Historiografi awal Islam pada hakikatnya merupakan historiografi Arab yang berkembang dalam periode sejak Islam pertama kali disampaikan Nabi Muhammad saw. hingga abad ke-3 H, ketika historiografi Islam awal mengambil bentuk relatif mapan. Sulit dibantah bahwa historiografi awal ini mempunyai sumber dan dasar keagamaan. Adalah Islam yang memberikan kesadaran sejarah kepada kaum Muslim baik melalui Al-Quran"“dengan banyak ayat yang mengandung dimensi historis dan quasi-historis"“ maupun melalui Nabi Muhammad sendiri sebagai figur historis.[1]
Perkembangan historiografi awal Islam tidak bisa dipisahkan dari perkembangan ajaran Islam maupun komunitas Muslim itu sendiri. Seperti kita ketahui bahwa ketika Nabi masih hidup, berbagai masalah yang muncul di kalangan kaum Muslim dapat dipecahkan dengan otoritas Al-Quran atau Nabi Muhammad sendiri. Tetapi segera setelah beliau wafat, ketika kaum Muslim menghadapi persoalan-persoalan baru dan tidak dapat menemukan bimbingan eksplisit dari Al-Quran, atau ketika terdapat perbedaan penafsiran ayat Al-Quran di kalangan Muslim, maka otoritas terbaik adalah perbuatan dan perkataan Nabi, yakni hadis (Sunnah). Kemudian, selama para sahabat masih hidup, mereka dapat merujuk langsung kepada hadis Nabi, karena mereka menyaksikan langsung kehidupan beliau. Tetapi ketika semakin banyak Sahabat yang wafat, sejalan dengan kian banyaknya masalah yang muncul dalam masyarakat Islam yang terus berkembang, kaum Muslim semakin merasakan perlunya mengumpulkan informasi tentang Nabi. Begitulah, usaha mengumpulkan dan menyusun hadis secara tertulis terus menemukan momentumnya.
Literatur hadis, dengan demikian, sangat krusial apakah sebagai sumber pokok kedua ajaran Islam maupun sebagai tambang informasi bagi historiografi awal Islam. Hadis mempunyai peran amat penting dalam penulisan sejarah Islam di masa awal. Tulisan ini mencoba mengungkapkan peranan dan pengaruh hadis terhadap perkembangan historiografi awal Islam. Kita juga mencoba meninjau secara singkat bentuk dan metode historiografi awal Islam. Jadi, perhatian utama kita adalah penggunaan literatur hadis sebagai sumber utama tulisan dan karya historis Islam di masa awal.
Perkembangan Awal Literatur Hadis
Istilah Arab hadits (jamak, ahadits) secara harfiah berarti "cerita," "komunikasi," "percakapan" "“ apakah bersifat keagamaan atau "sekular," historis atau legendaris, benar atau palsu"“ berkaitan dengan masa sekarang atau dengan masa silam belum lama ini atau masa lampau yang jauh. Jika digunakan sebagai kata sifat, kata "hadis" berarti "baru" sebagai kebalikan qadim (lama).[2]
Kata "hadis" berkaitan sangat erat dengan kata "Sunnah," yang berarti "jalan," "ketentuan," "cara bertindak" atau "menempuh kehidupan."[3]
Singkatnya, literatur hadis adalah segala sesuatu yang diriwayatkan atas otoritas Nabi Muhammad mengenai perkataannya; perbuatan dan keputusannya; persetujuannya secara diam atas perbuatan dan tingkah laku Sahabat-sahabatnya; dan juga gambaran tentang kepribadiannya sendiri.[4]
Jadi, literatur hadis berarti literatur yang mencakup riwayat (narasi) tentang kehidupan Nabi dan hal-hal yang disetujuinya, sementara Sunnah berarti modus kehidupan Nabi. Kedua istilah ini digunakan hampir secara bergantian, meskipun sebenarnya terdapat beberapa perbedaan di antara keduanya; suatu hadis boleh jadi tidak mengandung Sunnah apa pun, sebaliknya suatu hadis bisa mengandung lebih dari satu Sunnah. Di sini Fazlur Rahman menyebut hadis sebagai verbal tradition, sementara Sunnah sebagai practical tradition atau silent tradition.[5]
Karena perbedaan di antara hadis dan Sunnah hakikatnya hanya bersifat teoretis, kita menggunakan keduanya dalam pengertian yang lebih kurang sama.
Hadis bersumber dari dan berkembang dalam kehidupan Nabi Muhammad; ia menyebar secara simultan dengan penyebaran Islam ke berbagai wilayah. Lasykar Muslim yang menaklukkan Irak, Palestina, Persia, dan Mesir mencakup sejumlah besar Sahabat yang membawa hadis ke mana pun mereka pergi. Bahwa hadis Nabi pasti telah ada sejak masa paling awal Islam adalah fakta yang tidak perlu diragukan. Bahkan sepanjang masa kehidapan Nabi, cukup alamiah bagi kaum Muslim untuk berbicara tentang apa yang dikatakan dan dikerjakan Nabi.[6]
Lebih jauh, bangsa Arab yang menghafal dan mewariskan syair berbagai penyair mereka, ucapan para peramal nasib, dan pernyataan pemimpin kabilah mereka, bisa dipastikan tidak luput memperhatikan dan "meriwayatkan perbuatan dan perkataan seseorang yang mereka akui sebagai Utusan Allah. Demikian, menurut Rahman, penolakan atas fenomena alami ini sama artinya dengan irasionalitas berlebihan"“ sebuah dosa terhadap sejarah.[7]
Tetapi perlu dicatat bahwa hadis pada masa hidupnya Nabi umumnya merupakan masalah informal; kebutuhan satu-satunya terhadap hadis adalah guna memperoleh bimbingan dalam praktik aktual kaum Muslim; dan kebutuhan ini dipenuhi oleh Nabi sendiri. Setelah Nabi wafat, hadis kelihatannya mencapai status semi-formal, karena cukup alamiah bagi generasi sesudahnya untuk tahu segala sesuatu mengenai Nabi.
Tetapi terdapat kontroversi baik di kalangan sarjana Muslim maupun Barat tentang masa pasti permulaan penulisan hadis. Di kalangan kaum Muslim terdapat pandangan bahwa hadis diriwayatkan secara lisan setidak-tidaknya selama seratus tahun.[8]
Lebih jauh, menurut pendapat ini, adalah 'Umar bin 'Abd Al-Aziz yang pertama kali meminta Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm Al-Zuhri dan lain-lain mengumpulkan hadis. Beberapa sarjana Barat juga memegang pendapat ini. Muir, misalnya, berpendapat tidak terdapat bukti otentik mengenai pencatatan tertulis hadis lebih awal dari pertengahan abad kedua Hijri.[9]
Sementara itu Goldziher menyatakan bahwa fenomena hadis kembali ke masa paling awal Islam. Dia mendukung pandangan tentang terdapatnya banyak data tentang shuhuf (lembaran-lembaran) bertulisan hadis sejak dari generasi pertama Islam. Tetapi Goldziher skeptis tentang apakah shuhuf itu ditulis generasi-generasi lebih belakang atau tidak.[10]
Melebihi Goldziher, Margoliouth menyatakan bahwa Nabi tidak meninggalkan Sunnah atau hadis di luar Al-Quran, dan generasi-generasi Muslim lebih belakangan membuat Sunnah dan hadis Nabi Muhammad.[11]
Segaris dengan pendapat ini, Schacht berargumen bahwa hadis disebarkan sejak paruh pertama abad kedua Hijri, dan hanya Al-Syafi'i (w. 204/819) yang mengamankan hadis dengan otoritas Nabi. Schacht bersikeras bahwa hampir seluruh hadis hukum dibikin setelah wafatnya 'Umar bin 'Abd Al-Aziz.[12]
Pendapat sebagian orientalis di atas dibantah Azami, ahli hadis paling menonjol di Dunia Muslim kontemporer. Menurut dia, pendapat umum tentang terlambatnya penulisan hadis dan tentang periwayatan hadis secara lisan selama lebih dari seratus tahun berkaitan degan informasi keliru yang diberikan beberapa muhadditsun. Di antara mereka ada yang memberikan nama para pengumpul pertama hadis, yang sebenarnya hidup dalam periode pertengahan paruh kedua atau akhir paruh kedua abad kedua Hijri.[13]
Pendapat umum ini juga muncul karena miskonsepsi dan misinterpretasi atas istilah-istilah semacam tadwin (pengumpulan), tashnif (klasifikasi) atau kitabah (penulisan).[14]
Terdapat pula misinterpretasi tentang kata haddatsana (ia meriwayatkan kepada kami), akhbarana (ia mengabarkan kepada kami), dan 'an (diriwayatkan dari), yang pada umumnya dipahami dalam pengertian periwayatan lisan. Padahal sebenarnya ketiga kata ini digunakan untuk menunjukkan metode dokumentasi, yang mengambil beberapa bentuk, seperti penyalinan dari dokumen tertulis, penulisan dari sumber tertulis melalui diktasi, pembacaan dokumen tertulis oleh seorang guru atau murid, periwayatan dokumen secara lisan dan diterimanya atau direkamnya secara lisan oleh murid-murid.[15]
Sprenger, ahli hadis paling awal di kalangan orientalis, setuju dengan poin terakhir. Menurutnya, kata haddatsana, misalnya, biasanya tidak berarti periwayatan lisan, karena sejak masa awal Islam sudah menjadi kebiasaan di kalangan kaum Muslim untuk mengacu kepada pengarang ketimbang kepada karya.[16]
Anggapan umum tentang terlambatnya pencatatan hadis juga bersumber dari hadis-hadis yang melarang kitabah (penulisan) hadis. Memang terdapat hadis-hadis yang melarang penulisan segala sesuatu selain ayat Al-Quran umumnya dan hadis khususnya. Hadis-hadis yang melarang penulisan hadis diriwayatkan oleh tiga Sahabat: Abu Sa'id Al-Khudri, Abu Hurayrah, dan Zayd bin Tsabit.[17]
Menurut Azami, hadis-hadis itu dipertikaikan di antara para pakar Muslim. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah dan Zayd bin Tsabit mempunyai cacat, sementara otentisitas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri digugat pakar setingkat Al-Bukhari.[18]
Pada pihak lain terdapat bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad menyetujui pencatatan hadis. Nabi sendiri mengirim banyak surat, sebagian di antaranya sangat panjang, mengandung bacaan untuk shalat dan ibadah lain. Bahkan, Al-Quran menuntut kaum Muslim mencatat transaksi bisnis mereka.[19]
Karena itu, seperti dikemukakan Sprenger, Muhammad tidak dapat dikatakan mempunyai keberatan atas penulisan hadis.[20]
Agaknya karena alasan ini, orang dapat menemukan banyak Sahabat yang menulis dan mencatat hadis. Dengan memperhatikan hal ini, kita sampai kepada kesimpulan bahwa ketidaksetujuan Nabi atas penulisan hadis sangat mungkin berarti penulisan materi Al-Quran dan bukan Al-Quran pada lembaran yang sama, sebab ini bisa menimbulkan kekacauan. Terdapat teori lain bahwa kaum Muslim dilarang oleh Nabi untuk menuliskan hadis karena seluruh perhatian harus ditumpahkan kepada Al-Quran dan penyelamatannya; dan belakangan, ketika tidak ada lagi bahaya terlalaikannya Al-Quran, larangan itu dihapuskan dan izin diberikan untuk penulisan hadis.[21]
Menurut Goldziher, pemilihan kata matn untuk menyebut teks hadis- dalam perbandingan dengan pendokumentasiannya melalui mata rantai isnad"“ dapat menjadi bukti kekeliruan asumsi sementara Muslim bahwa penulisan hadis semula dilarang, dan bahwa hadis dijadikan sebagai tradisi oral dan verbal belaka. Sebaliknya bisa diasumsikan bahwa penulisan hadis merupakan metode tertua dalam pemeliharaannya. Keengganan memeliharanya dalam bentuk tertulis semata-mata merupakan hasil dari pertimbangan belakangan. Bagian-bagian tertua dari materi hadis sangat mungkin adalah materi yang telah diselamatkan dalam bentuk tertulis sejak dekade-dekade pertama Islam. Tiada sesuatu pun yang bertentangan dengan asumsi bahwa para Sahabat mencatat hadis dengan maksud memelihara ucapan dan keputusan Nabi agar tidak terlupakan. "Bagaimana mungkin masyarakat yang memelihara ucapan hikmah manusia biasa dalam shuhuf membiarkan kelestarian hadis Nabi dalam periwayatan lisan belaka?
Sangat banyak Sahabat yang membawa shuhuf ke mana pun mereka pergi dan menggunakannya sebagai bahan dalam pendidikan di lingkungan mereka."[22]
Pendapat Goldziher di atas sejalan dengan pandangan Sprenger:
Pada umumnya dipercayai bahwa hadis diselamatkan dalam abad pertama Hijri semata-mata dengan ingatan, Sarjana-sarjana Eropa . . . beranggapan tidak satu pun di antara hadis-hadis yang terdapat dalam Koleksi Al-Bukhari yang pernah ditulis sebelumnya. Pendapat ini kelihatannya keliru, Ibn 'Amr dan Sahabat Nabi lainnya menuliskan ucapan Nabi; dan contoh ini diikuti banyak Tabi'un. Terdapat sejumlah orang, bahkan di kalangan ahl al-kalam dan ahl al-hadits yang sejak masa paling awal menuliskan informasi apa pun yang ingin mereka selamatkan. Paling penting di antara mereka adalah 'Abd Allah bin 'Amr, Anas bin Malik, dan Ibn Al-'Abbas, yang merupakan Sahabat Nabi, Mereka ini menyimpan banyak catatan tentang Nabi dibandingkan siapa pun lainnya, Hadis-hadis yang diriwayatkan 'Abd Allah dan Ibn Al-'Abbas dipelihara keluarganya secara tertulis.[23]
Dengan demikian, hadis yang menyebar ke berbagai wilayah Muslim yang luas diselamatkan sejak masa awal Islam, Kaum Muslim menyelamatkan hadis; sebagiannya secara tertulis dalam bentuk nuskhah (copy, naskah), shahifah (lembaran), kitab (surat atau buku), risalah (surat atau buku), kurrasah (lembaran atau catatan),[24] dan sebagian lagi dalam ingatan atau hafalan. Seluruh bentuk dokumentasi tertulis ini, yang muncul pada akhir abad pertama atau awal abad kedua Hijri, dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori: Pertama, buku-buku yang mengandung hanya hadis Nabi. Ini merupakan kumpulan belaka dari sekian banyak hadis tanpa pengaturan dan klasifikasi, Kedua, buku-buku yang mengandung hadis Nabi yang bercampur aduk dengan berbagai ketetapan hukum Al-Khulafa' Al-Rasyidun, Sahabat lain, dan bahkan Tabi'un. Materi dalam kategori ini juga tidak diatur secara sistematis, dan merupakan semacam kumpulan belaka.[25]
Sejak pertengahan abad pertama Hijri, buku-buku hadis dalam subjek-subjek khusus atau minat tertentu mulai muncul, Orang dapat menemukan, misalnya, sebuah risalah tentang Sahabat dan Sekretaris Nabi, Zayd bin Tsabit (w: 45 H/666 M) tentang fara'idh. Belakangan terdapat pula buku-buku hadis yang berkaitan dengan masalah hukum.[26]
Karya besar paling awal yang kita terima tentang hadis hukum adalah Al-Muwaththa' karya Malik bin Anas (w. 179/795).
Tetapi karya ini tidak hanya memuat hadis Nabi, tetapi juga pendapat Sahabat dan Tabi'un. Sejak akhir abad kedua Hijri perubahan terjadi; buku-buku yang mengandung hanya hadis Nabi dengan pengaturan sistematik tertentu mulai muncul. Dalam abad ketiga dan keempat, kebanyakan buku hadis yang muncul memuat hanya hadis Nabi; adalah pada periode ini Al-Kutub Al-Sittah muncul, yakni Shahih Al- Bukhari (w. 256/870); Shahih Muslim (w. 261/875); Sunan Abu Dawud (w. 275/888) Jami' Tirmidzi (w. 279/891); Sunnan Ibn Majah (w. 283/896); dan Sunan Al-Nasa'i (w. 303/915).[27]
Kemunculan "Al-Kutub Al-Sittah" tercapai setelah kritisisme hadis (dirayat al-hadits) dikembangkan pakar hadis awal. Perlunya kritisisme terhadap hadis semakin terasa ketika hadis menyebar ke berbagai wilayah Islam, sehingga kian besar pula kemungkinan terjadinya kekeliruan dalam periwayatannya. Kritisisme hadis memperoleh momentum lebih kuat setelah terjadinya berbagai peristiwa berikutnya dengan al-fitnat al-kubra (pertama) dalam tahun 37-42/656-661, dan fitnah (perang saudara) kedua (60-72/680-692),[28] karena pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian mulai menciptakan hadis untuk mendukung posisi masing-masing.[29]
Terdapat berbagai metode kritisisme hadis yang dipakai para muhaddits awal[30] guna menyaring hadis otentik dari hadis palsu dengan mempertimbangkan kesempurnaan atau kecacatan isnad, ketiadaan cacat dalam matn, penerimaan atau penolakan di kalangan Sahabat, Tabi'un, dan generasi sesudahnya. Kritisisme ini pada akhirnya menghasilkan pembagian hadis ke dalam berbagai tingkatan sesuai otentisitas dan reliabilitasnya.[31]
Hadis dan Historiografi Awal Islam
Sejak masa paling awal dalam sejarah Islam, ulama membuat pembedaan antara hadis hukum (ahadits al-ahkam) dengan hadis yang murni historis. Rahman menyebut hadis hukum sebagai hadis dogmatis atau teknis, yakni hadis yang menyangkut keimanan dan ibadah.[32]
Ulama sangat hati-hati dan kritis dalam menangani hadis hukum; sebaliknya mereka cukup longgar ketika menghadapi hadis historis. Ini tidak mengherankan karena seluruh ahli hukum (fuqaha') awal sepakat berpendapat bahwa setiap hadis Nabi yang bersifat keagamaan dan yang terbukti sahih sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang mereka tetapkan, mempunyai signifikansi hukum yang tinggi" berada pada tingkatan kedua hanya setelah Al-Quran. Tetapi jumlah hadis hukum kelihatan tidak terlalu banyak, khususnya jika dibandingkan dengan luar biasanya jumlah hadis, seperti diungkapkan beberapa muhaddits paling awal.[33]
Di sini kita tidak berminat mengkaji berbagai aspek hadis hukum, melainkan akan membahas aspek hadis historis yang memunculkan historiografi awal Islam. Tetapi, jelas tak bisa dibantah pengkajian dan pengumpulan hadis hukum turut memberikan sumbangan berharga kepada kemunculan historiografi awal Islam. Seperti dikemukakan Duri, kebangkitan tulisan sejarah sejak masa awal Islam merupakan bagian integral dari perkembangan kebudayaan Islam umumnya; historiografi Islam berkaitan sangat erat dengan kebangkitan disiplin hadis.[34]
Memang benar bahwa sebelum kedatangan Islam, beberapa kabilah Arab tertentu, khususnya kabilah Himyar dan Saba di Yaman, memelihara semacam bentuk riwayat historis tertulis mengenai, misalnya, dokumen dan catatan genealogis dan riwayat tentang kejadian-kejadian di lingkungan kabilah mereka.[35]
Sebagian orang Arab di kawasan utara juga mempunyai riwayat lisan atau cerita tentang tuhan-tuhan dan para penguasa mereka; tentang masalah sosial dan penghidupan mereka. Bagian pokok dari riwayat seperti ini berkenaan dengan ekspedisi militer dan peperangan (ayyam), yang kemudian menjadi unsur penting dalam tulisan sejarah awal.[36]
Tetapi masa jahiliah tidak meninggalkan literatur tertulis cukup berarti, karena ia merupakan zaman kebudayaan lisan.
Islam memberikan kesadaran sejarah baru kepada bangsa Arab. Generasi Muslim pertama, didorong oleh semangat keagamaan dan kesalehan, mengumpulkan riwayat dan laporan tentang kehidupan Nabi dan perjuangannya dalam menyampaikan Islam. Riwayat-riwayat tentang apa yang dikatakan dan dikerjakan Nabi sepanjang misi sucinya akhirnya dikumpulkan dan disistematisasikan sebagai Kumpulan Hadis. Jadi, historiografi awal Islam, seperti dikemukakan Duri, bersumber dari dua perspektif fundamental: pertama, perspektif Islami, yang muncul di kalangan muhadditsun; dan kedua, perspektif kekabilahan atau perspektif ayyam. Kedua pandangan ini mencerminkan dua arus besar dalam masyarakat Islam di masa awal; arus kekabilahan diwakili bertahannya warisan budaya kabilah, dan arus Islami yang tercakup dalam prinsip keruhanian dan aktivitasnya. "Setiap perspektif mengembangkan mazhab tulisan sejarahnya sendiri, walaupun keduanya juga saling mempengaruhi. Tetapi pada akhirnya, perspektif Islami mencapai dominasi setelah sudut pandangan muhadditsun tampil ke posisi dominan dalam penulisan sejarah."[37]
Berkat pengumpulan hadis, tersedia amat banyak bahan yang mempunyai berrnacam nilai, yang selanjutnya disaring dan dicerna para pakar sesuai keahlian masing-masing. Dalam hubungan dengan kenyataan inilah hukum Islam berkembang berbarengan dengan seni historiografi.[38]
Bahkan Abbott menyatakan bahwa hadis dan sejarah merupakan disiplin kembar, walaupun keduanya tidaklah identik. Dalam dekade-dekade pertama Islam, keduanya terutama merupakan pelengkap bagi penafsiran Al-Quran dan juga sebagai pendukung bagi penyusunan riwayat hidup Nabi Muhammad. Karenanya, sering terdapat duplikasi dalam isi disiplin hadis dan sejarah.[39]
Materi hadis yang luar biasa banyaknya merupakan tambang informasi bagi tulisan sejarah Islam di masa awal, seperti maghazi (razia atau serangan militer), sirah (biografi), asma' al-rijal (biografi perawi hadis), dan semacamnya. Tulisan sejarah semacam ini dalam perkembangannya lebih lanjut mendorong munculnya penulisan sejarah universal dan lokal. Pada saat yang sama, metode isnad dalam periwayatan hadis, dan penggunaan metode kronologis dalam karya biografis juga mempengaruhi metode historiografi awal Islam. Berikut kita akan membahas tiga jenis historiografi awal tersebut lengkap dengan metode eksposisi mereka.
1. Al-Maghazi
Al-Maghazi, berasal dari kata ghazwah (ekspedisi militer), yang dari sudut pandang sejarah berarti perang dan penyerangan militer yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Belakangan, makna kata ini sering diperluas untuk mencakup seluruh misi kerasulannya.[40]
Karena itu, terdapat hubungan erat atau bahkan tumpang tindih antara maghazi dan sirah, seperti dibahas Noldeke,[41] misalnya. Tetapi maghazi merupakan studi paling awal tentang sejarah kehidupan Nabi, yang dilakukan oleh beberapa Sahabat terkemuka.[42]
Mereka mengumpulkan hadis historis yang beredar pada masa mereka. Koleksi mereka inilah yang kemudian menjadi data penting bagi para Tabi'un. Horovitz menyatakan, meskipun sebagian data hadis yang terekam di atas shaha'if (shuhuf) atau di dalam kitab tidak jelas nilainya, tetap tak ada keraguan bahwa catatan tertulis semacam itu tidak lagi merupakan barang langka di kalangan Tabi'un, yang memperoleh pengetahuan dari para Sahabat.[43]
Mengingat uraian di atas, tidak heran jika studi maghazi bermula di Madinah, pusat hadis, Sahabat dan Tabi'un. Maghazi muncul berbarengan dengan studi hadis. Muhadditsun menunjukkan minat mereka terhadap maghazi; tetapi sebagian di antara mereka, ketika mengkaji riwayat kehidupan Nabi, melakukannya dalam cara yang melampaui batas aspek hukum. Jadi, para pionir studi maghazi adalah muhadditsun; mereka dipandang sebagai pengarang maghazi. Ini juga menjelaskan kenapa isnad menduduki peranan penting dalam mengukur nilai maghazi. Ini berarti, nilai hadis dan riwayat lain bergantung kepada reputasi para muhaddits atau perawi yang terdapat di dalam rangkaian isnad. Inilah yang mendorong timbulnya sikap kritis terhadap ruwah (perawi)" mereka yang meriwayatkan atau mentransmisikan informasi.
Selanjutnya, ini memperkenalkan unsur penyelidikan dan penelitian atas berbagai riwayat dan, dengan demikian, meletakkan dasar-dasar yang kukuh bagi studi sejarah kritis.[44]
Penulis pertama maghazi adalah Aban bin 'Utsman bin 'Affan (w. 105/723). Aban mempunyai reputasi sebagai muhaddits dan faqih, yang pada 71/689 diangkat menjadi Gubernur Madinah oleh Khalifah 'Abd Al-Malik bin Marwan. Aban menuliskan sebuah kumpulan hadis khusus berkenaan dengan maghazi.[45]
Penanganan lebih lengkap atas maghazi dilakukan oleh 'Urwah bin Al-Zubayr (lahir sekitar 23/643, w. 94/712). Ia adalah orang pertama yang menulis kitab lebih baik tentang maghazi, dan karenanya ia sering dipandang sebagai pendiri studi maghazi. Sayang, karyanya ini hanya tinggal dalam bentuk kutipan pada karya para sejarahwan semacam Al-Thabari, Ibn Ishaq, Al-Waqidi, Ibn Sayyid Al-Nas dan Ibn Katsir. Kutipan-kutipan mereka merupakan tulisan paling awal tentang maghazi yang sampai ke tangan kita.
Maghazi karya 'Urwah jelas tidak terbatas pada pengertian sempit kata ini. Kutipan maghazi karya 'Urwah itu mencakup berbagai aspek kehidupan Nabi, seperti permulaan Nabi menerima wahyu Al-Quran (ba'ts), beberapa serangan dan perang yang dilakukan Nabi, dan sejumlah masalah pribadi Nabi. Dalam periwayatannya, 'Urwah kelihatan tidak mengungkapkan secara terinci pertarungan bersenjata yang terjadi dalam ekspedisi militer. 'Urwah yang aktif berceramah ini, menuliskan sebagian ceramahnya; bahkan sebagian tulisannya tentang sejarah mencakup jawaban tertulis atas pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh istana Dinasti Umayyah.[46]
'Urwah sangat terpandang sebagai ahli dalam hadis; ia adalah salah seorang dari "Tujuh Fuqaha'" terkemuka di Madinah. Hubungannya dengan tokoh-tokoh terpandang dalam masa awal Islam menempatkannya pada posisi untuk mendapatkan dari tangan pertama banyak riwayat tentang hari-hari pertama Islam. Karena itu, ia meriwayatkan banyak hadis yang kemudian dapat ditemukan di dalam kitab-kitab kumpulan hadis dan dalam literatur sirah. Dari fragmen-fragmen mughazi-nya yang sampai ke tangan kita, jelas 'Urwah mendasarkan karyanya ini pada hadis historis yang dikumpulkannya sendiri.[47]
Sirah tertua yang kita miliki, karya penulis lebih belakangan dari 'Urwah, mengambil banyak bahan dari maghazi 'Urwah.
Dalam beberapa riwayatnya, 'Urwah menggunakan isnad; tetapi pada sebagian lain ia tidak memakainya sama sekali. Dalam hal terakhir, kelihatannya 'Urwah menggabungkan sejumlah hadis ke dalam narasi tunggal berkesinambungan. Kasus tidak digunakannya isnad oleh 'Urwah, tak harus mengherankan, karena pada masa 'Urwah (ia termasuk Tabi'un paling awal) ketentuan tentang isnad belum sepenuhnya baku. Pada masa ini dipandang cukup kuat mengambil riwayat langsung dari Tabi'un.[48]
Dua penulis maghazi berikutnya adalah Syurahbil bin Sa'd (w. 123/741), seorang mawla dari Bani Khatmah;[49] dan Wahb bin Munabbih (w. 110/728), keturunan Persia Selatan yang menetap di Yaman.[50]
Kedua Tabi'un ini dipandang tidak terpercaya. Padahal Syurahbil sebenarnya termasuk ahli dalam hal maghazi, tetapi orang mencurigainya sebagai suka menonjolkan pihak tertentu yang sebenarnya tak berperan banyak dalam sejarah Islam. Terdapat juga penilaian bahwa hadis yang diriwayatkan Syurahbil tidak disenangi.[51]
Pada pihak lain, Wahb bin Munabbih pada umumnya digambarkan sebagai laki-laki yang punya cara pikir dan gaya hidup asketik,[52] serta menunjukkan kecenderungan Qadariyyah.[53]
Horovitz menyatakan bahwa Wahb secara umum diakui sebagai perawi hadis yang terpercaya (tsiqah), meskipun ia tidak menggunakan isnad, dan bahkan memakai sumber-sumber Yahudi dan Kristen dalam maghazi-nya yang berjudul Kitab Al-Mubtada'.[54]
Tetapi Abbott dan Duri menyanggah penilaian Horovitz. Keduanya menilai bahwa Wahb bin Munabbih bukanlah penulis terpercaya dan cermat dan, karenanya, laporan-laporannya tidak bernilai bagi sejarahwan yang serius. Ia tak lebih dari sekadar tukang cerita.[55]
Abbott dan Duri berhujjah bahwa Wahb tidak bisa dipercaya karena ia dengan seenaknya bersandar pada cerita Perjanjian Lama dan Israiliyyat, serta pada imajinasinya yang memang subur.[56]
Tetapi beberapa historiografer lebih belakangan seperti Ibn Ishaq, Ibn Qutaybah, dan Al-Thabari, mengutip banyak bagian karya Wahb tanpa memeriksa reliabilitasnya.
Selanjutnya terdapat tiga ahli yang pada umumnya dipandang bertanggung jawab atas peningkatan dan perluasan studi maghazi. Mereka adalah 'Abd Allah bin Abi Bakr bin Hazm (w. antara 130-135/747-752), 'Ashim bin 'Umar bin Qatadah (w. 120/737), dan Muhammad bin Muslim bin Syihab Al-Zuhri. Ketiga tokoh ini termasuk ke dalam kelompok muhadditsun yang memberikan perhatian khusus kepada studi maghazi. Karya-karya mereka dengan mantap mengukuhkan kerangka bagi penulisan maghazi; materi yang mereka gunakan menjadi bahan penting yang digunakan Ibn Ishaq dan, kemudian, oleh Al-Waqidi.[57]
'Abd Allah bin Abi Bakr bin Hazm adalah seorang qadhi di Madinah dan perawi hadis yang berminat khusus pada maghazi. Ia mewariskan Kitab Al-Maghazi kepada kemenakannya 'Abd Al-Malik bin Muhammad (w. 176/792).[58]
Sayang sekali kitab ini tidak atau belum ditemukan, selain kutipan yang terdapat dalam karya Ibn Ishaq dan Al-Waqidi. Dari kutipan itu terlihat karya 'Abd Allah tidak terbatas pada pengertian sempit maghazi, karena ia juga mengungkapkan masa remaja Nabi Muhammad. Ia meriwayatkan pula laporan tentang pemberontakan beberapa kabilah Arab setelah mangkatnya Nabi, dan juga tentang berbagai peristiwa dalam dasawarsa berikutnya. Menurut Al-Thabari, ia merupakan orang pertama yang menetapkan urutan kronologis peristiwa-peristiwa di masa Nabi; ia juga menyusun daftar perang yang dilakukan Nabi dalam urutan kronologis, yang selanjutnya dipinjam Ibn Ishaq di dalam karyanya. 'Abd Allah sangat memperhatikan otoritas sumber-sumber yang digunakannya. Ia juga memberikan perhatian khusus pada sumber-sumber tertulis, seperti surat Nabi kepada seorang Pangeran Arabia Selatan dan dokumen yang diberikan Nabi kepada kakeknya 'Amr bin Hazm untuk dibawanya ke Najran ketika ia diperintahkan Nabi menyebarkan Islam di sana.[59]
'Ashim bin 'Umar bin Qatadah adalah perawi hadis yang terpercaya.[60]
Kakeknya, Qatadah, termasuk orang Madinah pertama menerima Islam. 'Ashim pernah ditugaskan oleh Khalifah 'Umar II (Ibn Al-Aziz) menyampaikan kepada kaum Muslim, khususnya di Damaskus, tentang riwayat perang yang dilakukan Nabi dan amal mulia para Sahabat. 'Ashim merupakan salah satu sumber utama Ibn Ishaq dan Al-Waqidi. Ia juga mengungkapkan riwayat terinci tentang masa muda dan kehidupan Nabi di Madinah. Ia sering menyebutkan isnad-nya, tetapi tak jarang pula tidak menyebutkannya sama sekali. Sikapnya terhadap isnad sama dengan sikap 'Abd Allah bin Abi Bakr. 'Ashim juga sering memasukkan pernyataan aktor-aktor utama dalam riwayat yang disampaikannya; ia tidak berlaku sebagai sekadar pengumpul riwayat, tetapi juga menyatakan pendapat dan penilaiannya sendiri atas berbagai peristiwa.[61]
2. Sirah
Sejauh menyangkut maghazi dan sirah sebagai bentuk historiografi awal Islam, adalah Muhammad bin Muslim bin Syihab Al-Zuhri,[62] yang melakukan studi maghazi dalam cara yang lebih sesuai dengan metode penelitian sejarah. Menurut Duri, Al-Zuhri adalah orang pertama yang dapat disebut sebagai sejarahwan yang sebenarnya di masa awal ini. Tidak membatasi diri dengan sekadar melengkapi riwayat maghazi 'Urwah bin Zubayr, Al-Zuhri melakukan kegiatan berskala besar untuk mengumpulkan riwayat dan hadis yang beredar di Madinah; ia menuliskan apa pun yang ia temukan guna membantu hafalannya. Ia adalah orang pertama yang memakai istilah sirah, merekonstruksi sirah Nabi dengan struktur yang baku, dan menggariskan kerangka dalam bentuk yang jelas. Tetapi ia tetap memakai istilah maghazi ketimbang sirah sebagai judul karyanya.[63]
Karya Al-Zuhri tentang sirah sampai ke tangan kita hanya dalam bentuk bagian yang ditemukan terutama di dalam karya Ibn Ishaq, Al-Waqidi, Al-Thabari, Al-Baladzuri, dan Ibn Sayyid Al-Nas. Format sirah- nya, kurang lebih, mulai dengan pemberian informasi tentang masa pra-Islam sejauh relevan dengan kehidupan Nabi Muhammad. Kemudian ia menguraikan aspek-aspek penting periode Makkah dalam kehidupan Nabi, dan hijrahnya ke Madinah. Selanjutnya ia membahas kegiatan militer Muhammad, penaklukan Makkah, beberapa utusan yang dilepasnya, dan delegasi yang datang beraudiensi kepadanya. Al-Zuhri juga mengungkapkan kegiatan lain Nabi; misalnya sakit terakhir dan kematiannya. Ia dengan ketat mengikuti tata urutan kronologis dalam melukiskan berbagai kejadian dalam sirah sembari memberikan tanggal bagi peristiwa-peristiwa terpenting.
Pendekatan Al-Zuhri terhadap sirah pada dasamya merupakan pendekatan seorang muhaddits. Minat utamanya adalah mendapatkan ilmu, atau mengumpulkan materi hadis"“ di mana hadis historis merupakan bagian integral. Karena itu tidak mengherankan kalau Al-Zuhri mengambil kebanyakan bahan untuk sirah dari hadis. Metodenya dalam menyeleksi materi hadis dan riwayat lainnya bersandar pada isnad. Sikapnya terhadap isnad merupakan sikap tipikal muhaddits yang teguh pada masanya. Dalam hubungan ini, Al-Zuhri bahkan memainkan peran besar dalam penekanan dan perluasan penggunaan isnad dalam literatur hadis.[64]
Tetapi, Al-Zuhri cenderung memakai isnad kolektif; mengumpulkan berbagai riwayat ke dalam penuturan yang lancar dan berkesinambungan dengan didahului suatu daftar isnad yang merupakan sumber asli riwayat yang diungkapkannya.[65]
Dengan cara ini ia mengembangkan lebih jauh metode 'Urwah, yakni narasi historis berkesinambungan. Studi kesejarahan Al-Zuhri tidak terbatas pada maghazi atau sirah, tetapi juga mencakup geneologi Quraisy, Al-Khulafa' Al-Rasyidun, dan berbagai peristiwa penting serta masalah pokok yang berkembang dalam sejarah awal umat Islam.
Studi maghazi atau sirah dikembangkan lebih lanjut oleh tiga murid Al-Zuhri: Musa bin 'Uqbah (w. 141/758), Ma'mar bin Rasyid (96-154/714-771) dan Muhammad bin Ishaq (w. 151/761). Musa termasyhur sebagai pakar khusus dalam maghazi, meskipun karyanya tidak terbatas pada maghazi dalam pengertian sempit. Karya maghazi-nya mencakupi masa Al-Khulafa' Al-Rasyidun dan bahkan periode Dinasti Umayyah. Musa juga semakin menekankan pentingnya isnad dalam penulisan karya sejarah.[66]
Karya Musa tidak sampai ke tangan kita, kecuali dalam bentuk abstraksi dan kutipan-kutipan panjang dalam karya Ibn Sa'd, Al-Waqidi, dan Al-Thabari. Murid Al-Zuhri lainnya, Ma'mar bin Rasyid juga tidak membatasi dirinya dalam pengertian sempit maghazi. Ini dapat dilihat dari bagian dan kutipan karyanya seperti terdapat dalam karya Ibn Sa'd, Al-Waqidi, dan Al-Thabari. Tetapi karyanya tentang maghazi ini dipandang sebagian ahli hanya merupakan edisi lain dari karya Al-Zuhri.[67]
Penting ditambahkan, baik Musa maupun Ma'mar terutama terkenal sebagai pakar hadis.
Yang paling termasyhur di antara murid Al-Zuhri tentu saja adalah Muhammad bin Ishaq bin Yasar, yang lebih terkenal sebagai Ibn Ishaq. Ia menyusun berjilid-jilid sirah Nabi Muhammad dengan menggunakan materi yang amat banyak. Menurut satu pendapat, teks asli karya ini terdiri setidaknya dari 15 versi. Tetapi karya ini sampai kepada kita terutama dalam bentuk ringkas sirah yang ditulis oleh Ibn Hisyam, dan kutipan panjang di dalam Tarikh dan Tafsir Al-Thabari.[68]
Khususnya melalui Ibn Hisyam, Ibn Ishaq mewariskan kepada kita sirah tertua yang hampir sepenuhnya lengkap.
Kelihatannya kerangka dasar sirah Ibn Ishaq terdiri dari tiga bagian: al-mubtada', melukiskan sejarah di antara masa penciptaan dunia sampai datangnya panggilan Islam; al-mab'ats, menggambarkan kehidupan Nabi di Makkah, hijrah, dan juga tahun pertama aktivitasnya di Madinah; al-maghazi, menguraikan sejarah Nabi di Madinah sejak perang pertama dengan kaum kafir sampai waktu wafatnya.[69]
Dalam menyusun sirah Nabi, Ibn Ishaq menggunakan berbagai macam sumber. Sumber utamanya bagi al-mubtada' adalah Al-Quran, hadis yang diriwayatkan terutama oleh Wahb bin Munabbih dan Ibn Abbas, pernyataan sastrawan Yahudi dan Kristen, dan teks Biblikal. Dalam al-mab'ats, ia hampir sepenuhnya bersandar pada hadis yang diriwayatkan oleh ahl Al-Madinah dan dokumen-dokumen tertulis lainnya. Dalam bagian ini ia kadang-kadang memakai isnad. Sedangkan dalam al-maghazi, ia juga memakai hadis dan isnad-nya secara ketat.[70]
Karya Ibn Ishaq merupakan perkembangan baru dalam tulisan sejarah di masa awal Islam. Seperti dikemukakan Duri, perkembangan paling jelas adalah penggunaan dan pemanduan berbagai macam sumber oleh Ibn Ishaq, sejak dari Al-Quran, hadis, riwayat historis, bahan Israiliyyat, kisah rakyat dan syair.[71]
Ibn Ishaq sering dituduh membesar-besarkan riwayatnya dengan memperbanyak materi hadis dengan pernyataan lain yang dikumpulkannya sendiri.[72]
Tetapi Ibn Hisyam merevisi karya Ibn Ishaq dengan membuang materi yang tidak reliable atau dibuat-buat, dan menjadikannya lebih sesuai dengan cara pandang muhaddits"“ yakni harus benar dan terpercaya.
Tetapi umumnya ia menggunakan isnad tidak secara ketat seperti muhaddits; baginya cukup memadai menggunakan metode isnad kolektif. Dengan begitu ia bisa menyajikan periwayatan yang menarik. Karenanya, baik dari segi pandangnya tentang sejarah maupun dari segi metode, Ibn Ishaq mulai terjadi pergeseran di kalangan para ahli: mereka pertama-tama adalah sejarahwan baru kemudian muhaddits.[73]
Terdapat empat penulis maghazi atau sirah lainnya: Abu Ma'syar Al-Sindi (w. 170/787), Muhammad bin Umar Al-Waqidi (130-207/748-823), Ali bin Muhammad Al-Mada'ini (135-225/753-840), dan Muhammad bin Sa'd (w. 230/844). Karya Abu Ma'syar tentang maghazi dipercayai telah hilang, kecuali kutipan pendek di dalam karya-karya yang muncul lebih belakangan dari Al-Waqidi, Ibn Sa'd, dan Al-Thabari. Dari kutipan yang terdapat dalam karya Ibn Sa'd tentang biografi Nabi, hampir bisa dipastikan bahwa maghazi Abu Ma'syar membahas keseluruhan riwayat hidup Nbi. Ia dikenal menggunakan isnad dalam kebanyakan periwayatannya.
Al-Mada'ini dipercayai menyusun sekitar 240 karangan tentang berbagai topik sejak dari sejarah Nabi sampai sejarah Dinasti Abbasiyah.[75]
Tetapi, sebagian bukunya tentang sejarah kehidupan Nabi, sebenarnya tidak lebih dari beberapa bab sirah. Karena itu, karyanya semacam ini jarang dikutip penulis berikutnya. Ini bertolak belakang dengan karyanya yang sering dikutip, berjudul Kitab Akhbar Al-Khulafa' Al-Kabir, yang kelihatannya merupakan bukunya yang paling ekstensif.[76]
Apa yang penting dari karya Al-Mada'ini bagi kita adalah bahwa ia tampaknya mengikuti metode muhaddits dalam kritisismenya atas sumber-sumbernya. Metode isnad lebih kuat mempengaruhinya ketimbang para pendahulunya. Dengannya kita melihat munculnya orientasi ke arah pengumpulan lebih komprehensif dan pengorganisasian lebih ekstensif atas riwayat-riwayat historis. Ia meminjam lebih banyak sumber-sumber Madinah dibandingkan para pendahulunya, dan juga memakai sumber-sumber lain dengan baik, seperti riwayat dari masyarakat Basrah. Terhadap berbagai peristiwa dan tokoh yang dibahasnya, Al-Mada'ini menawarkan narasi lebih luas dan berimbang ketimbang para pendahulunya. Karena ciri khas ini, Al-Mada'ini menjadi sumber fundamental bagi sejarahwan lebih belakangan, dan riset modern mengonfirmasikan akurasi karya-karyanya.[77]
Studi maghazi atau sirah berkembang lebih jauh dalam karya Al- Waqidi. Kitab Fihrist Ibn Nadim memberi daftar karya Al-Waqidi sejumlah 24 buah.[78]
Di antaranya terdapat lima buah berkenaan dengan kehidupan Nabi: Al-Tarikh wa Al-Maghazi wa Al-Ba'ts, Akhbar Makkah, Azwaj Al- Nabi, Wafat Al-Nabi, dan Sirah. Selain kitab-kitab yang disebut Ibn Nadim, Ibn Sa'd juga menyebut Kitab Thu'am Al-Nabi yang tampaknya menguraikan tentang pemasukan (income) yang diberikan kepada istri-istri Nabi dan Sahabat lain dari hasil tanah di Khaybar.[79]
Sebagian karya Al-Waqidi terpelihara dalam bentuk kutipan, khususnya dalam karya Ibn Sa'd yang memang sangat bersandar pada kitab-kitab Al-Waqidi. Karya lengkap Al-Waqidi yang sampai ke masa kita adalah Al-Maghazi, yang membatasi pembahasannya hingga kehidupan Nabi di Makkah. Periode-periode lain sangat mungkin dibahasnya dalam kitab Sirah dan karya-karya lain.
Al-Waqidi mengikut perencanaan baku dalam penyajiannya atas maghazi. Ia mulai dengan daftar sumber-sumber primernya; tanggal kronologis pengiriman dari dan kembalinya ekspedisi militer Nabi ke Madinah; dan nama orang-orang yang berada di Madinah selama Nabi pergi.[80]
Dalam menulis Al-Maghazi, Al-Waqidi menggunakan seluruh sumber yang dapat dikumpulkannya; ia menawarkan banyak sekali bahan yang tidak ditemukan sama sekali dalam karya Ibn Ishaq. Karenanya, Al-Maghazi karya Al-Waqidi memberikan riwayat yang jauh lebih kaya tentang periode Madinah ketimbang karya Ibn Ishaq, meskipun sebagian dari riwayat itu sebenarnya lebih menyangkut persoalan hukum daripada perkembangan historis. Dalam kaitan terakhir ini, karya Al-Waqidi dari segi tertentu hampir merupakan koleksi hadis. Al-Waqidi cenderung sekadar mengaitkan satu hadis dengan lainnya tanpa berusaha menyatukan mereka beserta tambahan dan komentar, seperti dilakukan Ibn Ishaq.[81]
Menurut Duri, Al-Waqidi lebih ketat dari Ibn Ishaq. Hal ini tidak hanya dari segi metode, tetapi juga dalam penggunaan isnad, ketepatan penetapan tanggal kejadian dan tempat terjadinya pertempuran. Al-Waqidi terkenal moderat dalam menggunakan syair, dan mengurangi unsur kisah folklore dalam periwayatannya.[82]
Ia secara reguler menggunakan isnad kolektif dalam menyajikan informasi penting bagi setiap ekspedisi militer, dan kemudian mengutip penuturan berbagai individu guna memberikan perincian lebih lanjut atau untuk menjelaskan laporan yang berbeda Al-Waqidi juga sangat kritis terhadap sumber-sumbernya. Ia memeriksa dengan sangat hati-hati segala sumber yang dihadapinya; mencari dokumen-dokumen baru; dan menyiapkan daftar nama mereka yang ikut dalam ekspedisi militer. Ia bahkan melakukan perjalanan ke berbagai medan tempur untuk menyesuaikan riwayat yang ada dengan situasi aktual di lapangan. Melihat metode Al-Waqidi, Gibb menyimpulkan bahwa ilmu sejarah yang berasal dari hadis mendekati cara pengumpulan materi sejarah sebagaimana dilakukan dalam filologi, sementara mempertahankan metode penyajian tradisionalnya yang khas.[83]
Pengarang maghazi atau sirah yang terakhir disinggung adalah Ibn Sa'd yang juga dikenal sebagai sekretaris Al-Waqidi. Karya Ibn Sa'd telah disunting Edward Sachau dalam kerja sama dengan sejumlah orientalis lain, termasuk Otto Loth yang menulis sebuah monograf tentang Ibn Sa'd.[84]
Ibn Sa'd menulis dua buku, Kitab Akhbar Al-Nabi dan Kitab Thabaqat Al-Kabir, yang kemudian dijadikan satu buku oleh Ibn Ma'ruf, di mana biografi Nabi menjadi bagian pertama. Kitab Akhbar Al-Nabi "Volume Ia, Ib, dan IIa dan IIb dalam Edisi Berlin" mempunyai bagian pendahuluan yang mengungkapkan sejarah nabi-nabi terdahulu, yang kemudian diikuti riwayat masa kanak-kanak Nabi Muhammad saw. sampai hijrah ke Madinah. Bagian kedua volume pertama mencakup periode Madinah, dan bagian pertama volume kedua diabadikan pada pertempuran-pertempuran yang dihadapi Nabi atau maghazi dalam pengertian sempit; sedangkan bagian kedua volume ini memberikan kesimpulan tentang biografi pribadi Nabi.[85]
Tidak dapat dibantah bahwa dalam menyusun kitab-kitabnya, Ibn Sa'd banyak bersandar pada karya Al-Waqidi. Tetapi ia melampaui Al-Waqidi dalam pengorganisasian dan pembagian sistematik karyanya ke dalam bab-bab. Ia juga memperkenalkan penambahan penting kepada studi sirah dengan menambahkan bagian-bagian tentang "tanda misi kenabian" (alamat al-nubuwwah), dan tentang sifat kebiasaan dan karakteristik Nabi (shifat akhlaq Al-Nabi). Perkembangan ini, menurut Gibb, merupakan satu tahap lebih maju dalam penyatuan unsur hadis asli dengan arus kedua tradisi literatur" seperti terlihat dalam Ibn Ishaq " yang bertumpu pada seni kisah rakyat seperti dikembangkan Wahb Ibn Munabbih.[86]
Dengan arah baru sirah ini, karya Ibn Sa'd akhirnya secara kuat memapankan struktur bagi sejarah kehidupan Nabi. Seluruh sirah yang ditulis sesudah itu mengikuti kerangka yang sama dan bersandar terutama pada bahan-bahan yang disajikan dalam karya-karya yang disebutkan di atas.
3. Asma' Al-Rijal
Literatur hadis menghasilkan tidak hanya maghazi dan sirah Nabi, tetapi juga biografi para Sahabat, Tabi'un, dan Tabi' Al-Tabi'in. Biografi semacam ini secara umum dikenal sebagai asma' al-rijal -- yang secara harfiah berarti "nama-nama para tokoh." Jenis literatur ini berasal dan berkembang dalam hubungan dengan isnad hadis. Ia muncul sebagai alat bantu bagi kritisisme formal atas hadis, tegasnya atas tingkat "keterpercayaan" (reliabilitas) isnad dan perawi, Literatur asma' al-rijal mencakup berbagai karya yang berkaitan dengan kronologi, biografi dan kritisisme terhadap kelompok isnad dan perawi; atau bahkan dengan aspek tertentu dalam kehidupan perawi yang mungkin dapat membantu dalam menetapkan identitas, kejujuran dan reliabilitas mereka. Seperti dalam tulisan "sejarah murni," tanggal, unsur waktu dan tata kronologis juga sangat penting dalam literatur asma' al-rijal, karena semua ini merupakan unsur-unsur fundamental untuk menjamin akurasi, Dalam buku-buku asma' al-rijal, perhatian khusus juga diberikan pada kehidupan dan karakter perawi bersangkutan.
Karena seluruh karya asma' al-rijal paling awal telah hilang, sangat sulit menentukan secara pasti kerangka umum dan sifat isinya. Tetapi berdasarkan karya-karya belakangan yang sampai ke tangan kita " yang ditulis sesuai pola karya awal" dan atas dasar kecenderungan umum muhadditsun di masa itu, dapat diambil gambaran bahwa kandungan literatur semacam ini terdiri dari: deskripsi singkat tentang geneologi dan tanggal kelahiran dan kematian; beberapa masalah biografis berkenaan dengan perawi; kritik tentang reliabilitas mereka, dilengkapi pendapat tokoh atau otoritas penting tentang mereka.[87]
Tetapi jelas karya-karya tentang asma' al-rijal berbeda satu sama lain dalam lingkup, kerangka umum, dan sifat perincian isi sesuai objek utama penyusun atau pengarang. Satu unsur umum yang hampir pasti bisa ditemukan dalam biografi semacam itu adalah tanggal wafat subjek biografi. Tanggal itu biasanya diketahui atau dapat diperkirakan, dan merupakan batas baku dalam kehidupan seseorang. Tanggal kelahiran biasanya jarang diketahui; ia diketahui hanya jika diberikan subjek biografi itu sendiri.[88]
Beberapa pengumpul asma' al-rijal juga memberikan sejarah genealogis subjek mereka; pendidikan mereka, guru-guru mereka, tempat-tempat yang mereka kunjungi dalam menuntut ilmu, dan hadis yang mereka riwayatkan. Sebagian literatur ini mengandung catatan yang luar biasa singkat tentang kelompok tertentu perawi. Sebagiannya hanya mengungkapkan perawi yang lemah dan tidak bisa dipercaya, sementara sebagian lain hanya menyebutkan nama mereka, kunyah mereka, dan gelar atau nisbah mereka.
Sangat mungkin pengumpulan asma al-rijal bermula pada abad kedua Hijri. Ibn Al-Nadim dalam Fihrist menyebutkan sebuah kitab berjudul Kitab Al-Tarikh dalam wacana yang berkaitan dengan karya fuqaha' dan muhaddits.[89]
Kitab ini disusun oleh Layts bin Sa'd (w. 175/791), seorang muhaddits terpandang dari mazhab Maliki. Kitab ini tidak termasuk dalam bagian di mana Ibn Nadim mengungkapkan karya-karya sejarah. Karena itu, kita dapat menyebutnya termasuk karya paling awal tentang asma' al-rijal. Di antara karya dalam bidang ini pada abad kedua Hijri adalah Kitab Al-Thabaqat, Kitab Tarikh Al-Fuqaha' wa Al-Muhadditsin, dan Kitab Tasmiyat Al-Fuqaha' wa Al-Muhadditsin. Yang terpenting di antara mereka adalah Thabaqat Al-Fuqaha' wa Al-Muhadditsin karya Al-Haytsam bin 'Adi,[90] yang merupakan sumber penting bagi penulis-penulis belakangan, seperti Ibn Sa'd (w. 230/844), Ibn Al-Khayyat (w. 240/854), dan lain-lain.
Karya-karya tentang asma' al-rijal terus meningkat setelah abad kedua Hijri. Dalam abad ketiga tidak hanya berbagai spesialis dalam bidang ini seperti Ibn Sa'd, Ibn Al-Khayyat, Ahmad bin Zuhayr bin Abi Khaytsama,[91] tetapi juga hampir setiap muhaddits terkemuka secara simultan dengan kumpulan hadis mengumpulkan pula biografi para perawi mereka.
Salah satu karya asma' al-rijal terpenting adalah kitab Ibn Sa'd berjudul Kitab Thabaqat Al-Kabir, yang merupakan karya paling awal kita terima. Kitab ini mengandung catatan biografis singkat para perawi terpenting pada masa terpenting pula dalam hadis. Kitab ini bahkan mencakup pemimpin-pemimpin politik pada masa yang sama. Ibn Sa'd dalam karya ini melukiskan perbedaan di antara metode entry biografi bagi pemimpin politik awal dengan metode bagi muhaddits. Kecuali entries tokoh-tokoh terpenting dari kedua kelompok " yang biografi mereka dikemukakan secara terinci di bawah klasifikasi masing-masing " maka entries historis biasanya lebih bersifat inklusif dan karena itu lebih bersifat biografis murni. Di pihak lain, entries pada kelompok muhadditsun jauh lebih singkat dan karenanya, merupakan biografi umum muhadditsun, yang dimaksudkan untuk menetapkan waktu kehidupan, mengidentifikasi dan menentukan reliabilitas mereka sebagai perawi hadis.[92]
Sebagai kamus biografi umum dari mereka yang menjadi perawi hadis, karya Ibn Sa'd kelihatannya menduduki posisi unik dalam literatur asma' al-rijal. Karyanya digunakan sebagai sumber penting bagi penulis terkenal semacam Al-Baladzuri, Al-Thabari, Al-Khatib Al-Baghdadi, Ibn Atsir, Al-Nawawi, Ibn Hajar, dan lain-lain.
