Ilustrasi
Peneliti sosial budaya pada Lembaga Riset Antronesia, Rahmad Efendi berpendapat, penggunaan kolom agama pada KTP merupakan pemicu terjadinya diskriminasi.
“Negara ini menjalankan regulasi yang kontradiktif. Di satu sisi negara melalu undang-undang sudah menjamin warganya untuk memiliki keyakinan terhadap agama dan kepercayaannya masing-masing, di sisi lain negara hanya mengakui 6 (enam) agama resmi,” ujar Rahmad yang lebih akrab disapa Sutan, di Bandung, Jawa Barat, Selasa 17 Mei 2016.
Ia menjelaskan, agama atau suatu kepercayaan itu selalu terintegrasi dengan sistem sosial budaya suatu masyarakat. Setiap agama dan kepercayaan yang ada Indonesia diprediksi akan menuntut hal yang sama kepada negara, yaitu pencantuman kolom agama pada KTP.
Lebih dari itu, pencantuman agama pada KTP sebaiknya dihapus untuk menghilangkan diskriminasi administratif.
“Yang terpenting adalah pemerintah menjaga amanat undang-undang terkait kebebasan beragama agar masyarakat merasa nyaman dalam menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing,” ujar Rahmad.
Sebelumnya, sedikitnya 1.300 warga Baduy Dalam dan Baduy Luar saat merayakan Seba mendatangai Bupati Lebak dan Gubernur Banten untuk menuntut agara Sunda Wiwitan dicantumkan di kolom agama pada kartu tanda penduduk elektronika (e-KTP). Sejauh ini kolom agama dikosongkan di KTP mereka masih dikosongkan.
Di hadapan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya, mereka menyampaikan tiga permintaan warga Baduy kepada pemerintah saat Seba kali ini, salah satunya pencantuman agama di KTP. Begitu pun saat bertemu Gubenur Banten Rano Karno, warga Baduy menyampaikan permintaan yang sama.
Dari 11.660 warga Baduy, baru sekitar 3.500 saja yang memiliki KTP. Namun, mereka belum tenang, karena dengan sistem e-KTP, kepercayaan Sunda Wiwitan, bisa dihilangkan dari kolom agama.
(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email