Foto: tribunnews.com
Kantor berita Reuters pada 18 Maret 2010 mengutip dokumentasi Departemen luar negeri (Deplu) AS, sejak tahun 2003 negara itu aktif membiayai program kontraterorisme di sejumlah negara lewat Antiterorism Assistance Program (ATA). Dalam laporannya ke Kongres AS pada 2005, misalnya, ATA mengucurkan dana 5,4 juta dolar AS untuk Densus 88.
Atas Nama Kedaulatan
Sebagai negara yang telah mendapatkan kedaulatan secara penuh, Indonesia bergabung ke dalam keanggotaan PBB pada tahun 1950. Tepatnya pada tanggal 27 September 1950, Majelis Umum PBB menerima Indonesia sebagai anggota PBB. Pada tahun 1955, Indonesia kembali menegaskan kiprahnya dalam percaturan internasional dengan memprakarsai lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA), bersama Burma, India, Pakistan dan Sri Lanka. Selain sebagai pemrakarsa Indonesia juga berlaku sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika yang dilangsungkan di Bandung pada tanggal 18 sampai 25 April 1955.
Indonesia yang tidak ingin larut dalam pertikaian blok barat-blok timur, turut serta sebagai salah satu negara penggagas Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Non Blok (KTT Non Blok). Dan pada tahun 1961 diselenggarakan KTT Non Blok yang pertama di Beograd, Yugoslavia. KTT tersebut dihadiri oleh beberapa negara berkembang yang tidak melibatkan diri sebagai negara pendukung blok timur maupun blok barat.
Ketika konfrontasi dengan Indonesia – Malaysia berlangsung, secara mengejutkan negara Malaysia dicalonkan sebagai anggota tidak tetap Dewan keamanan PBB. Indonesia bersikukuh tidak menyetujui pencalonan itu. Bung karno menyatakan ketidak sepakatanannya atas pencalonan Malaysia. Pernyataan Presiden kita ini disertai ancaman akan hengkang dari PBB jika Malaysia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan keamanan PBB. Seminggu setelah itu, Malaysia akhirnya benar-benar terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan keamanan PBB. Dalam menyikapi kenyataan ini, pada rapat umum Anti Pangkalan Militer Asing di Jakarta, Presiden republik Indonesia saat itu, Bung karno menyatakan Indonesia keluar dari Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) sejak tanggal 20 Januari 1965.
Indonesia tidak hanya keluar dari PBB. Lebih dari itu, Presiden Soekarno membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces/ Conefo) sebagai alternatif persatuan bangsa-bangsa selain PBB. Konferensi ini sedianya dierncanakan akan digelar akhir tahun 1966. Langkah tegas dan berani ini langsung mendapat dukungan banyak negara, khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Bahkan sebagian Eropa juga mendukung.
Sebagai tandingan Olimpiade, Bung Karno bahkan menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada tangal 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Teror Itu Apa?
Novelis Ceko, Milan Kundera menyatakan bahwa sejarah teror dan kekuasaan itu “seumur” homo-sapiens. Sejarah mencatat istilah teror pertama kali muncul dalam “Teror Cimbricus”, sebuh pernyataan darurat oleh Bangsa Romawi atas serangan Bangsa Cimbri pada tahun 105 sebelum Masehi. Kisah inilah yang menjadi acuan William Safire (seorang kolumnis New York Times yang beraliran konservatif) merumuskan akar bahasa teror berasal dari bahasa Latin “terrere” yang berarti menakut-nakuti. Kata teror kembali menyeruak pada zaman Revolusi Prancis. Peristiwa ini menjadi dasar pendapat bahwa kata Terorisme sendiri berasal dari Bahasa Prancis le terreur yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang melakukan tindakan brutal dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Di akhir abad ke-19, awal abad ke-20 dan menjelang PD-II, terorisme menjadi ‘teknik perjuangan’ revolusi.
Akan tetapi, istilah terorisme pada dekade 1970-an menunjuk fenomena yang beragam, dari ledakan bom di tempat-tempat publik sampai dengan kemiskinan dan kelaparan. Beberapa pemerintahan menambatkan stigma kepada lawan-lawan politik mereka sebagai ”teroris”. Istilah ”terorisme” jelas berkonotasi peyoratif, seperti istilah ”genosida” atau ”tirani”. Karena itulah, istilah ini sangat rentan untuk dipolitisasi.
Dalam rumusan Departemen Pertahanan AS pada tahun 1990, terorisme didefinisikan sebagai penggunaan ancaman yang tidak resmi dari sebuah kekuatan atau kekerasan terhadap individu-individu atau harta benda (property), bersifat memaksa dan mengintimidasi pemerintahan atau masyarakat, dalam rangka meraih tujuan politik, agama atau ideologi.
Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Indonesia dikenal sebagai negara yang rentan menjadi sasaran aksi-aksi terorisme. Pengeboman Bali 2002 merupakan salah satu pengalaman pertama Indonesia memburu terorisme. Berbagai aksi teror sampai pengeboman di kedutaan Australia di Kuningan hingga pengeboman di dua hotel Internasional, JW Marriot dan Ritz Carlton. Dan yang terbaru insiden Sarinah.
Akibatnya banyak negara yang menerbitkan travel warning ke Indonesia, salah satu yang paling rajin adalah Amerika, Belanda, Inggris dan sedikit negara di Asia melakukan hal serupa. Indonesia juga ditengarai sebagai salah satu sarang terorisme yang merupakan transnational organized crime yang ada di Asia Tenggara.
Dipandang dari sudut kemanusiaan, kita semua sepakat bahwa aksi terorisme adalah perbuatan terkutuk. Namun, kendati semua orang sepakat mengutuk aksi terorisme, ternyata sampai saat ini manusia tetap gagal merumuskan sebuah definisi tegas tentang apa yang disebut dengan “terorisme.” Banyak versi didendangkan untuk berapologi, tapi sejatinya hanya ada satu penyebab: bahwa ‘aksi terorisme’ itu ternyata lebih didekati dari sudut kepentingan politik masing-masing negara, bukan dianggap sebagai masalah kemanusiaan bersama.
Dalam konteks kepentingan politik inilah, kata terorisme telah digunakan secara inkonsisten dan manipulatif. Terorisme menjadi kata yang melegalkan aksi-aksi militer AS dan sekutunya, yang meliputi invasi, penyiksaan, penahanan tanpa proses pengadilan, serangan udara, dan bahkan pembunuhan terhadap warga sipil yang dituduh teroris.
Sudah jamak diketaui, bahwa corak politik luar negeri pemerintahan SBY dianggap tidak mencerminkan kedaulatan politik, kepentingan nasional kerap dikalahkan oleh kepentingan internasional atas nama solidaritas, pencitraan dan hubungan baik dengan negara-negara sahabat. ‘Thousand friends zero enemy’, dengan slogan inilah layar politik luar negeri terkembang.
Sedangkan asas politik luar negeri Indonesia yang ‘Bebas Aktif’ pertama kali dikemukakan oleh Mohammad Hatta dalam keterangannya di depan badan pekerja ‘Komite Nasional Indonesia Pusat’ (KNIP) pada 2 September 1948. Menurutnya, tujuan politik luar negeri Indonesia, antara lain : mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan negara, memperoleh barang-barang yang diperlukan dari luar negeri untuk memperbesar kemakmuran rakyat, meningkatkan perdamaian internasional, meningkatkan persaudaraan dengan semua bangsa.
Bagaimana halnya dengan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia hari ini?, politik luar negeri pada dasarnya adalah cerminan dari politik dalam negeri. Jika politik dalam negerinya kacau, bisa dipastikan kebijakan politik luar negerinya akan kacau dan tidak terarah.
Secara simbolik, pemerintahan Jokowi sebenarnya telah memulai era baru politik luar negeri pasca SBY. Hal ini ditandai dengan pembelian Kapal Perang KRI yang diberi nama KRI Harun-usman, dua nama pahlawan nasional yang dihukum gantung di Singapura. Setelah dilantik menjadi Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi juga menegaskan “Implementasi Trisakti yang terpenting untuk urusan luar negeri adalah membuat Indonesia berdaulat secara politik”.
Melihat kentalnya motif politik dan ekonomi yang mendasari isu teror(isme), menegakkan prinsip bebas aktif seperti yang telah diikrarkan Jokowi dengan lebih menekankan skala prioritas pada kepentingan nasional di atas desakan kepentingan-kepentingan modal internasional merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah.
(Reuters/Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email