Kitab Thabaqat Al-Kabir karya Ibn Sa'd segera diikuti Kitab Al-Tarikh Al-Kabir karya Al-Bukhari, yang sangat terkenal karena otoritasnya dalam ilmu hadis. Dalam buku tersebut, ia mengumpulkan biografi para perawi pada umumnya. Tetapi diketahui bahwa naskah lengkap karya ini tak dapat ditemukan lagi. Hanya berbagai bagiannyalah yang disimpan di perpustakaan-perpustakaan tertentu. Atas dasar ini, Da'irat Al-Ma'arif, Hayderabad, mempersiapkan teks kitab itu dan menerbitkannya dalam 8 jilid pada 1361-1365/1942-1946.[93]
Al-Bukhari diikuti banyak pengarang dalam berbagai periode sejarah Islam, sehingga menghasilkan literatur asma' al-rijal yang luar biasa banyak. Di antara yang terpenting adalah Ibn Al-Atsir ('Izz Al-Din Muhammad, 555-630/1160-1230) dengan karyanya Usd Al-Ghabah; dan Ibn Hajar Al-'Asqalani (Syihab Al-Din Abu Fadhl, 773-852/1371-1448) dengan karya-karya komprehensif dalam bidang ini, berjudul Al-Ishabah fi Tamyiz Al-Shahabah dan Tahdzib Al-Tahdzib. Ketiga karya ini pada umumnya diterima muhadditsun sebagai otoritas yang terpercaya dalam asma' al-rijal.[94]
Karya-karya tentang asma' al-rijal jelas membantu pertumbuhan historiografi awal Islam. Berbagai kamus biografi yang disebutkan di atas sangat diperlukan bagi setiap orang yang ingin menulis sejarah Islam pada masa awal. Gibb menyatakan, konsepsi kamus biografi semacam itu menandai perkembangan baru dalam seni sejarah, dan sekaligus mengilustrasikan hubungan yang erat antara sejarah dengan ilmu hadis karena ia semula dikumpulkan terutama untuk kepentingan kritik hadis.[95]
Kesimpulan
Dari uraian di atas jelas bahwa kemunculan historiografi awal Islam berkaitan erat dengan perkembangan doktrinal dan sosial Islam itu sendiri. Kesadaran sejarah Muslim dibangkitkan oleh Al-Quran dengan memberikan rujukan kepada hikmah yang dapat diambil dari sejarah; Al-Quran juga mengungkapkan riwayat penciptaan, nabi-nabi, kebangkitan, surga dan neraka. Sementara itu, Nabi Muhammad menunjukkan wawasan historis yang tajam dan luas tentang masa lampau " yang mempengaruhi atau bahkan menentukan masa depan manusia.
Para penulis historiografi paling awal dalam sejarah Islam hampir secara keseluruhan adalah muhadditsun. Kesadaran dan kepedulian mereka terhadap kemurnian dan kelestarian misi historis Nabi Muhammad mendorong mereka untuk mengabdikan diri pada studi hadis. Inilah yang kemudian memunculkan pengumpulan dan penulisan hadis baik yang bersifat hukum maupun historis. Hadis historis pada gilirannya memberikan bahan melimpah untuk penulisan sejarah kehidupan Nabi dalam bentuk maghazi dan sirah, yang selanjutnya diikuti dengan pengumpulan riwayat orang-orang yang terlibat dalam proses transmisi hadis, maghazi, sirah dan asma' al-rijal merupakan bentuk historiografi paling awal dalam sejarah Islam.
Sumbangan hadis kepada pembentukan historiografi awal Islam tidak terbatas pada sekadar penyediaan bahan yang luar biasa banyak untuk penulisan maghazi dan sirah, tetapi juga dalam membentuk metode penulisan historiografi itu sendiri. Metode isnad yang terus semakin penting dalam ilmu hadis segera diterapkan pula dalam penulisan historiografi awal Islam. Penggunaan isnad dalam historiografi awal Islam mencapai puncaknya dalam karya-karya sejarahwan terkemuka, seperti Al-Baladzuri (Ahmad bin Yahya bin Jabir, w. 279/892),[96] Al-Thabari (Muhammad Jarir Abu Ja'far, w. 310/923),[97] dan Al-Mas'udi (Abu Al-Hasan 'Ali bin Al-Husayn bin 'Ali bin 'Abd Allah, 280-345/893-956).[98]
Penekanan kuat para muhaddits atas metode kronologis juga sangat mempengaruhi metode penulisan historiografi awal Islam. Ini mewujudkan diri dalam penulisan sejarah berdasarkan serangkaian thabaqat, urutan peristiwa, kesinambungan para khalifah dan dinasti-dinasti Metode ini berpuncak pada sejarah annalistic " ditulis berdasarkan tahunan, seperti kita lihat, misalnya dalam Tarikh Al-Thabari. Ini mencerminkan sifat utama historiografer awal Islam: mereka menulis sejarah di bawah pengaruh sudut pandang teologis. Mereka percaya bahwa pengungkapan tujuan Ilahiah di muka bumi terjadi melalui fenomena historis atau berbagai peristiwa di dalam masyarakat Muslim. Dengan kata lain, mereka mencoba menafsirkan sejarah dalam kerangka rencana Tuhan, yang terungkap melalui berbagai peristiwa historis. Hanya dalam bagian akhir karya Al-Thabari, kita melihat indikasi bahwa pendekatan "Hadis murni" tidak lagi memadai. Al-Mas'udi yang muncul lebih belakang, mempertegas terjadinya pergeseran dalam pendekatan terhadap sejarah. Demikianlah, meskipun Al-Mas'udi mempertahankan penggunaan isnad dalam karya-karyanya, ia juga mulai melihat sejarah dari sudut pandang sosiologis. Ini menandai tahap baru dalam historiografi Islam, yang berada di luar jangkauan pembahasan tulisan ini.
Sumber: Al-Hikmah, jurnal studi-studi Islam; No. 11 Rabi' At-Tsani-Rajab 1414/Oktober-Desember 1993; hal. 35 - 56.
*. Tulisan ini semula disampaikan dalam Orasi Ilmiah, Dies Natalis ke-36, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif HidayatulIah, Jakarta, 31 Juli 1993.
Referensi:
1. Tentang kebangkitan sejarah Muslim lihat, misalnya, Walther Baune, “Historical Consciousness in Islam,” dalam G.E. von Grunebaum (ed), Theology and Law in Islam, Weisbaden, 1971, 37ff; F. Rosenthal, A History of Muslim Historiography, edisi ke-2, Leiden, 1969, 18ff; M Fathi ‘Utsman, Al-Madkhol ila Al-Tarikh Al-Islami, Beirut, 1988, 111ff; M Shamji Al-‘Alyani Al-Silmi, Manhaj Kitabat Al-Tarikh Al-Islamiyyah, Riyadh, 1986, 7-19.
2. M.M. Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, Indianapolis, 1977, 1-3; M. Zubayr Siddiqy, Hadith Literature: Its Origin Development, Special Features and Criticism, Calcutta, 1961.
3. E.W. Lane, Arabic-English Lexicon, Cambridge, 1984, I, hlm. 1438.
4. Azami, Hadith Methodology, hlm. 3; G.H.A. Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature: Discussions in Modern Egypt, Leiden, 1969, hlm. 4.
5. Fazlur Rahman, Islam, edisi ke-2, Chicago, 1979, hlm. 53-58.
6. G.M.A. Juynbol, Muslim Traditian Studies in Chronology Provenance, and Authorship of Early Hadith, Cambridge, 1983. hlm. 9.
7. Fazlur Rahman, “Sunnah and Hadith,” Islamic Studies, I, 2 (1962). hlm. 4.
8. Untuk sebagian nama pakar Muslim yang berpendapat periwayatan lisan hadis berjalan sekitar seabad lihat, M.M. Azami, Studies In Early Hadith Literature, Indianapolis, 1978, hlm. 18, terj. bahasa Arab, Dirasat fi Al-Hadits Al-Nabawi wa Ta’rikh Tadwiniha, Riyadh, 1979. Lihat pula Abu Thalib Al-Makki, Qut Al-Qulub, Kairo, 1310/1893, I, hlm. 159; Ahmad b. ‘Ali Ibn Hajar Al-‘Asqalani, Hadi Al-Sari, Kairo, 1383/1964, I, hlm. 17; Fath Al-Bari, Kairo, 1380/1961, I. hlm. 208; Mushthafa b. ‘Abd Allah Haji Khalifah, Kasyf Al-Zhunun, Turki, 1941, I, hlm. 637; Muhammad Ja’far Al-Kattani, Al-Risalat Al-Mustathrafah li Bayan Masyhur Kutub Al-Sunnat Al-Musyarrafah, Damaskus, 1963, hlm. 3; M. Husayn Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Kairo, I, 1381/1961, hlm. 140-141; Rasyid Ridha, “Notes on Al-Tadwin fi Al-Islam,” Al-Manar, 10 (1907), hlm. 768
9. William Muir, The Life of Mahomet, edisi ke-3, 1984, hlm. xxx-xxxi
10. I. Goldziher, Muslim Studies, ed. S.M. Stern, trans C.R. Barber, Chicago, 1971, II, hlm. 22ff.
11. D.S. Margoliouth, The Early Development of Muhammadanism, Londan, 1926, hlm. 65-94.
12. J. Schacht, Introduction to Islamic Low, Oxford, 1984, hlm. 34; The Origins of Muhammedan Jurisprudence, edisi ke-2, Oxford, 1975, hlm. 149-150.
13. Azami, Early Hadith, hlm. 19.
14. Ibid, hlm. 19-20.
15. Ibid, hlm. 293-300. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang kekacauan dalam istilah-istilah berkaitan, lihat Nabia Abbot, Studies in Arabic Literary Papyri: Vol. I, Historical Text, Chicago, 1957, hlm. 21-25
16. A. Sprenger, “On the Origin and Progress of Writing down Historical Facts among the Musulman,” JASB, 25 (1856). hlm. 109.
17. Untuk sumber-sumber klasik Islam tentang hadis semacam itu, lihat Azami, Early Hadith, hlm. 23; Siddiqy, Hadith Literature, hlm. 40.
18. Azami, Early Hadith, hlm. 23.
19. Al-Quran 2: 282.
20. Sprenger, “Origin and Progerss,” hlm. 103.
21. Azami, Early Hadith, hlm. 23-24; Siddiqy, Hadith Literature, hlm. 41-43.
22. Goldziher, Muslim Studies, hlm. 21-22.
23. Sprenger, “Origin and Progres,” hlm. 103.
24. Azami, Early Hadith, hlm. 28-30. Lihat poin yang sama dalam W. Muir, The Muhammadan Controversy and Other Indian Articles, Edinburgh, 1897, hlm. 114-117.
25. Azami, Hadith Methodology, hlm. 73-74.
26. Untuk infomlasi lebih banyak tentang nama para Sahabat, Tabi’un dan ahli masa awal lainnya serta buku-buku hadis mereka, lihat, Azami, Early Hadith, hlm. 34-182.
27. Untuk uraian tentang “al-kutub al-sittah” dan pengarangnya, serta buku-buku kumpulan hadis penting lainnya, lihat, A. Rahman I, Doi, Introduction to the Hadith, Zaria, Nigeria, 1983, 18-22; Siddiqy, Hadith Literature, hlm. 71-125; Azami, Hadith Methodology, hlm. 81-115.
28. Untuk pembahasan singkat dan kronologi berbagai peristiwa di sekitar kedua fitnah, lihat misalnya, M.G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Chicago, 1971, I, hlm. 215-223.
29. A. Guillaume, The Traditions of Islam An Introduction to the Hadith Literature, London, 1924, hlm. 79; Azami, Hadith Methodology, hlm. 33; Musthafa Al-Siba’i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, terj. Nurcholish Madjid, Jakarta, 1991, terutama hlm. 33-35. Untuk studi lebih komprehensif, lihat, E.L. Petersen, ‘Ali and Mu’awiya in Early Arabic Tradition Studies in the Genesis and Growth of Islamic Historical Writings until the End of the Ninth Century, Copenhagen, 1964.
30. Tentang metode kritik hadis, lihat Azami, Hadith Methodology, hlm. 46-57; Siddiqy, Hadith Literature, hlm. 189-194. Cf. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu, Sejarah, Jakarta, 1988; Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta, 1992.
31. Lihat, Siddiqy, Hadith Literature, 199-204.
32. Rahman, “Sunnah and Hadith,” hlm. 28.
33. Perkiraan jumlah hadis hukum, lihat Siddiqy, Hadith Literature, hlm. 14. Sedangkan masalah demikian banyaknya jumlah hadis dibahas dalam Azami, Early Hadith, hlm. 301-305.
34. A.A. Duri, The Rise of Historical Writing among the Arabs, ed. & trans. L.I. Conrad, Introd. F.M. Donner, Princeton, 1983, hlm. 12-13.
35. H.A.R. Gibb, “Tarikh,” Encyclopaedia of Islam, Supplement, Leiden, 1938, 233. Diterbitkan pula dalam Gibb, Studies on the Civilization of Islam, eds. S.J. Shaw &. W.R. Polk, Boston, 1962, hlm. 108.
36. Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 17-19; Rosenthal, Muslim Historiography, 18-24.
37. Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 22. Menurut Ilse Lichtenstadter, dominannya perspektif Islam atas perspektif kabilah karena historiografi mendapatkan pusat gravitasnya dalam sosok Muhammad dan titik sentralnya dalam Islam. Pada pihak lain, riwayat ayyam tidak atau kurang memiliki sosok sentral atau bahkan sudut pandang pokok. Tidak ada satu sosok dalam riwayat ayyam yang mempunyai kekuatan untuk menyatukan dunia Arab dalam gelombang keagamaan dan politik seperti dimiliki Muhammad. Lihat tulisannya, “Arabic and Islamic Historiography,” The Moslem World, 35 (1945). hlm. 129.
38. F. Gabrieli, “Arabic Historiography” trans. from Italian & annot. M.S. Khan, Islamic Studies, 17, I (1978), hlm. 82.
39. Abott, Arabic Papyri, hlm. 7
40. M.G. Rasul, The Origin and Development of Muslim Historiography, Lahore, 1968, hlm. 6; Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 24.
41. Lihat, T. Noldeke, Geschichte des Qurans, edisi ke-2, rev. F. Schwally, Leipzig, 1909-1938, II, 220ff.
42. Pembahasan selengkapnya tentang penulis paling awal maghazi dan sirah Nabi, lihat J. Horovitz, “The Earliest Biographies of the Prophet and Their Authors,” Islamic Culture, I (1927), 535-559; II (1928), 22-50, 164-182, 495-526. Cf. Duri, Rise of Historical Writing, 24-39.
43. Horovitz, “Earliest Biographies,” I, hlm. 536.
44. Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 21.
45. Ibid, hlm. 24; Horovitz, “Earliest Biographies,” I, hlm. 539.
46. Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 25. Biografi lengkap ‘Urwah dalam Ibid, hlm. 76-95,
47. Horovitz, “Earliest Biographies,” I, hlm. 550.
48. Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 90-92.
49. Horovitz, “Earliest Biographies,” I, hlm. 552
50. Ibid, hlm. 553; Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 30.
51. Horovitz, “Earliest Biographies,” I, 553; Juynboll, Muslim Tradition, hlm. 43.
52. Horovitz, “Earliest Biographies,” I, hlm. 554.
53. Juynboll, Muslim Tradition, hlm. 233.
54. Horovitz, “Earliest Biographies,” I, hlm. 555-559.
55.Abbott, Arabic Papyri, hlm. 20; Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 32.
56. Duri, Ibid, hlm. 30-32; Abbott, Arabic Papyri, hlm. 36.
57. Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 27.
58. Horovitz, “Earliest Biographies,” II, hlm. 26; Abbott, Arabic Papyri, hlm. 73; Azami, Early Hadith, hlm. 74.
59. Horovitz, “Earliest Biographies,” II, hlm. 26-28.
60. Horovitz, Ibid, hlm. 32; Azami, Early Hadith, hlm. 79.
61. Horovitz, “Earliest Biographies,” II, hlm. 33.
62. Lebih lengkap tentang biografi Al-Zuhri, lihat, Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 95-121; Azami, Early Hadith, 278-292; Horovitz, “Earliest Biographies,” hlm. 33-50.
63. Duri, Rise Historical Writing, hlm. 99.
64. Duri, Ibid, hlm. III; Abbott, Arabic Papyri, hlm. 75; Azami, Early Hadith, hlm. 278.
65. Horovitz, “Earliest Biographies,” II, hlm. 50.
66. Horovitz, Ibid, 11, hlm. 165-167; Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 32-33; Azami, Early Hadith, hlm. 95-96, 208-209.
67. Azami, Ibid, hlm. 148-149; Horovitz, “Earliest Biographies,” 11, hlm. 168-169.
68. Azami, Early Hadith, hlm. 153-154.
69. Untuk kerangka singkat karya Ibn Ishaq, lihat Horovitz, “Earliest Biographies,” II, hlm. 175-176.
70. Ibid.
71. Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 34.
72. Horovitz, “Earliest Biographies,” II, hlm. 181.
73. Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 33.
74. Horovitz, “Earliest Biographies,” II, hlm. 495-498; Abbott, Arabic Papyri, hlm. 75.
75. Ibn Al-Nadim, Kitab Al-Fihrist, ed. G. Flugel, Leipzig, 1871-1872, hlm. 102.
76. Abbott, Arabic Papyri, hlm. 75; Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 48-49.
77. Duri, Ibid, hlm. 48-50
78. Ibn Al-Nadim, Kitab Al-Fihrist, hlm. 98.
79. Horovitz, “Earliest Biographies,” II, hlm. 516.
80. Ibid, II, hlm. 516-519; Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 37.
81. Horovitz, “Earliest Biographies,” II, hlm. 519 .
82. Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 38.
83. Gibb, “Ta’rikh,” hlm. 113.
84. Lihat, Horovitz, “Earliest Biographies,” II, hlm. 521-522.
85. Ibid, II, hlm. 522-523.
86. Gibb, “Ta’rikh,” hlm. 113.
87. Siddiqy, Hadith Literature, hlm. 169.
88. Rosenthal, Muslim Historiography, hlm. 102.
89. Ibn Al-Nadim, Kitab Al-Fikrist, hlm. 199.
90. Ibid, 99ff; Duri, Rise of Historical Writing, hlm. 53-54.
91. Juynboll, Muslim Tradition, hlm. 138-139, 240.
92. Abbott, Arabic Pap.vri. hlm. 8.
93. Siddiqy, Hadith Literature, hlm. 178-179; Juynboll, Muslim Tradition, hlm. 245.
94. Siddiqy, Hadith Literature, 180-182
95. Gibb, “Ta’rikh,” hlm. 113.
96. Dua kitabnya yang paling terkenal adalah Futuh Al-Buldan, ed. M.J. de Goeje, Leiden, 1866; dan Ansab Al-Asyraf disunting dalam berbagai edisi di Barat dan Timur Tengah.
97. Dua karyanya yang paling terpenting Ta’rikh Al-Muluk wa Al-Rusul, jilid 15, ed. M.J. de Goeje, Leiden, 1879-1901, yang juga dikenal sebagai Ta’rikh Al-Thabari dan sebagiannya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris; dan Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ayat Al-Qur’an, jilid 30, Kairo, 1323-1329/1905-1911, yang juga dikenal sebagai Tafsir Al-Thabari.
98. Untuk daftar lengkap karya Al-Mas’udi, lihat Tarif Khalidi, Islamic Historiography: The Histories of Al-Mas’udi, Albany, 1975, Appendix B, hlm. 153-164. Tentang penggunaan isnad, lihat Ibid, hlm. 23-27. Karya terpenting Al-Mas’udi adalah Muruj Al-Dzahab wa Ma’adin Al-Jawhar, jilid 9, ed. & transl. B. de Meynard & P. de Courteille, Paris, 1861-1877, dan Al-Tanbih wa Al-Isyraf, ed. M.J. de Goeje, Leiden, 1894.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email