Pesan Rahbar

Home » » Menggapai Langit, Masa Depan Anak: Pengantar Penerbit

Menggapai Langit, Masa Depan Anak: Pengantar Penerbit

Written By Unknown on Monday 10 October 2016 | 19:54:00


“Tapi ayah..., siapa yang kan membelaiku saat Engkau syahid nanti?” tanya lirih Sukainah kepada ayahnya, al-Husain bin Ali, putera Fathimah, puteri Rasulullah saww, menjelang pembantaian besar-besaran keluarga suci Nabi saww, pada 10 Muharam 61 H. Sebuah pembantaian paling tragis dalam sejarah yang menggoreskan luka teramat dalam bagi anak-anak kecil para syuhada yang kalau bukan lantaran ketegaran Zainab, adik al-Husain, telah terhina dan merana.

Ya, anak-anak kecil ibarat anak-anak merpati yang senantiasa mendambakan keteduhan kedua sayap induknya. Sayap ketegaran dan perlindungan ayahandanya serta sayap kelembutan dan kasih sayang ibundanya. Rumah tangga yang memiliki kedua sayap tersebut dapat diharapkan menggapai keluarga sakinah, seperti kata orang. Namun, ini masih biasa saja. Yang luar biasa adalah manakala salah satu sayap tersebut patah, dan digantikan oleh sayap yang satunya. Seorang ibu memainkan dua peran sekaligus, sebagai seorang ibu dan sebagai seorang ayah.

Keadaannya memang bertambah sulit, lantaran, secara fitrah, si ibu akan mengalami guncangan dahsyat atas kematian suaminya. Si anak pun akan mengalami guncangan serupa, tentunya dengan kesiapan mental yang jauh lebih minim untuk menerima kenyataan itu. Apalagi, bila ia belum memahami makna dan hakikat kematian. Belum lagi, kalau si anak mengalami kekurangan-kekurangan, baik secara fisik maupun psikis. Di samping itu, peran-ganda sebagai suami, di antaranya mencari penghidupan sehari-hari, akan banyak menyita waktu sang ibu, sehingga sempit kesempatan baginya untuk mendidik si anak.

Kendatipun demikian, apakah langit masa depan telah tertutup bagi keluarga yang mengalami nestapa seperti itu? Ataukah, itu merupakan tantangan yang akan melambungkan sang ibu dan anak tersebut pada puncak tertinggi nilai kemanusiaannya? Jawaban atas pertanyaan tersebut, dapat Anda telusuri dalam lembar demi lembar buku ini. Dengan gaya bahasa yang lugas, penulis memaparkan secara rinci kendala dan tantangan yang akan dihadapi keluarga yang berada dalam keadaan “tidak normal” tersebut. Juga, cara pemecahan dan penanganannya. Buku ini layak untuk dinikmati bukan hanya oleh mereka yang mengalami keadaan itu, namun, juga Anda. Selamat menikmati!

Bogar, Juli 2002
Penerbit CAHAYA


Pengantar Penulis

Sekarang kita hidup di masa yang penuh dengan problema dan kesulitan; masa di mana nilai-nilai lahiriah kebatilan menundukkan nilai-nilai moral dan maknawiah.

Pukulan dan serangan gencar yang lakukan berbagai organisasi dan orang-orang keji di dunia ini, dengan meng- gunakan alat-alat temuan dan ciptaan para cendekiawannya yang tak punya keimanan dan suka menginjak-injak nilai-nilai moral, telah menimbulkan gonjang-ganjing yang hebat dalam kehidupan umat manusia. Mereka memaksa orang-orang yang ingin hidup secara manusiawi serta senantiasa menjaga ke- merdekaan dan kemulian dirinya, untuk tunduk dan bersimpuh di kaki mereka.

Ya, orang-orang arogan ini, seraya menyingkap wajahnya yang buruk dan mengerikan di hadapan orang-orang lemah dan tertindas, berusaha membelenggu orang-orang yang tulus dan berjiwa bersih. Jelas, kondisi semacam ini akan menggiring orang-rang yang baik dan mulia, bebas dan merdeka, ke jurang kehancuran dan lumat dalam cengkeraman para penindas.

Para arogan di masa kita ini, merasa kewalahan dalam menghadapi gerakan penuntut kebebasan yang dilakukan berbagai bangsa dan masyarakat dunia, dengan dipimpin pribadi-pribadi mulia yang tersadar dari tidurnya kemudian bangkit menuntut hak-haknya. Demi membungkam teriakan penuntut kebebasan, menundukkan mereka, mematahkan perlawanan mereka, serta memaksa mereka meninggalkan keyakinan dan agamanya, para arogan tersebut menggunakan berbagai sarana dan perlengkapan yang dimiliki.

Mereka membuat kekacauan di sana-sini dan menyulut keguncangan hidup bangsa-bangsa yang menuntut keadilan; mendorong sekelompok orang melakukan kudeta, mem-berlakukan embargo ekonomi, atau menghalang-halangi masuknya makanan dan obat-obatan ke masyarakat yang sedang kelaparan dan kesakitan. Lebih kejam dari ini, mereka menciptakan perpecahan dalam tubuh bangsa dan masyarakat korbannya, seraya memerintahkan antek-anteknya untuk menghujani kaum yang tertindas dan teraniaya dengan bom dan peluru, membumihanguskan kawasannya, serta memaksakan peperangan yang tidak seimbang.

Ya, mereka sama sekali tidak malu untuk menumpahkan darah orang-orang yang tidak bersalah; melakukan pembantaian, pembuhan, dan berbagai aksi teror. Mereka tak akan segan-segan membantai anak-anak, orang-orang renta, para wanita, dan orang-orang sakit. Bahkan, mereka tega tega mengubur mereka hidup-hidup. Namun, ironisnya di negaranya sendiri, mereka malah membangun poliklinik untuk bintang piaraannya seraya membahanakan slogan perlindungan hak-hak asasi manusia.

Peperangan yang dikobarkan para arogan Barat dan Timur lewat antek-antek dan kaki tangannya terhadap negara kirta yang telah bernaung di bawah panji kemenangan revolusi Islam, merupakan bukti nyata asas ketidakjantanan, fanatisme, dan kelicikan mereka. Namun, kita ternyata mampu melawan dan menghadapi segenap bentuk rongrongan itu. Tugas kita di masa ini adalah berdiri tegak menghadapi musuh, menjaga nilai-nilai kemanusiaan, serta mempertahankan kehormatan dan harga diri. Jelas, perlawanan kita itu dimaksudkan demi menyadarkan bangsa-bangsa yang tertindas sekaligus menjadi pelajaran dan peringatan keras bagi para arogan tersebut.

Berkenaan dengan peperangan ini, khususnya terhadap bentuk perlawanan serta kerugian dan keuntungan yang mungkin muncul darinya, tentu diperlukan pembahasan dan pengkajian tersendiri. Adapun hasil positif dari peperangan di antaranya:
1. Membangunkan dan menyadarkan bangsa-bangsa yang selama bertahun-tahun terbuai dalam tidurnya, lalai, dan tidak sadar.
2. Menghidupkan semangat dan pemikiran agarna, khususnya pemikiran ahlulbait serta demi menjaga dan memelihara ajaran Islam nan suci.
3. Melatih diri dan berusaha memiliki keahlian serta kecakapan dalam mempertahankan kehormatan, ke- muliaan, dan nilai-nilai kemanusiaan.
4. Membebaskan diri dari ketakutan dan kepengecutan, serta menumbuhkan keberanian dalam menghadapi musuh dan para agresor bersenjata.
5. Membela dan mempertahankan hasil-hasil revolusi yang diraih lewat pengorbanan jiwa dan raga manusia-manusia suci.
6. Menyampaikan pelajaran secara praktis kepada kaum tertindas di seluruh permukaan bumi ini agar bangkit me- rebut kembali hak-haknya.
7. Membuktikan agama bukan sebagai candu masyarakat, melainkan sebagai faktor terpenting dalam mempertahan- kan kelangsungan hidup masyarakat.
8. Memacu semangat berpikir untuk menyingkap, menemukan, dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia.
9. Membangkitkan semangat al-Husain dan menjadikan peristiwa ‘Asyura sebagai teladan dalam perjuangan merebut dan mempertahankan hak-hak.

Di samping berbagai keberhasilan tersebut, kita juga telah kehilangan orang-orang suci nan mulia. Sampai detik ini, dampak dari kepergian mereka sungguh masih tetap dirasakan dalam kehidupan masyarakat. Ya, sosok besar mereka sungguh tak mudah tergantikan oleh siapapun.

Kini kita dan keluarga mereka tengah duduk bersimpuh dan bersedih atas kepergian mereka yang senantiasa dipenuhi semangat membara untuk melawan para musuh. Anak-anak mereka yang mulia dan kini tengah berada di samping kita, merupakan peninggalan yang amat berharga. Karena itu, mereka harus mendapatkan bimbingan dan perawatan yang layak agar kelak tumbuh menjadi pemegang kendali masyarakat.

Kita harus memiliki pengetahuan dan informasi yang memadai tentang anak-anak ini, dari berbagai sisi kehidupannya. Sekaligus pula tentang kesulitan dan problema yang mereka hadapi, pola pendidikan serta sikap yang diambil kaum ibu dan para pendidiknya. Topik yang akan kita bahas dalam buku ini berkaitan erat dengan tugas masyarakat, para penanggung jawab, dan pemerintah terhadap nasib anak-anak ini.

Dalam pada itu, kami menukilkan sejumlah pandangan dan pendapat para psikolog dan pakar pendidikan anak-anak syuhada. Itu dimaksudkan untuk mengkaji, memahami, dan membahas berbagai sisi kehidupan, kondisi jasmani dan ruhani, sikap dan perilaku, serta aktivitas dan harapan mereka (anak- anak syuhada). Seraya itu, kami memaparkan pula berbagai metode dan cara yang dapat digunakan dalam upaya mendidik dan membangun kepribadian mereka.

Di satu sisi, pembahasan ini dilakukan demi menjalankan perintah Imam Khomeini. Dan di sisi yang lain demi memasok informasi dan pengetahuan yang memang amat dibutuhkan keluarga syuhada itu sendiri. Perlu diperhatikan bahwa pendidikan anak-anak syuhada merupakan tugas teramat penting dalam kehidupan kita sekarang ini. Bahkan menjadi tugas seluruh umat manusia yang detak jantungnya telah didedikasikan demi keabadian dan keberlangsungan ajaran Islam. Imam Khomeini mengharapkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam membangun kepribadian mereka untuk menjadikan mereka sebagai penerus dan pengendali masyarakat Islam di masa depan.

Dalam hal ini, kami menelaah sejumlah buku yang bermanfaat seputar pendidikan, psikologi, kriminologi, hukum, dan sosiologi. Tentunya kami juga merujuk kepada sejumlah sumber dan literatur Islam. Selain itu, kami juga mengumpulkan banyak informasi lewat kajian langsung terhadap pelbagai naskah-naskah lepas atau wawancara langsung.

Topik utama pmbahasan kali ini kaitan dengan sosok ibu. Ya, sosok ibu memiliki peran yang cukup penting dan menentukan dalam proses pembimbingan dan pembangunan kepribadian sang anak pascakematian suami. Kami amat menekankan persoalan di mana kaum ibu pascakematian suami memiliki dua tugas yang amat penting; keibuan dan juga kebapakan. Kemampuan menggabungkan dan menjalankan kedua tugas ini dengan baik dan benar, harus dimiliki para isteri syuhada.

Dalam pembahasan ini, kami lebih memfokuskan tugas kaum ibu. Sebab, mereka memang dibebani tugas untuk menutupi kekurangan yang ada dalam keluarga akibat kematian suami. Sosok ibu merupakan dunia anak. Harapan dan angan-angan sang anak amat bergantung pada kehidupan ibunya. Pengetahuan anak tentang hakikat dunia, serta optimisme dan pesimismenya terhadap kehidupan di masa depan, amat bergantung pada sikap dan kepribadian sang ibu.

Bagi anak, ibu bak bidadari yang selalu siap menyelamatkan, mendukung, membela, dan melindunginya. Kasih sayang ibu amat bermanfaat bagi sang anak, sekalipun dirinya dalam keadaan lapar; perhatian ibu menerbitkan harapannya, sekalipun dirinya tak punya tempat berlindung. Ya, kehilangan sosok ibu akan menjadikan sang anak benar-benar yatim sekalipun ayahnya masih hidup.

Dalam buku ini, kami berusaha berdialog dengan kaum ibu seraya mengenalkan dan mengingatkan mereka tentang tugas berat dan sensitif yang barns dipikul pascakematian suami. Merupakan sebuah kebanggaan bagi seorang ibu tatkala dirinya―berdasarkan rancangan program, keimanan, dan ideologi yang benar―mampu merawat, membimbing, dan membina anak-anaknya dengan baik.

Sebagaimana biasa, buku kami ini menggunakan bahasa dan kata-kata yang mudah dicerna dan dipahami kaum ibu. Kami berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari penggunaan kata-kata atau istilah-istilah yang sulit dipahami. Namun, itu bukan berarti kami mengorbankan dan me-nyederhanakan makna hakiki kefilsafatan dan keilmiahan hanya demi menggunakan kata-kata mudah dan ringan. Sampai seberapa jauh keberhasilan kami dalam tulisan ini, kami serahkan sepenuhnya pada penilaian para pembacalah yang mulia.
Kami berharap kepada Tuhan yang Mahaagung agar para keluarga syuhada diberi ketabahan dan pahala yang melimpah ruah, serta keberhasilan dalam mendidik dan membina anak- anaknya yang merupakan warisan para syuhada yang mulia. Kami juga mengharapkan kebaikan bagi mereka yang melangkahkan kakinya demi kebaikan dan kebahagiaan umat Islam.

Teheran, Februari 1987
Dr. Ali Qaimi 

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: