Sebagian menyangka bahwa karakteristik zaman modern adalah segala sesuatu untuk manusia atau humanisme, termasuk agama untuk manusia. Padahal dalam pandangan tradisional, manusia untuk agama. Mereka mengatakan, dalam penafsiran klasik terhadap agama, kedudukan manusia lebih rendah dari agama dan akidah. Dengan dasar ini, manusia berkhidmat pada agama dan jiwa manusia menjadi tidak bernilai, serta dengan mudah mereka akan mengorbankan jiwanya demi agama. Adapun di masa modern, manusia menempatkan dirinya lebih tinggi dari agama, dan ini berarti bahwa manusia tidak mengorbankan diri demi agama dan membunuh seseorang atas nama agama.
Kedudukan Tinggi Manusia atas Pemikiran di Masa Modern
Tidak diragukan lagi bahwa di masa modern manusia diposisikan lebih tinggi dari pemikiran. Namun pandangan ini perlu ditinjaun kembali, pertama dengan dasar apa manusia diposisikan lebih tinggi dari pemikiran, kedua apakah karakteristik pemikiran-pemikiran tradisional adalah sebagaimana juga sekarang ini atau bertentangan? Adapun di masa modern bahwa manusia telah menjadi terhormat dan kedudukan pemikiran menjadi rendah, hal ini karena dari satu sisi merupakan akibat dari kedudukan yang terlupakan dari manusia dan dari sisi lain sebagai akibat hilangnya sisi kepastian kebenaran pengetahuan manusia. Manusia modern memahami bahwa pengetahuan itu bersifat nisbi sehingga tidak mungkin diharapkan memiliki nilai mutlak, karena itu pengetahuan menjadi berada pada titik terendah dari manusia. Jika manusia suatu saat kembali menemukan bahwa pengetahuan dan pemikirannya memiliki nilai mutlak, maka pemikirannya akan kembali mulia, suci, dan terhormat serta kembali menjadi lebih tinggi dari manusianya.
Adapun mengenai substansi tradisi pemikiran-pemikiran klasik itu tidak selayaknya dipandang sama, begitu banyak tradisi-tradisi pemikiran yang ditemukan dalam sejarah manusia yang tidak dapat dihukumi secara sama. Salah satu kesalahan mendasar dari sistem pengajaran moderen adalah memandang sama semua budaya dan tradisi di semua negara pada masa pra pembaharuan Eropa. Mereka ini tidak ingin bersusah payah untuk melakukan penelitian dan seenaknya memandang bahwa semua budaya dan tradisi adalah sama dengan kebudayaan dan tradisi Eropa abad pertengahaan. Pandangan yang tak berdasar dan tak ilmiah ini merupakan persoalan penting bagi para peneliti pada zaman moderen yang harus dicarikan solusinya.
Tujuan Agama
Di sini, Kami tak memiliki kesempatan untuk mengisyaratkan semua tradisi pemikiran klasik. Tetapi kami akan menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan substansi pemikiran Islam sebagaimana tradisi Islam itu sendiri, yakni diturunkannya Kitab-Kitab Suci dan diutusnya para Rasul adalah bertujuan untuk menyempurnakan manusia. Adalah sangat jelas bahwa agama adalah petunjuk Tuhan yang mengarahkan manusia untuk pencapaian kesempurnaan hakiki manusia. Tujuan agama adalah memberi petunjuk pada manusia dalam mengaktualkan semua potensinya dan menyampaikannya ke-haribaan Ilahi.
Jika demikian, maka agama adalah perantara dalam membantu tugas manusia untuk merealisasikan tujuan mulianya. Dengan pandangan ini, tidak dapat dipersepsi bahwa bagaimana mungkin kehadiran agama menyebabkan manusia berkorban untuknya. Jika ditetapkan bahwa manusia dikorbankan untuk agama, potensi-potensi manusia tidak mengaktual, dan tujuan agama tidak tercapai. Jika manusia dengan sia-sia dan semata menghancurkan dirinya dengan nama agama, maka sebaiknya agama seperti ini tidak dihadirkan. Dalam pandangan Islam, agama sebagai jalan kesempurnaan dan keselamatan manusia. Agama sebagai jalan menyampaikan manusia pada tujuan dan kesempurnaan wujud tertinggi. Agama sebagai rantai penyambung antara alam materi dan alam malakut. Agama hadir supaya manusia yang tercipta dari tanah yang rendah ini dapat melesak ke alam tinggi malakuti. Agama sebagai pengobat rasa takut dan kekhawatiran kita. Agama sebagai pelindung dan jalan keluar terhadap berbagai kesulitan yang bersumber dari karakter alam materi. Agama adalah pemberi makna bagi kehidupan manusia. Agama menyirnakan rasa takut manusia akan kematian dan memberikan manusia harapan pasti akan kehidupan abadi di alam akhirat.
Di sini, kami tidak berargumentasi atas pandangan-pandangan diatas, tapi hanya menjabarkan pandangan Islam tentang substansi agama dan hubungannya dengan manusia. Mengidentitaskan ikatan agama dengan manusia. Sebagaimana diperhatikan bahwa semua permasalahan di atas berkaitan dengan tujuan manusia. Agama berkhidmat untuk manusia dan untuk keselamatannya. Sekarang terdapat sebuah pertanyaan bahwa jika demikian, mengapa manusia mesti berkorban di jalan agama, mengapa untuk menghidupkan dan menjaga agama begitu banyak manusia yang telah dikorbankan, dan mengapa terdapat budaya kesyahidan dalam agama khsususnya dalam agama Islam?
Motivasi-Motivasi Manusia
Sebelum memaparkan masalah ini, perlu memperhatikan beberapa mukadimah berikut ini. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari dua hal, yaitu perbuatan yang dilakukan tersebut berpijak pada kebenaran atau karena berdasarkan asas manfaat ? Dengan kata lain, motivasi manusia ada dua bentuk, yakni mencari sebuah kebenaran dan berpikir secara mashlahat. Ketika saya mengerjakan shalat, terdapat dua alasan, yakni karena Tuhan memang layak disembah dan Dia menginginkan jalan penyembahan ini (motivasi mencari kebenaran) atau dengan alasan bahwa shalat menyebabkan kebahagiaan dan keselamatan saya (motivasi mashlahat dan manfaat). Jika saya tidak berbohong, dengan dalil bahwa berbohong adalah tidak benar (motivasi kebenaran) atau dengan dalil bahwa berbohong menyebabkan hadirnya siksaan (motivasi mashlahat). Berdasarkan dua prinsip tersebut, kita bisa memberikan dua solusi atas masalah ini:
1. Mencari Kebenaran
Mencari kebenaran bisa disaksikan dalam tiga perkara:
1. Kecenderungan;
2. Pandangan;
3. Metodologi.
Mencari hakikat kebenaran akan ditemukan dalam tiga bentuk:
1. Kecenderungan pada kebenaran;
2. Menerima dan yakin pada kebenaran;
3. Implementasi kebenaran dan kebenaran sebagai tolok ukur.
Manusia-manusia pencari kebenaran menempatkan hakikat kebenaran itu dalam tiga sisi wujudnya, pertama hati sebagai pusat kecenderungan, cinta, dan benci. Kedua pikiran sebagai tempat pandangan dan pemikiran. Ketiga tubuh sebagai tempat lahirnya amal perbuatan dan tingkah laku manusia. Kecintaan dan kebencian mereka ini semata-mata berdasarkan hakikat kebenaran (kecenderungan kebenaran), dia tidak meyakini dan mengimani selain kepada pandangan-pandangan benar dan menerima setiap pemikiran yang benar (menerima dan yakin pada kebenaran), dan mengamalkan kebenaran, rela menerima segala konsekuensinya, istiqomah dalam kebenaran, dan segala prilakunya berdasarkan pada kebenaran (implementasi kebenaran dan kebenaran sebagai tolok ukur).
Imam Ali sebagai Teladan Pencari Kebenaran
Teladan tertinggi manusia sebagai pencari kebenaran adalah Ali Bin Abi Thalib as dimana dalam segala sesuatu senantiasa berpegang pada kebenaran dan tidak mencintai sesuatu selain kebenaran, dan sekalipun itu kekuasaan jika bertentangan dengan kebenaran, maka tidak akan bernilai sama sekali[1]. Paling mulianya seorang dalam pandangannya adalah orang yang mengamalkan kebenaran di sisinya lebih dia cintai dari segala sesuatu. Dia tidak menerima selain kebenaran dan ketika dia mengenal kebenaran dia tidak menunda sedetikpun untuk menerimanya[2]. Dalam amal perbuatan juga berpegang teguh pada kebenaran dan tidak rela meraih kekuasaan dengan kebohongan (dalam musyawarah pemilihan khalifah kedua) serta orang kuat dalam pandangan beliau adalah lemah sehingga mereka menerima kebenaran[3], dan dia bersumpah pada Tuhan untuk berperang demi kebenaran dan membebaskan kebenaran dari cengkraman kebatilan dan orang-orang mencampuradukkannya dengan kebatilan[4]. Pemihakannya pada kebenaran sedemikian sehingga terwujud peperangan yang tak diiginkan dengan orang-orang ekstrim Khawarij, para pecinta kekuasaan (Muawiyah), dan kelompok munafik. Puncak perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan berujung pada kesyahidannya.
Pengorbanan dan Kesetiaan di Jalan Kebenaran
Keadaan ini akan hadir pada diri seseorang yang telah menemukan kebenaran dan berpegang teguh padanya. Jika seseorang telah menemukan kebenaran suatu agama, apabila dia pencari kebenaran, apakah dia tidak boleh berkorban dan setia pada kebenaran. Apakah tidak bernilai jika seorang manusia mengorbankan jiwanya untuk kebenaran? Bukankah suatu kesempurnaan manusia yang berpegang teguh pada kebenaran hingga akhir hayatnya dan berperang demi kebenaran? Bukankah kemanusiaan kita terletak pada pengamalan kebenaran? Manusia pencari kebenaran memahami bahwa kemanusiaannya terletak pada kecenderungan kebenaran, keyakinan pada kebenaran, dan implementasi kebenaran serta menjadi kebenaran sebagai tolak ukur. Oleh karena itu, untuk mencapai derajat kemuliaan manusia ini dia bahkan rela mengorbankan kehidupan materialnya.
2. Berpikir Mashlahat
Seseorang yang berbuat berdasarkan prinsip kemaslahatan dan asas manfaat, sebelumnya harus mengenal manfaat-manfaat dirinya dan mengetahui apa keuntungannya yang terbesar serta memahami bagaimana cara meraihnya sedemikian sehingga tidak melakukan apa yang mendatangkan bahaya baginya dan mengerjakan apa yang membawa keuntungan baginya. Intinya, dia mesti mengetahui perkara-perkara yang memiliki manfaat dan hal-hal yang tidak yang menguntungkan. Orang-orang yang beriman dan beramal shaleh mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Bijaksana niscaya mengetahui dan menghendaki kemashlahatannya. Oleh karena itu, kemashlahatan yang paling tinggi terletak dalam ruang lingkup agama, walaupun kemashlahatan agama ini akan bertabrakan dengan manfaat duniawi yang bersifat sementara. Dengan demikian, mashlahat hakiki terletak dalam agama dan orang yang mengamalkan agama akan mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan di akhirat.
Walhasil, apabila orang beragama memahami bahwa untuk mencapai kebahagiaan hakiki dia harus mengorbankan jiwanya, maka perbuatan ini adalah hal yang sangat logis dan manusiawi, karena kemashlahatannya hanya akan terjamin dengan pengorbanan ini. Sangat mungkin kemashlahatan duniawi akan hilang, namun kemaslahatan abadi pasti tergapai. Bentuk jual-beli dan perdagangan seperti ini sangat agung dan membawa keuntungan yang sangat besar, hal ini sebagaimana disebutkan dalam al-Quran, "Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih. Yaitu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui"[5]. Setiap manusia bisa meraih maslahat akhirat melalui jalan ini dan menggapai keselamatan dan kebahagian diri serta akan mendapatkan ketenangan pikiran di dunia.
Agama seperti tali yang digantungkan dari puncak gunung, sehingga para pendaki dengan bantuan tali tersebut mampu mendaki hingga ke puncak gunung, tali ini juga sebagai pengaman dari kejatuhan ke dasar lembah yang gelap atau sebagai alat bantu dari keterjebakan. Agama tidak lain adalah tali Allah yang sangat kuat yang dengan berpegang teguh padanya mampu mengantarkan manusia ke puncak keselamatan dan mendapatkan kemashlahatan yang abadi serta meniti jalan ini menciptakan keamanan dan ketenangan jiwa. Yakni ketenangan duniawi dan kebahagiaan akhirat, Tuhan berfirman, "Barang siapa yang berpegang pada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk ke jalan yang lurus....", "Dan berpeganglah kalian pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai berai..."[6].
Adapun jika diperhadapkan pada kemaslahatan sosial, agama juga -khususnya agama Islam - bermanfaat bagi masyarakat. Suatu masyarakat yang berjalan di atas kemashlahatan duniawi bisa meraih kemashlahatan ini lewat jalan agama (yakni berkaitan dengan urusan duniawi yang telah diatur dalam agama).
Pengorbanan dan Kesetiaan untuk Menjaga Kemashlahatan
Dari penjelasan di atas, kita dapat menerima secara rasional bahwa kehadiran agama untuk manusia dan menjamin kemashlahatan manusia, dengan demikian segala bentuk pengorbanan di jalan agama memiliki makna yang sangat berarti. Jika masyarakat ingin memperoleh kemashlahatan ini, maka harus berpegang pada agama dan mereka mesti menjaga agamanya dengan segenap kemampuan walaupun dengan mengorbankan jiwanya. Yang pasti apa yang telah dikorbankan untuk agama tidak berarti jika dibandingkan dengan manfaat abadi yang diraihnya.
Salah satu fungsi komandan pasukan dalam medan perang adalah menjaga keselamatan jiwa kelompoknya dan menyelamatkan mereka dari serangan dan kepungan musuh. Jika komandan ini tidak ada, maka pasukannya akan banyak yang terbunuh. Namun seorang komandan mampu menyelamatkan semua atau sebagian dari mereka. Untuk menyelamatkan mayoritas anggota-angota kelompok maka komandan harus terjaga. Dari sini menjadi rasional bahwa sebagian anggota pasukan akan mengorbankan diri demi menjaga dan menyelamatkan sebagian anggota pasukan dan seluruh anggota pasukan bertanggung jawab menjaga komandan pasukan serta rela terbunuh lebih awal demi keselamatan jiwa komandan. Memang benar bahwa seorang komandan bertujuan menyelamatkan seluruh anggota pasukannya, bukan sebaliknya. Namun untuk terealisasikan fungsi komandan ini terkadang dibutuhkan pengorbanan beberapa anggota pasukan demi keselamatan jiwa komandan, supaya dengan keberadaan komandan keselamatan semua pasukan menjadi terjamin.
Oleh karena itu, walaupun dengan dasar berpikir mashlahat duniawi, pengorbanan dan kesetiaan merupakan alat bagi agama dan apabila diperhadapkan dengan keuntungan-keuntungan duniawi, maka kedua hal tersebut tetap memiliki arti, begitu pula segala pengorbanan di jalan agama sesungguhnya untuk menjamin maslahat-maslahat manusia. Begitu juga dengan kelanggengan agama ini dapat menjamin maslahat-maslahat mereka. Untuk itu, dorongan pengorbanan diri atau mati syahid (syahadah) dalam agama bukan bermakna merendahkan nilai dan harga jiwa manusia, tetapi berarti mempersiapkan manusia-manusia untuk menjamin kemashlahatan dirinya sendiri, yakni pengorbanan manusia untuk agama sama dengan menjamin kemashlahatan manusia itu sendiri
Kesempurnaan Manusia lewat Pengorbanan dan Kesetiaan
Dengan demikian, dengan tidak berpijak pada prinsip-prinsip dan penjelasan di atas kita tidak dapat menuduh Islam dengan sangkaan merendahkan jiwa manusia atau manusia dikorbankan untuk agama, tetapi semata-mata memandang agama dari dalam dan bukan mengklaim berdasarkan kemashlahatan duniawi manusia.
Jika ungkapan 'pengorbanan jiwa di jalan agama' digunakan, sesungguhnya menjelaskan tentang proses kesempurnaan manusia dan proses penitian jalan kebahagiaan. Pengorbanan jiwa manusia bukan dipandang tidak memiliki makna, bahkan dengan ini manusia diarahkan pada puncak kesempurnaan dan hingga pada batasan dimana dengan pengorbanan ini Tuhan membanggakannya di hadapan para malaikat. Para syuhada dan pembela agama, disamping mereka mendapatkan kebahagiaan abadi, mereka juga melestarikan agama serta menghaturkan kebahagiaan bagi manusia-manusia lain. Sungguh hal ini merupakan suatu kebanggaan tak terkira.
Catatan Kaki:
[1] . Nahjul Balaghah, khutbah 33.
[2] . Ibid, khutbah 4.
[3] . Ibid, khutbah 37.
[4] . Ibid, khutbah 104
[5] . Qs. Shaf: 10-11.
[6] . Qs. Al-Imran: 101 dan 103.
(Team-Wisdoms-4-All/Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email