ
أَشْهَدُ لَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو
بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَطَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ وَعَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَأَنَا وَفُلانٌ
فَحَفِظَهُمْ زَيْدٌ حَتَّى اثْنَيْ عَشَرَ رَجُلا عَلَى أُحُدٍ فَرَجَفَ
بِنَا الْجَبَلُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ”
اسْكُنْ أُحُدُ فَإِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكَ إِلا نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ
شَهِيدٌ ” فَسَكَنَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Yazid bin Sinan dan ‘Ali bin ‘Abdurrahman bin Mughirah yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Abi Maryam yang berkata telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepadaku Zaid bin ‘Aslam yang berkata telah mengabarkan kepadaku seorang laki-laki dari penduduk Iraq bahwasanya ia pergi ke masjid yaitu masjid kufah di zaman Ziyad bin Abi Sufyan dan dia [Ziyad] pada hari itu mencaci sahabat kami. [laki-laki itu berkata] “demi Allah jangan melakukannya, aku menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, aku, fulan, Zaid menghafal sampai ada dua belas orang diatas Uhud. Kemudian gunung tersebut berguncang maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “tenanglah Uhud sesungguhnya tidaklah berada diatasmu kecuali Nabi atau shiddiq atau syahid” maka tenanglah gunung Uhud [Al Kuna Ad Duulabiy 1/89].
Ad Duulabiy menyebutkan kalau laki-laki penduduk Irak yang dimaksud adalah Sa’id bin Zaid radiallahu ‘anhu. Ini adalah sebuah kemungkinan yang tidak menafikan kemungkinan yang lain karena Zaid bin Aslam tidak dikenal meriwayatkan dari Sa’id bin Za’id dan Sa’id bin Zaid juga tidak dikenal sebagai penduduk Irak. Siapapun laki-laki penduduk Irak tersebut ia adalah seorang sahabat Nabi yang ikut menyaksikan peristiwa di uhud. Riwayat ini sanadnya shahih para perawinya tsiqat termasuk Ad Duulabiy sendiri.
Daruquthni berkata tentang Ad Dulabiy “ia dibicarakan tidaklah nampak dalam urusannya kecuali kebaikan”. Ibnu Khalikan berkata “ia seorang yang alim dalam hadis khabar dan tarikh”. Adz Dzahabi menyatakan ia seorang Imam hafizh dan alim. Ibnu Yunus berkata “ia telah dilemahkan” tetapi Ibnu Yunus juga mengatakan hadis tulisannya baik. Ibnu Ady berkata “ia tertuduh terhadap apa yang dikatakannya pada Nu’aim bin Hammad karena sikap kerasnya terhadap ahlur ra’yu” dan memang disebutkan Ibnu Ady kalau ia fanatik terhadap mahzab hanafi yang dianutnya. Pembicaraan terhadap Ad Dulabiy bukan terkait dengan hadis-hadisnya tetapi terkait dengan sikap terhadap mahzab hanafi yang dianutnya dan tentu saja pembicaraan ini tidak berpengaruh bagi kedudukannya sebagai seorang periwayat dan penulis hadis. Kesimpulannya ia seorang yang tsiqat seperti yang disebutkan dalam Irsyad Al Qadhi no 781.
Sebagian orang berusaha melemahkan riwayat Ad Duulabiy di atas dengan alasan riwayat tersebut tidak mahfuzh karena semua riwayat Sa’id bin Zaid menyebutkan kisah Hira bukannya Uhud. Terdapat dua kemungkinan soal riwayat Ad Duulabiy ini.
1. Kemungkinan pertama laki-laki penduduk Irak itu bukanlah Sa’id bin Zaid maka gugurlah hujjah pertentangannya [yang dituduhkan] dengan riwayat Sa’id bin Zaid.
2. Kemungkinan kedua laki-laki itu adalah Sa’id bin Zaid maka seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya kisah ini terjadi di Hira dan Uhud jadi tidaklah bertentangan kalau Sa’id bin Zaid terkadang menyatakan kesaksian soal Hira dan terkadang menyatakan kesaksian soal Uhud.
Jika diperhatikan matan riwayat Sa’id bin Zaid yang dibawakan dalam berbagai kitab hadis kemudian dibandingkan dengan riwayat Ad Duulabiy di atas maka terdapat petunjuk kalau kisah Ad Duulabiy ini berbeda dengan riwayat Sa’id bin Zaid yang lain.
Disebutkan diantaranya dalam Musnad Ahmad 1/188 no 1638, Sunan Nasa’i 5/58 no 8205 dan Mustadrak Al Hakim no 5898 kalau kisah Sa’id bin Zaid itu terjadi pada masa Mughirah bin Syu’bah menjadi gubernur Kufah dan ia berkhutbah mencela Ali dihadapan orang-orang termasuk Sa’id bin Zaid maka Sa’id menyampaikan hadis tersebut. Sedangkan riwayat Ad Duulabiy menyebutkan kalau kisah tersebut terjadi di masa Ziyad bin Abihi menjadi gubernur kufah [menggantikan Mughirah bin Syu’bah] dan ia berkhutbah mencaci sahabat Nabi [kemungkinan Imam Ali]. Jadi tidak ada alasan untuk mempertentangkan keduanya. Terlepas dari apakah laki-laki penduduk kufah itu adalah Sa’id bin Zaid atau bukan yang penting kisah riwayat Ad Duulabiy ini terjadi di zaman Ziyad bin Abihi bukan di zaman Mughirah bin Syu’bah.
Dengan riwayat ini diketahui kalau pada saat itu yang berada di Uhud ada dua belas orang yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan tiga orang yang tidak disebutkan namanya [diantara ketiga orang itu terdapat sahabat Nabi yang dalam riwayat Ad Duulabiy di atas termasuk penduduk Irak pada zaman Ziyad bin Abihi].
Sedangkan dalam kisah Hira yang ada saat itu beradasarkan riwayat Sa’id bin Zaid ada sepuluh orang yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad dan Sa’id bin Zaid. Baik di Hira ataupun Uhud Imam Ali dan Abu Bakar ada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
ثنا
عبيد الله بن معاذ ثنا أبي عن سعيد عن قتادة عن أنس بن مالك قال صعد رسول
الله صلى الله عليه وسلم أحدا واتبعه أبو بكر وعمر وعثمان وعلي فقال له
رسول الله صلى الله عليه وسلم اثبت أحد فإنما عليك نبي وصديق وشهيدان
Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Mu’adz yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku dari Sa’id dari Qatadah dari Anas bin Malik yang berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menaiki Uhud dan mengikutinya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “diamlah Uhud, sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi, shiddiq dan dua orang syahid” [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1438].
Hadis ini secara zahir sanadnya shahih tetapi mengandung illat [cacat] yaitu Sa’id bin Abi Arubah mengalami ikhtilath dan tidak diketahui apakah Mu’adz termasuk yang meriwayatkan dari Sa’id sebelum atau sesudah ikhtilath. Memang para perawi lain yang meriwayatkan dari Sa’id bin Abi Arubah tidak menyebutkan nama Imam Ali tetapi ini tidaklah bertentangan, apalagi riwayat ini dikuatkan oleh riwayat Ad Duulabiy sebelumnya yang menyebutkan kalau Imam Ali juga ada di atas Uhud. Jadi tidak ada alasan untuk menolak tambahan lafazh “Ali” dalam riwayat di atas karena terbukti dalam riwayat shahih kalau Imam Ali memang berada di sana.
Secara keseluruhan metode yang kami gunakan disini adalah menjamak semua hadis-hadis yang berkaitan dengan kisah ini karena metode ini lebih baik dari pada metode tarjih. Kesimpulan dari pengumpulan semua hadis-hadis di atas adalah kisah ini terjadi di Hira dan Uhud dimana pada saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama para sahabatnya termasuk Abu Bakar dan Imam Ali. Jadi tidak berlebihan jika kami katakan lafal “shiddiq” yang dimaksud dalam hadis di atas tidak tertuju hanya kepada Abu Bakar tetapi juga kepada Imam Ali karena Beliau juga layak disebut Ash Shiddiq.
16. Hadis Imam Ali Sahabat Yang Paling Berilmu : Keutamaan Di Atas Abu Bakar dan Umar
Tulisan kali ini hanya menguatkan pembahasan kami sebelumnya kalau Imam Ali adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling berilmu dibanding para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar dan Umar. Diriwayatkan kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Sayyidah Fathimah Alaihis salam
قال أو ما ترضين أني زوجتك أقدم أمتي سلما وأكثرهم علما وأعظمهم حلما
[Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam] bersabda “tidakkah engkau ridha kunikahkan dengan umatku yang paling dahulu masuk islam, paling banyak ilmunya dan paling besar kelembutannya”.
Hadis Hasan Lighairihi. Hadis ini diriwayatkan dalam Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no 31514 dan Al Ahad Al Mutsanna Ibnu Abi Ashim 1/142 no 169 dengan jalan dari Fadhl bin Dukain dari Syarik dari Abu Ishaq. Fadhl bin Dukain memiliki mutaba’ah dari Waki‘ bin Jarrah dari Syarik dari Abu Ishaq sebagaimana diriwayatkan dalam Mushannaf Abdurrazaq 5/490 no 9783 dan Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 1/94 no 156.
1. Fadhl bin Dukain adalah seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/11] dan Waki’ bin Jarrah seorang yang tsiqat hafizh dan ‘abid [At Taqrib 2/283-284].
