Tanya: Mengapa Imam Husain as. memilih kota Kufah sebagai titik mula perjuangannya?
Jawab: Pertanyaan ini seringkali dilontarkan kepada para peneliti baik Suni maupun Syi’ah, bahkan juga para orientalis; dan setiap dari mereka memberikan jawabannya masing-masing sesuai dengan hasil penelitian mereka. Beberapah hal yang membuat pertanyaan ini menjadi sangat penting adalah sebagai berikut:
Pertama, Imam Husain as. dalam perjuangannya secara sekilas mengalami kekalahan fatal, dan kekalahan ini disebabkan oleh kepercayaan beliau terhadap warga Kufah sehingga beliau memilih kota tersebut untuk dituju.
Kedua, beberapa tokoh penting di zaman itu, seperti Abdullah bin Ja’far (sepupu sekaligus suami Zainab as.),[1] Abdullah bin Abbas,[2] Abdullah bin Muthi’,[3] Miswar bin Mukhramah[4] dan Muhammad bin Hanafiah[5] benar-benar telah berusaha mencegah Imam Husain as. untuk pergi ke Kufah dan sebagian dari mereka mengingatkan beliau bahwa sebelumnya warga Kufah telah menipu dan meninggalkan Imam Ali as.
Akan tetapi Imam Husain as. tidak mempedulikan pendapat mereka dan membulatkan tekatnya untuk tetap pergi menuju Kufah. Dan akhirnya, secara sepintas kita melihat bahwa nasehat orang-orang di atas benar dan Imam Husain as. celaka tidak menuruti mereka. Hal ini lah yang sampai-sampai membuat para ahli sejarah seperti Ibnu Khuldun menyalahkan Imam Husain as. dan menganggapnya ceroboh.[6]
Dari perkataan-perkatan tokoh-tokoh di atas, yang salah satunya adalah Ibnu Abbas, juga dapat dipahami bahwa ada pilihan lain selain Kufah, seperti halnya Yaman. Ibnu Abbas berkata kepada Imam Husain as., “Jika engkau benar-benar hendak pergi dari Makkah, maka sebaiknya engkau menuju Yaman. Di sana terdapat banyak lembah dan tempat-tempat yang nyaman dan di sana engkau dapat mengumpulkan pengikut-pengikutmu lalu mengutus mereka ke berbagai tempat.”[7]
Perlu kita pertanyakan mengapa beliau tidak memilih yang lain? Banyak dari kalangan peneliti selain dari kelompok Syi’ah—baik kalangan Suni maupun para orientalis—yang menyalahkan Imam Husain as. atas kekalahan materi yang beliau alami. Mereka memberikan kesimpulan dengan begitu mudahnya tanpa sedikit menengok prinsip-prinsip yang ada pada ilmu Kalam kita.
Tapi para peneliti dari kelompok Syi’ah, berdasarkan prinsip-prinsip seperti kepercayaan bahwa para maksumin memiliki ilmu ghaib dan kemaksuman mencegah mereka dari segala kesalahan, mereka memberikan jawaban-jawabannya atas permasalahan ini yang mana kita dapat meringkasnya menjadi dua pendapat berikut:
Mencapai kesyahidan
Pandangan ini memiliki dua landasan:- Setiap Imam dari Imam-Imam maksum, ketika mereka menyandang julukan sebagai Imam, mereka membuka lembaran-lembaran rahasia yang mana di situ tertulis segala tugas-tugas yang harus dilaksanakan sampai akhir hayat mereka.[8]
- Ketika Imam Husain as. membuka lembaran ke-Imamannya, beliau membaca, “Berperanglah, berjuanglah, dan ketahuilah engkau akan mati terbunuh. Pergilah bersama kelompokmu meninggalkan tempat tinggalmu untuk kesyahidan. Ketahuilah bahwa mereka tidak akan mencapai kesyahidan kecuali denganmu.”[9]
Dengan demikian, kesimpulannya adalah, bahwa Allah swt sejak mulanya telah berkehendak agar Imam Husain as. mencapai kesyahidan di jalan itu. Imam Husain as. tidak memiliki pilihan terbaik selain menjalankan apa yang dikehendaki-Nya. Hal ini juga disampaikan kepada beliau dengan cara lain, yaitu mimpi yang beliau alami sebelum beliau berangkat menuju Kufah. Dalam mimpi itu beliau melihat Rasulullah saw. memintanya untuk pergi menuju Kufah. Ketika saudaranya Muhammad bin Hanafiyah bertanya tentang mengapa beliau hendak menuju Kufah, beliau menjawab, “Aku bermimpi Rasulullah saw. mendatangiku lalu berkata, “Pergilah wahai Husain, sesungguhnya Allah ingin melihatmu dalam keadaan terbunuh.”[10]
Menurut pendapat ini,[11] perjalanan beliau menuju Kufah adalah perjalanan menuju kesyahidan. Tujuan beliau adalah kesyahidan dan beliau benar-benar tahu bahwa ia akan disambut dengan kesyahidan. Dan perlu diketahui bahwa sikap ini adalah kewajiban dan tugas khusus Imam Husain as. yang mana Imam-Imam selainnya pun tidak dapat meniru beliau.
Jika demikian, maka tidak ada lagi tanda tanya yang tersisa. Permasalahannya menjadi jelas. Sesungguhnya Imam Husain as. lebih mengetahui dari siapapun bahwa orang-orang Kufah terkenal dengan tipu daya dan muslihatnya. Imam mengetahui bahwa kelak mereka akan meninggalkan beliau sendiri, dan bahkan memerangi dan membunuh beliau. Meskipun beliau tahu dengan jelas, beliau tetap berjalan menuju Kufah, menyambut kesyahidan karena itu kewajibannya.
Orang-orang yang memiliki pandangan seperti ini saling berbeda pendapat mengenai apa tujuan kesyahidan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tujuan dari kesyahidan tersebut adalah menjalankan tugas amar makruf nahi munkar. Beliau ingin menyirami pohon Islam dengan darah beliau sendiri; dan inilah derajat amar makruf nahi munkar yang tertinggi. Darah beliau lah yang menghidupkan Islam dan menyibak kedok Yazid juga Bani Umayah, lalu akhirnya pada tujuh puluh tahun kemudian, peristiwa besar terjadi, yaitu runtuhnya kekhilafahan Bani Umayah (132 H.).
Sebagian orang yang berpandangan lain, yang mana pandangan itu bangkit dari pola pikir awam yang tidak disertai landasan kuat, mengatakan bahwa tujuan syahadah Imam Husain as. adalah membayar dosa-dosa yang telah dilakukan oleh para pengikut beliau sebagai syafaat. Pemikiran ini mirip sekali dengan keyakinan orang-orang Kristen yang meyakini bahwa disalibnya Al Masih adalah untuk membayar dosa-dosa para pengikutnya.[12]
Pendapat bahwa Imam Husain as. memilih kesyahidan mendapatkan beberapa kritikan seperti di bawah ini:
- Telah diyakini secara umum di kalangan pengikut mazhab Syi’ah sepanjang sejarah bahwa para Imam adalah suri tauladan bagi setiap pengikutnya. Jika dikatakan bahwa Imam Husain as. memiliki risalah dan tugas khusus yang harus ia jalani dan tidak boleh dijalani oeleh selainnya, maka artinya beliau menjadi seorang Imam yang tidak bisa dijadikan tauladan untuk ditiru.
- Pendapat di atas bertentangan dengan ucapan Imam Husain as. sendiri, “Aku adalah tauladan yang harus kalian contoh.”[13].
- Meskipun memang telah diramalkan oleh para nabi sebelumnya, sebagaimana Rasulullah saw juga meramalkannya, bahwa Imam Husain as. kelak akan mencapai kesyahidan, dan meskipun dari perkataan Imam Husain as. sendiri kita dapat memahami bahwa beliau tahu ia akan mati terbunuh, tapi itu semua bukan berarti Imam Husain as. menjadikan kematian sebagai tujuan akhirnya. Kita harus mencari kembali kata apakah yang terucap dari lisan beliau mengenai perjuangannya. Dalam masalah ini, kita dapat menyimak perkataan beliau yang terucap dengan jelas, “Sesungguhnya aku berjuang untuk mengusahakan kebaikan bagi umat kakekku. Aku ingin menyeru kepada kebenaran dan mencegah daripada kebatilan; dan supaya aku berjalan di jalan kakekku dan ayahku, Ali bin Abi Thailb as.” Dari perkataan beliau, kita dapat menarik tiga tujuan yang beliau maksud: Ingin memberikan kebaikan, amar makruf nahi munkar dan bersikap sebagaimana Rasulullah saw dan Imam Ali as. bersikap. Tujuan perjuangan beliau adalah tiga hal tersebut, bukan mencari mati.
Mendirikan Pemerintahan Islami
Sebagaimana yang diutarakan oleh beberapa kalangan penulis bahwa pandangan ini pertama kalinya ditemukan dalam tulisan Sayid Murtadha yang diekenal dengan Allamul Huda (436 H. – 355 H.) Beliau adalah salah seorang alim Syi’ah abad ke empat dan lima Hijriyah. Dalam tulisannya, beliau menjawab suatu pertanyaan mengenai Imam Husain as seperti ini:“Imam Husain as. tidak bergerak menuju Kufah untuk mendirikan pemerintahan yang ia inginkan kecuali ia telah merasa yakin akan meraih kemenangan dengan adanya kesepakatan dan baiat warga Kufah.”[14]
Lambat laun pendapat beliau tidak hanya tidak mendapatkan pendukung yang sepemikiran, bahkan beberapa ulama besar seperti Syaikh Thusi, Sayid bin Thawus, Allamah Majlisi dan ulama lainnya bersikeras menentang pendapat ini.[15]
Baru-baru ini saja banyak cendikiawan yang menghidupkan kembali pandangan beliau dalam rangka memberikan jawaban yang sama berdasarkan sejarah atas syubhat-syubhat yang muncul di kalangan Ahlu Sunnah dan para Orientalis. Pada saat itu juga pandangan ini pun mendapatkan banyak kritikan keras dari beberapa tokoh besar Syi’ah seperti Muthahari dan Dr. Syariati.[16] Sangkalan paling keras terhadap pandangan yang satu ini adalah seakan Imam tidak memiliki ilmu ghaib.
Sebenarnya inti dari pandangan ini, yakni Imam Husain as. berjuang dan berusaha untuk berdirinya pemerintahan yang Islami yang mana untuk tercapainya tujuan ini beliau harus menyingkirkan Yazid dan kaki tangan busuknya, dibenarkan oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Imam Khumaini. Beliau beberapa kali menyinggung permasalahan ini. Menerut beliau, usaha mendirikan pemerintahan yang benar dan berdasarkan agama adalah salah satu dari tujuan perjuangan Imam Husain as.
