Pesan Rahbar

Home » , » Soegondo Djojopuspito, Pemimpin Kongres Sumpah Pemuda

Soegondo Djojopuspito, Pemimpin Kongres Sumpah Pemuda

Written By Unknown on Friday 11 March 2016 | 02:30:00

(Foto: aktualitas.com)

Jauh sebelum tahun 1925 kondisi bangsa Indonesia terpecah-belah. Selain karena diadu oleh Pemerintah Kolonial Belanda, setiap suku dan agama di Indonesia memiliki organisasinya sendiri. Tiap organisasi itu pun hanya menerima anggota dari suku dan agamanya sendiri, seperti Jong Java pada 1918, yang diikuti Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain.

Keadaan ini membuat banyak tokoh dan intelektual prihatin. Di waktu yang hampir bersamaan, Soegondo yang pernah tinggal satu rumah bersama Soekarno di Surabaya dan Bandung, mengagas dan mendirikan Persatuan Pemuda Indonesia – sebagai organisasi pemuda yang independen ketika itu dan bukan berdasarkan kesukuan – hingga ia juga terlibat dalam persiapan Kongres Pemuda I pada 1926. Tujuannya adalah “Mencapai jalan membina perkumpulan-perkumpulan yang tunggal, yaitu membentuk sebuah badan sentral dengan maksud memajukan paham persatuan kebangsaan dan mempererat hubungan antara semua perkumpulan pemuda kebangsaan”.

Dua tahun berikutnya menjelang Kongres Pemuda II, terjadi perdebatan siapa yang akan memimpin Kongres. Ketika itu muncul kandidat lain yang kuat sebagai calon ketua, yaitu Mohammad Yamin. Namun, karena dia berasal dari Jong Sumatera (kesukuan), sehingga akhirnya Yamin diangkat menjadi Sekretaris dan Ketua Kongres adalah Soegondo – yang merupakan tokoh muda dari organisasi yang independen – dengan persetujuan Drs. Mohammad Hatta di Negeri Belanda dan Ir. Sukarno.

Sebagai Ketua yang terpilih, pria bernama lengkap Soegondo Djojopuspito memimpin Kongres Pemuda II pada tanggal 28 Oktober 1928. Alhasil, dalam kongres itu mencetuskan Sumpah Pemuda, dengan motto: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa: Indonesia.

Trilogi Sumpah Pemuda ini lahir pada detik-detik terakhir kongres, di mana Mohammad Yamin yang duduk di sebelah Soegondo menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo seraya berbisik: “Ik heb een elganter formuleren voor de resolutie” (saya mempunyai rumusan resolusi yang lebih luwes, yaitu tiga kata trilogi: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa). Kemudian Soegondo memberi paraf pada secarik kertas itu yang menyatakan setuju, dan diikuti oleh anggota lainnya yang menyatakan setuju.

isi sumpah pemuda. (Foto: majalahindo.com)

Selain itu, juga telah disepakati Lagu Kebangsaan: Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman. Dalam kesempatan itu, WR Supratman berbisik meminta izin kepada Soegondo agar boleh memperdengarkan Lagu Indonesia Raya ciptannya. Karena Kongres dijaga oleh Polisi Hindia Belanda, dan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti misalnya Kongres dibubarkan atau para peserta ditangkap. Maka, Soegondo yang pernah belajar bersama Soekarno di pondok HOS Cokroaminoto tahun 1922-1925 itu secara elegan dan diplomatis dengan bisik-bisik mempersilahkan WR Supratman memperdengarkan lagu INDONESIA RAYA dengan biolanya, sehingga kata-kata Indonesia Raya dan Merdeka sangat jelas diperdengarkan.

Pada masa Kebangkitan Nasional, Soegondo juga aktif sebagai guru dan masuk partai politik. Pada tanggal 11 Desember 1928 bersama Soenario Sastrowardoyo, Soegondo mendirikan Perguruan Rakyat di Salemba, Jakarta dan diangkat sebagai Kepala Sekolah.

Namun, Soegondo yang juga pernah menimba ilmu di Padepokan Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1930 diminta oleh Ki Hadjar Dewantara untuk menjadi guru Perguruan Taman Siswa Bandung. Ketika itu, ia mulai sebagai simpatisan PNI (Perserikatan Nasional Indonesia) pimpinan Soekarno. Tahun 1932, ia diangkat menjadi Kepala Sekolah Perguruan Tamansiswa Bandung. Kemudian, pada tahun 1933 ia menikah dengan penulis Suwarsih Djojopuspito di Cibadak dan isterinya ikut membantu mengajar di Perguruan Tamansiswa Bandung. Kakak iparnya adalah Mr. A.K.Pringgodigdo.

Ketika Pemerintah Hindia Belanda di bawah Pemerintahan Gubernur General Mr. Bonifacius Cornelis de Jonge, maka para aktivis politik mulai ditangkap. Pada tahun 1933, Soekarno ditangkap dan diasingkan ke Ende, Flores, kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Pada saat itu PNI pimpinan Soekarno beralih pimpinan pecah menjadi dua, yaitu dilanjutkan sebagai Partindo (Partai Inonesia) pimpinan Mr. Sartono dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Drs. Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Sugondo memilih masuk dalam Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Syahrir. Kemudian pada tahun 1934 gilirannya Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir ditangkap dan diasingkan ke Boven Digoel kemudian dipindahkan ke Banda Neira.

Pada tahun yang sama, giliran Soegondo yang ditangkap, namun karena ia tidak terbukti sebagai anggota partai, sehingga ia hanya mendapat larangan mengajar (Onderwijs Verbod) oleh Pemerintah Hindia Belanda. Setelah larangan mengajar dicabut tahun 1935 ia pindah ke Bogor dan mendirikan Sekolah Loka Siswa. Kemudian, ia berpindah ke Yogyakarta dan meninggal dunia pada tanggal 23 April 1978 pada umur 73 tahun.

Atas jasa perjuangannya pada masa muda dalam memimpin Sumpah Pemuda, maka Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978 memberikan Tanda Kehormatan Republik Indonesia berupa Bintang Jasa Utama. Selain itu, ia juga mendapat Satya Lencana Perintis Kemerdekaan pada tahun 1992. Bahkan, Kemenpora telah mengabadikan namanya di Gedung Pertemuan Pemuda sebagai Wisma Soegondo Djojopoespito, Cibubur milik PP-PON (Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional) pada tanggal 18 Juli 2012.

(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: