Pembakaran Patung Ahok
Rasanya tidak ada lagi momentum yang paling tepat untuk menghapus hukum dan UU penodaan agama, selain waktu sekarang-sekarang ini.
Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dijatuhi hukuman penjara 2 tahun penjara karena perkataannya yang mengkritik elit politik yang sering memanfaatkan agama demi kepentingan politik –yang kemudian dianggap menodai agama Islam. Meski sudah berkali-kali meminta maaf, ucapannya digunakan untuk membangkitkan sentimen kebencian keagamaan untuk mengalahkan Ahok di Pilgub Jakarta.
Tidak hanya itu, demonstrasi berkali-kali di Jakarta membuat kepolisian terpaksa melanggar aturannya sendiri dengan menjadikan calon kepala daerah sebagai tersangka. Walaupun begitu, masih banyak yang meyakini Ahok bisa lolos dari jeratan penistaan agama terutama ketika Jaksa Penuntut Umum hanya menuntut Ahok dengan hukuman percobaan selama 1 tahun. Jaksa juga menyatakan bahwa Ahok tidak terbukti memiliki niat untuk menistakan agama.
Keyakinan itu hancur pada 9 Mei 2017 kemarin. Hakim pengadilan menyentak banyak pihak dengan memutuskan Ahok bersalah dan harus dihukum 2 tahun penjara. Pengamat hukum menyatakan bahwa putusan ini dianggap sebagai putusan hukum yang ‘overkill’ atau putusan yang melebihi penuntutan hukumannya. Banyak pihak juga mencurigai adanya pelanggaran obyektifitas hakim, ketika hakim anggota bersimpati pada kelompok beragama yang sering mendemo Ahok.
Terlepas dari perdebatan hukum acara pidana yang dilanggar di kasus Ahok, substansi hukum yang dijeratkan kepada Ahok juga mengandung banyak masalah di dalamnya.
Pertama, kasus ini membuktikan bahwa hukum penodaan agama telah dijadikan sebagai alat politik untuk menjatuhkan lawan politik dalam pilkada. Hukum penistaan agama tidak lagi sesuai dengan tujuan produk hukumnya sendiri, yaitu memurnikan dan menghormati ajaran agama, tetapi digunakan untuk kepentingan politik praktis.
Kasus Ahok akan menjadi preseden buruk bagi pemilihan kepala daerah di Indonesia, karena mobilisasi massa bisa memaksa kepolisian untuk melanggar aturan yang tidak memperkarakan kasus hukum yang melibatkan kandidat kepala daerah sampai proses pemilihan selesai. Dengan banyaknya jumlah pemilihan kepala daerah yang diadakan setiap tahunnya, hukum penodaan agama bisa menjadi penghambat proses demokrasi yang sehat dan adil.
Kedua, hukum seharusnya tidak bertentangan dengan hukum yang lainnya, terutama konstitusi dasar sebuah negara. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 mengakui kebebasan untuk berserikat, meyakini kepercayaan tertentu, dan menyatakan pendapat. Dalam hal ini, pasal penodaan agama dalam UU PNPS 1965 dan KUHP dapat mengandung pertentangan dengan UUD 1945, karena pasal penodaan agama dianggap ‘pasal karet’ dan sering digunakan sebagai senjata untuk membungkam suara-suara kritis terhadap elit politik dan agama.
Ketiga, beberapa pakar hukum menyarankan agar pasal karet ini dihapus. Polisi dan penegak hukum lainnya seringkali memutuskan kasus hukum penodaan agama berdasarkan ‘perasaan’ atau ‘ketersinggungan’ beberapa kelompok sehingga dianggap tidak bisa memberikan kepastian hukum. Definisi yang tidak jelas, ditambah dengan kecenderungan penegak hukum yang menggunakan pasal ini hanya berdasarkan tekanan massa kelompok-kelompok keagamaan, membuat pasal penodaan agama menjadi ancaman bagi demokrasi Indonesia. Disamping itu, tidak sedikit lembaga nasional ataupun internasional yang mendukung penghapusan UU penodaan agama. Bahkan lembaga besar PBB dan Uni Eropa turut berkomentar mengenai masalah ini, karena terkait dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama. Terutama PBB yang menyarakankan untuk meninjau ulang aturan ini.
Andreas Harsono dalam The Guardian menjelaskan, pasal penodaan agama yang awalnya dibuat oleh Presiden Soekarno pada 1965 untuk menjaga ajaran agama-agama yang diakui di Indonesia. Pasal ini pertama kali digunakan (dan beberapa kali) ketika Presiden Soeharto menjabat pada 1965 sampai 1998. Setelah Soeharto, pasal ini tidak pernah digunakan ketika Habibie, Gus Dur, dan Megawati berkuasa. Pasal ini kembali digunakan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa. Ada 106 kasus penodaan agama, catat Harsono, dan seluruhnya ditetapkan bersalah.
Penahanan Ahok jelas menjadi luka besar bagi penegakan hukum di Indonesia. Bukan karena Ahok merupakan salah satu kandidat gubernur pada saat penetapan tersangka, tetapi juga karena Ahok divonis berdasarkan argumen hukum yang lemah. Ahok adalah tokoh politik terbesar pertama yang menjadi korban pasal penodaan agama.
Walaupun begitu, kasus ini selayaknya dijadikan momentum untuk mengevaluasi kembali pasal penodaan agama pada hukum di Indonesia. Kasus Ahok seharusnya menjadi alarm bagi hukum di Indonesia, bahwa pasal karet penodaan agama bisa digunakan untuk mengkriminalisasi warga negara dan menghilangkan kemerdekaan warga negara.
Arie Putra dalam artikelnya di Suara Kebebasan pernah mempertanyakan siapa yang mampu menjadi martir kebebasan dalam pilkada DKI Jakarta. Mungkin, jawabannya telah kita temukan. Ahok berani meringkuk menjadi pesakitan penodaan agama, untuk mengingatkan kita untuk tidak berhenti memperjuangkan kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama di Indonesia.
Pengorbanan Ahok, Hapus UU Penodaan Agama!
Opini Iqbal Dawam Wibisono | 23 Mei 2017
Sumber: suarakebebasan.com
(Gerilya-Politik/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email