Sebagai contoh, pada tanggal 6/3/50 H.S.[17] beliau berpidato di Najaf Asyraf lalu berkata, “Imam Husain as. meminta Muslim bin Aqil untuk meminta bai’at dari warga Kufah agar mereka memberikan bai’at untuk berdirinya satu pemerintahan Islami yang benar dan menggulingkan pemerintahan batil.”[18]
Beliau juga pernah berkata, “Ketika Sayidus Syuhada datang ke Makkah dan dalam keadaan seperti itu dan kemudian pergi dari kota itu, ketahuilah bahwa gerak-geriknya adalah gerak-gerik politik, gerak-gerik politik Islami. Gerakan politik Islami ini lah yang telah menggulingkan pemerintahan batil Bani Umayah dan jika tidak ada perjuangan beliau, Islam telah diinjak-injak kehormatannya.”[19]
Beliau berkata, “Sayidus Syuhada datang ingin merebut kendali pemerintahan. Ia datang untuk tujuan ini dan inilah kebanggaan. Mereka salah jika mengira Imam Husain as. dan pengikutnya datang bukan untuk mengambil alih pemerintahan. Salah. Mereka datang untuk masalah pemerintahan. Karena sesungguhnya tali pemerintahan adalah hak seseorang seperti Sayidus Syuhada, seperti pengikut-pengikut setianya.”[20]
Pendapat ini dapat dibenarkan dengan adanya beberapa alasan berikut:
- Dalil terbaik adalah ucapan Imam Husain as. yang keluar dari mulut suci beliau sendiri saat pergi meninggalkan kota Madinah yang mana dapat kita ambil tiga hal dari situ: mengusahakan kebaikan umat, amar makruf nahi munkar dan bersikap seperti Rasulullah saw. dan Imam Ali as.[21] Dengan jelas kita dapat memahami bahwa mewujudkan kebaikan untuk umat dan amar makruf nahi munkar memerlukan sesuatu yang dapat mendukungnya; dan sesuatu itu tak lain adalah pemerintahan yang berdiri atas dasar yang benar. Dalam pemerintahan yang benar dan Islami, seorang hakim syar’i akan memiliki kekuasaan untuk menjalankan tugas-tugasnya; yang lebih pokok dari itu semua adalah, meneruskan perjalanan Rasulullah saw. dan Imam Ali as. Mereka berdua memberikan contoh terbaik dalam memerintah dan Imam Husain as. ingin meneruskan langkah mereka.
- Dari nada bicara yang terbaca dari tulisan dalam surat-surat penduduk Kufah—yang sering kali menyinggung bahwa mereka memiliki banyak pasukan yang siap tapi tidak memiliki seorang pemimpin—kita pahami bahwa sebenarnya mereka menganggap pemerintahan Yazid tidak sah dan mereka ingin Imam Husain as. datang ke Kufah untuk menjadi pemimpin mereka sehingga pemerintahan yang sah dapat terwujud. Sang Imam pun bangkit memenuhi panggilan ini dan memulai perjalanannya. Sebagai contoh, kita dapat melihat beberapa surat seperti yang ditulis oleh Sulaiman bin Shard Jaza’i, Masib bin Najbah, atau Habib bin Mazahir, yang mana mereka menulis, “Kami tidak memiliki seorang pemimpin. Kemarilah, semoga dengan perantara dirimu Allah akan menjadikan kami bersatu dalam kebenaran.”[22]
- Jawaban pertama kali yang beliau berikan untuk mereka, yang mana saat itu Muslim bin Aqil yang diutus untuk menyampaikan pesan beliau kepada penduduk Kufah, menunjukkan bahwa masalah yang sesungguhnya adalah masalah pemerintahan dan kepemimpinan. Sungguh menarik, beliau menulis dalam suratnya, “Aku memahami apa yang kalian maksud. Kalian semua mengaku tidak memiliki seorang pemimpin…”[23]
- Dalam surat-surat beliau yang lain dapat disaksikan pengakuan Imam Husain as. bahwa pada kenyataannya orang yang benar-benar memenuhi kriteria hanyalah dia seorang. Hal ini dapat juga kita tambahkan kepada dalil-dalil yang lain untuk menguatkan pendapat yang satu ini. Perlu di perhatikan bahwa dalam surat-surat beliau, Imam lebih sering menyinggung hal-hal yang bersikap praktis dalam pemerintahan, bukan tentang menjelaskan hukum syariat yang mana tak lama kemudian kebanyakan orang berfikiran bahwa keImaman terbatas hanya pada penjelasan-penjelasan hukum syariat. Sebagai misal, Imam Husain as. pernah menulis, “Demi nyawaku aku bersumpah bahwa satu-satunya orang yang dapat menjadi seorang pemimpin umat hanyalah seorang yang sejalan dengan kitab Allah, mewujudkan keadilan, mendirikan kebenaran dan segalanya ia lakukan di jalan Tuhan.”[24]
