“Al-Jâmi’ al-Shahîh al-Musnad[1] dari hadits Rasulullah saw dan sunnah-sunnahnya dan kesehariannya.”[2]
Biografi
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail (wafat 194-256 H) yang telah sukses menyusun dan mengkodifikasi kitab hadits paling penting Ahlusunnah, lahir pada tahun 194 H di kota Bukhara dan ia menempuh pendidikannya di kota ini, beliau belajar hadits dari bapaknya dan ulama-ulama lain serta para ahli hadits kota Bukhara dan kota-kota yang bertetanggaan dengannya. Setelah ayahnya meninggal, untuk melanjutkan pendidikan dan demi menuntut ilmu pengetahuan ia berangkat menuju ke kota-kota ternama seperti Khurasan, Irak, Hijaz dan Syam.[3]
Beliau telah belajar hadits dari guru-guru dan para Syaikh semisal Abu Zar’ah, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Mu’in dan Ishaq bin Rahawaih, dan mengenai para Syaikh yang dia telah menukil hadits dari mereka disebutkan, “Saya telah bertemu dengan lebih dari seribu ahli hadits dan ulama-ulama hadits serta telah mempelajari ilmu mereka.”[4]
Akhirnya Bukhari setelah perjalanannya berkali-kali dalam mencari ilmu, meninggal dunia pada tahun 256 H di salah satu desa di Samarkand bernama Khartang.[5]
Motifasi Penyusunan Kitab Shahih Bukhari
Motifasi Bukhari menyusun dan menulis kitab ini adalah adanya keinginan untuk mengumpulkan dan mengoleksi hadits-hadits sahih Nabi saw di antara sekian banyak hadits-hadits yang diriwayatkan. Ibrahim bin Ma’qal al-Nasafi, salah satu murid dari Bukhari, memberikan gambaran tentang motifasi Bukhari menulis dan menyusun kitab ini seperti berikut:
«قَالَ أَبُو عبد الله مُحَمَّد بن إِسْمَاعِیل البُخَارِیّ کُنَّا عِنْد إِسْحَاق بن رَاهَوَیْه فَقَالَ لَو جمعتم کتابا مُخْتَصرا لصحیح سُنَّهُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَقع ذَلِک فِی قلبِی فَأخذت فِی جمع الْجَامِع الصَّحِیح»
Artinya, “Telah berkata Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari bahwa suatu ketika kami duduk-duduk bersama sang guru, Ishaq bin Rahawaih, lalu kemudian beliau berkata, “Seandainya kalian mengumpulkan dan mengoleksi serta menyusun sebuah buku ringkasan tentang hadits-hadits sahih Nabi Muhammad saw.” Ucapan ini pun mempengaruhi hati saya dan saya memulai mengumpulkan hadits-hadits sahih dan saya telah berhasil menyusun sebuah kitab bernama al-Jâmi’ al-Shahîh.”[6]
Ia juga mengatakan bahwa sebelum memasukkan setiap hadits di kitabnya, terlebih dahulu ia mandi dan menunaikan dua rakaat shalat.[7]
Ketika Bukhari menyelesaikan penyusunan kitabnya, ia memperlihatkannya ke sejumlah ulama-ulama dan para imam hadits kala itu semisal Ahmad bin Hanbal, Ali bin Madyani, Yahya bin Mu’in, dan beliau-beliau ini merasa senang serta memberikan pujian dan sanjungan terhadap kitab yang disusunnya dan juga membenarkan kesahihan dan kebenaran seluruh hadits-haditsnya, kecuali empat hadits.[8]
Kitab Shahîh Bukhârî
Kitab ini termasuk dan merupakan referensi dan sumber hadits pertama Ahlusunnah dimana disusun dalam sembilan bagian.
Pada bagian pertama, hadits-hadits dibagi secara pertema dalam beberapa bab: Bad’ul Wahy (Permulaan wahyu), Iman, Ilmu, Wudhu, Mandi, Haid, dan Shalat.
Pada bagian kedua, ketiga dan keempat, menyajikan bab-bab fikih.
Pada bagian kelima membahas tentang manâqib dan bagian keenam tentang penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, bagian ketujuh khusus membahas sebagian bab-bab fikih seperti bab nikah dan talak.
Pada bagian kedelapan, menyebutkan tentang riwayat-riwayat berkenaan dengan doa-doa dan sebagian persoalan-persoalan fikih dan pada bagian akhir dari kitab ini menjelaskan perihal ta’bir, fitnah, khabar ahad, berpegang teguh pada kitabullah dan sunnah, dan sebagai penutupnya, membahas masalah tauhid.
(Shahih Bukhari disusun dalam 97 kitab dan setiap kitab juga terdiri dari beberapa bab)
Bukhari untuk menyeleksi hadits-hadits sahih, punya parameter tersendiri yang lebih dikenal dengan nama “Syarat Bukhari”. Berdasarkan syarat-syarat itu ia menentukan dan menganggap sebuah hadits itu sahih dimana para ulama dan ahli hadits besar sepakat dengan ke-tsiqahan setiap perawi yang ada pada silsilah perawinya hingga sampai ke seorang sahabat masyhur dan juga dari segi sanad-nya bersambung dan tidak terputus.
Jumlah hadits Bukhari
Mengenai jumlah riwayat-riwayat yang ada dalam kitab Shahih Bukhari, para alim ulama dan ilmuan berbeda pandangan atau pendapat. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Hudâ al-Sârî Muqaddimah Fath al-Bârî telah menukil dari Ibnu Salâh bahwa jumlah hadits, baik yang diulang-ulang atau yang tidak, mencapai sekitar 7275 hadits dan ia sendiri berpendapat sekitar 7397 hadits. Begitupula Ibnu Salâh menganggap bahwa ada sekitar 4000 (empat ribu) hadits jika tidak dihitung pengulangan beberapa hadits.[9]
Syarah hadits Bukhari (80 syarah dan catatan kaki)
Berdasarkan pendapat Haji Khalifah dalam kitab Kasyf al-Zhunûn, kitab-kitab komentar (Syarah) terhadap Shahih Bukhari yang paling penting antara lain adalah:
1. Fath al-Bârî, fî Syarh Shahîh al-Bukhârî, Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani (wafat 852 H), sebanyak tiga belas jilid (13 jilid).
2. ‘Umdah al-Qârî, Badruddin al-‘Ainî (wafat 855 H), (bermazhab Hanafi), jumlah jilidnya sekitar 12 jilid yang terdiri dari 25 juz.
3. Irsyâd al-Syârî bi-Syarh Shâhîh al-Bukhârî, Ibnu Hajar Qasthalani (wafat 923), terdiri dari lima belas jilid (15 jilid).
Mustadrak
1. Al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhain, Abu Abdillah al-Hakim Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Hamdawaih bin Nu’aim bin al-Hakam al-Dhabi al-Thahmani al-Naisaburi, yang populer dengan sebutan Ibnu al-Bai’ (wafat 405 H), terdiri dari empat jilid (4 jilid).
2. Hidâyah al-Bârî Ilâ Tartîb Ahâdîts al-Bukhârî, Thahthawi, terdiri dari tiga jilid (3 jilid).
Cetakan-cetakan Kitab Shahih Bukhari
1. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 4 jilid, tanpa riset dan revisi;
2. Dâr Ibnu Katsîr, 6 jilid, dengan riset oleh Mushthafa Daib al-Naja;
3. Dâr al-Qalam, 8 jilid, dengan riset oleh Qasim Syamma’i;
4. Dâr al-Ma’rifah, 12 jilid.
5. Dâr al-Fikr, 5 jilid.
Kedudukan Shahih Bukhari di kalangan Ahlusunnah
Kitab hadits Shahih Bukhari memiliki kedudukan dan posisi sangat spesial di kalangan Muslim Ahlusunnah dimana ia dikenal sebagai rujukan setelah al-Qur’an dan merupakan kitab-kitab dan referensi paling sahih setelah al-Qur’an.[10] Juga disebutkan bahwa Bukhari adalah pelopor ilmu hadits dan seorang yang terdepan dalam bidang ini. Mazi dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl menggambarkan Bukhari seperti berikut:
«ابوعبد الله بن أبی الحسن البخاری الحافظ صاحب الصحیح إمام هذا الشأن والمقتدى به فیه والمعول على کتابه بین أهل الإسلام.»
Artinya, “Abu Abdillah bin Abi Hasan al-Bukhari al-Hafiz, penulis kitab Shahih, adalah pelopor ilmu hadits dan seorang yang terdepan dalam bidang ini. Kitab hadits beliau sangat dipercaya di kalangan umat Islam.”[11]
Ibnu Yusuf al-Farbari berkata:
«ابن یوسف الفربری یقول رأیت النبی صلى الله علیه وسلم فی النوم فقال لی: أین ترید؟ فقلت أرید: محمد بن إسماعیل البخاری، فقال: أقرأه منى السلام.»
Artinya, “Ibnu Yusuf al-Farbari berkata, “Suatu ketika saya memimpikan Rasulullah saw dan beliau bertanya kepada saya, “Mau kemana?” Saya jawab, “Saya ingin menemui Muhammad bin Ismail Bukhari.” Nabi saw bersabda, “Sampaikan salamku kepadanya.”[12]
Catatan Kaki:
[1] “Al-Hadîts al-Musnad, yakni Muttashil”, Nazhah al-Nazhar fî Taudhîh Nukhbah al-Fikr, Ibnu Hajar al-Asqalani, jilid 1, hal. 145.
[2] Muqaddimah Fath al-Bârî, Ibnu Hajar, hal. 6.
[3] Târîkh Madînah Dimasyq, jilid 52, hal. 50; Sair A’lâm al-Nubalâ, Dzahabi, jilid 12, hal. 392; Tadzkirah al-Huffâzh, Dzahabi, jilid 2, hal. 555.
[4] Târîkh Madînah Dimasyq, jilid 52, hal. 50; Sair A’lâm al-Nubalâ, Dzahabi, jilid 12, hal. 392; Tadzkirah al-Huffâzh, Dzahabi, jilid 2, hal. 555.
[5] Târîkh Madînah Dimasyq, jilid 52, hal. 56; al-Târîkh al-Shaghîr, Bukhari, jilid 2, hal. 367.
[6] Muqaddimah Fath al-Bârî, Ibnu Hajar, hal. 6.
[7] Târîkh Baghdâd, Khatib Baghdadi, jilid 2, hal. 10.
[8] Hudâ al-Sârî, Ibnu Hajar, hal. 16.
[9] Hudâ al-Sârî Muqaddimah Fath al-Bârî fî Syarh Shahîh al-Bukhârî, hal. 654 dan 657:
«قال الشیخ تقی الدین بن الصلاح فیما رویناه عنه فی علوم الحدیث عدد أحادیث صحیح البخاری سبعه آلاف ومائتان وخمسه وسبعون بالأحادیث المکرره قال وقیل إنما بإسقاط المکرر أربعه آلاف.»
[10] Terkait hal ini, Muqaddasi menyatakan:
«اصح الکتب بعد القرآن العزیز الصحیحان: البخاری و مسلم.»
Artinya, “Kitab paling sahih setelah al-Qur’an adalah kitab Hadits Bukhari dan Muslim.” (Silahkan merujuk Fath al-Bârî bi-Syarh Shahîh al-Bukhârî, Ibnu Hajar, jilid 1, hal. 5; Shahîh Muslim Bi-Syarh al-Nawawi, jilid 1, hal. 14).
[11] Tahdzîb al-Kamâl, al-Mazi, jilid 24, hal. 431.
[12] Târîkh Baghdâd, Khatib Baghdadi (wafat 463 H), jilid 2, hal. 10.
Juga, untuk informasi yang lebih banyak maka disarankan merujuk ke kitab-kitab seperti: Muqaddimah Fath al-Bârî, Ibnu Hajar, hal. 5; Ibid, hal. 490; Târîkh Baghdâd, Khatib Baghdadi (wafat 463 H), jilid 2, hal. 10; al-Qaul al-Sharâh fî Shahîh al-Bukhârî wa Shahîhih al-Jâmi’, Syaikh al-Syari’ah al-Ishbahânî, hal. 6.
(Shafei-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email