Oleh: Fadil Abubakar
Perjuangan melawan penindasan merupakan usaha yang harus dilakukan. Tidak cukup alasan untuk berdiam diri jika di depan mata ada usaha untuk menindas, menjarah bahkan merebut yang bukan miliknya. Perlawanan dalam memperjuangkan Tanah Air yang terikat dalam penjajahan merupakan kesadaran nasionalisme yang tinggi. Membela bangsa, mempertahankan wilayah dan memerdekakan negara adalah cita-cita semua rakyat agar segera terbebas dari belenggu penyiksaan penjajah. Kita mengenal tokoh-tokoh revolusi dari kalangan Barat seperti, Che Guevara, Videl Castro dan dari tokoh-tokoh timur kita mengenal Ayatullah Khomeini dengan revolusi Iran-nya saat menumbangkan rezim Pahlevi yang selama pemerintahannya bekerjasama dengan Amerika yang merupakan negara paling di benci oleh Ayatullah Khomeini. Tapi, kita sebagai bangsa Indonesia memiliki kebanggan tersendiri dengan sosok Soekarno, sang pencetus ideologi bangsa dengan Pancasila-nya.
Jika Ayatullah Khomeini mencetuskan sebuah pemikiran politik yang dikenal dengan sebutan konsep Wilayat Alfaqih. Konsep Wilayat Alfaqih adalah sebuah poros sentral dari pemikiran politik Syi’ah kontemporer. Sebuah pemikiran politik yang berbasiskan perwalian yang dipegang oleh seorang Faqih yang adil dan kapabel untuk memegang pimpinan pemerintahan. Sehingga, Sistem ini memang memberikan banyak kesempatan bagi ulama untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Bahkan, peran Marja’ ini bisa disetarakan dengan peran legislatif. Berbeda dengan Pancasila-nya Soekarno, sebuah ideologi bangsa yang memiliki sila-sila sakral sebagai pemersatu keberagaman bangsa dan Pancasila adalah dasar falsafah dan ideologi negara yang diharapkan menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia sebagai dasar pemersatu, lambang persatuan dan kesatuan, serta sebagai pertahanan bangsa dan negara Indonesia.
Kualitas seorang pemimpin dapat kita lihat dari visi yang dimilikinya. Seorang pemimpin selayaknya sebisa mungkin mengintegrasikan visi yang bermakna bagi masa depan bersama. Visi yang jelas akan jadi suatu pedoman bagi para pemimpin dalam menyusun misi dan rencana-rencana kerja yang lebih khusus.
Jika mengintip pemikiran kedua tokoh revolusioner ini, maka satu-satunya pemikiran yang persis diantara mereka adalah tentang Nasionalisme, cinta tanah air dan anti untuk tunduk terhadap penjajah. Penulis akan membahas pemikiran kedua tokoh revolusioner tersebut.
Revolusi Islam Iran merupakan salah satu dinamika penting pada abad kontemporer ini yang mampu memaparkan pemikiran dengan berlandaskan kepada Prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam, sekaligus menerjunkan Islam ke kancah sosial politik di tengah sistem dua kutub, yaitu Komunisme Timur dan Demokrasi Barat. Iran mampu dan sukses membangun sistem demokrasi berdasarkan prinsip-prinsip Islam di bidang sosial politik. Ayatullah Khomeini adalah pemimpin revolusi Islam Iran pada tahun 1979 sekaligus tokoh yang menentang kekuatan gabungan Barat dan sekutu-sekutu Arabnya. Lebih dari sekedar pemimpin politik dan revolusioner sebagaimana yang dikenal dunia, beliau juga seorang cendekiawan dan pembaharu, tulisan serta ceramah beliau menohok konservatisme tradisional para ulama Iran dan berpengaruh bagi pergerakan Islam di seluruh dunia. Revolusi Islam Iran yang beliau ilhami, telah memicu perubahan arah sejarah timur tengah. Dua puluh tahun pasca kematiannya, pengaruh pemikiran dan kepemimpinan politis beliau tetap terasa baik di dunia Muslim maupun di luarnya.
Ayatullah Khomeini menghadirkan konsep Wilayat Alfaqih sebagai kontrol dalam pemerintahan, makna politik bagi Ayatullah Khomeini terkait erat dengan segenap dimensi kehidupan manusia dan membimbing masyarakat menuju apa-apa yang terbaik bagi mereka. Sehingga menurut Ayatullah Khomeini, politik dalam pengertian ini merupakan poros utama gerakan seluruh nabi as dan tidak ada agama yang bisa disebut sebagai asing dan jauh dari politik.
Slogan pemisahan agama dari politik dan tuntunan agar para ulama Islam tidak mengintervensi urusan-urusan sosial politik telah dirumuskan dan disebarluaskan oleh kaum imperialis. Ayatullah Khomeini menanggapi hal itu dengan mengatakan, Islam adalah aliran pemikiran yang bertentangan dengan aliran-aliran pemikiran non-monoteis, memiliki fungsi dan yuridiksi dalam segala aspek individu dan masyarakat, material dan spritual, kultur dan politik, militer dan ekonomi. Islam tidak mengabaikan masalah apapun termasuk masalah yang sangat sepele, yang memiliki peran dalam pembekalan manusia dan masyarakat serat dalam kemajuan material dan spirtual.
Kita beralih pada pemikiran Soekarno. Jika pemikiran politik Ayatullah Khomeini sangat lekat dengan Islam itu tidak lepas dari identitasnya sebagai ulama sekaligus Ayatullah di Iran. Terlebih, keberagaman Iran tidak begitu besar ketimbang keberagaman Indonesia. Banyaknya aneka ragam tradisi, suku dan budaya Indonesia sangat menjadi pertimbangan jika sistem politik Islam diterapkan di Indonesia. Tapi, bukan berarti Soekarno tidak Islamis.
Prof. Dr. Slamet Muljana menulis dalam bukunya “Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai kemerdekaan” tentang karangan Soekarno yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme“. Ada sebuah sebuah pertanyaan, apakah Nasionalisme itu dalam perjuangan menentang imperialisme dapat bergandengan dengan Islamisme dan Marxisme?
Jawab Soekarno: Bisa! sebab, walaupun nasionalisme itu dalam hakikatnya mengecualikan segala pihak yang tak ikut mempunyai ‘keinginan hidup satu’ dengan rakyat itu. Walaupun nasionalisme itu mengecilkan pihak yang tak ‘merasa satu golongan, satu bangsa’ dengan rakyat itu. Bahwa segala pihak dari pergerakan kita ini baik, Nasionalis, Islamis dan Marxis adalah yang menimbulkan rasa ‘segolongan’ itu. Benar kata Gandhi , ‘buat saya maka cinta saya pada Tanah Air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya seorang patriot, oleh karena saya seorang manusia dan bercara manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga. ‘inilah rahasinya, yang Gandhi cukup mempersatukan antara pihak Islam dan pihak Hindu, pihak Parsi, pihak lain,yang jumlahnya lebih dari tiga ratus juta lalu itu, lebih enam kali jumlah putera Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang ada di muka bumi ini. Tidak ada halangannya Nasionalis itu dalam geraknya bekerjasama dengan kaum Islamis dan Marxis. Lihat kekalnya perhubungan antara Nasionalis Gandhi dan Pan-Islamis. Bukannya kita mengharap yang nasionalis itu supaya berubah paham jadi Islamis atau Marxis. Bukannya kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, melainkan impian kita adalah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu. Banyak nasionalis-nasionalis kita yang lupa bahwa orang Islam dimana pun berada, menurut agamanya, Wajib bekerja untuk keselamatan negeri yang ditempatinya. Mereka telah lupa juga bahwa orang-orang Islam yang sungguh-sungguh menjalankan keislamannya dimanapun berada, jika berada di Indonesia maka Wajib bekerja untuk keselamatan Indonesia. Inilah nasionalisme Islam! Sempit budi dan sempit pikiranlah nasionalis yang memusuhi Islamisme. Sempit budi dan sempit pikiranlah nasionalis karena memusuhi asas ini. Kita ulangi lagi bahwa nasionalis itu dalam geraknya bekerja sama dengan Islamis dan Marxis”.
Inilah Soekarno, selain Keberpihakannya pada rakyat jelata ternyata mampu menumbuhkan semangat juang yang mendalam. Dengan menghadirkan sebuah konsep Marhaenisme. Dengan konsep ini, semangat juang rakyat dalam menumpaskan penjajah dari tanah air ini akan berkobar-kobar secara terarah. Ditegaskan juga oleh Soekarno bahwa Marhaenisme bukan sekedar teori politik, melainkan teori perjuangan. Asas ini juga sebagai simbol perjuangan melawan Kolonialisme yang menguasai Indonesia. Sebagaimana Marxisme yang menguasai massa-aksi kaum proletar dan petani untuk melawan Kapitalisme dan Feodalisme. Sehingga, Teori Marhaenisme dan Berdikari hanya sebatas teori Soekarno untuk menciptakan rakyat yang produktif dan sebagai ideologi perlawanan terhadap kolonialisme.
Kita masih ingat dengan Pidato Soekarno yang sangat terkenal pada saat itu tentang “Ganyang Malaysia” adalah bukti bahwa ketegasan seorang pemimpin itu harus ada bukannya lembek seperti sikap para pemimpin-pemimpin setelah Soekarno. Seperti sekarang ini.
“Malaysia harus diganyang. Bangsa ini tak boleh kalah melawan siapapun, apalagi melawam Malaysia yang kekuatannya jauh di bawah Indonesia. Jika Malaysia menyerang dengan seratus pasukan, maka Indonesia akan mengerahkan seribu pasukan. Jika Malaysia menyerang dengan seribu pasukan, maka Indonesia akan menyerang dengan sepuluh ribu pasukan”.
Akhirnya, pemikiran antara Soekarno dan Ayatullah Khomeini dapat kita simpulkan bahwa tujuan politik mereka adalah kemanusiaan. Bagaimana menjadi seorang pemimpin revolusioner yang bertujuan untuk memanusiakan manusia. Jika Soekarno menghadirkan Pancasila sebagai konsep bernegara, dimana perbedaan dapat melebur menjadi satu dalam naungan Pancasila dan Ayatullah Khomeini menghadirkan Wilayat Alfaqih sebagai konsep politik atau alat pengontrol pemerintahan oleh agama dan menjadi pendorong politik untuk selalu menampilkan politik Islam yang lebih bertujuan untuk kesejahteraan manusia. Intinya, Soekarno dan Ayatullah Khomeini adalah manusia yang telah memanusiakan manusia.
Wallahu a’lam.
(Kedai-Sastra/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email