- Dari usaha yang dilakukan sepenuh hati oleh Muslim bin Aqil dapat dipahami bahwa satu-satunya tujuan sang Imam adalah didirikannya pemerintahan yang benar. Sesungguhnya Muslim telah memberikan banyak jasanya, seperti membantu Imam Husain as. meminta bai’at, mencatat nama-nama orang yang membai’at dan lain sebagainya.[25] Tercatat pada saat itu bahwa jumlah mereka sekitar dua belas hingga delapan belas ribu orang.[26]
- Pada saat itu, sebagian penduduk Kufah yang pro Yazid merasakan kekhawatiran akan apa yang sedang terjadi. Mereka menulis banyak surat untuk pemerintah dan meminta Yazid untuk bertindak. Menurut mereka, jika tidak ada penanganan atas apa yang sedang terjadi saat itu, maka mereka akan kehilangan Kufah. Mereka menulis, “Jika engkau masih mencintai Kufah, maka utuslah seorang utusan yang tangguh, sehingga ia dapat melakukan apa yang kamu inginkan dan bersikap tegas terhadap musuh-musuhmu sebagaimana yang kamu mau.”[27]
- Muslim bin Aqil melihat kenyataan yang ada saat itu bahwa para penduduk Kufah memang benar-benar bersemangat dan siap membantu Imam Husain as lalu melaporkan hal tersebut kepada beliau.[28] Hal ini salah satu dalil yang menguatkan pendapat kedua. Imam Husain as. di tengah perjalanan menulis suratnya untuk warga Kufah dan memerintahkan Qais bin Musahar Shaidawi untuk mengirimkannya. Dalam surat itu beliau menyatakan kepercayaanya akan surat yang diterima dari Muslim. Beliau menjelaskan bahwa rombongan bergerak menuju Kufah pada tanggal 8 Dzul Hijah. Beliau meminta mereka untuk terus menunjukkah kesungguhan sampai beliau datang. Berikut tulisan beliau, “Surat yang telah dikirimkan oleh Muslim bin Aqil tentang kesiapan, semangat dan kepercayaannya akan kesetiaan kalian telah sampai padaku. Aku memohon kepada Allah agar memudahkan masalah kita dan memberi kalian balasan sebaik-baiknya. Kami bergerak keluar dari kota Makkah menuju kota kalian pada tanggal delapan Dzul Hijah, hari Tarwiyah. Begitu utusanku sampai pada kalian, maka bersiap-siaplah, bersungguh-sungguhlah, karena tak lama lagi kami akan tiba.”[29]
Beberapa Sanggahan
Ada banyak sanggahan atas pandangan kedua. Akan tetapi kita hanya akan membahas dua sanggahan yang terpenting di sini.- Pandangan ini bertentangan dengan prinsip Kalam (ilmu Teologi) Syi’ah yang mana kita berkeyakinan bahwa para Imam memiliki ilmu ghaib.
- Pandangan ini memberikan kesan seakan para Imam melakukan kesalahan-kesalahan. Hal ini jelas bertentangan dengan kemaksuman yang menjadi keistimewaan mereka. Sanggahan ini, bisa dikata sebagai satu-satunya yang membuat kebanyakan orang tidak mau menerima pendapat di atas.
Untuk menjawab sanggahan tersebut kita musti kembali mengkaji pembahasan-pembahasan ilmu Kalam seperti pembahasan tentang madlul dan kandungan ilmu ghaib, kemaksuman dan dalil-dalil penetapannya. Kita musti mampu mengurai permasalahan ketika kita berhadapan dengan pertentangan antara faham kemaksuman dan ilmu ghaib dengan realita yang telah terjadi dalam sejarah. Tapi disini singkat saja, kita tidak akan membahas terlalu jauh sehingga nanti akhirnya kita melenceng dari jalur pembahasan kita, yaitu pembahasan dan penilaian berdasarkan sejarah. Tapi kami perlu singgung bahwa tidak mustahil jika kita menyelesaikan permasalah ini dengan menjadikan ilmu kalam sebagai perspektif, sebagaimana yang dilakukan sendiri oleh Imam Khumaini.
Sesungguhnya bergegas untuk membentuk pemerintahan adalah sebuah kewajiban. Tapi ada syarat-syarat yang harus diketahui, seperti siasat, itmamul hujah, kepandaian dan kerja sama. Itu yang kita butuhkan. Adapun hasil yang kelak akan di dapat, itu terserah Tuhan. Kita musti rela dengan apa yang Ia putuskan. Jika seandainya kita memiliki ilmu yang pasti akan hasil yang kelak kita dapat, pengetahuan itu sendiri tidak bertentangan dengan tugas yang diembankan kepada kita; yakni kita tetap memiliki tugas untuk melakukannya. Sesungguhnya orang yang berjuang di jalan kebenaran, kekalahan hanya sekedar fenomena lahiriah, dan kemenangan yang sebenarnya akan dirasakan di alam makna.
Sebagaimana yang kita dengar dari sanggahan-sanggahan di atas, bahwa Imam Husain as. tidak berhasil mendirikan pemerintahan Islami, dan bahkan beliau justru dikhianati, maka Imam Husain as. salah dalam menentukan siasat dan perkiraan orang-orang seperti Ibnu Abbas lebih tepat sesuai dengan kenyataan ketimbang perkiraan beliau.
Kita akan memberikan jawaban untuk permasalahan ini dengan, lagi-lagi, mengkaji sejarah. Mari kita lihat dalam lembar sejarah apakah langkah Imam Husain as. benar-benar masuk akal atau tidak.
Apakah langkahnya masuk akal?
Jika ada seseorang yang benar-benar matang dalam pergelutan dunia politik, ketika ia membaca situasi dan kondisi yang ada di depan mata, meneliti dan mengamatinya dengan seksama, lalu ia memberikan satu keputusan untuk bertindak dengan bijak dan pintar, akan tetapi tiba-tiba terhadang oleh halangan-halangan tak terduga sehingga ia tidak berhasil melangkah, maka sebenarnya orang seperti itu tidak bisa kita salahkan.Kita yakin bahwa Imam Husain as. telah memikirkan kondisi Kufah dengan sebaik-baiknya. Pada zaman kekhalifahan Mu’awiyah beliau tidak pernah memberikan jawaban “ya” untuk permintaan-permintaan penduduk Kufah dan dengan tegas menolak mentah-mentah.[30] Bahkan beliau sempat melarang saudaranya, Muhammad Hanafiah, untuk membalas surat-surat mereka.[31] Pada peristiwa Asyura juga beliau tidak langsung mempercayai mereka begitu menerima surat yang mereka kirim. Belaiu baru mempercayai mereka setelah mengutus sepupunya, Muslim bin Aqil, menuju Kufah dan ia tinggal di sana selama sebulan untuk melihat dari dekat situasi yang sebenarnya. Setelah itu baru beliau menilai bahwa sudah tepat baginya untuk bertindak. Tapi sesungguhnya lebih tepat jika kita katakan bahwa Imam Husain as. tiba-tiba meninggalkan Makkah di hari-hari pelaksanaan ibadah Haji karena kekhawatirannya akan bahaya yang mengancam beliau di kota itu.
