Pesan Rahbar

Home » » Politik Ulama, Politik Kebangsaan

Politik Ulama, Politik Kebangsaan

Written By Unknown on Friday 28 September 2018 | 15:42:00

Ilustrasi, Bakal capres-cawapres Pilpres 2019, Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin ditemani anak bungsunya saat tiba untuk pemeriksaan tes kesehatan di RSPAD, Jakarta, Minggu (12/8). (Foto: Suara.com/Muhaimin A Untung)

Ada dua golongan, yang ketika keduanya baik, maka baik pula seluruh manusia. Sebaliknya, ketika mereka rusak, rusaklah semuanya. Mereka adalah ulama dan umara (pemerintah).

Hadis Nabi Muhammad saw itu bisa dibaca dalam Khilayah al Auliya (1979), ditulis seorang sarjana muslim Persia, Abu Nuaim al Ashfahani.

Memang benar, sudah sejak lama, pemuka agama dan penguasa memiliki ikatan relasi yang kuat dan dianggap mampu menentukan wajah masyarakat di sekitarnya.

Di Indonesia, meski hubungan ulama dan pemerintah tidak disebutkan dalam perundang-undangan formal, akan tetapi keduanya memiliki paduan yang utuh, sulit dipisahkan, apalagi dipertentangkan.

Bukti konkretnya, ialah kelahiran Pancasila. Ia hadir sebagai sebuah kesepakatan yang nyaris tidak dimiliki negara lain. Hasil kompromi itu tetap relevan sebagai pedoman berdemokrasi yang sarat nilai-nilai ketuhanan. Yakni, keyakinan sentral yang amat dihikmati oleh rakyat Indonesia.

Seseorang yang bersandang status ulama tidak cukup sekadar tanggap dalam urusan-urusan agama. Predikat ulama, kerap kali menuntut mereka agar bisa mengabdikan diri di banyak sektor. Terlebih, dalam persoalan-persoalan sosial politik.


Siapa ulama?

Sejak masa silam, titel ulama dimaknai sebagai salah satu sub dalam kategori intelektual. Tapi, khusus di Indonesia, sebutan ini bisa saja merangsek hingga ke zona sosio-kultural.

Intelektual muslim Indonesia, Dawam Rahardjo dalam Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (1996) berpendapat, pada mulanya, predikat ulama hanya disematkan kepada seorang yang alim dan memiliki kualifikasi ahli dalam pengetahuan keagamaan. Sementara peran kuat mereka di tengah masyarakat bersifat tidak formal.

“Tidak semua orang yang yang menguasai ilmu dapat disebut ulama. Hanya mereka yang pakar dalam al ulum al diniyah (ilmu keagamaan) saja yang memperoleh hak istimewa untuk digelari ulama,” tulis Dawam.

Pengakuan ulama dalam kategori sosio-kultural, lanjut Dawam, lantas muncul melalui proses pengabdian di masyarakat. Pengakuan itu datang bukan hasil dari mobilisasi, melainkan lahir dari rangkaian produksi sosial yang amat panjang.

Di masa lampau, status ulama juga ditimbang dari sisi spiritualitas. Seseorang bisa mencapai predikat ulama ketika mampu mencapai titik ideal tertentu.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj dalam Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi (2006) menjelaskan, sebutan ulama biasanya dilekatkan kepada orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah swt yang telah ditunjukkan melalui alam raya.

“Orang yang sudah mencapai fase ini akan memiliki perasaan khasyyah dan khauf, takjub dan takut kepada Allah. Substansi ulama seperti ini merupakan karakteristik para ulama sebelum abad pertengahan,” tulis Said.

Jika berkaca pada pakem itu, menurut Said, maka kata ulama telah mengalami penyempitan makna. Terutama ketika tokoh-tokoh agama dinilai kurang memiliki peran dalam kehidupan sosial masyarakat.

