Undangan Konferensi Pers (Jumat pagi)
20 profesor dan lebih dari 150 akademisi, aktivis dan elemen masyarakat dari berbagai daerah bergabung dengan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK) telah bersedia memberikan jaminan agar Majelis Hakim menolak tuntutan para saksi pelapor untuk menahan Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM (Ahok) yang sedang menjalani kriminalisasi sidang Penodaan Agama. Sehingga Ahok sebagai calon gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta tetap mendapatkan jaminan hak-hak konstitusionalnya untuk melakukan kampanye dan menyampaikan visi dan misinya.
Untuk itu AMSIK mengundang para jurnalis untuk hadir dalam acara konferensi pers yang akan diselenggarakan pada
Hari : Jumat, 20 Januari 2017, pkl. 09.30 – 11.00
Tempat: Resto Tjikini Lima, Jl. Cikini 1 No. 5 Menteng, Jakpus
Narasumber:
1. Prof. Dr. Henny Warsilah, DEA (Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI)
2. Nia Sjarifudin (Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika)
3. Pdt. Gomar Gultom (Sekjen PGI)
4. Mohammad Monib, Direktur Eksekutif ICRP
Kontak: Ilma +6287838703730
Dalam undangan pers nanti AMSIK akan menjabarkan tentang proses sidang dan saksi-saksi pelapor yang tidak kompeten.
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK) ngotot bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah korban kriminalisasi karena telah terjadi pelanggaran terhadap "due process of law" dan hak asasi manusia (HAM), dan pengadilan terhadap terdakwa Ahok tidak lebih dari akibat tekanan massa.
AMSIK membeberkan beberapa alasan terdakwa Ahok adalah korban kriminalisasi. Pertama, tuntutan JPU berdasarkan pada pendapat dan sikap keagamaan MUI pada 11 Oktober 2016. Padahal dalam sistem hukum dan perundangan-undangan di Indonesia tidak mengenal fatwa keagamaan MUI sebagai sumber hukum positif.
"Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI bukan hukum positif, karena itu bersifat tidak mengikat dan tidak wajib diikuti," sebut Umi Azalea.
Kedua, ketika menggunakan Pasal 156a terhadap Ahok, JPU telah mengabaikan UU 1/PNPS/1965, sebagai ketentuan hukum positif yang masih berlaku dan belum pernah dicabut atau dibatalkan keberlakuannya. Dalam hal ini JPU mengesampingkan mekanisme yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) terhadap seseorang yang diduga melakukan penafsiran yang menyimpang tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, yaitu prosedur peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Apabila Ahok masih juga melanggar peringatan tersebut, barulah kemudian dapat diterapkan ketentuan pidana.
"Dakwaan JPU tanpa memperhatikan dan menjalankan mekanisme peringatan terhadap Basuki Tjahaja Purnama adalah praktik penerapan hukum pidana yang menyesatkan dan wujud nyata dari upaya kriminalisasi," ungkap Umi Azalea.
Ketika, dalam tanggapan JPU, jaksa malah menyalahkan tuntutan Ahok yang menolak oknum politisi dan Timses kandidat lain yang berkampanye dengan memakai isu SARA dan politisasi ayat, bukan beradu visi misi dan program. Jaksa juga mengatakan bahwa Basuki Tjahaja Purnama merasa benar sendiri karena menuntut kandidat lain agar adu program, bukan mengggunakan Surat Al-Ma'idah 51.
"Bagi kami, tanggapan Jaksa itu menyesatkan karena dalam Pilkada harusnya perdebatan dan alasan pemilihan terkait visi, misi dan program para kandidat, bukan permainan isu SARA dan adu ayat," papar Umi Azalea.
Atas dasar di atas, AMSIK sangat menyesalkan JPU telah kehilangan logika dalam menyampaikan argumen hukumnya, hal ini bukan hanya menunjukkan jaksa tidak profesional, tapi membahayakan "due process of law" dan merupakan preseden buruk pada penegakan hukum yang berkeadilan untuk kasus-kasus yang berdimensi politik pada masa-masa yang akan datang.
(Info-Teratas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email