2. Syarik bin Abdullah An Nakha’i perawi Bukhari dalam Ta’liq Shahih Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibrahim Al Harbi menyatakan ia tsiqat. Nasa’i menyatakan “tidak ada masalah padanya”. Ahmad berkata “Syarik lebih tsabit dari Zuhair, Israil dan Zakaria dalam riwayat dari Abu Ishaq”. Ibnu Ma’in lebih menyukai riwayat Syarik dari Abu Ishaq daripada Israil. [At Tahdzib juz 4 no 587].
3. Abu Ishaq adalah Amru bin Abdullah As Sabi’i perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Ibnu Ma’in, Nasa’i, Abu Hatim, Al Ijli menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 8 no 100].
Para perawi hadis ini tsiqat hanya saja Syarik seorang yang tsiqat tetapi terdapat pembicaraan pada hafalannya dan riwayat Abu Ishaq tersebut mursal. Kemudian hadis ini juga disebutkan dalam Tarikh Ibnu Asakir 42/132 dan Mudhih Awham Al Jami’ wat Tafriq Al Khatib 2/148 dengan jalan sanad dari Abu Ishaq dari Anas. Berikut sanad hadis riwayat Al Khatib.
أخبرنا
الحسن بن أبي بكر أخبرنا أبو سهل أحمد بن محمد بن عبد الله بن زياد القطان
حدثنا عبد الله بن روح حدثنا سلام بن سليمان أبو العباس المدائني حدثنا
عمر بن المثنى عن أبي إسحاق عن أنس رضي الله عنه
Telah mengabarkan kepada kami Al Hasan bin Abi Bakar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Sahl Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ziyaad Al Qaththan yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Rauh yang berkata telah menceritakan kepada kami Sallaam bin Sulaiman Abu ‘Abbas Al Mada’iniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Umar bin Al Mutsanna dari Abu Ishaq dari Anas radiallahu ‘anhu [Mudhih Awham Al Jami’ Wat Tafriq Al Khatib 2/148].
Hadis ini mengandung kelemahan karena di dalam sanadnya terdapat Sallam bin Sulaiman Al Mada’iniy dan Umar bin Al Mutsanna. Salam bin Sulaiman Al Mada’iniy terdapat pembicaraan tentang kedudukannya tetapi jika dianalisis dengan baik pendapat yang menta’dilkannya lebih kuat daripada yang menjarh-nya. Berikut keterangan para perawi sanad di atas.
1. Hasan bin Abi Bakar adalah Hasan bin Ahmad bin Ibrahim bin Hasan bin Muhammad bin Syadzaan Abu Ali bin Abu Bakar Al Baghdadi. Adz Dzahabi menyebutnya Imam, memiliki keutamaan dan shaduq [As Siyar 17/415 no 273]. Al Khatib berkata “kami menulis darinya dan ia shaduq” [Tarikh Baghdad 7/279].
2. Abu Sahl Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Ziyaad Al Qaththan seorang yang tsiqat. Adz Dzahabi menyebutnya Imam Muhaddis tsiqat [As Siyar 15/521 no 299].
3. ‘Abdullah bin Rauh Al Mada’iny seorang yang tsiqat. Al Khatib menyebutkan biografinya dalam Tarikh Baghdad bahwa ia seorang yang tsiqat shaduq [Tarikh Baghdad 9/461]. Daruquthni terkadang menyatakan tsiqat dan terkadang menyatakan “tidak ada masalah padanya” [Mausu’ah Qaul Daruquthni no 1840].
4. Sallam bin Sulaiman Al Mada’iniy seorang yang diperbincangkan. Abu Hatim yang meriwayatkan darinya berkata “tidak kuat”. Nasa’i dalam Al Kuna menyebutkan telah mengabarkan kepada kami ‘Abbas bin Walid yang berkata telah menceritakan kepada kami Sallaam bin Sulaiman Abul Abbas seorang penduduk madinah yang tsiqat. [At Tahdzib juz 4 no 498]. Al Uqaili memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa dan berkata “di dalam hadisnya dari perawi tsiqat terdapat hal-hal yang mungkar” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 2/161 no 668]. Ibnu Ady berkata “mungkar al hadits” [Al Kamil Ibnu Ady 3/309].
5. Umar bin Al Mutsanna, telah meriwayatkan darinya Sallam bin Sulaiman, Umar bin Ubaid Ath Thanafisiy, A’la bin Hilal Al Bahiliy dan Baqiyah bin Walid. Abu Arubah menyebutkannya dalam Thabaqat ketiga dari tabiin ahlul jazirah [At Tahdzib juz 7 no 820]. Ibnu Hajar berkata “mastur” [At Taqrib 1/725]. Al Uqailiy memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa dan berkata “Umar bin Al Mutsanna meriwayatkan dari Qatadah dan telah meriwayatkan darinya Baqiyah, hadisnya tidak mahfuzh” kemudian Al Uqailiy membawakan hadis yang dimaksud yaitu riwayat Umar bin Al Mutsanna dari Qatadah dari Anas [Adh Dhu’afa Al Uqailiy 3/190 no 1185]. Pernyataan Al Uqailiy patut diberikan catatan, hadis yang disebutkannya sebagai tidak mahfuzh bukan bukti kelemahan Umar bin Al Mutsanna karena dalam sanad hadis tersebut Qatadah meriwayatkan secara ‘an ‘anah dari Anas dan ma’ruf diketahui kalau Qatadah perawi mudallis martabat ketiga yang berarti sering melakukan tadlis dari perawi dhaif sehingga riwayatnya dengan ‘an ‘anah dinilai dhaif. Jadi sangat mungkin kalau hadis ini tidak mahfuzh karena tadlis Qatadah.
Daruquthni menyebutkan juga hadis ini dan mengatakan Umar bin Al Mutsanna meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Bara’ dari Fathimah. Kemudian ia berkata “tidak dikenal kecuali dari hadis ini” [Mausu’ah Qaul Daruquthni no 2565].
Pernyataan Daruquthni keliru karena riwayat yang benar disini adalah riwayat Umar bin Al Mutsanna dari Abu Ishaq dari Anas sebagaimana yang disebutkan di atas. Disini Daruquthni tidak menyebutkan sanadnya secara lengkap kemudian Daruquthni juga keliru karena Umar bin Al Mutsanna tidak hanya dikenal melalui hadis ini. Umar bin Al Mutsanna juga memiliki hadis lain salah satunya dalam kitab Sunan Ibnu Majah riwayat Umar bin Ubaid Ath Thanafisiy dari Umar bin Al Mutsanna dari Atha Al Khurasaniy dari Anas bin Malik [Sunan Ibnu Majah 1/182 no 548].
Pembahasan Kedudukan Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iniy
Yang memberikan predikat ta’dil pada Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny adalah ‘Abbas bin Walid Al Baryuthi seorang yang tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 6/214 no 1178] dan ‘Abbas bin Walid ini adalah salah satu murid dari Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny. Ia menyebutkan kalau gurunya Sallaam bin Sulaiman seorang yang tsiqat.
Kemudian jarh Abu Hatim “laisa bil qawiy” tidaklah menjatuhkan kedudukannya karena jarh seperti ini bisa berarti seseorang yang hadisnya hasan apalagi Abu Hatim terkenal tasyadud [ketat] dalam menilai perawi. Dalam hal ini Sallaam telah tetap penta’dilannya kalau ia seorang yang tsiqat maka jarh Abu Hatim disini diartikan hadisnya hasan [tidak mencapai derajat shahih] apalagi hal ini dikuatkan oleh kenyataan kalau Abu Hatim sendiri mengambil hadis dari Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny. Jika ia seorang yang dhaif di sisi Abu Hatim maka sudah pasti Abu Hatim tidak akan mengambil riwayat darinya.
Al Uqailiy menyebutkan Sallam meriwayatkan hadis mungkar dari perawi tsiqat kemudian ia membawakan hadis yang dimaksud yaitu hadis Sallam bin Sulaiman dari Syu’bah dari Zaid dari Abu Shadiq dari Abu Sa’id Al Khudri kemudian Al Uqaili berkata “hadis ini tidak ada asalnya dari Syu’bah dan juga tidak dari hadis perawi tsiqat” [Adh Dhu’afa Al Uqaili 2/161 no 668]. Hadis yang disebutkan Al Uqaili berasal dari Muhammad bin Zaidan Al Kufiy yang meriwayatkan dari Sallam bin Sulaiman Al Mada’iniy. Muhammad bin Zaidan Al Kufi adalah seorang yang majhul hal. Biografinya disebutkan dalam Tarikh Al Islam oleh Adz Dzahabi tanpa menyebutkan jarh dan ta’dil [Tarikh Al Islam 21/260]. Tentu saja jika dikatakan hadis tersebut tidak ada asalnya dari Syu’bah maka cacat atau kelemahan hadis tersebut lebih tepat ditujukan kepada Muhammad bin Zaidan Al Kufiy karena Sallaam bin Sulaiman Al Mad’iny telah mendapatkan predikat ta’dil.
Mengenai jarh Ibnu Ady “mungkar al hadis” maka banyak sekali catatan yang patut diberikan. Ibnu Ady menyatakan Sallaam bin Sulaiman sebagai mungkar al hadits dengan melihat berbagai hadis yang diriwayatkan oleh Sallaam. Hadis-hadis itulah yang menjadi dasar Ibnu Ady untuk menjarh Sallaam bin Sulaiman.
Ibnu Ady dalam hal ini keliru, Kekeliruan-nya yang pertama adalah ia menyebutkan kalau kuniyah Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny adalah Abul Mundzir. Hal ini tidak benar karena kuniyah Sallaam bin Sulaiman adalah Abul ‘Abbas. Kekeliruan-nya yang kedua adalah terkadang dalam riwayat yang ia sebutkan terdapat perkataan “Sallaam bin Sulaiman Abu Mundzir Al Qariy”. Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny tidak dikenal dengan sebutan Al Qariy.
Kekeliruan-nya yang ketiga adalah kebanyakan hadis-hadis yang ia sebutkan banyak yang tidak tepat ditujukan sebagai cacat Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny. Hal ini disebabkan dua alasan yaitu
1. Bisa jadi perawi yang meriwayatkan dari Sallaam adalah perawi dhaif sehingga ialah yang tertuduh, atau
2. Sallaam meriwayatkan dari perawi dhaif sehingga perawi itulah yang tertuduh dalam hadis tersebut.
Misalnya ada diantara hadis yang disebutkan Ibnu Ady adalah riwayat Dhahhak bin Hajwah Al Manbajiy dari Sallaam bin Sulaiman. Dhahak bin Hajwah ini dikatakan oleh Daruquthni adalah seorang pemalsu hadis [Mausu’ah Qaul Daruquthni no 1692] kemudian riwayat Muhammad bin Isa bin Hayan Al Mad’iniy dari Sallaam bin Sulaiman. Muhammad bin Isa bin Hayyan Al Mada’iny dikatakan Daruquthni adalah seorang yang “matruk al hadits” [Su’alat Al Hakim no 171]. Riwayat-riwayat perawi tersebut tidak bisa dijadikan bukti cacatnya Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iny.
Ibnu Ady juga membawakan riwayat Sallaam bin Sulaiman dari Katsir bin Sulaim. Katsir bin Sulaim adalah seorang yang dhaif. Ibnu Ma’in menyatakan dhaif. Yahya berkata “tidak ditulis hadisnya”. Nasa’i menyatakan matruk [At Tahdzib juz 8 no 747]. Kemudian terdapat riwayat Sallam bin Sulaiman dari Maslamah bin Ash Shalt. Abu Hatim berkata tentangnya “matruk al hadits” [Al Jarh Wat Ta’dil 8/269 no 1228]. Ibnu Ady juga menyebutkan riwayat Sallaam bin Sulaiman dari Muhammad bin Fadhl bin Athiyah. Muhammad bin Fadhl bin Athiyyah dikatakan Ibnu Ma’in “dhaif” atau “tidak ada apa-apanya dan tidak ditulis hadisnya” atau “pendusta tidak tsiqat”. Abu Zur’ah dan Ibnu Madini mendhaifkannya. Abu Hatim berkata “matruk al hadits pendusta”. Muslim, Nasa’i, Daruquthni dan Ibnu Khirasy berkata “matruk”. Shalih bin Muhammad berkata “pemalsu hadis”. Ibnu Hibban berkata ia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari perawi tsabit dan tidak halal meriwayatkan darinya. [At Tahdzib juz 9 no 658]. Yang terakhir Ibnu Ady membawakan riwayat Sallaam dari Nahsyal bin Sa’id dari Dhahhak dari Ibnu Abbas. Nahsyal bin Sa’id dikatakan Ibnu Ma’in “tidak tsiqat”, Abu Dawud Ath Thayalisi dan Ishaq bin Rahawaih menyatakan “pendusta”. Abu Zur’ah dan Daruquthni berkata “dhaif”. Nasa’i dan Abu Hatim menyatakan matruk. Abu Sa’id An Nuqaasy berkata “ia meriwayatkan dari Adh Dhahhak hadis-hadis palsu” [At Tahdzib juz 10 no 866]. Riwayat-riwayat ini juga tidak bisa dijadikan bukti untuk menjarh Sallaam bin Sulaiman Al Mada’iniy.
Hadis di atas memiliki syahid yaitu diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 5/26 no 20322 dan Mu’jam Al Kabir Ath Thabrani 2/229 no 16323 dengan jalan sanad dari Abu Ahmad Az Zubairi dari Khalid bin Thahman dari Nafi’ bin Abi Nafi’ dari Ma’qil bin Yasar secara marfu’.
1. Abu Ahmad Az Zubairi adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair Al Asdi perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Al Ijli dan Ibnu Qani’ menyatakan tsiqat. Abu Zur’ah, Ibnu Khirasy, Ibnu Numair dan Ibnu Sa’ad berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 9 no 422]. Ibnu Hajar mengatakan tsiqat tsabit [At Taqrib 2/95].
2. Khalid bin Thahman adalah perawi yang shaduq. Abu Hatim mengatakan ia syiah dan tempat kejujuran. Abu Ubaid berkata “Abu Dawud tidak menyebutnya kecuali yang baik”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “terkadang salah atau keliru”. Ibnu Ma’in berkata “dhaif” tetapi Ibnu Ma’in menjelaskan kalau ia dhaif karena ikhtilath sedangkan sebelum ia mengalami ikhtilath maka ia tsiqat. Ibnu Jarud berkata “dhaif” [At Tahdzib juz 3 no 184]. Ibnu Hajar berkata “shaduq tasyayyu’ dan mengalami ikhtilath” [At Taqrib 1/259]. Adz Dzahabi berkata “seorang syiah yang shaduq didhaifkan oleh Ibnu Ma’in” [Al Kasyf no 1330]. Pendapat yang rajih disini Khalid bin Thahman seorang yang shaduq sedangkan pembicaraan kepadanya disebabkan ia mengalami ikhtilath sebelum wafatnya.
3. Nafi’ bin Abu Nafi’ adalah tabiin yang tsiqat. Ia meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar dan Abu Hurairah dan telah meriwayatkan darinya Khalid bin Thahman dan Ibnu Abi Dzi’b. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat [Tahdzib Al Kamal no 2370]. Adz Dzahabi berkata “Nafi’ bin Abi Nafi’ Al Bazzaz meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ma’qil bin Yasar, telah meriwayatkan darinya Khalid bin Thahman dan Ibnu Abi Dzi’b, ia seorang yang tsiqat [Al Kasyf no 5788].
Terdapat sedikit pembicaraan tentang Nafi’ bin Abu Nafi’. Ibnu Hajar dalam At Tahdzib menyebutkan kalau Nafi’ yang meriwayatkan dari Abu Hurairah berbeda dengan yang meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar. Ibnu Hajar menyatakan kalau yang meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar adalah Abu Daud Nufai’ dan dia dhaif. [At Tahdzib juz 10 no 740].
Pernyataan ini patut diberikan catatan, yang disebut sebagai Abu Daud Nufai’ adalah Nufai’ bin Al Harits Al Hamdani Ad Darimi dia seorang yang matruk, pendusta dan dhaif. Biografinya disebutkan Ibnu Hajar dalam At Tahdzib [At Tahdzib juz 10 no 849]. Nufai’ bin Al Harits tidak dikenal dengan sebutan Ibnu Abi’ Nafi’ sedangkan zahir sanad tersebut adalah Nafi’ bin Abi Nafi’. Jadi menyatakan kalau Nafi’ bin Abi Nafi’ yang meriwayatkan dari Ma’qil adalah Nufai’ bin Al Harits Abu Dawud jelas membutuhkan bukti kuat. Apalagi telah disebutkan kalau Al Mizziy dan Adz Dzahabi menyebutkan dengan jelas kalau Nafi’ bin Abi Nafi’ baik yang meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ma’qil bin Yasar adalah orang yang sama.
Selain itu Ibnu Hajar sendiri terbukti tanaqudh soal Nafi’ bin Abi Nafi’. Adz Dzahabi dalam biografi Khalid bin Thahman menyebutkan hadis riwayat Tirmidzi yaitu riwayat Khalid bin Thahman dari Nafi bin Abu Nafi’ dari Ma’qil bin Yasar. Kemudian Adz Dzahabi berkomentar “tidak dihasankan oleh Tirmidzi, hadis sangat gharib dan Nafi’ tsiqat”. [Al Mizan juz 1 no 2433].
Ibnu Hajar berkomentar tentang hadis ini dalam Nata’ij Al Afkar “para perawinya tsiqat kecuali Al Khaffaf dia didhaifkan oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat berkata “terkadang salah dan keliru” [Nata’ij Al Afkar Ibnu Hajar 2/383]. Disini Ibnu Hajar menyatakan para perawinya tsiqat kecuali Al Khaffaaf yaitu Khalid bin Thahman padahal Khalid meriwayatkan dari Nafi’ bin Abi Nafi’ dari Ma’qil bin Yasar. Kalau memang dikatakan Nafi’ yang meriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar adalah Abu Daud Nufai’ seorang yang matruk, tidak mungkin Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat.
Kesimpulan Kedudukan Hadis
Secara keseluruhan hadis-hadis ini sanadnya saling menguatkan dan kedudukannya adalah hasan lighairihi. Riwayat Abu Ishaq yang mursal dikuatkan oleh riwayat Abu Ishaq oleh Umar bin Al Mutsanna seorang yang mastur dan riwayat ini memiliki syahid dari hadis Ma’qil bin Yasar dimana para perawinya tsiqat atau shaduq hanya saja Khalid dikatakan ikhtilath. Al Haitsami berkata tentang hadis ini “riwayat Ahmad dan Thabrani di dalam sanadnya ada Khalid bin Thahman yang ditsiqatkan Abu Hatim dan yang lainnya, sisa perawi lainnya adalah tsiqat” [Majma’ Az Zawaid 9/123 no 14595].
