Oleh: Amin Mudzakkir
Karena tahu dirinya bukan Jokowi, Ahok jarang atau bahkan tidak pernah blusukan ke kampung-kampung kumuh. Dia sadar hanya Jokowi yang pantas melakukan itu. Namun sebagai gantinya, dia membuat kebijakan yang diharapkan mampu mengentaskan kemiskinan di kampung-kampung kumuh itu. Dia kawal kebijakan sekeras mungkin agar tidak dibajak para maling anggaran.
Jokowi dan Ahok adalah contoh pemimpin yang otentik. Mereka pemimpin tulen yang bekerja tanpa dibuat-buat. Ketika blusukan, Jokowi pantas melakukannya karena dia memang berasal dari situ. Jokowi lahir dari kalangan biasa, sehingga tidak perlu polesan apa-apa ketika mau duduk setara di bangku reot bersama rakyatnya. Sementara itu Ahok lahir dari kalangan saudagar yang tidak bisa basa-basi. Dia omong apa adanya, “lu jual gue beli!”. Tidak ada pencitraan sama sekali.
Sebaliknya, pemimpin yang tidak otentik akan tampil seolah-olah mereka mencintai rakyat kecil dengan makan di warteg atau berdiri di samping bak dorongan sampah. Namun hasilnya konyol. Semua orang tahu itu adalah pura-pura. Untungnya (atau sialnya), selalu saja ada orang, bahkan banyak, yang lebih suka memilih pemimpin yang pura-pura asal satu agama.
Pemimpin yang otentik tidak anti-pencitraan, tetapi mereka melakukannya secara spontan. Pencitraan adalah akibat yang ditimbulkan, bukan sebab yang direncanakan. Mereka melap sepatunya sendiri karena memang kotor, bukan karena ingin dipuja-puji. Kalau setelahnya lahir simpati, itu adalah konsekuensi.
(suaraislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email