“Sebutan ulama sudah mengalami degradasi dan distorsi cukup tajam. Dalam pengertian terakhir ini, sebutan ulama bisa disandang oleh orang-orang yang hanya menguasai satu disiplin keilmuan secara elementer. Atau, juga berlaku bagi mereka yang berprofesi sebagai tukang ceramah di berbagai tempat,” tulis dia.

Degradasi, barangkali juga sedikit-banyak disumbang oleh kuatnya pengaruh kemajuan teknologi informasi. Sesuatu “yang suci”, kini bisa dipanggungkan di wilayah teknologis yang bersifat profan.

Pesan-pesan suci itu, ditampilkan melalui modus budaya populer di televisi atau media sosial. Penyampai pesan kerap mendapatkan predikat ulama, ustaz, atau ahli agama setelah sukses tampil di televisi, atau mendapatkan banyak followers.

Untuk model yang satu ini, tentu, memunculkan kategori baru yang berbeda dengan pengertian ulama sebelumnya.

Pemaknaan luas terkait karakter ulama Indonesia juga pernah dilontarkan cendekiawan muslim, Nurcholis Madjid. Dalam tulisan berjudul Ulama dan Pesantren di Indonesia yang dimuat Jurnal Studi Islam dan Budaya GONG (1996), sosok yang karib disapa Cak Nur ini malah menegaskan bahwa ulama merupakan kelompok orang yang mesti memiliki pandangan budaya.

“Terutama pandangan budaya yang dibangun berdasarkan ide-ide konservatif,” tulis Cak Nur.

Hubungan antara sebutan ulama dan kecakapan dalam keilmuan agama hanya berada dalam tataran fondasi. Sementara dalam kelanjutannya, ulama harus memiliki kepekaan di bidang budaya, humaniora, sosial, ekonomi, bahkan politik.

Kesadaran inilah yang pada akhirnya membawa seseorang pada kecakapan dan kesadaran bahwa masyarakat yang diampunya memiliki latar belakang yang beragam. Lantas, pengertian ini berkembang menjadi ciri khas ulama Indonesia yang akrab dengan keberagaman. Pandangan politik yang digunakan pun, politik kebangsaan.


Paradigma kebangsaan

Jelang Indonesia merdeka, kalangan elite modern terbagi menjadi beberapa kelompok. Mereka adalah golongan Islam, nasionalis, komunis, dan Kristen. Tentu, golongan-golongan tersebut bergerak dan memperjuangkan apa yang dikehendaki berdasarkan ideologinya masing-masing.

Terkecuali dalam hal pandangan ideologi bernegara. Dari empat kelompok besar itu, bisa diringkas menjadi dua pihak yang saling berseberangan.

Pertama, kalangan yang memimpikan Indonesia sebagai sebuah negara berdasarkan agama, yakni Islam sebagai agama mayoritas. Dan kedua, ialah kelompok yang lebih menghendaki dasar negara lebih bertumpu pada persatuan bangsa Indonesia dengan masyarakat yang terdiri dari beragam identitas. Kelompok ini lebih memperjuangkan Indonesia sebagai negara kebangsaan.

Singkat cerita, terjadi sebuah kesepakatan bahwa dasar negara yang layak bagi Indonesia adalah Pancasila, bukan negara Islam. Setelah itu, banyak yang menganggap bahwa babak ini menjadi bukti atas kekalahan kelompok Islam di fase awal kemerdekaan.

Padahal, tidak. Justru kelompok Islam lah yang berdiri di belakang keputusan untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka adalah tokoh-tokoh yang legawa menerima saran Mohammad Hatta untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menjadikan sila pertama dicukupkan dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Mereka, bukan orang sembarang. Tokoh-tokoh tersebut merupakan ulama mumpuni yang berasal dari kelompok-kelompok besar Islam di Indonesia. Sebut saja, Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah, dan KH Wahid Hasyim dari NU.

Apa yang sebenarnya mereka pertimbangkan itulah definisi politik kebangsaan. Islam, tidak dimaknai sebagai alat politik, namun berpolitik mesti tetap dalam koridor dan nilai-nilai keislaman. Karena, tentu, NU dan Muhammadiyah tak pernah sekalipun abai dengan misi dan pesan ajaran Islam.

Soal ini, sejarawan Abdul Mun’im DZ dalam Piagam Perjuangan Kebangsaan (2011) mengisahkan bahwa NU pun pernah mengistilahkan Indonesia sebagai Darul Islam, atau Negara Islam. Akan tetapi, oleh seorang ulama bernama KH Ahmad Shidiq, prinsip yang bersumber dari putusan Muktamar NU pada 1936 itu tidak diterjemahkan secara dangkal, melainkan lebih diarahkan kepada pesan-pesan substansial.

“Kata Darul Islam di situ bukanlah sistem politik ketatanegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan (Islam), yang lebih tepat diterjemahkan wilayah Islam. Motif utama dirumuskannya pendirian itu adalah bahwa di wilayah Islam, maka kalau ada jenazah yang identitasnya tidak jelas non-muslim, maka dia harus diperlakukan sebagai muslim,” kata Ahmad Shidiq, seperti dikutip Mun’im.

Praktiknya, di wilayah Islam, maka semua penduduk wajib memelihara ketertiban masyarakat, mencegah perampokan, dan sebagainya. Namun, NU tetap menolak ikut milisi Hindia Belanda, karena menurut Islam, membantu penjajah hukumnya haram. Inilah prinsip kebangsaan ulama masa perjuangan.

Begitu juga Muhammadiyah, intelektual muslim Abdul Munir Mulkhan dalam Jejak Pembaharuan dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan (2010) menceritakan bahwa politik kebangsaan lebih dipahami Muhammadiyah sebagai tindakan, baik gagasan maupun aksi konkret dalam mempengaruhi pengambil kebijakan dan kekuatan politik yang ada bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia.

“Hal itu dilakukan sebagai warga bangsa atau warga dunia tanpa memandang agama dan etnis,” tulis Mulkhan.

Gagasan dakwah politik kebangsaan ini, kata Mulkhan, bisa dilihat dari beberapa dokumen, di antaranya, dalam penjelasan pedoman untuk memahami Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (Tanwir Ponorogo 1969) yang memuat fungsi dan misi gerakan Muhammadiyah.

“Muhammadiyah menyadari kewajibannya berjuang dan mengajak segenap golongan dan lapisan bangsa Indonesia, untuk mengatur dan membangun Tanah Air dan Negara Republik Indonesia, sehingga merupakan masyarakat dan negara adil dan makmur, sejahtera bahagia, materiel dan spiritual yang diridai Allah swt,” tulis dia.

Politik kebangsaan yang ditawarkan NU dan Muhammadiyah, atau oleh sebagian besar ulama terdahulu tidak menjadikan Islam berhadap-hadapan dengan negara. Melalui politik kebangsaan, Islam kian besar dan kuat, serta dinilai mampu menjalankan fungsi-fungsi sosialnya dengan baik.

Sebaliknya, jika Islam hanya dimaknai sebagai alat demi mencapai kekuasaan negara, bisa-bisa malah mencederai prinsip-prinsip luhur keagamaan.

Peneliti sosial-politik Saiful Mujani dalam Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (2007) mengatakan, memang ada pula karakter dari gerakan islamis ketika hidup di negara demokrasi -yang kebetulan sebagian besar penduduknya beragama Islam- akan memahami bahwa demokrasi adalah majoritarianism.

Di mata mereka, demokrasi harus menomorsatukan suara mayoritas, tetapi mengabaikan kebebasan sipil.

“Mereka mengklaim bahwa tuntutan mereka tentang penerapan syariat Islam oleh negara mewakili kepentingan mayoritas umat Islam,” tulis Saiful.

Praktik politik seperti itu pun, butuh penokohan sentral bersandang ulama. Bedanya, predikat itu boleh dibentuk secara instan, tak perlu ambil pusing dengan persatuan, apalagi prinsip-prinsip kebangsaan. Yang terpenting, kekuasaan.

(Suara/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: