Munculnya Saljuk ke dalam panggung
peristiwa di negeri-negeri wilayah timur Arabia, memiliki dampak besar
dalam perubahan konstelasi politik di wilayah itu, di mana telah terjadi
pertarungan yang hebat antara Khilafah Abbasiyah yang Sunni dengan
Khilafah Fathimiyah yang Syiah.
Orang-orang Saljuk telah mendirikan
sebuah pemerintahan Saljuk besar yang muncul pada abad ke-5 H/ ke-11 M.
Otoritasnya meliputi wilayah Khurasan, Turkistan, Irak, Iran, Syam, dan
Asia Tengah. Ray di Iran, kemudian Baghdad di Irak merupakan pusat
kekuasaan Sultan Saljuk. Pada saat yang sama berdiri pemerintahan kecil
Saljuk di Khurasan dan Karman, juga di Syam (Saljuk Syam), bahkan ada
pula Saljuk di Asia Kecil yang disebut dengan Saljuk Romawi.
Orang-orang Saljuk mendukung sepenuhnya
pemerintahan Khilafah Abbasiyah di Baghdad dan mendukung madzhab Sunni.
Hal itu merupakan keuntungan besar tatkala Kekhilafahan Abbasiyah hampir
runtuh saat berada di bawah pengaruh kaum Syiah Buwaihi di Iran dan
Irak, serta pengaruh Bani Fathimi Al Ubaidi di Mesir dan Syam. Maka
orang-orang Saljuk berhasil menghapus pengaruh Buwaihi dan sekaligus
menentang pengaruh Khilafah Ubaidiyah (Fathimiyah).[1]
Thughril Baek pemimpin Saljuk mampu
menghancurkan pemerintahan Buwaihi pada tahun 447 H di Baghdad,
sebagaimana ia juga mampu meredakan berbagai krisis yang melanda, serta
mencopot semua tulisan di depan masjid yang mencemooh para sahabat Nabi.
Dia juga berhasil membunuh Abu Abdullah Al Jallab, gembong Syiah
Rafidhah karena sikapnya yang keterlaluan dalam menghina sahabat.[2]
Pengaruh Syiah Buwaihi demikian kuat di
Baghdad dan di kalangan istana Khilafah Abbasiyah. Maka tatkala
orang-orang Saljuk mampu menghancurklan pemerintahan Buwaihi, Sultan
Thughril Baek memasuki ibu kota Khilafah, dia diterima dengan sambutan
hangat oleh Khalifah Abbasiyah, Al Qaim Biamrillah. Khalifah
mengalungkan tanda kehormatan dan mendudukkan Thughril di sampingnya.
Dia juga diberi gelar kehormatan, Sultan Ruknuddin Thughril Baek.
Khalifah memerintahkan agar namanya di ukir di atas mata uang
pemerintah. Bahkan namanya disebutkan dalam Khutbah Jum’at di
masjid-masjid Baghdad dan lainnya. Hal lain yang semakin memperkuat
posisi orang-orang Saljuk, karena mereka mampu menggeser kedudukan kaum
Buwaihi dalam mengendalikan semua urusan di Baghdad. Sementara itu para
Khalifah Dinasti Abbasiyah berjalan sesuai harapan mereka.[3]
Thughril Baek dikenal sebagai sosok yang
memiliki kepribadian kokoh, kecerdasan tinggi, serta sosok pemberani.
Di samping itu dia juga dikenal sebagai sosok relijius, wara’, dan adil.
Oleh sebab itulah dia mendapat dukungan sangat kuat dari rakyat. Dia
telah mempersiapkan sepasukan tentara yang kuat dan berusaha menyatukan
orang-orang Saljuk-Turki dalam sebuah pemerintahan yang kuat.[4]
Sebagai penguat ikatan antara Khalifah
Abbasiyah Al Qaim Biamrillah dan pemimpin pemerintahan Saljuk Thughril
Baek, maka khalifah menikahi anak Jefry Baek, saudara tertua Thughril
Baek yang terjadi pada tahun 448 H/ 1059 M. kemudian pada bulan Sya’ban
tahun 454 H/ 1062 M, Thughril Baek menikah dengan anak Khalifah
Abbasiyah, Al Qaim Billah. Namun Thughril Baek tidak lama hidup setelah
itu. Dia meninggal pada malam Jum’at, tanggal 8 Ramadhan tahun 455 H/
1062 M dalam usia 70 tahun setelah berhasil menguasai wilayah-wilayah
Khurasan, Iran, dan Irak bagian utara dan timur.[5]
Sultan-sultan Kerajaan Saljuk.
- Sultan Muhammad, Bergelar Alib Arselan (Singa Pemberani)
Alib Arselan memegang kendali
pemerintahan setelah meninggalnya Thughril Baek, pamannya. Sebelumnya
telah terjadi sengketa, tentang siapa yang berhak memimpin pemerintahan
di negeri itu setelah Thughril wafat. Namun akhirnya Alib Arselan mampu
memenangkannya.
Sebagaimana pamannya, Alib Arselan juga
dikenal sebagai sosok pemberani dan cerdik. Dia telah mengambil siasat
yang sangat jempolan dalam penaklukkan wilayah-wilayah lain, di mana
sebelum melakukan penaklukkan dia akan selalu berusaha mencari
kepastian, apakah negeri-negeri yang berada di bawah kekuasan Saljuk
betul-betul setia atau tidak. Jika dia mantap bahwa negeri itu
sepenuhnya loyal, dia akan beranjak untuk menaklukkan negeri yang lain.
Dia juga dikenal sebagai sosok yang senang berjihad di jalan Allah dan
gencar menyebarkan agama Islam di berbagai negeri Kristen yang
berbatasan dengan wilayah kekuasaannya, seperti Armenia dan Romawi.
Spirit jihad Islamlah yang menjadi pendorong utama dilakukannya
pembukaan negeri-negeri oleh Alib Arselan. Dia menjadi komandan jihad
orang-orang Saljuk. Dia begitu antusias menebarkan Islam di
negeri-negeri itu dan memancangkan panji-panji Islam berkibar di
wilayah-wilayah Byzantium.[6]
Dia telah melakukan inspeksi (monitoring) selama tujuh tahun di
wilayah-wilayah kekuasaannya yang terpencar-pencar sebelum melakukan
ekspansi ke wilayah lain.
Tatkala Alib Arselan yakin benar, bahwa
pemerintahan Saljuk stabil di seluruh wilayah yang tunduk padanya,
barulah dia merancang strategi untuk massa depan yang lebih panjang. Dia
ingin menaklukkan negeri-negeri Kristen yang berbatasan dengan wilayah
kekuasaannya, menaklukkan Khilafah Fathimiyah (Al ‘Ubaidiyah) di Mesir
dan menyatukan dunia Islam di bawah panji Khilafah Abbasiyah yang
beraliran Sunni. Maka dia pun menyiapkan tentara dalam jumlah besar
untuk bergerak menuju Armenia. Georgia akhirnya berhasil ditaklukkan,
lalu dia pun menyebarkan Islam di wilayah-wilayah tersebut.[7]
Kemudian dia juga melakukan penyerbuan
ke Syam bagian Utara dan mengepung negeri Muradisah di Allepo, sebuah
negeri yang didirikan oleh Saleh bin Muradas yang berdasarkan madzhab
Syiah pada tahun 414 H/ 1023 M. Dia memaksa pemimpin pemerintahan ini,
Mahmud bin Saleh bin Muradas, untuk kembali mengakui pemerintahan
Khilafah Abbasiyah dan tidak lagi menginduk kepada pemerintahan
Fathimiyah (Ubaidiyah).[8] Hal ini terjadi sekitar tahun 462 H/ 1070 M.
Kemudian dia mengirim komandan perangnya
Atansaz bin Auq Al Khawarizmi untuk melakukan penyerbuan ke wilayah
selatan Syam. Dia berhasil merebut Ramalah dan Baitul Maqdis dari tangan
pemerintahan Fathimiyah, namun belum mampu menguasai Asqalan yang
dianggap sebagai pintu masuk ke Mesir. Dengan demikian orang-orang
Saljuk memiliki kedekatan dengan basis Khilafah Abbasiyah dan Sultan
Saljuk di dalam Baitul Maqdis.[9]
Pada tahun 462 H seorang utusan dari
pemerintah di Makkah, Muhammad bin Abu Hasyim, menemui Sultan Alib
Arselan memberitahukan, bahwa nama Khalifah Abbasiyah dan Sultan akan
disebutkan di dalam khutbah secara resmi, lalu akan menghapus penyebutan
nama pemerintahan Fathimiyah di Mesir dari mimbar-mimbar khutbah.
Utusan itu juga memberitahukan, bahwa sejak itu akan ditinggalkan
panggilan adzan dengan tambahan Hayya ‘Alal ‘Amal (tambahan ini
merupakan tambahan adzan dalam aliran Syiah setelah ucapan Hayya ‘Alal
Falah.-Penj). Setelah menerima utusan itu Sultan memberi hadiah uang
untuk penguasa Makkah itu sebanyak 30 ribu dinar. Dia juga berkata,
“Jika penguasa Madinah melakukan hal yang sama, maka akan kami beri dia
hadiah sebanyak 20 ribu dinar.”[10]
Penaklukkan-penaklukkan oleh Alib
Arselan ini telah membuat marah kaisar Romawi Romanus Diogenes (berkuasa
pada tahun 1076-1071 M—pent). Oleh sebab itu dia bertekad melakukan
serangan balik dalam rangka membela dan mempertahankan kekaisarannya.
Pasukan Kaisar ini berkali-kali terlibat perang dengan pasukan Saljuk.
Di anatara peperangan yang paling penting adalah perang Maladzkird
(Manzikart) yang terjadi pada tahun 483 H atau bertepatan dengan bulan
Agustus 1070 M.[11]
Ibnu Katsir berkata, “Pada tahun itulah
Kaisar Romawi Rumanus berangkat dalam satu pasukan yang besar laksana
gunung yang terdiri dari pasukan Romawi, Georgia, Perancis. Jumlah
pasukan dan persenjataannya demikian kuat. Dalam pasukan itu, ikut serta
35 ribu Bitriq (komandan pasukan Romawi). Di bawah seorang Bitriq ada
100 ribu penunggang kuda. Pasukan yang datang dari Perancis berjumlah 35
ribu, sedangkan pasukan yang bermarkas di Konstantinopel berjumlah 15
ribu personil. Ikut bersamanya 100 ribu tukang seruling dan penggali
lobang, 1000 kuda kerja, 400 ratus gerobak pengangkut sandal dan paku,
1000 gerobak lainnya yang mengangkut senjata, lampu, alat perang,
pelempar batu, dan manjaniq dalam jumlah ribuan dan 200 orang. Apa yang
menjadi ambisinya, adalah untuk menghancurkan Islam.
Para Bitriq telah mampu menyeberangi
negeri-negeri hingga akhirnya sampai di Baghdad. Kaisar menasihati
wakilnya untuk berlaku baik pada khalifah yang mengatakan, “Bersikap
lunaklah kalian padanya sebab dia adalah teman kita!” Kemudian setelah
Mamalik (kerajaan-kerajaan kecil) di Irak, Khurasan telah bisa
ditaklukkan, maka berangkatlah pasukan Romawi itu ke Syam untuk
mengambil alih Syam dari tangan kaum muslimin. Allah swt. berfirman,
“Demi umurmu (Muhammad) sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam
kemabukan (kesesatan).” (Al-Hijr: 72).
Maka mereka dihadang oleh Sultan Alib
Arselan yang saat itu memimpin pasukan sekitar 20 ribu di sebuah tempat
yang disebut Zahwah. Peristiwa ini terjadi pada hari rabu tanggal 26
Dzulqa’dah. Sultan Alib Arselan merasa cemas melihat jumlah pasukan
Romawi yang sedemikian banyak. Melihat hal ini, maka seorang faqih yang
bernama Abu Nashr Muhammad bin Abdul Malik Al Bukhari, menasihati agar
waktu perang ditetapkan pada hari Jum’at setelah matahari tergelincir,
tatkala para khatib sedang mendoakan kemenangan kaum mujahidin.
Saat tiba waktunya dan kedua pasukan
saling berhadapan, maka sultan turun dari kudanya dan bersujud kepada
Allah dengan melekatkan wajahnya ke tanah kemudian dia berdoa kepada
Allah swt agar memberikan kemenangan. Maka Allah turunkan kemenangan
pada kaum muslimin dan memberikan karunia-Nya yang besar. Kaum muslimin
mampu membunuh demikian banyak tentara Romawi dan Kaisar mereka ditawan
oleh seorang pemuda yang berasal dari Romawi. Tatkala dia berada di
hadapan Sultan Alib Arselan, maka dia dipukul dengan tiga pukulan tangan
sambil mengatakan, “Jika saya menjadi tawananmu, apa yang akan kau
lakukan terhadapku?”
Dia berkata, “Pasti semua yang buruk-buruk!”
“Lalu apa yang akan saya perbuat menurut sangkaanmu?” lanjut Sultan.
“Mungkin kau akan membunuhku dan kau
giring aku di negerimu, atau mengampuniku dan mengambil tebusan dariku
dan mengembalikan aku ke negeriku!” jawab Romanus.
“Tak ada yang aku inginkan kecuali mengambil tebusan darimu,” tegas Sultan.
Romanus menebus dirinya dengan jumlah
150 ribu dinar. Kemudian berdiri di depan Sultan dan memberi minum
kepada Sultan sambil mencium tanah di depan Sultan. Dia kemudian mencium
tanah ke arah di mana khalifah berada sebagai rasa hormat. Sultan
sendiri memberikan kepadanya 1000 dinar sebagai perbekalan untuk pulang
dan mengirim beberapa komandan pasukan untuk menjaganya hingga dia
selamat sampai ke negerinya. Sultan sendiri mengantarnya hingga jarak
empat mil. Tentara yang mengantarnya membawa panji-panji yang
bertuliskan Laa Ilaaha Illa Allah Muhammad Rasulullah.[12]
Kemenangan Alib Arselan dengan tentara
berkisar 20.000 prajurit terhadap tentara Romawi yang berjumlah sekitar
200.000 prajurit, merupakan peristiwa yang sangat spektakuler dan
merupakan titik perubahan penting dalam sejarah Islam. Sebab peristiwa
ini telah melemahkan pengaruh Romawi di Asia Kecil yang tak lain adalah
wilayah-wilayah strategis Kekaisaran Byzantium. Ini sangat membantu
untuk melemahkan dan kemudian menghancurkan kekaisaran Byzantium secara
berangsur-angsur di bawah kekuasaan Khilafah Utsmaniyah.
Alib Arselan dikenal sebagai sosok
manusia saleh yang selalu mencari sebab-sebab kemenangan dari segi
maknawi dan materi. Dia selalu dekat dengan ulama dan mengambil nasehat
mereka. Alangkah indahnya nasehat yang diberikan oleh seorang alim
rabbani, Abu Nashr Muhammad bin Abdul Malik Al Bukhari Al Hanafi dalam
perang Maladzkird tatkala dia berkata pada Sultan Alib Arselan,
“Sesungguhnya kau berperang dalam membela agama yang Allah janjikan akan
memberi pertolongan dan kemenangan atas semua agama. Saya berharap
Allah telah menuliskan kemenangan ini atas namamu. Maka hadapilah mereka
di jam-jam saat para khatib Jumat sedang berdoa di atas mimbar, sebab
mereka berdoa untuk kemenangan kaum mujahidin.”
Maka tatkala waktunya datang, dia
menjadi imam shalat kaum muslimin. Sultan pun menangis dan seluruh
hadirin ikut menangis. Dia berdoa yang diamini oleh semua pasukannya.
Lalu dia pun berkata, “Barangsiapa yang ingin meninggalkan tempat, maka
tinggalkanlah, sebab di sini tidak ada seorang sultan yang menyuruh dan
melarang?!” Dia pun segera mengambil busur, anak panah, dan pedang. Dia
pasang pelana kuda dengan tangannya sendiri. Para prajurit melakukan hal
yang sama. Kemudian dia memakai pakaian putih-putih dan bersumpah untuk
berjuang hingga titik darah penghabisan. Dia berkata dengan lantang,
“Jika saya terbunuh, maka inilah kafanku!”[13] Allahu Akbar! Terhadap orang-orang yang demikian inilah pertolongan Allah akan senantiasa turun.
Sultan sendiri terbunuh di tangan
seorang yang membalas dendam bernama Yusuf Al Khawarizmi, pada 10
Rabi’ul Awwal tahun 456 H/ 1072 M. Dia disemayamkan di kota Marw di
samping kuburan ayahnya. Anaknya yang bernama Maliksyah menggantikan
posisinya.[14]
Kemulian Akhlak Sultan Alib Arselan.
Dia dikenal sebagai sosok yang murah
hati, cinta kaum fakir miskin, selalu bersyukur atas semua karunia yang
Allah berikan padanya. Suatu saat dia melewati kaum fakir Khuraiin di
Marw, lalu dia menangis. Dia memohon kepada Allah, semoga Allah swt
menjadikannya sebagai orang kaya.
Sultan dikenal sebagai orang yang banyak
bersedekah. Pada bulan Ramadhan dia bersedekah sebanyak 15 ribu dinar.
Di tempatnya bekerja ada sekian nama kaum fakir yang senantiasa dia
santuni. Tidak ada satu pun perbuatan kriminal atau perampokan. Rakyat
telah puas dengan pajak asli yang diambil dua kali dalam setahun,
sebagai ungkapan kasih-sayang pada mereka.[15]
Salah seorang penagih pajak menulis
surat padanya melaporkan tentang keadaan menterinya yang bernama
Nizhamul Mulk. Mereka menyebutkan kekayaan yang dimilikinya di beberapa
kerajaan. Maka dia pun memanggil Nizhamul Mulk seraya berkata, “Ambillah
jika ini benar, dan kau perbaiki akhlak dan pribadimu. Namun jika ia
bohong, maka maafkanlah kesalahannya!”
Dia dikenal sangat peduli dengan harta
rakyat. Dikisahkan, ada seorang pelayannya mengambil pakaian beberapa
orang. Maka pelayan itu disalib. Mendengar kejadian ini, gemetarlah
semua penguasa kerajaan-kerajaan kecil di bawah Alib Arselan karena
takut akan hukumannya.[16]
Buku yang banyak dibacakan kepadanya
adalah sejarah raja-raja, perilaku-perilaku mereka, serta hukum-hukum
syariah. Tatkala tersiar luas keindahan perilakunya di kalangan
raja-raja, dan sikapnya yang selalu memenuhi janji; mereka sepakat
menyatakan taat kepadanya setelah sebelumnya menolak melakukan hal itu.
Mereka datang dari berbagai pelosok negeri di Asia Kecil sampai Syam.[17]
[1] As Salathin fil Masyriqil ‘Arabi, Dr. Isham Muhammad Syabaru, hlm. 171
[2] Ayu’idut Tarikh Nafsahu, Muhammad Al’Abduh, hlm. 67
[3] Qiyamud Daulah Al Utsmaniyah, hlm. 19
[4] Ibid: 17
[5] Tarikhud Daulatil ‘Aliyyah Al Utsmaniyyah, Muhammad Farid Baek, hlm. 25
[6] Qiyamud Daulah Al Utsmaniyah, hlm. 20
[7] Qiyamud Daulah Al Utsmaniyah, hlm. 20
[8] As Salathin fil Masyriqil ‘Arabi, Dr. Isham Muhammad, hlm. 25
[9] Mir’atuz Zaman, Sabth Ibnu Al Jauzi, hlm. 161
[10] Ayu’idut Tarikh Nafsahu, Muhammad Al Abduh, hlm. 68
[11] Ibid: hlm.20
[12] Al Bidayah Wan Nihayah, Juz 12 hlm. 108
[13] Tarikh Islam, Adz Dzahabi, Hawadits wa Wawafayat: 461, 470
[14] Qiyamud Daulah Al Utsmaniyah, hlm. 21
[15] Al Kamil, Ibnu Atsir: 6/252
[16] Bidayatul Mujtahid, Juz 12 hlm. 114
[17] Al Kamil, Ibnu Atsir; Juz 6 hlm. 253
Post a Comment
mohon gunakan email