Dalam peristiwa Asyura, penghalang tak terduga adalah digantikannya Nu’man bin Basyir sebagai walikota Kufah dengan Ubaidillah bin Ziyad. Benar-benar tidak disangka dan tak satupun orang yang faham politik yang bisa menebak hal ini. Situasi dan kondisi yang dapat difahami secara sempurna tidak memberikan tanda-tanda pergantian walikota. Apalagi saat itu sering didengar bahwa Yazid marah pada Ibnu Ziyad[32] dan ia berencana menurunkan jabatannya dalam pemerintahan Bashrah.[33] Sering pula didengar kata-kata “Yazid adalah musuh besar Ibnu Ziyad.”[34]
Dengan adanya faktor ini, jika seandainya Muslim bin Aqil berlaku seperti Ibnu Ziyad yang tak enggan menggunakan cara paksaan dan ancaman, maka akan lain lagi ceritanya. Ia dapat memanfaatkan segala kesempatan mulai dari segi ekonomi, politik, sosial dan mental sebagaimana Ibnu Ziyad. Jika seperti itu, maka kemungkinan besar kemenangan akan menjadi miliknya.
Satu misal saja, jika seandainya saat itu Muslim bin Aqil mau menjalankan saran Syarik bin A’war dan Abdus Salul untuk membunuh Ibnu Ziyad di rumah Hani,[35] maka jalan yang ia tempuh akan lebih mudah.
Disinilah kita bisa katakan bahwa pandangan Imam Husain as. terhadap penduduk Kufah berbeda dengan pandangan Ibnu Abbas. Imam Husain as. melihat Kufah saat itu juga, tapi Ibnu Abbas melihat Kufah—paling tidak—dua puluh tahun yang lalu, yakni Kufah pada masa kekhalifahan Imam Ali as.
Imam Husain as. memiliki dalil-dalil yang menguatkan kebenaran pandangannya terhadap Kufah, seperti surat-surat yang dikirim oleh Sulaiman bin Shard dan Habib bin Mazahir, dan juga surat wakil khususnya, Muslim bin Aqil. Sedangkan Ibnu Abbas hanya sekedar mengira tanpa bukti.
Perlu diketahui bahwa Kufah saat itu sudah jauh berbeda dengan Kufah dua puluh tahun yang lalu. Kufah yang sekarang, lebih tampak dapat dipercaya ketimbang dulu dan memungkinkan bagi Imam Husain as. untuk bergabung dengan mereka; karena:
Pertama, saat itu Kufah mengalami kekalahan bersaing dengan Syam dalam perihal kota manakah yang akan menjadi pusat pemerintahan. Akhirnya Syam yang menjadi pusat pemerintahan. Karena politik Bani Umayah pada waktu itu salah satunya adalah membuat Kufah terbelakang, dengan demikian penduduk Kufah terdorong untuk melakukan segala hal agar keagungan yang pernah dimiliki kota itu dapat diraih kembali.
Kedua, orang-orang Kufah, khususnya orang-orang Syi’ah kota itu sering mendapatkan tekanan berat dari pihak pemerintah Umawi yang akhirnya membangkitkan amarah mereka untuk memusuhi Bani Umayah.
Ketiga, sebelumnya penduduk Kufah telah mengenal betul siapa Yazid dan mereka mengerti perbedaan antara dia dengan Imam Husain as. Pengetahuan inilah yang membuat mereka enggan menerima kepemimpinan Yazid.
Hal yang perlu kita perhatikan secara lebih serius lagi adalah, pemerintahan Yazid yang berpusat di Syam memiliki banyak kekurangan. Yazid adalah seorang bocah yang tidak berpengalaman, jauh berbeda dengan ayahnya baik dari segi kepicikan, siasat dan taktik. Kufah pun dipegang oleh seorang walikota yang lemah semacam Nu’man bin Basyir. Dengan mengamati kondisi yang ada, sangat memungkinkan sekali jika Imam Husain as. berjuang memanfaatkan kesempatan ini maka beliau akan mencapai kemenangan dan berhasil mendirikan pemerintahan Islami yang jauh berbeda prinsipnya dengan pemerintahan Yazid.
Oleh karena itu, kita dapat memberikan kesimpulan bahwa jika kita kembali menelaah sejarah, sesungguhnya tekat Imam Husain as. untuk bergegas menuju Kufah—dengan melihat kembali pribadi Imam Husain as. dan kondisi yang ada—adalah tekat dan keputusan yang sangat tepat. Jika seandainya tidak ada halangan tak terduga yang muncul di jalan beliau, maka beliau tidak akan menerima kekalahan materi (meski kekalahan materi bukanlah kekalahan hakiki—pent.).
Referensi:
[1] Ibnu A’tsam Kufi, Al Futuh, jilid 5, halaman 67.
[1] Ibnu A’tsam Kufi, Al Futuh, jilid 5, halaman 67.
[2] Ibid, halaman 66.
[3] Al Bidayah wa An Nihayah, jilid 8, halaman 162.
[4] Ibid, halaman 163.
[5] Biharul Anwar, jilid 44, halaman 364.
[6] Muqadimah Ibnu Khuldun, halaman 211.
[7] Ibnu Katsir, Al Kamif fi At Tarikh, jilid 2, halaman 545.
[8] Ushul Kafi, jilid 2, halaman 27-36, bab “Sesungguhnya para Imam tidak melakukan apapun selain yang telah ditugaskan oleh Allah swt.”
[9] Ibid, halaman 27, hadis ke-1.
[10] Luhuf, halaman 84.
[11] Untuk mengetahui lebih lanjut siapa sajakah yang memiliki pendapat seperti ini, silahkan merujuk: Muhammad Sihati Sardarwadi, Syahid Fatih dar Ayene e Andishe, halaman 205-231..
[12] Syahid Fatih, halaman 239.
[13] Tarikh Tabari, jilid 5, halaman 403.
[14] Ibid, halaman 170, menukil dari Tanzihul Anbiya’, halaman 175.
[15] Untuk mendapatkan informasi lebih lengkap, silahkan merujuk Syahid Fatih, halaman 184-190 dan halaman 205-231.
[16] Untuk mendapatkan iformasi lebih lengkap, silahkan merujuk tulisan Rasul Ja’fariyan, Jaryan ha va Jonbesh ha e Mazhabi – Siyasi Iran, halaman 208-214.
[17]
H.S. (Hijriyah Syamsiah) adalah penanggalan resmi Republik Islam Iran
yang berdasarkan penanggalan Syamsiyah namun perhitungan tahun dimulai
dari hijrah Rasulullah saw.
[18] Sahife e Nur, jilid 1, halaman 174.
[19] Ibid, jilid 18, halaman 130.
[20] Ibid, jilid 20, halaman 190.
[21] Biharul Anwar, jilid 20, halaman 190.
[22] Waq’atu At Thaff, Abi Makhnaf, halaman 92.
[23] Ibid, halaman 91.
[24] Ibid.
[25] Tarikh Ya’qubi, jilid 20, halaman 215 dan 216.
[26] Murujud Dzahab, jilid 3, halaman 64; Syaikh Mufid, Al Irsyad, halaman 383.
[27] Waq’atu At Thaff, halaman 101.
[28]
Ibid, halaman 112. Muslim bin Aqil berkata, “Mereka tidak berbohong.
Aku telah menerima bai’at dari delapan belas ribu penduduk Kufah.
Sesungguhnya mereka semua berpihak kepadamu dan tidak ada yang condong
kepada keluarga Mu’awiyah.
[29] Al Irsyad, halaman 418.
[30] Diynawari, Al Akhbarut Thiwal, halaman 203.
[31] Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An Nihayah, jilid 8, halaman 163.
[32] Tarikh Thabari, jilid 5, halaman 356 dan 357; Al Kamil fi At Tarikh, jilid 2, halaman 535.
[33] Ibnu Maskawiyah, Tajarub Al Umam, jilid 2, halaman 42; Al Bidayah wa An Nihayah, jilid 8, halaman 152.
[34] Shibt Ibnu Jauzi, Tadzkiratul Khawash, halaman 138.
[35] Al Kamil fi At Tarikh, jilid 2, halaman 537.
Disadur dari buku Tanya Jawab Pilihan (Edisi Muharram)
(Hauzah-Maya/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email