Pesan Rahbar

Home » » Tuhan Itu (tidak) Dapat Dilihat?

Tuhan Itu (tidak) Dapat Dilihat?

Written By Unknown on Friday, 6 January 2017 | 20:21:00


Abu Hanifah meyakini bahwa manusia tidak melakukan perbuatan berdasarkan kuasa dan kehendaknya. Pada suatu ketika, pendapatnya ini telah menjadi sebab terjadinya sebuah peristiwa. Bahlul merupakan seorang yang pandai dan seorang pemimpin. Ia adalah salah seorang sahabat Imam Ja‘far Sadiq As yang terkenal yang hidup hingga masa Imam ‘Ali Naqi As dan sempat berjumpa Imam Hasan Askari As.

Biasanya ia dipanggil sebagai Bahlul Majnun (Bahlul yang gila). Hal ini lantaran ia berpura-pura menjadi gila untuk menyelamatkan nyawanya dari tugas-tugas kehakiman yang ditawarkan Khalifah Harun al-Rasyid kepadanya.

Namun begitu dengan “kepintarannya ” itu, ia mengambil kesempatan dari perangai kegila-gilaannya dengan selalu menentang tokoh-tokoh besar pada zamannya (termasuk raja-raja) mengumbar kelemahan-kelemahan mereka sendiri.

Pada suatu ketika, ia terdengar Abu Hanifah, yang bermukim di Kufah, Iraq memberitahu para pengikutnya: “ Saya mendengar tiga perkara dari Imam Ja‘far Sadiq As yang menurut pendapat saya adalah salah. Para pengikutnya itu lalu bertanya mengenai perkara-perkara tersebut. Abu Hanifah pun berkata:

“Pertama, Imam Ja‘far Sadiq As berkata bahwa Allah Swt tidak dapat dilihat. Tetapi hal itu tidak benar. Seandainya sesuatu itu wujud, maka ia mesti dapat dilihat.”

“Kedua, beliau mengatakan bahwa syaitan akan disiksa dalam api neraka, tetapi hal itu mustahil berlaku kerana syaitan dijadikan dari api. Bagaimanakah api boleh mencelakakan seseorang yang materinya juga bersumber dari api?”

“Ketiga, beliau mengatakan perbuatan manusia dilakukan dengan kehendak dan kekuasaannya, dan manusia bertanggungjawab atasnya. Tetapi perkara itu tidak tepat karena semua perbuatan manusia dilakukan berdasarkan kehendak dan kekuasaan Allah, dan Allah yang sebenarnya bertanggungjawab atas perbuatan tersebut.”

Pada ketika para pengikutnya baru hendak memujinya, Bahlul mengambil segumpal tanah dan melontarkannya tepat ke arah Abu Hanifah. Gumpalan tanah itu tepat mengenai keningnya, lantas ia menjerit kesakitan. Para pengikutnya menangkap Bahlul lalu Abu Hanifah membawanya menemui Hakim.

Hakim (Qadi) mendengar aduan itu dan bertanya kepada Bahlul apakah tuduhan tersebut benar atau keliru.

Bahlul: “ Wahai Qadi! Abu Hanifah mengatakan ia mengalami sakit yang kuat di kepalanya kerana terkena lontaran gumpalan tanah. Tetapi saya berpendapat, dia berdusta. Saya tidak percaya kepadanya hingga saya melihat “ sakit ” itu sendiri.”

Abu Hanifah: “ Kamu benar-benar gila. Bagaimanakah aku dapat menunjukkan “ sakit ” kepadamu? Adakah sesiapa yang pernah melihat “ sakit ”?”

Bahlul: “Tetapi wahai Qadi! Tadi ia baru saja mengajarkan para pengikutnya, seandainya sesuatu itu memang wujud, ia mestilah boleh dilihat. Oleh kerana dia tidak dapat memperlihatkan “sakit” itu, saya anggap berdasarkan kepercayaannya sendiri, ia tidak sakit sama sekali.”

Abu Hanifah: “ Oh, sakitnya kepalaku!”

Bahlul: “ Wahai Qadi, ada satu perkara lagi. Ia juga memberitahu para pengikutnya bahwa karena syaitan dicipta dari api, maka api neraka tersebut tidak dapat mencelakakannya. Sekarang, manusia direka dari tanah seperti yang dinyatakan oleh al-Qur’an, sementara gumpalan tanah inilah yang mencederainya. Saya heran bagaimana ia boleh menuding gumpalan tanah itu dapat mencelakakan manusia yang juga diciptakan dari gumpalan tanah?”

Abu Hanifah: “Wahai Qadi, Bahlul ingin melepaskan dirinya dengan omong-omongnya itu. Tolonglah hajarlah ia karena telah mencelakaiku.”

Bahlul: “ Wahai Qadi, saya kira Abu Hanifah ternyata telah melakukan kesalahan dengan membawa saya ke mahkamah ini. Ia baru saja memberitahu segala perbuatan manusia adalah dilakukan oleh Allah dan Allahlah yang bertanggungjawab ke atas perbuatan-perbuatan mereka. Sekarang, kenapa ia membawa saya ke sini? Seandainya ia benar-benar sakit akibat terkena gumpalan tanah itu (dimana saya sendiri meragukan hal itu berdasarkan dalil-dalil yang telah dijelaskan), ia sepatutnya menuntut Allah yang mencederainya dengan melontar gumpalan tanah itu. Kenapa manusia yang tidak berdaya seperti saya dibawa ke mahkamah sementara semua perbuatan yang saya lakukan itu sebenarnya dilakukan oleh Allah? Mendengar timpalan Bahlul ini, Qadi pun membebaskannya.”

Dengan demikian Bahlul dapat mematahkan argumen-argumen Abu Hanifah yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu dapat dilihat dan juga bahwa manusia itu tidak bebas dalam melakukan perbuatan yang ia ingini.

(Wisdoms-4-All/Isyraq/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: