Oleh: Sayuthi Asyathri
Para ulama dan cendekiawan Islam yang mengacu pada sumber-sumber khasanah Ahlul Bait Nabi selalu memberikan perumpamaan pada para Nabi sebagai Dokter atau Tabib.
Hal itu didasarkan pada rujukan-rujukan hadist dan kesimpulan akan peran yang mereka jalankan, yakni sebagai dokter dan ummatnya sebagai pasien.
Ali Syariati dalam ceramahnya yang kemudian dibukukan dengan judul Wasiat atau Musyawarah (Yapi, 1989) menggambarkan kepemimpinan itu seperti seorang dokter ahli. Menurutnya, kualitas keahlian dan peran seorang dokter ahli tidak bisa dinilai oleh para pasien, sehingga bila sang dokter ahli berhalangan maka keputusan tentang siapa yang menggantikannya tidak bisa diserahkan pada hasil musyawarah para pasien di rumah sakit tersebut.
Karena mestinya yang menentukan siapa dokter penggantinya adalah dokter ahli yang bersangkutan sendiri atau para dokter ahli yang mengetahui dengan kompetensi keahlian dan keilmuan mereka tentang kualifikasi dokter seperti apa yang paling cocok untuk para pasien tersebut.
Gagasan yang dikembangkan Ali Syariati tersebut sebenarnya secara substansial sudah diakomodasi para Founding Fathers kita dalam sila ke 4 dari pancasila. Yakni, prinsip musyawarah/perwakilan sebagai salah satu pesan Qur’ani tentang pendekatan pemecahan masalah, termasuk penyiapan kepemimpinan nasional.
Dalam Pancasila, disebutkan bahwa “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” artinya, sama dengan gagasan Ali Syariati, bahwa keputusan keputusan dalam hal hal kerakyatan dilakukan oleh suatu sistem kepemimpinan para ahli yang memiliki kompetensi hikmat kebijaksanaan.
Tentu yang dimaksud dengan musyawarah mufakat dan sistem perwakilan itu dilaksanakan dalam suatu format demokrasi yang menjunjung tinggi hak hak demokrasi rakyat. Dan proses tersebut diselenggarakan berdasarkan prinsip keTuhanan YME, kemanusiaan yang adil dan beradab serta kepentingan nasional serta diselengarakan oleh suatu kepemimpinan yang berhikmat kebijaksanaan sehingga menjamin terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Secara umum prinsip tersebut telah dilaksanakan, tetapi sejarah menunjukkan bahwa mutu demokrasi kita paska amandemen konstitusi, telah berubah menjadi demokrasi prosedural. Demokrasi telah kehilangan substansinya, yakni fungsinya untuk menjamin terwujudnya Indonesia yang adil, makmur dan bermartabat.
Kemerosotan ini mestinya bisa diperbaiki melalui berbagai putusan politik yang paling mungkin. Antara lain melalui peneguhan sistem seleksi dan persiapan kepemimpinan sebelum memasuki tahapan pemilihan. Sistem penyiapan tersebut harus melalui semua tahapan dan kategori, baik pada level masyarakat sipil (civil society), political society maupun lingkungan penyelenggaraan negara (state society).
Sebenarnya dalam peraturan perundang undangan di bidang politik sudah diakomodir model seleksi tersebut, yakni melalui syarat-syarat calon yang didalamnya terdapat juga syarat kualifikasi utama antara lain bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, setia pada Pancasila sebagai Dasar Negara, UUD 45, cita-cita Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan kepada NKRI serta Pemerintah.
Tetapi, karena berkembangnya persepsi tentang lemahnya basis amanat dalam konstitusi, maka tidak ada pasal yang mengatur pelaksanaan syarat syarat tersebut secara otoritatif. Adapun KPU lebih membatasi pemenuhan syarat calon pada kecukupan syarat adminitrasi dan lain lain yang lebih terukur dalam pelaksanaan tanggungjawab wewenangnya.
Sebenarnya bila ada kemauan politik yang kuat dan berintegritas maka kelemahan tersebut bisa dibuat pengaturannya dalam ketentuan undang-undang. Tetapi yang terjadi adalah membesar-besarkan hambatan untuk melakukan terobosan tersebut antara lain dengan alasan kelemahan pada amanat konstitusi, sehingga menimbulkan bayangan kesulitan dan kerumitan.
Meskipun harus diakui bahwa untuk penyelesaian yang mendasar maka harus lebih ditegaskan dalam konstitusi, sementara konstitusi hasil amandemen sendiri dianggap sebagian kalangan telah berperan melemahkan bangunan sistem kepemimpinan berhikmat kebijaksanaan.
Kelemahan-kelemahan tersebut bisa dianggap serius, karena telah memerosotkan kehidupan nasional kita sehingga menimbulkan kecemasan atas masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demokrasi kita saat ini banyak dipengaruhi hasilnya oleh dukungan dana (terutama asing) dan peran media yang dikuasai oleh pemilik korporasi. Demokrasi menjadi liberal dan berada dalam kontrol mereka, sehingga terbuka peluang besar lahirnya kepemimpinan yang hanya melayani kepentingan mereka meskipun dengan taruhan merugikan dan mengancam kepentingan nasional.
Dan akibat pengaruh dan dukungan media yang ‘asing’ dalam demokrasi, maka kepemimpinan yang dihasilkan sering kali lebih berhasil ditujukan dan digiring untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang asing terhadap kepentingan nasional, ketimbang memenuhi kepentingan rakyat sendiri..
Mungkin karena merosotnya pemaknaan terhadap mutu kepemimpinan hikmat kebijaksanaan, sebagai refleksi merosotnya kehidupan nasional, maka perumpamaan tentang dokter ahli yang mengobati pasien juga kemudian ditafsirkan hanya sekedar keahlian profesional seseorang dalam pengobatan fisik. Tafsir tersebut tentu saja tidak keliru, karena tafsir disesuaikan dengan konteks pemaknaan yang berkembang di tengah masyarakat.
Hanya saja, dalam kesempatan penentuan kepemimpinan di daerah daerah saat ini, sebagai bagian dari pembentukkan sistem kepemimpinan nasional, kita berusaha memperbaiki pandangan masyarakat tentang makna kepemimpinan kepala daerah. Dimana, seorang gubernur bukan hanya pemimpin dalam pembangunan fisik, tetapi terutama berperan sebagai pemimpin dalam pemecahan masalah sosial dan kemanusiaan yang dihadapi oleh warga masyarakatnya.
Mungkin dalam konteks inilah kalangan agama dan budaya di Indonesia kini menyuarakan seruan dan aspirasi yang sangat tegas, bahwa kepemimpinan Kepala Daerah akan datang bukan hanya kepemimpinan profesional dan keahlian dalam soal soal teknis pembangunan, tetapi sebuah kepemimpinan berbasiskan nilai nilai (values based leadership) yakni yang berhikmat kebijaksanaan. Sebuah kepemimpinan yang diyakini, pasti tidak akan mengkhianati rakyatnya sendiri. Suatu kepemimpinan yang didalamnya selalu ada getaran kegetiran atas penderitaan rakyatnya yang tertindas dalam ketidadilan. Dan di dalam kepemimpinan itu juga pasti bersemi cinta pada tanah air, dan kesediaan berkorban untuk martabat dan kehormatan Ibu Pertiwi.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email