“… Di tahun 1965 hingga 1966, Soekarno masih dekat dengan rakyat, masih dielu-elukan rakyat. Untuk meraih kekuasaan selain secara politis, maka sejarah tentang Soekarno juga harus direduksi atau di de-Soekarnoisasi,” (Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI)
Harian KOMPAS yang terbit tanggal 22 Juni 1970, menggambarkan Kota Blitar yang kecil dan sederhana mendadak sontak menjadi penuh sesak oleh manusia. Orang-orang dari berbagai daerah datang dengan menggunakan mobil, truk, angkutan umum, sepeda motor, sepeda bahkan berjalan kaki untuk menyaksikan pemakaman Soekarno.
Setelah Soekarno wafat, represi terhadap hal-hal yang berbau Soekarno justru semakin meningkat. Pada awal dekade 1970-an, diskusi tentang Bung Karno sangat dibatasi. Sebuah larangan tak resmi diberlakukan terhadap publikasi tulisan-tulisan politik Bung Karno. Nama presiden pertama Indonesia ini jarang, atau bahkan tidak pernah sama sekali, disebut-sebut oleh unsur-unsur rezim Orde Baru
Praktik itu merupakan kontinum dari politik yang dijalankan Orde Baru pada saat-saat sebelumnya. Konsolidasi politik pasca-G30S/1965 bukan hanya dilakukan dengan membersihkan tubuh birokrasi dan militer dari unsur-unsur Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya, namun juga dari unsur-unsur Soekarnois. Amputasi politik dalam skala masif dialami kalangan loyalis Soekarno di berbagai tingkatan birokrasi dan militer. Ada yang sekadar digeser posisinya, dipecat, dipenjarakan, bahkan ada yang turut dilenyapkan dalam huru-hara politik yang penuh darah itu.
De-Soekarnoisasi
Rezim Orde Baru melancarkan praktek-praktek delegitimasi terhadap pihak-pihak yang berpotensi menjadi lawan politiknya dengan memproduksi dan memanipulasi wacana-wacana resmi, yang difungsikan sebagai sarana produksi kebenaran “versi” negara. Representasi wacana resmi ini berupa buku teks pendidikan, surat-kabar, majalah, jurnal, buku putih dan film yang diproduksi instansi-instansi pemerintah.
Pada masa-masa awal kekuasaannya, rezim Orde Baru yang dinahkodai Presiden Soeharto mengetahui secara pasti bahwa sosok Soekarno masih melekat di hati rakyat Indonesia. Orde Baru secara perlahan mereduksi peran dan jasa besar Soekarno.
Upaya Soeharto ‘menepikan’ Soekarno dari hati dan ingatan rakyat Indonesia sangat masif dilakukan, sejarahpun diputar-balikkan, ditambahi dan diubah demi menjauhkan sosok Soekarno dari hati rakyat Indonesia.
Bahkan nama Soekarno mulai dijauhkan dari berbagai tempat atau bangunan di Indonesia. Misalnya, Stadion Gelora Bung Karno diubah menjadi Stadion Utama Senayan, kota Soekarnopura (sebelumnya bernama Hollandia) diubah namanya menjadi Jayapura, dan Puncak Soekarno diubah namanya menjadi Puncak Jaya. Selain itu, pada saat Soekarno meninggal, keinginannya untuk dikebumikan di Istana Batu Tulis, Bogor, tidak dipenuhi oleh pemerintah. Sebaliknya, Soekarno dikebumikan di Blitar, tempat tinggal kedua orang tua beserta kakaknya, Ibu Wardojo.
Soekarno sebagai dramatic-person dalam memori kolektif bangsa Indonesia seakan-akan menjadi hantu yang membuat penguasa Orde Baru tak pernah tidur nyenyak.
Upaya lebih sistematis dilakuakan dengan menciptakan sejarah-sejarah yang bersifat ideologis dalam rangka mencuci otak masyarakat awam serta untuk mencekoki korps militer agar spirit korps mereka tetap terjaga dan kepercayaan diri mereka tetap tinggi.
Reproduksi masa lalu atau lazim disebut sejarah juga menjadi elemen yang amat penting pada penegakan pemerintahan Soeharto. Bagi kekuasaan yang hegemonik dan totaliter sejarah amat berguna untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Dalam konteks ini, Soeharto dan Orde Baru banyak berhutang budi kepada Nugroho Notosusanto.
Salah satu fase penting ini adalah artikel berjudul “Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara” di Sinar Harapan, 3 Agustus 1981. Artikel ini ditulis Nugroho Notosusanto yang ketika itu sebagai Kepala Pusat Sejarah Militer ABRI.
Dalam artikelnya, Nugroho menyatakan Soekarno bukan orang pertama yang merumuskan lima prinsip Pancasila. Menurut Nugroho, perumus utama Pancasila adalah Muhammad Yamin, Supomo, baru kemudian Soekarno. Peran Soekarno hanyalah dalam hal memunculkan istilah Pancasila. Bertolak dari premis ini, Nugroho juga menggugat keabsahan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila.
Upaya rekayasa sejarah nasional yang dilakukan Orde Baru telah berlangsung sejak awal berdirinya rezim hingga berakhirnya kekuasaan Soeharto. Dalam konteks ini, Nugroho Notosusanto dan Pusat Sejarah ABRI sangat berperan besar.
Terdapat tiga proyek utama Nugroho Notosusanto, pertama, sejarah percobaan kudeta 1965. Kedua, de-Soekarnoisasi dengan melahirkan “teori baru” tentang lahirnya Pancasila. Dan ketiga, mengangkat citra militer, salah satu caranya dengan menyusun Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Selain itu juga dibangun beberapa museum dan monumen bersejarah yang dijadikan penyangga kekeuasaan orde baru, beberapa film juga diproduksi untuk menggiring opini publik.
Pada tahun 1970, peringatan Hari Lahirnya Pancasila dilarang oleh Kopkamtib. Sejak tahun itu hingga tahun 2010, tanggal 1 Juni tidak lagi diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
Sebelumnya, melalui SK Presiden Nomor 153/1967 tanggal 27 September 1967, Soeharto menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Hari Kesaktian Pancasila mengacu pada keberhasilan tentara yang dipimpin Soeharto untuk menggagalkan G.30 S, sebuah peristiwa yang kemudian dijadikan dalih oleh Soeharto dan kekeuatan tentara untuk membasmi PKI dan menggulung kekuasaan Soekarno.
Pada tahun 1971, Nugroho Notosusanto, memulai proyek mengaburkan keterkaitan antara Bung Karno dan Pancasila. Melalui buku berjudul “Naskah Proklamasi Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik (Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan dan Keamanan, 1971), Nugroho mengklaim ada empat rumusan tentang Pancasila, yaitu pidato Muhamad Yamin (29 Mei 1945), pidato Soekarno (1 Juni 1945), hasil kerja Tim Sembilan yang disebut ‘Piagam Jakarta’ (22 Juni 1945), dan Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 (18 Agustus 1945). Bagi Nugroho, rumusan Pancasila yang paling otentik adalah rumusan tanggal 18 Agustus 1945 karena Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dilahirkan secara sah pada tanggal 18 Agustus 1945.
Pada tahun 1984, terbitlah “Pejuang dan Prajurit”, buku yang disunting oleh Nugroho Notosusanto. Selain isinya yang cenderung menafikan jasa Soekarno dalam revolusi kemerdekaan Indonesia, yang menarik dari buku yang diterbitkan oleh Sinar Harapan itu menampilkan foto proklamasi kemerdekaan tanpa menampakkan wajah Soekarno, sebagai Prokalamator dalam pengibaran bendera Merah Putih pada tanggal 17 Agustus 1945, yang tampak hanya wajah Bung Hatta.
Cikal-bakal Militerisasi Sejarah
Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, berpandangan bahwa Nasutionlah yang telah memulai “proyek besar” yang kemudian dilanjutkan Nugroho Notosusanto. Walaupun upaya Nugroho lebih sistematis dalam merumuskan militerisasi pendidikan sejarah Indonesia di sekolah-sekolah pada masa Orde Baru, akan tetapi sebenarnya Jenderal Nasutionlah peletak dasar-dasar fundamentalnya.
Bukan sekedar merumuskan legitimasi historis peran militer, akan tetapi Nasution juga telah merumuskan secara konseptual legitimasi konstitusional bagi tentara dalam pentas politik nasional. Sejarah merupakan bagian taidak terpisahkan dari desain militer dalam meraih kekuasaan.
Tanggal 17 Oktober 1952 merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting bagi kehidupan dan karier Nasution maupun bagi sejarah militer Indonesia. Ketika itu meriam tertuju ke istana. Militer meminta kepada Presiden Sukarno untuk membubarkan parlemen.
Setelah peristiwa ini, Nasution dinonaktifkan sebagai KASAD sampai tahun 1955. Selama tiga tahun digunakannya untuk menulis sejarah dan merenungkan posisi yang pas bagi ABRI.
Periode ini bisa dilihat sebagai moratorium, masa yang penting untuk pematangan identitas, ia keluar dari era ini dengan persepsi tentang politik, konstitusi dan cara menghadapi Bung Karno yang berbeda. Dalam tiga tahun itu, ia menulis beberapa buku Pokok-Pokok Perang Gerilya, Catatan tentang TNI dan outline Sekitar Perang Kemerdekaan yang 11 jilid itu.
Nasution melihat bahwa peran militer dalam perpolitikan nasional harus memiliki dasar hukum yang kuat dan ia melihat bahwa itu terdapat dalam konstitusi yaitu dengan diakuinya golongan fungsional. Militer termasuk golongan fungsional tersebut pada Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu Nasution paling gigih mengusahakan agar dapat dilakukan pemberlakuan konstitusi tersebut yang akhirnya memang diputuskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Nasution juga melakukan serangkaian tindakan strategis lainnya seperti merumuskan konsep politik tentara yang disebutnya sebagai Konsep Jalan Tengah. Tentara tidak melakukan kudeta junta militer dan kemudian memerintah seperti di Amerika Latin tetapi juga tidak seperti di Eropa Barat, tentara tinggal di barak sebagai alat kekuasaan pemerintah sipil. Konsep Jalan Tengah ini yang kemudian menjadi inti dari Dwifungsi ABRI.
(Empat-Pilar-MPR/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email