Penjelasan Singkat Hadis
Hadis ini menjadi bukti keutamaan Imam Ali di atas para sahabat lainnya termasuk Abu Bakar ra dan Umar ra. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kalau Imam Ali adalah orang yang paling terdahulu atau pertama keislamannya sebagaimana yang telah disebutkan dalam berbagai riwayat shahih kalau Imam Ali adalah orang pertama yang masuk Islam.
حدثنا
عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع ثنا شعبة عن عمرو بن مرة عن أبي حمزة مولى
الأنصار عن زيد بن أرقم قال أول من أسلم مع رسول الله صلى الله عليه و سلم
علي رضي الله تعالى عنه
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Amru bin Murrah dari Abu Hamzah Mawla Al Anshari dari Zaid bin Arqam yang berkata “Orang yang pertama kali masuk Islam dengan Rasulullah SAW adalah Ali radiallahu ta’aala ‘anhu” [Musnad Ahmad 4/368 sanadnya shahih].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kalau Imam Ali adalah orang yang paling banyak ilmu diantara umatnya, dan banyak sekali riwayat yang menunjukkan betapa tingginya ilmu imam Ali. Apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan Ahlul Bait Beliau [termasuk Imam Ali] sebagai pedoman atau pegangan bagi umat islam agar tidak tersesat, bukankah ini bukti nyata ketinggian ilmu Imam Ali.
Hadis ini juga menjadi bukti keutamaan di atas Abu Bakar dan Umar karena sebagaimana yang tertera dalam hadis shahih dan sirah bahwa keduanya telah melamar Sayyidah Fathimah Alaihis salam dan Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam menolak lamaran mereka berdua kemudian ketika Imam Ali melamar Sayyidah Fathimah Alaihis salam Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam menerimanya. Jadi pernyataan “paling berilmu” yang tertuju pada Imam Ali menunjukkan keutamaannya yang melebihi Abu Bakar dan Umar.
17. Hadis Sebutan Ash Shiddiq Bagi Imam Ali dan Abu Bakar
Pada pembahasan sebelumnya kami pernah mengatakan bahwa gelar Ash Shiddiq adalah gelar bagi Abu Bakar dan Imam Ali. Terdapat hadis-hadis yang menyatakan Abu Bakar sebagai Ash Shiddiq secara jelas tetapi sayang sekali hadis tersebut dibicarakan sanad-sanadnya. Begitu pula terdapat hadis yang secara jelas menyatakan Imam Ali sebagai Ash Shiddiq dan hadis ini pun juga dibicarakan sanad-sanadnya. Aneh bin ajaib ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka salafiyun merasa keberatan kalau Imam Ali disebut Ash Shiddiq. Menurut mereka gelar Ash Shiddiq mutlak untuk Abu Bakar saja. Diantara hadis yang paling sering mereka jadikan hujjah adalah :
حدثنا
محمد بن بشار حدثنا يحيى بن سعيد عن سعيد بن أبي عروبة عن قتادة عن أنس
حدثهم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صعد أحدا و أبو بكر و عمر و عثمان
فرجف بهم فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم اثبت أحد فإنما عليك نبي
وصديق وشهيدان
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar yang menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Sa’id bin Abi Arubah dari Qatadah dari Anas yang menceritakan kepada mereka bahwa Rasulullah SAW mendaki gunung uhud bersama Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian gunung Uhud mengguncangkan mereka. Rasulullah SAW bersabda “diamlah wahai Uhud sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi, shiddiq dan dua orang syahid” [Sunan Tirmidzi 5/624 no 3697].
Pada hadis ini tidak terdapat penyebutan secara jelas kalau Ash Shiddiq yang dimaksud adalah Abu Bakar dan perlu diketahui terdapat hadis-hadis lain yang menyebutkan kalau tidak hanya Abu Bakar, Umar dan Utsman yang berada disana tetapi juga terdapat Imam Ali dan sahabat yang lainnya.
حدثنا
قتيبة بن سعيد حدثنا عبد العزيز بن محمد عن سهيل بن أبي صالح عن ابيه عن
أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان على حراء هو و
أبو بكر و عمر و علي و عثمان و طلحة و الزبير رضي الله عنهم فتحركت الصخرة
فقال النبي صلى الله عليه و سلم اهدأ إنما عليك نبي أو صديق أوشهيد
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah berada di atas Hira’ bersama Abu Bakar, Umar, Ali, Utsman, Thalhah dan Zubair. Kemudian tanahnya bergerak-gerak, maka Nabi SAW bersabda “diamlah, sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid” [Sunan Tirmidzi 5/624 no 3696 dengan sanad shahih].
ثنا
محمد بن جعفر ثنا شعبة عن حصين عن هلال بن يساف عن عبد الله بن ظالم قال
خطب المغيرة بن شعبة فنال من علي فخرج سعيد بن زيد فقال ألا تعجب من هذا
يسب عليا رضي الله عنه أشهد على رسول الله صلى الله عليه و سلم انا كنا على
حراء أو أحد فقال النبي صلى الله عليه و سلم أثبت حراء أو أحد فإنما عليك
صديق أو شهيد فسمى النبي صلى الله عليه و سلم العشرة فسمى أبا بكر وعمر
وعثمان وعليا وطلحة والزبير وسعدا وعبد الرحمن بن عوف وسمى نفسه سعيدا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang menceritakan kepada kami Syu’bah dari Hushain dari Hilal bin Yisaaf dari Abdullah bin Zhaalim yang berkata “Mughirah bin Syu’bah berkhutbah lalu ia mencela Ali. Maka Sa’id bin Zaid keluar dan berkata “tidakkah kamu heran dengan orang ini yang telah mencaci Ali, Aku bersaksi bahwa kami pernah berada di atas gunung Hira atau Uhud lalu Beliau bersabda “diamlah hai Hira atau Uhud, karena di atasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid. Kemudian Nabi SAW menyebutkan sepuluh orang. Maka [Sa’id] menyebutkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair , Sa’ad, Abdurrahman bin ‘Auf dan dirinya sendiri Sa’id” [Musnad Ahmad no 1638 dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir].
Terdapat perbedaan mengenai tempat yang dimaksud, apakah di Uhud ataukah di Hira’?. Salafy berdalih mengatakan kalau pada hadis Anas hanya terdapat Abu Bakar, Umar dan Utsman dan itu terjadi di Uhud sedangkan di Hira’ adalah kejadian lain dimana ada banyak sahabat di sana selain Abu Bakar, Umar dan Utsman. Disini salafy ingin menyatakan bahwa peristiwa di Uhud dengan jelas menyatakan Abu Bakar sebagai shiddiq dan dua orang syahid adalah Umar dan Utsman kemudian kejadian di Hira’ ditafsirkan dengan hadis Anas bahwa shiddiq disana adalah Abu Bakar. Tentu saja semua itu adalah penafsiran salafy dan terserah mereka kalau menafsirkan begitu. Menurut pendapat kami, yang lebih benar adalah baik itu terjadi di Hira’ atau Uhud Imam Ali juga ada disana jadi hadis Anas yang hanya menyebutkan Abu Bakar, Umar dan Utsman adalah ringkasan [kemungkinan] dari para perawinya.
حدثنا
محمد قثنا محمد بن إسحاق قثنا روح قثنا شعبة عن قتادة عن أنس قال صعد
النبي صلى الله عليه وسلم حراء أو أحدا ومعه أبو بكر وعمر وعثمان فرجف
الجبل فقال اثبت نبي وصديق وشهيدان
Telah menceritakan kepada kami Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq yang berkata menceritakan kepada kami Rawh yang berkata menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Anas yang berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendaki Hira’ atau Uhud dan bersamanya ada Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian gunung berguncang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “ diamlah, ada Nabi, Shiddiq dan dua orang syahid” [Fadha’il Ash Shahabah no 869 dishahihkan oleh Washiullah ‘Abbas].
Hadis di atas menjelaskan bahwa kejadian hadis Anas itu bisa jadi di Hira’ atau Uhud atau terjadi di keduanya. Baik di Hira’ ataupun Uhud Imam Ali juga berada di sana. Hal ini disebutkan dalam hadis Anas yang lain.
ثنا
يحيى بن خلف حدثنا أبو داود ثنا عمران عن قتادة عن أنس ابن مالك أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم كان على حراء فرجف بهم فقال أثبت فإنما عليك نبي
أو صديق أو شهيد وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم وعمر وعثمان وعلي
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Khalaf yang menceritakan kepada kami ‘Abu Dawud yang menceritakan kepada kami ‘Imran dari Qatadah dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atas Hira’ kemudian gunung mengguncangkan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “diamlah, sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid” yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Umar, Utsman dan Ali [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1439].
Hadis di atas para perawinya tsiqat kecuali ‘Imran Al Qaththan. Dia adalah perawi Bukhari dan Ashabus Sunan. Abdurrahman bin Mahdi meriwayatkan darinya yang berarti ia menganggapnya tsiqat. Ahmad berkata “ aku berharap hadisnya baik”. Ibnu Ma’in berkata “tidak kuat”. Abu Dawud terkadang berkata “termasuk sahabat Hasan dan tidaklah aku dengar tentangnya kecuali yang baik” terkadang Abu Dawud berkata “dhaif”. As Saji berkata “shaduq”. ‘Affan menyatakan tsiqat. Bukhari berkata “shaduq terkadang salah”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat. Daruquthni berkata “banyak melakukan kesalahan”. Al Hakim berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 8 no 226]. Pendapat yang rajih tentangnya adalah ia seorang yang shaduq tetapi terdapat kelemahan pada hafalannya dan hadisnya hasan. Terdapat hadis lain yang menguatkan tentang penunjukkan tempat di Hira’
حدثنا
عاصم الأحول ثنا معتمر عن أبيه عن قتادة عن أبي غلاب عن رجل من أصحاب
النبي صلى الله عليه وسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم وأبا بكر وعمر
وعثمان كانوا على حراء فرجف بهم أو تحرك بهم فقال النبي صلى الله عليه وسلم
اثبت فإنما عليك نبي وصديق وشهيدان
Telah menceritakan kepada kami ‘Ashim Al ‘Ahwal yang menceritakan kepada kami Mu’tamar dari ayahnya dari Qatadah dari Abu Ghallab dari seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman berada di atas Hira’ kemudian tanah mengguncangkan mereka atau menggerakkan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “diamlah, sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi, Shiddiq dan dua orang syahid” [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1440].
Hadis Anas di atas bahkan tidak menyebutkan nama Abu Bakar melainkan nama Umar, Utsman dan Ali. Walaupun begitu kalau kita melihat berbagai hadis lain maka Abu Bakar juga ada bersama mereka.
ثنا
عبيد الله بن معاذ ثنا أبي عن سعيد عن قتادة عن أنس بن مالك قال صعد رسول
الله صلى الله عليه وسلم أحدا واتبعه أبو بكر وعمر وعثمان وعلي فقال له
رسول الله صلى الله عليه وسلم اثبت أحد فإنما عليك نبي وصديق وشهيدان
Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Mu’adz yang berkata telah menceritakan kepada kami ayahku dari Sa’id dari Qatadah dari Anas bin Malik yang berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menaiki Uhud dan mengikutinya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “diamlah Uhud, sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi, shiddiq dan dua orang syahid” [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1438].
Hadis ini para perawinya tsiqat. Ubaidillah bin Mu’adz adalah seorang hafizh yang tsiqat [At Taqrib 1/639] dan ayahnya Mu’adz bin Mu’adz adalah seorang yang tsiqat mutqin [At Taqrib 2/193]. Hadis Anas ini dengan jelas menyebutkan bahwa di Uhud itu juga terdapat Imam Ali. Tentu saja kalau kita menuruti gaya salafy dalam menafsirkan hadis ini bahwa yang syahid adalah dua orang yaitu Umar dan Utsman maka yang tersisa adalah Ash Shiddiq, apakah Abu Bakar ataukah Ali?. Salahkah kita kalau lebih memilih Ash Shiddiq merujuk pada keduanya.
Jadi ketika kami mengatakan kalau riwayat Anas itu adalah ringkasan dari para perawinya, kami tidaklah mengada-ada. Terdapat petunjuk yang menguatkan bahwa tidak hanya Abu Bakar, Umar dan Utsman yang ada disana melainkan juga Imam Ali atau mungkin ada sahabat lainnya. Kami akan memberikan contoh lain dimana para perawi meringkas atau tidak menyebutkan sebagian nama sahabat.
حدثنا
عبد الله حدثني أبي ثنا علي بن الحسن أنا الحسين ثنا عبد الله بن بريدة عن
أبيه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان جالسا على حراء ومعه أبو بكر
وعمر وعثمان رضي الله عنهم فتحرك الجبل فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم
أثبت حراء فإنه ليس عليك إلا نبي أو صديق أو شهيد
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hasan yang berkata menceritakan kepada kami Husain yang berkata menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di atas Hira’ dan bersamanya ada Abu Bakar, Umar dan Utsman radiallahu ‘anhum kemudian gunung tersebut bergerak [bergetar] maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “diamlah Hira’ sesungguhnya tidak ada diatasmu kecuali Nabi atau shiddiq atau syahid” [Musnad Ahmad 5/346 no 22986, Syaikh Syu’aib berkata “sanadnya kuat”].
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الأَزْدِيُّ قَالَ نا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ
بْنِ شَقِيقٍ قَالَ أنا الْحُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عَلَى حِرَاءٍ فَتَحَرَّكَ ، فَقَالَ مَا
عَلَيْكَ إِلا نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ شَهِيدٌ وَكَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ
وَعَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya Al Azdiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hasan bin Syaqiq yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Waqid dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya radiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atas Hira’ kemudian tanahnya bergerak-gerak. Beliau berkata “tidaklah diatasmu kecuali Nabi atau shiddiq atau syahid” yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali radiallahu ‘anhum ajma’iin [Musnad Al Bazzar no 4419].
Hadis riwayat Al Bazzar di atas sanadnya kuat. Muhammad bin Yahya Al Azdiy adalah perawi Bukhari, Muslim dan Nasa’i seorang yang tsiqat [At Taqrib 2/145] dan perawi lainnya sama seperti riwayat Ahmad. Dalam riwayat Ahmad tidak disebutkan nama Imam Ali tetapi dalam riwayat Al Bazzar disebutkan nama Imam Ali. Artinya para perawi hadis tersebut meringkas nama-nama yang dimaksud, terkadang menyebutkannya dan terkadang tidak. Oleh karena itu sangat penting untuk melihat hadis-hadis lain.
18. Hadis Dhaif Gelar Ash Shiddiq Turun Dari Langit Bagi Abu Bakar
Terdapat hadis-hadis yang dijadikan hujjah salafy dalam mengutamakan Abu Bakar secara berlebihan. Yaitu hadis yang menyatakan kalau gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar itu turun dari langit. Setelah kami teliti ternyata hadis tersebut dhaif, cukup aneh juga salafy yang katanya alergi-an dengan hadis dhaif kok mau-maunya berhujjah pakai hadis dhaif. Kami tidak mengingkari gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar, gelar itu adalah gelar yang masyhur bagi Abu Bakar radiallahu ‘anhu. Yang kami ingkari adalah gaya salafy yang berlebihan bahwa gelar tersebut turun dari langit.
Hadis Imam Ali Radiallahu ‘anhu
Tidak jarang untuk menguatkan hujjah mereka, salafy mengambil hadis atau riwayat perkataan Imam Ali, salah satunya mengenai gelar Ash Shiddiq turun dari langit bagi Abu Bakar.
حدثنا
معاذ بن المثنى ثنا علي بن المديني ثنا إسحاق بن منصور السلولي ثنا محمد
بن سليمان العبدي عن هارون بن سعد عن عمران بن ظبيان عن أبي يحيى حكيم بن
سعد قال سمعت عليا يحلف : لله أنزل اسم أبي بكر من السماء الصديق
Telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Al Mutsanna yang berkata menceritakan kepada kami Ali bin Madini yang berkata menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur Al Saluuliy yang berkata menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaiman Al ‘Abdi dari Haarun bin Sa’d dari ‘Imran bin Zhabyaan dari Abi Yahya Hakiim bin Sa’d yang berkata aku mendengar Ali bersumpah “Allah SWT telah menurunkan dari langit untuk Abu Bakar dengan nama Ash Shiddiq” [Mu’jam Al Kabir 1/55 no 14].
Hadis ini juga diriwayatkan dalam Al Mustadrak Al Hakim no 4405, Al Ahad Wal Matsani Ibnu Abi Ashim 1/70 no 6, Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir 30/75 dan Ma’rifat Ash Shahabah Abu Nu’aim no 59 semuanya dengan jalan sanad dari Ishaq bin Manshur dari Muhammad bin Sulaiman Al Abdi dari Harun bin Sa’d dari Imran bin Zhabyan dari Abi Yahya dari Ali.
Hadis ini sanadnya dhaif disebabkan Muhammad bin Sulaiman Al ‘Abdi seorang yang majhul dan ‘Imran bin Zhabyaan seorang yang dhaif.
1. Muhammad bin Sulaiman Al ‘Abdi dinyatakan majhul oleh Abu Hatim [Al Jarh Wat Ta’dil 7/269 no 1473]. Ibnu Hajar menyatakan kalau Muhammad bin Sulaiman Al ‘Abdi dinyatakan majhul oleh Ibnu Abi Hatim, dimasukkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat, ia meriwayatkan dari Harun Al A’war dan telah meriwayatkan darinya Ishaq bin Manshur. [Lisan Al Mizan juz 5 no 648]. Al Hakim sendiri menyatakan Muhammad bin Sulaiman ini tidak dikenal walaupun ia menshahihkan hadis tersebut karena memiliki penguat dari riwayat Nazzal bin Saburah dari Ali [Al Mustadrak no 4405]. Kami katakan pernyataan Al Hakim soal shahihnya hadis ini keliru karena hadis penguat yang dimaksud ternyata sanadnya dhaif.
2. ‘Imran bin Zhabyaan adalah perawi yang dhaif. Bukhari berkata “fihi nazhaar”, Yaqub bin Sufyan menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa seraya berkata bathil berhujjah dengannya. Ibnu Ady dan Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [At Tahdzib juz 8 no 230]. Ibnu Hajar menyatakan ia dhaif [At Taqrib 1/752].
Selain ‘Imran bin Zhabyan, atsar ini juga diriwayatkan oleh Abu Ishaq As Sabi’i dari Ali dengan sanad yang dhaif. Disebutkan dalam Tarikh Ibnu Asakir 30/75 & 76 dan Ma’rifat Ash Shahabah Abu Nu’aim no 58 dengan jalan sanad yang berujung pada Dawud bin Mihran dari Umar bin Yazid dari Abu Ishaq As Sabi’i dari Abi Yahya dari Ali. Sanad ini dhaif karena Umar bin Yazid Al Azdi, ia dinyatakan oleh Ibnu Hajar sebagai “munkar al hadits” [Lisan Al Mizan juz 4 no 968]. Ibnu Ady menyatakan Umar bin Yazid munkar al hadits dan ia meriwayatkan dari Atha’ dan Hasan hadis-hadis yang tidak terjaga [Al Kamil Ibnu Ady 5/29].
Al Hakim dalam Al Mustadrak no 4405 meriwayatkan atsar ini dari Nazzal bin Saburah dari Ali Radiallahu ‘anhu dengan sanad yang dhaif.
حدثناه
عبد الرحمن بن حمدان الجلاب ثنا هلال بن العلاء الرقي حدثني أبي ثنا إسحاق
بن يوسف ثنا أبو سنان عن الضحاك ثنا النزال بن سبرة قال وافقنا عليا رضى
الله تعالى عنه طيب النفس وهو يمزح فقلنا حدثنا عن أصحابك قال كل أصحاب
رسول الله صلى الله عليه وسلم أصحابي فقلنا حدثنا عن أبي بكر فقال ذاك امرء
سماه الله صديقا على لسان جبريل ومحمد صلى الله عليهما
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Hamdaan Al Jalaab yang menceritakan kepada kami Hilal bin Al A’la Ar Raqiiy yang menceritakan kepadaku ayahku yang berkata menceritakan kepada kami Ishaq bin Yusuf yang menceritakan kepada kami Abu Sinan dari Dhahhak yang berkata menceritakan kepada kami Nazzal bin Sabrah yang berkata kami menemui Ali radiallahu ‘anhu dalam keadaan baik maka kami berkata “ceritakanlah kepada kami tentang sahabatmu. Beliau menjawab “semua sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah sahabatku”. Kami berkata “ceritakanlah kepada kami tentang Abu Bakar”. Beliau menjawab “Ia adalah orang yang Allah SWT nyatakan Ash Shiddiq melalui lisan Jibril dan Muhammad SAW” [Al Mustadrak Ash Shahihain no 4405].
Hadis ini dijadikan oleh Al Hakim sebagai penguat riwayat Abu Yahya Hakim bin Sa’ad dari Ali. Kami katakan Al Hakim keliru hadis ini tidak bisa dijadikan penguat karena hadis ini sanadnya sangat dhaif, di dalamnya terdapat Al A’la bin Hilal Al Bahiliy ayahnya Hilal bin Al A’la Ar Raqiiy seorang yang sangat dhaif.
1. Hilal bin Al A’la Ar Raqiiy seorang perawi yang shaduq. Abu Hatim berkata shaduq. Nasa’i terkadang berkata “shalih” terkadang berkata “tidak ada masalah dan ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari ayahnya” [At Tahdzib juz 11 no 135].
2. Al A’la bin Hilal bin Umar Al Bahiliy seorang perawi yang dhaif. Abu Hatim menyatakan ia munkar al hadis, hadisnya dhaif dan meriwayatkan hadis maudhu’. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Adh Dhu’afa seraya berkata “tidak boleh berhujjah dengannya” [At Tahdzib juz 8 no 351]. Ibnu Hajar menyatakan “ada kelemahan padanya” [At Taqrib 1/765] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Al A’la bin Hilal seorang yang “dhaif jiddan” [Tahrir At Taqrib no 5259].
Hadis Abu Hurairah
Selain dari Imam Ali terdapat hadis dari Abu Hurairah bahwa Jibril mengatakan kepada Rasulullah SAW kalau Abu Bakar akan membenarkan peristiwa isra’ sehingga ia dinamakan Ash Shiddiq.
حدثنا
محمد بن أحمد الرقام ثنا إسحاق بن سليمان الفلفلي المصري نا يزيد بن هارون
ثنا مسعر عن أبي وهب عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
لجبريل ليلة أسري به إن قومي لا يصدقوني فقال له جبريل يصدقك أبو بكر وهو
الصديق
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad Ar Raqaam yang berkata menceritakan kepada kami Ishaq bin Sulaiman Al Fulfuliy Al Mishri yang menceritakan kepada kami Yazid bin Harun yang menceritakan kepada kami Mis’ar dari Abu Wahab dari Abu Hurairah yang berkata Rasulullah SAW berkata kepada Jibril pada malam isra’ “kaumku tidak akan membenarkanku”. Maka Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu Bakar, dia shiddiq” [Mu’jam Al Awsath Thabrani 7/166 no 7173].
Hadis di atas sanadnya khata’ atau salah. Yang meriwayatkan dari Abu Wahab adalah Najih Abu Ma’syar bukannya Mis’ar. Kesalahan ini bisa berasal dari Muhammad bin Ahmad Ar Raqaam atau Ishaq bin Sulaiman Al Fulfuly Al Mishri, keduanya tidak dikenal kredibilitasnya. Selain itu Abu Wahab sendiri seorang yang majhul dan ia terkadang menyebutkan hadis ini dari Abu Hurairah dan terkadang tanpa menyebutkan Abu Hurairah.
وحدثني
وهب بن بقية الواسطي، ثنا يزيد بن هارون، أنبأ أبو معشر عن أبي وهب عن أبي
هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لجبريل ليلة أسري به إن قومي
لا يصدقوني، فقال جبريل: يصدقك أبو بكر وهو الصديق
Telah menceritakan kepada kami Wahab bin Baqiyah Al Wasithiy yang menceritakan kepada kami Yazid bin Harun yang mengabarkan kepada kami Abu Ma’syar dari Abu Wahab dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Jibril pada malam isra’ “kaumku tidak akan membenarkanku”. Maka Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu Bakar dan dia shiddiq” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 3/307].
Selain Wahb bin Baqiyah, Ibnu Sa’ad dan Muhammad bin Husain bin Ibrahim juga meriwayatkan dari Yazid bin Harun dari Abu Ma’syar dari Abu Wahab.
أخبرنا
يزيد بن هارون قال أخبرنا أبو معشر قال أخبرنا أبو وهب مولى أبي هريرة أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ليلة أسري به قلت لجبريل إن قومي لا
يصدقونني فقال له جبريل يصدقك أبو بكر وهو الصديق
Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Ma’syar yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Wahab mawla Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata pada malam isra’ kepada Jibril “kaumku tidak akan membenarkanku”. Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu Bakar dan dia shiddiq” [Thabaqat Ibnu Sa’ad 3/90].
حدثنا
عبد الله قال حدثني محمد بن الحسين بن إبراهيم بن إشكاب قثنا يزيد بن
هارون قثنا أبو معشر قثنا أبو وهب مولى أبي هريرة أن رسول الله قال ليلة
أسري به لجبريل عليه السلام إن قومي لا يصدقوني فقال له جبريل بلى يصدقك
أبو بكر الصديق
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Husain bin Ibrahim bin Isykaab yang menceritakan kepada kami Yazid bin Harun yang menceritakan kepada kami Abu Ma’syar yang menceritakan kepada kami Abu Wahb mawla Abu Hurairah bahwa Rasulullah berkata di malam isra’ kepada Jibril alaihis salam “kaumku tidak akan membenarkanku” Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu Bakar Ash Shiddiq” [Fadhail Ash Shahabah no 116]
حدثنا
أبو الوليد خلف بن الوليد قال حدثنا أبو معشرعن أبي وهب مولى أبي هريرة
قال لما رجع رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة أسري به بلغ ذا طوى قال يا
جبريل إن قومي لا يصدقوني قال يصدقك أبو بكر وهو صديق
Telah menceritakan kepada kami Abul Walid Khalaf bin Walid yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ma’syar dari Abu Wahb mawla Abu Hurairah yang berkata “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kembali dari Isra’, dan berada di Dzi Thuwa, beliau berkata “Wahai Jibril, kaumku tidak akan membenarkanku”. Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu Bakar dan dia shiddiq [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 1/180 no 429].
سعيد
بن منصور ثنا أبو معشر عن أبي وهب مولى أبي هريرة عن أبي هريرة قال لما
رجع رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة أسري به قال يا جبريل إن قومي لا
يصدقوني قال يصدقك أبو بكر وهو الصديق
Sa’id bin Manshur telah menceritakan kepada kami Abu Ma’syar dari Abu Wahb mawla Abu Hurairah dari Abu Hurairah yang berkata “ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kembali dari malam isra’ Beliau berkata “wahai Jibril kaumku tidak akan membenarkanku”. Jibril berkata “akan membenarkanmu Abu Bakar, dan dia shiddiq” [Tarikh Al Islam Adz Dzahabi 1/251].
Secara keseluruhan hadis ini dhaif semuanya berujung pada Abu Ma’syar dari Abu Wahb mawla Abu Hurairah. Abu Ma’syar adalah Najih bin Abdurrahman Al Madani seorang yang dhaif dan Abu Wahb tidak dikenal.
1.Najih bin Abdurrahman Abu Ma’syar perawi Ashabus Sunan yang dhaif. Bukhari berkata “munkar al hadits”. Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Ma’in menyatakan dhaif. Ali bin Madini berkata “dhaif dhaif”. Ibnu Sa’ad dan Daruquthni menyatakan dhaif. Abu Nu’aim berkata “ ia meriwayatkan dari Nafi, Ibnu Munkadir, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Amru hadis-hadis palsu yang tidak bernilai apa-apa” [At Tahdzib juz 10 no 759]. Ibnu Hajar menyatakan ia dhaif [At Taqrib 2/241].
2. Abu Wahb mawla Abu Hurairah adalah perawi yang tidak dikenal. Yang meriwayatkan darinya adalah Abu Ma’syar Najih bin Abdurrahman seorang yang dhaif. Ibnu Hajar telah menyatakan Abu Wahb sebagai orang yang tidak dikenal [Ta’jil Al Manfa’ah 2/545]
Selain Abu Wahb, hadis ini juga diriwayatkan oleh Hatim bin Huraits Ath Tha’iy dengan sanad yang dhaif. Riwayat Hatim ini disebutkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Awsath 7/157 no 7148 dan Musnad Asy Syamiiyyin 1/145 no 232.
حدثنا
محمد بن عبد الرحيم الديباجي ثنا أحمد بن عبد الرحمن بن المفضل الحراني نا
المغيرة بن سقلاب الحراني ثنا عبد الرحمن بن ثابت بن ثوبان عن حاتم عن أبي
هريرة قال لما أسري بالنبي صلى الله عليه و سلم قال يا جبريل إن قومي
يتهموني ولا يصدقوني قال إن اتهمك قومك فإن أبا بكر يصدقك
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahiim Ad Diibaajiy yang berkata menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdurrahman bin Mufadhdhal Al Harraaniiy yang menceritakan kepada kami Mughirah bin Saqlaab Al Harraaniy yang menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban dari Hatim dari Abu Hurairah yang berkata “ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam kembali dari isra’, beliau berkata “wahai Jibril kaumku akan menuduhku dan tidak akan membenarkanku”, Jibril berkata “kaummu akan menuduhmu tetapi Abu Bakar akan membenarkanmu” [Mu’jam Al Awsath Ath Thabrani no 7148].
Hadis ini dhaif karena Muhammad bin Abdurrahiim Syaikh Thabrani seorang yang majhul hal, Mughirah bin Saqlaab seorang yang dhaif, dan Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban mengalami ikhtilath.
1. Muhammad bin Abdurrahiim Ad Diibaajiy adalah Syaikh Thabrani yang tidak dikenal kredibilitasnya. Tidak ada ulama mutaqaddimin yang menta’dilkannya dan yang meriwayatkan darinya hanya Ath Thabrani.
2. Mughirah bin Saqlaab seorang yang dhaif. Abu Ja’far An Nafiiliy berkata “tidak dipercaya”. Ibnu Ady berkata “munkar al hadits”. Abu Hatim berkata “shalih al hadits”. Abu Zur’ah berkata “tidak ada masalah”. Daruquthni mendhaifkannya [Lisan Al Mizan juz 6 no 282]. Al Uqaili memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa [Ad Dhu’afa Al Uqaili 4/182 no 1757]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Adh Dhu’afa seraya mengatakan kalau Mughirah tergolong orang yang sering salah, meriwayatkan dari perawi dhaif dan majhul , meriwayatkan hadis-hadis yang mungkar dan waham serta harus ditinggalkan. [Al Majruhin no 1033].
3. Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban seorang yang diperbincangkan. Ahmad berkata “tidak kuat” dan terkadang berkata “meriwayatkan hadis-hadis mungkar”. Ibnu Ma’in terkadang berkata shalih terkadang berkata “dhaif”. Abu Zur’ah, dan Al Ijli berkata “layyin”. Duhaim berkata “tsiqat”. Abu Hatim mengatakan tsiqat tetapi mengalami perubahan hafalan di akhir hidupnya. Nasa’i terkadnag berkata “dhaif” terkadang berkata “tidak kuat” dan terkadang berkata “tidak tsiqat”. Ibnu Khirasy berkata “layyin”. Ibnu Ady berkata “ ia memiliki hadis-hadis shalih, seorang yang shalih ditulis hadisnya dan ia dinyatakan dhaif” [At Tahdzib juz 6 no 306]. Ibnu Hajar berkata “ia seorang yang jujur, sering salah dan mengalami perubahan hafalan di akhir hidupnya” [At Taqrib 6/306].
Dengan mengumpulkan jalan-jalannya maka hadis Abu Hurairah di atas kedudukannya dhaif dan tidak dapat dijadikan hujjah. Terdapat hadis lain riwayat Ummu Hani’ bahwa Rasulullah SAW mengatakan Allah SWT menamakan Abu Bakar dengan Ash Shiddiq. Hadis ini diriwayatkan dalam Ma’rifat Ash Shahabah Abu Nu’aim no 60 dan kedudukannya adalah maudhu’ karena di dalamnya terdapat Muhammad bin Ismail Al Wasawisi seorang yang dhaif pemalsu hadis. Ahmad bin Amru Al Bazzar Al Hafizh berkata “ia pemalsu hadis”. Daruquthni dan yang lainnya berkata “dhaif”. Al Uqaili memasukkannya dalam Adh Dhu’afa [Lisan Al Mizan juz 5 no 252].
Catatan Untuk Haulasyiah
Salafy yang kami maksud berlebihan dalam berhujjah adalah haulasyiah. Dalam salah satu tulisannya yang menanggapi Ibnujakfari dengan judul “Hadits : Abu Bakar Bergelar Shiddiq Palsu?”, ia menunjukkan berbagai riwayat yang menurutnya shahih kalau gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar itu turun dari langit dan diucapkan melalui Jibril Alaihis Salam. Setelah kami teliti hadis-hadis yang dijadikan haulasyiah sebagai hujjah adalah hadis yang dhaif kecuali satu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Tirmidzi, Ahmad dan yang lainnya.
حدثنا
محمد بن بشار حدثنا يحيى بن سعيد عن سعيد بن أبي عروبة عن قتادة عن أنس
حدثهم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صعد أحدا و أبو بكر و عمر و عثمان
فرجف بهم فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم اثبت أحد فإنما عليك نبي
وصديق وشهيدان
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar yang menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Sa’id bin Abi Arubah dari Qatadah dari Anas yang menceritakan kepada mereka bahwa Rasulullah SAW mendaki gunung uhud bersama Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian gunung Uhud mengguncangkan mereka. Rasulullah SAW bersabda “diamlah wahai Uhud sesungguhnya diatasmu terdapat Nabi, shiddiq dan dua orang syahid” [Sunan Tirmidzi 5/624 no 3697].
Hadis ini dijadikan hujjah bahwa Abu Bakar dinyatakan Nabi SAW sebagai Ash Shiddiq. Walaupun begitu tidak ada dalam hadis tersebut kabar bahwa gelar tersebut turun dari langit seperti yang disebutkan secara jelas oleh hadis-hadis lain. Kemudian silakan perhatikan hadis berikut:
حدثنا
قتيبة بن سعيد حدثنا عبد العزيز بن محمد عن سهيل بن أبي صالح عن ابيه عن
أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان على حراء هو و
أبو بكر و عمر و علي و عثمان و طلحة و الزبير رضي الله عنهم فتحركت الصخرة
فقال النبي صلى الله عليه و سلم اهدأ إنما عليك نبي أو صديق أوشهيد
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah berada di atas Hira’ bersama Abu Bakar, Umar, Ali, Utsman, Thalhah dan Zubair. Kemudian tanahnya bergerak-gerak, maka Nabi SAW bersabda “diamlah, sesuangguhnya diatasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid” [Sunan Tirmidzi 5/624 no 3696 dengan sanad shahih].
ثنا
محمد بن جعفر ثنا شعبة عن حصين عن هلال بن يساف عن عبد الله بن ظالم قال
خطب المغيرة بن شعبة فنال من علي فخرج سعيد بن زيد فقال ألا تعجب من هذا
يسب عليا رضي الله عنه أشهد على رسول الله صلى الله عليه و سلم انا كنا على
حراء أو أحد فقال النبي صلى الله عليه و سلم أثبت حراء أو أحد فإنما عليك
صديق أو شهيد فسمى النبي صلى الله عليه و سلم العشرة فسمى أبا بكر وعمر
وعثمان وعليا وطلحة والزبير وسعدا وعبد الرحمن بن عوف وسمى نفسه سعيدا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang menceritakan kepada kami Syu’bah dari Hushain dari Hilal bin Yisaaf dari Abdullah bin Zhaalim yang berkata “Mughirah bin Syu’bah berkhutbah lalu ia mencela Ali. Maka Sa’id bin Zaid keluar dan berkata “tidakkah kamu heran dengan orang ini yang telah mencaci Ali, Aku bersaksi bahwa kami pernah berada di atas gunung Hira atau Uhud lalu Beliau bersabda “diamlah hai Hira atau Uhud, karena di atasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid. Kemudian Nabi SAW menyebutkan sepuluh orang. Maka [Sa’id] menyebutkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair , Sa’ad, Abdurrahman bin ‘Auf dan dirinya sendiri Sa’id” [Musnad Ahmad no 1638 dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir]
Jika kita memperhatikan hadis-hadis di atas maka diketahui bahwa tidak ada penjelasan secara sharih atau terang bahwa Shiddiq yang dimaksud adalah Abu Bakar. Bahkan dapat pula diartikan kalau Shiddiq itu merujuk juga pada Imam Ali Alaihis Salam mengingat Imam Ali berada di sana dan Sa’id bin Zaid ketika mendengar Mughirah mencaci Ali, ia menunjukkan keutamaan Imam Ali dengan menyebutkan hadis ini.
Gelar Ash Shiddiq bagi Abu Bakar memang merupakan gelar yang mayshur, ada yang mengatakan kalau gelar tersebut diberikan karena Abu Bakar RA membenarkan Nabi SAW bahkan dalam peristiwa isra’ mi’raj. Jika memang demikian maka Imam Ali lebih pantas untuk dikatakan Ash Shiddiq mengingat beliau adalah orang pertama yang membenarkan Kenabian Rasulullah SAW, membenarkan risalah Beliau SAW dan membenarkan apa saja yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Pendapat yang kami pilih adalah sebutan Ash Shiddiq memang gelar Abu Bakar tetapi sebutan tersebut tidak menunjukkan keutamaan Beliau di atas Imam Ali dan Imam Ali adalah orang yang lebih pantas untuk dikatakan sebagai Ash Shiddiq.
Pada dasarnya membedakan dua peristiwa yaitu yang satu di Uhud dan yang satu di Hira’ tidaklah menguatkan hujjah salafy. Karena baik di Uhud maupun Hira’ Imam Ali dan sahabat yang lain ada di sana. Silakan perhatikan hadis ini:
حَدَّثَنَا
أَبُو خَالِدٍ يَزِيدُ بْنُ سِنَانٍ وَعَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ الْمُغِيرَةِ قَالا ثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ قَالَ أَنْبَأَ
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ قَالَ
أَخْبَرَنِي رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى
الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْكُوفَةِ فِي زَمَانِ زِيَادِ بْنِ أَبِي
سُفْيَانَ وَهُوَ يَوْمَئِذٍ يَسُبُّ أَصْحَابَنَا وَاللَّهِ لا نَفْعَلُ
أَشْهَدُ لَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو
بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَطَلْحَةُ وَالزُّبَيْرُ وَعَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَأَنَا وَفُلانٌ
فَحَفِظَهُمْ زَيْدٌ حَتَّى اثْنَيْ عَشَرَ رَجُلا عَلَى أُحُدٍ فَرَجَفَ
بِنَا الْجَبَلُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ”
اسْكُنْ أُحُدُ فَإِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْكَ إِلا نَبِيٌّ أَوْ صِدِّيقٌ أَوْ
شَهِيدٌ ” فَسَكَنَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Yazid bin Sinan dan ‘Ali bin ‘Abdurrahman bin Mughirah yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Abi Maryam yang berkata telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepadaku Zaid bin ‘Aslam yang berkata mengabarkan kepadaku seorang laki-laki dari penduduk Iraq bahwasanya ia pergi ke masjid yaitu masjid kufah di zaman Ziyad bin Abi Sufyan dan dia [Ziyad] pada hari itu mencaci sahabat kami. [laki-laki itu berkata] “demi Allah jangan melakukannya, aku menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, aku, dan fulan sampai dua belas orang diatas Uhud. Kemudian gunung tersebut berguncang maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “tenanglah Uhud sesungguhnya tidaklah berada diatasmu kecuali Nabi atau shiddiq atau syahid” maka tenanglah gunung Uhud [Al Kuna Ad Duulabiy 1/89].
Hadis di atas diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat hanya saja tidak disebutkan nama laki-laki yang merupakan sahabat Nabi [disebut sahabat karena ia menyaksikan sendiri peristiwa yang dimaksud]. Kemungkinan ia adalah Sa’id bin Zaid sebagaimana yang disebutkan oleh Ad Duulabiy .
1. Abu Khalid Yazid bin Sinan adalah perawi Nasa’i yang tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq tsiqat”. Nasa’i berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Yunus juga menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 11 no 540]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/325].
2. ‘Ali bin ‘Abdurrahman bin Mughirah adalah perawi yang tsiqat. Ibnu Abi Hatim berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Yunus menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 7 no 581]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/698].
3. Sa’id bin Abi Maryam adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Hatim berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat dari yang tsiqat”. Daruquthni berkata “tidak ada masalah” [At Tahdzib juz 4 no 23]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/350].
4. Muhammad bin Ja’far bin Abi Katsir adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Nasa’i berkata “shalih” terkadang berkata “hadisnya lurus”. Ibnu Hibban memasukkanya dalam Ats Tsiqat. Al Ijli menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 9 no 126]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 2/262].
5. Zaid bin ‘Aslam adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ibnu Sa’ad, Nasa’i, Ibnu Khirasy dan Yaqub bin Syaibah menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 728].
Pada hadis di atas laki-laki yang merupakan sahabat Nabi itu mengabarkan langsung kepada Zaid bin Aslam, jadi riwayat ini muttasil [bersambung] dan para perawinya tsiqat. Tidak diragukan lagi hadis di atas shahih.
Berikutnya kami akan membahas hadis lain yang dijadikan hujjah oleh pengikut salafy. Pengikut salafy itu mungkin merasa dirinya sebagai orang yang lebih ahli dalam ilmu hadis dibanding mereka yang bukan pengikut salafy. Silakan perhatikan hadis berikut:
حدثنا
ابن أبي عمر حدثنا سفيان حدثنا مالك بن مغول عن عبد الرحمن بن سعيد بن وهب
الهمداني أن عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم قالت سألت رسول الله صلى
الله عليه و سلم عن هذه الآية { والذين يؤتون ما آتوا وقلوبهم وجلة } قالت
عائشة هم الذين يشربون الخمر ويسرقون قال لا يا بنت الصديق ولكنهم الذين
يصومون ويصلون ويتصدقون وهم يخافون أن لا يقبل منهم أولئك الذين يسارعون في
الخيرات
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Umar telah menceritakan kepada kami Sufyaan telah menceritakan kepada kami Maalik bin Mighwal, dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Wahb Al-Hamdaaniy Bahwa ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat : ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang Rabb mereka berikan, dengan hati yang takut’ (Al Mu’minuun: 60)”. ‘Aaisyah bertanya : ”Apa mereka orang-orang yang meminum khamar dan mencuri ?”. Beliau menjawab : “Bukan, wahai putri Ash-Shiddiiq. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang puasa, shalat, dan bersedekah. Mereka takut kalau amalan mereka tidak diterima. Mereka itulah orang yang bersegera dalam kebaikan [Sunan Tirmidzi 5/327 no 3175].
Pengikut salafy itu berhujjah dengan hadis ini seraya menyatakan shahih. Ia berkata “jika Aisyah adalah putri Ash Shiddiq, maka siapakah ayahnya?”. Lha tidak diragukan kalau ayahnya Aisyah radiallahu ‘anhu adalah Abu Bakar. Yang membuat semua tulisannya jadi aneh bin gak nyambung adalah kami pribadi tidak pernah menolak penyebutan Abu Bakar sebagai Ash Shiddiq. Kalau ia bisa membaca dengan benar maka dalam tulisan kami, kami hanya menegaskan kalau Ash Shiddiq tidak hanya merujuk kepada Abu Bakar tetapi juga Imam Ali. Yah mungkin saja ia membaca tetapi tidak memahami [hal yang sudah biasa dilakukannya]. Seandainya hadis yang ia jadikan hujjah di atas adalah shahih tetap saja itu tidak mengurangi atau menafikan bahwa Imam Ali juga layak disebut Ash Shiddiq.
Kembali kepada hadis yang ia jadikan hujjah, kami katakan hujjahnya itu hanya bisa mengecoh kaum awam salafy yang gemar bertaklid kepada ulama-ulama salafy beserta para da’inya. Hadis yang dikutip salafy tersebut sanadnya tidak shahih karena ‘Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb Al Hamdani tidak pernah bertemu Aisyah radiallahu ‘anhu. Abu Hatim berkata “Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb Al Hamdani tidak pernah bertemu Aisyah radiallahu ‘anhu” [Jami’ Al Tahsil Fi Ahkam Al Marasil no 429]. Jadi hadis tersebut sanadnya terputus, aneh sekali bagi salafi yang suka mengatakan orang lain lemah ilmu hadis tetapi dirinya sendiri malah menshahihkan hadis yang sanadnya inqitha’. Sungguh menggelikan :roll:
Hadis ini juga diriwayatkan dengan sanad yang bersambung kepada Aisyah tetapi masih terdapat pembicaraan dalam sanadnya. Kami tidak perlu membicarakan sanad hadis tersebut karena matan hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah dalam perkara ini. Hadis tersebut diriwayatkan dengan jalan dari ‘Abdurrahman bin Sa’id bin Wahb Al Hamdani dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dari Aisyah sebagaimana yang disebutkan dalam Tafsir Ath Thabari 19/46 dengan lafaz jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “bukan” tanpa tambahan “putri Ash Shiddiq” dan disebutkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Awsath 4/198 no 3965 dengan lafaz “bukan wahai Aisyah” tanpa menyebutkan putri Ash Shiddiq. Disini masih terdapat kemungkinan kalau lafaz Ash Shiddiq itu adalah tambahan dari para perawinya.
Mengenai Alasan penamaan Ash Shiddiq bagi Abu Bakar yang dikatakan ia telah membenarkan peristiwa isra’ mi’raj maka kami katakan Imam Ali pun membenarkannya bahkan beliau adalah orang yang paling dahulu membenarkan risalah kenabian karena beliaulah yang pertama kali memeluk islam. Jadi jika dengan alasan tersebut Abu Bakar dikatakan Ash Shiddiq maka dengan alasan yang sama Imam Ali lebih layak untuk dikatakan shiddiq. Melihat berbagai dalil yang ada maka pandangan yang kami pilih adalah Imam Ali dan Abu Bakar keduanya adalah Ash Shiddiq.
(Syiah-Ali/Scondprince/Berbai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email