Pesan Rahbar

Home » , » Kisah Jenderal Hoegeng, Polisi Pejuang yang Jujur dan Berani Melawan Soeharto

Kisah Jenderal Hoegeng, Polisi Pejuang yang Jujur dan Berani Melawan Soeharto

Written By Unknown on Thursday 10 March 2016 | 18:52:00

Foto : www.andyyahya.com

“Hanya ada tiga polisi baik di Indonesia. Ketiganya adalah patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng Iman Santosa ,”(Humor Gus Dur)


Polisi Bukan Polusi

Salah satu fungsi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yaitu sebagai pelindung dan penganyom masyarakat.

Namun tingkat kepercayaan masyarakat pada polisi semakin hari semakin berkurang seiring maraknya pelanggaran-pelanggaran serius yang melibatkan unsur kepolisian.

Padahal, peran kepolisian di era revolusi kemerdekaan sangatlah besar. Dengan berbekal pengetahuan dan kemampuan semi militer, kontribusi besar polisi sulit untuk dibantah, baik dalam upaya progresif menghalau penjajah ataupun ketika bahu-membahu dengan anasir revolusioner yang lain bersinergi mempertahankan kemerdekaan dari ancaman kolonialisme.

Selang empat hari setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya 4 Agustus 1945 di Kota Pahlawan (Surabaya), dibentuklah Badan Kepolisian Nasional (BKN) di bawah komando Lettu Mohammad Jassin. Baru pada tanggal 29 September 1945, Presisden Soekarno melantik Jenderal Polisi Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang pertama.

Pada tanggal 1 Juli 1946, dibentuklah Jawatan Kepolisian Negara di bawah koordinasi Perdana Menteri. Sejak saat itu, seluruh unsur kepolisian melebur dalam Jawatan Kepolisian Negara. Tanggal ini pulalah yang kemudian hari ditetapkan sebagai lahir Polri atau hari Bhayangkara.

Sistem Orde Baru juga membawa berbagai bentuk perubahan organisasi Polri. Perubahan itu terjadi karena dalam sistem Orde Baru, ABRI menjadi kekuatan politik utama. Polri sebagai bagian dari ABRI juga menjadi kekuatan penyokong Orde Baru. Salah satu bentuk besar perubahan itu adalah tidak lagi dipakainya sebutan Menteri kepada Kepala Kepolisian seperti era Soekarno.

Seiring dengan perubahan organisasi ini, operasional dan pembinaan anggota POLRI juga berada dalam ABRI. Akibatnya peranan, fungsi dan tugas Polri menjadi rancu dengan tugas-tugas militer. Soliditas, moral anggota dan kreatifitas menjadi pimpinan Polri menjadi surut.

Di era Soeharto inilah, Polri mengalami masa-masa surut, pelayanan terhadap masyarakat menurun, kemampuan teknis profesional kepolisian berkurang. Dalam pembinaan, penjaringan calon perwira untuk AKPOL, dilakukan oleh Kodam dan kemudian dilatih kemiliteran selama setahun di AKABRI.


Sosok Sederhana yang Bersahaja

Hoegeng Imam Santoso merupakan putra sulung dari pasangan Soekario Kario Hatmodjo dan Oemi Kalsoem, lahir pada 14 Oktober 1921 di Pekalongan. Mengenyam pendidikan dasarnya pada usia enam tahun pada tahun 1927 di Hollandsch Inlandsche School (HIS). Tamat dari HIS pada tahun 1934, ia memasuki Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), yaitu pendidikan menengah setingkat SMP di Pekalongan. Pada tahun 1937 setelah lulus MULO, ia melanjutkan pendidikan ke Algemeene Middlebare School (AMS) pendidikan setingkat SMA di Yogyakarta.

Selain menjadi pucuk pimpinan tertinggi kepolisian, ia juga pernah memegang jabatan sebagai Kepala Imigrasi pada tahun 1960.

Kedisiplinan dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng dalam menjalankan tugasnya. Suatu ketika, ia pernah menolak hadiah rumah dan beragam barang mewah yang ada di dalamnya saat menjalankan tugas sebagai Kepala Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara tahun 1956. Ketika itu, Hoegeng dan keluarganya lebih memilih tinggal di rumah kontrakan dan hanya mau pindah ke rumah dinas, jika isi rumahnya hanya benar-benar barang inventaris kantor semata. Setelah pindah ke rumah dinas, barang-barang luks hasil pemberian itu akhirnya diabaikan, bahkan Hoegeng memerintahkan anak buahnya untuk membuangnya.

Hoegeng dipensiunkan sebagai polisi pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran kepolisian.

Memasuki masa pensiun Hoegeng menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak remaja, yakni bermain musik Hawaiian dan melukis. Lukisan itu lah yang kemudian menjadi sumber Hoegeng untuk membiayai keluarga.

Uang pensiun yang diterima hingga tahun 2001 hanya sebesar Rp.10.000/ bulan saja, itu pun hanya diterima sebesar Rp.7500. Sampai akirnya salah satu terbaik bangsa ini menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Rabu 14 Juli 2004 pukul 00.30.


Berani Tidak Patuh Kepada Soeharto

Pada tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng Iman Santosa diberhentikan dari jabatannya sebagai Kapolri, salah satu sumber menyebutkan bahwa ini adalah klimaks kejengkelan Soeharto terhadap konsistensi Hoegeng yang terlampau jujur, tidak bisa dibungkam dengan beragam bentuk suap, serta keengganannya untuk bekerjasama dengan para mafia penopang kekuatan Soeharto.

Kebijakannya untuk membongkar kasus Sumerijem di Yogyakarta yang sarat rekayasa, korban pemerkosaan yang ditetapkan sebagai tersangka karena pelakunya seorang anak pejabat yang berpengaruh. Sedangkan Soeharto telah memerintahkan langsung penghentian pengusutan kasus untuk melimpahkan ke tim pemeriksa Kopkamtib. Hasilnya, seorang penjual bakso dijebloskan ke penjara setelah dipaksa mengaku sebagai tersangka.

Kekesalan Soeharto akhirnya memuncak ketika Hoegeng membongkar kasus penyelundupan mobil-mobil mewah oleh Robby Tjahjadi pada 1960-an. Ketika bea cukai sudah sempat ditaklukkan (disuap), justru Jenderal Hoegeng begitu bersemangat untuk menguak semuanya, aksi inilah yang akhirnya berbuah pencopotan jabatannya sebagai Kapolri.

Jelang pencopotan dirinya, Hoegeng dipanggil untuk menghadap Soeharto, dalam pertemuan empat mata itu ia menolak jabatan baru yang ditawarkan untuk menjadi diplomat di negara sahabat. Hoegeng tahu bahwa itu hanya cara halus Soeharto untuk menistakan jabatannya.

“Ya, sudah. Saya keluar saja. Saya tidak bisa jadi diplomat. Diplomat harus bisa minum koktail. Saya tidak suka koktail,” jawab Hoegeng singkat.


Ruang Bermusik-pun Diberangus

Lepas dari jabatan Kapolri, Hoegeng lebih sering menyibukkan diri dengan bermusik bersama “The Hawaiian Seniors”, grup band dengan aliran musik Hawai yang ia gawangi. Band ini sering tampil di televisi nasional TVRI, sebelum akhirnya dilarang tampil menghiasi layar kaca gara-gara terlibat dalam “Petisi 50”.

Karena itu pulalah, namanya masuk daftar hitam pemerintahan orde baru. Anggota band-nya dicekal ke luar negeri maupun tampil di depan khalayak umum. Hoegeng bahkan dicekal untuk menghadiri peringatan HUT Bhayangkara yang digelar setiap 1 Juli.

(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: