Siapa saja di Merdeka Copper Gold?
Dua anak usaha Merdeka, BSI punya izin 4.998 hektar dan PT. Damai Suksesindo 6.623 hektar.
Dalam dokumen sesuai standar JORC Code (sistem klasifikasi sumber daya mineral yang diterima dunia internasional) disebutkan, di bawah lapisan oksida tambang Tumpang Pitu terkandung sumber daya tembaga 19,28 miliar pound.
Jumlah itu, jauh lebih besar ketimbang kandungan tembaga di tambang Batu Hijau dan Elang Dodo Newmont hanya 6,3 miliar pound. Kandungan emas di tambang Merdeka diyakini lebih besar, sebanyak 28 juta Oz, Newmont 9,3 juta Oz.
Melimpahnya kekayaan terpendam di Tumpang Pitu ini lantaran area itu bagian busur magmatik Sunda Banda. Area itu memiliki variasi tipe mineral dominan, seperti disebutkan dalam dokumen “resource estimation of the Tujuh Bukit Project, Eastern Java, Indonesia” yang disusun H&SC.
Pemegang mayoritas saham Merdeka adalah PT. Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) dan PT. Provident Capital Indonesia. Dua perusahaan investasi ini didirikan Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaya.
Presiden komisaris Merdeka adalah Purnawirawan Jenderal (TNI) AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intilejen Negara (BIN). Sang anak, Rony N. Hendropriyono juga tertera dalam jajaran direksi, menjabat sebagai direktur yang membidangi tanggung jawab sosial dan lingkungan hidup serta hubungan komunitas.
Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid yang akrab dipanggil Yenny Wahid juga masuk dalam jajaran Merdeka. Putri kedua mantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (NU) dan Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid (alm) ini duduk di kursi dewan komisaris bersama A.M. Hendropriyono, Edwin Soeryadjaya dan Garibaldi “Boy” Thohir.
Edwin adalah pendiri Grup Saratoga sedangkan Boy adalah pendiri Adaro. Masuknya nama Yenny Wahid dinilai berkaitan dengan lokasi pertambangan Merdeka di Jatim, basis utama Nahdatul Ulama. Belakangan Yenny, mengundurkan diri.
Fokus Liputan: Tambang Emas Tumpang Pitu, Ancaman Kerusakan Pesisir dan Perairan (Bagian 1)
Kondisi muara Pulau Merah yang berwarna cokelat. Terlihat dalam gambar, bocah-bocah bermandikan lumpur. Foto diambil 16 Agustus 2016. (Foto: Pokmas Pariwisata Pulau Merah/ Yogi Turnando)
Seorang bocah lelaki sekitar tiga tahun melintas di depan kami. Rambut cepak hampir plontos. Tak beralas kaki. Kedua tangan mendekap dua botol bir kosong.
Kami tertawa melihat tingkahnya. Fitriyani menggoda bocah dengan bahasa Jawa logat Banyuwangi.
“Bolehkah meminta botol bir itu?” Tanpa jawaban, yang ditanya bergegas pergi.
Fitriyati, warga Pancer, dusun di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi. Dusun ini dikenal sebagai kampung nelayan. Nama dusun sendiri dari nama pengendali perahu, pancer.
Fitriyati, kelahiran 30 Desember 1990. Dia menemani kami jalan kaki menuju Pantai Pancer. Jarak rumah Fitri dengan bibir pantai cukup dekat. Di dusun ini, rumah-rumah berjajar rapat.
“Pantai ini dikenal dengan Mustika. Konon menurut cerita rakyat, dulu Nyai Roro Kidul pernah singgah ke sini. Sewaktu pulang, mustika ketinggalan,” katanya.
Oleh seorang warga Pancer, mustika dibuang ke laut, dengan harapan bisa kembali ke pemilik. “Barangkali itu juga jawaban mengapa dusun kami punya tradisi petik laut di setiap satu Suro.”
Tepat di seberang Pantai Mustika, ada pulau seluas sekitar tiga hektar. Jarak sekitar empat mil dari bibir pantai. Kata Fitri, pulau itu bernama Mustaka.
“Jadi, jika Pantai Watu Ulo di Jember itu sebagai tubuh ular, kepala ada di sini, di Pulau Mustaka. Setidaknya begitu menurut cerita rakyat yang pernah saya dengar,” ucap Fitri.
Posisi Pantai Pancer satu garis dengan Pantai Pulau Merah, hingga warga melirik bidang pariwisata. Jarak Dusun Pancer dengan pusat K Kota Banyuwangi sekitar 64 kilometer, arah Selatan.
Ke Pulau Merah, kira-kira 800 meter sebelum sampai tujuan, akan ada papan petunjuk menuju Pantai Pancer. Jarak antara Pancer dengan Pulau Merah sekitar 3,5 kilometer.
Pancer, harus bergegas mempersiapkan diri sebagai dusun wisata. Selain bentang alam mendukung, ajakan Pemerintah Banyuwangi, menganjurkan masyarakat untuk Gema Wisata.
Ironis, kala pemerintah daerah menggencarkan pariwisata, keindahan laut malah terancam tambang emas di Tumpang Pitu oleh PT Bumi Suksesindo (BSI), berizin dari pemerintah juga.
“Jika ikan sulit didapat, setidaknya masih ada harapan menggantungkan hidup pada pariwisata.”
Sepintas, ada nada putus asa dari ucapan Fitri. Mereka melawan tambang emas, tetapi sadar, lawan begitu tangguh. Warga berulang kali protes dan aksi menolak tambang, sampai terjadi amuk massa tetapi perusahaan tetap jalan.
Kami duduk di tepi Pantai Mustika, di bawah payung permanen yang dikelilingi kursi kayu buatan warga. Beberapa meja kursi lain tertata rapi di sana, juga dilengkapi payung peneduh.
Di dekat kami ada pohon berdiameter besar. Pohon-pohon di sana, juga pohon kelapa bertebaran, makin membuat Pantai Mustika Pancer, terlihat rindang.
Di depan kami, terhampar pasir putih. Bersih. Kontur pantai landai. Ombak tak terlalu besar hingga cukup aman pengunjung bermain di tepi pantai.
Suasana sekitar begitu indah. Angin semilir, udara segar. Keindahan alam ini ternyata tak sebahagia hati warga. Ada luka di balik semua keindahan ini.
“Lihat!” Telunjuk tangan kanan Fitri mengarah pada sebuah perbukitan di sisi Timur pantai Mustika Pancer.
“Itulah Gunung Tumpang Pitu, yang hendak dikeruk habis dan diambil emasnya. Setiap hari kami menatapnya. Dari sini, dari Dusun Pancer, tempat kami dilahirkan,” katanya.
Fitri khawatir, bila Tumpang Pitu dikeruk, mutu air bersih masyarakat bakal terancam. Belum lagi soal pembuangan limbah di laut akan berdampak pada pencaharian para nelayan Pancer. Dia juga khawatir kalau ada tsunami.
“Jika Tumpang Pitu rata, tak lagi menjulang, air laut bercampur limbah, bagaimana bila bencana tsunami datang? Bukan saya berharap tsunami. Saya hanya berpikir skenario terburuk. Jika tak ada Tumpang Pitu sebagai penahan alami, mau jadi apa orang-orang yang hidup di sini?”
Tumpang Pitu, dilihat dari Dusun Pancer. (Foto: Zuhana A Zuhro)
Kekhawatiran tsunami Fitri beralasan. Pada 3 Juni 1994, tsunami menghantam Pancer. “Sepuluh tahun sebelum terjadi tsunami di Aceh, dan tempat-tempat lain.”
Dusun Pancer, salah satu wilayah di Banyuwangi yang porak poranda ketika tsunami menghantam sekitar 22 tahun lalu. Warga menyebut sebagai tsunami Jumat Pon.
Saat itu, Fitri masih masih berusia tahun. Dia dan ibunya–saat itu mengandung adiknya–menyelamatkan diri ke atas, di Goa Macan. Mereka bersama masyarakat sekitar Dusun Pancer.
Ada sekitar 239 warga Pancer yang menjadi korban tsunami Jumat Pon. Ada tugu peringatan mengenang tragedi ini, hingga kini berdiri tegak di depan Balai Dusun Pancer.
Gempa 7 skala Richter dan intensitas gempa VIII MMI tak hanya menimbulkan bencana di Pancer. Beberapa wilayah pesisir pantai seperti Rajegwesi, Lampon, Gerangan, Pulau Merah, Pulau Sempu, Grajagan, Teluk Hijau, Sukamade, Watu Ulo, Teluk Sipelori dan Teluk Tambakan juga mengalami hal sama. Porak poranda.
Dampak tsunami mencapai Pantai Banyuwangi, Jember, Malang, Blitar, hingga Pacitan.
“Jika nanti ada tsunami, kami tak bisa membayangkan bagaimana efeknya. Sudah ada perusahaan tambang berdiri megah. Apalagi jika bukit-bukit habis. Akan kemana kita menyelamatkan diri? Gelombang tsunami akan datang, menghancurkan semua, dan membawa lautan bercampur sianida. Kami tak bisa lari kemana-mana kan?” Suara Fitri bergetar saat mengucapkan itu.
Sampai saat ini, para korban selamat dari tsunami 1994, masih trauma, jika hal itu terulang. Mereka meyakini, sangat penting mempertahankan benteng-benteng alami di sana.
Ada deretan bukit siap menyelamatkan ketika bencana suatu saat datang. Dua di antaranya, Gunung Tumpang Pitu dan Goa Macan.
Dua tempat ini digunakan masyarakat sekitar Pulau Merah dan Pancer untuk menyelamatkan diri ketika tsunami. Selain benteng tsunami dan kawasan resapan air, Gunung Tumpang Pitu juga menjaga pemukiman penduduk dari angin barat daya yang berpotensi merusak.
Nelayan lokal juga memanfaatkan untuk penunjuk arah ketika melaut.
Eko Teguh Paripurna, ahli geologi dan kebencanaan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta menyatakan, bahwa, pantai selatan Banyuwangi memiliki karakter sama seperti pantai selatan di Pulau Jawa lain.
Kawasan-kawasan ini rawan gempa bumi dan tsunami. Ia hadir apabila kegiatan pertambangan mengurangi ketinggian morfologi pantai sampai pada tingkat yang membahayakan, menghilangkan titik aman untuk evakuasi, yaitu kurang dari 20 m dpl.
Catatan kejadian tsunami di selatan Jawa, khusus Pangandaran dan Pancer, menunjukkan ketinggian aman evakuasi vertikal berada pada 20 m dpl.
“Gempa akan hadir mendahului tsunami. Karena itu potensi risiko bencana hadir apabila beragam kontruksi pertambangan, terutama bendung penahan sedimen/limbah, tidak dibuat tahan gempa. Potensi risiko hadir bagi masyarakat di bawah bangunan penahan sedimen atau limbah.”
Dengan pertambangan emas di Tumpang Pitu tentu berpotensi meningkatkan risiko bencana bagi warga sekitar. Hal ini, seharusnya dipikirkan jauh oleh pemerintahan sebelum menyetujui segala proses perizinan mulai dari awal dulu.
Muara Pantai Lampon yang berwarna kecoklatan. (Foto: Zuhana A Zuhro)
Delapanbelas November 2015, sekitar 200 warga berunjuk rasa kepada BSI. Mereka menuntut dalam satu minggu perusahaan menghentikan operasi di Tumpang Pitu.
Seminggu kemudian, BSI melalui Setda Banyuwangi dan seluruh kepala desa di Kecamatan Pesanggaran, memberikan undangan kepada masyarakat.
Sekitar 70 orang menghadiri sosialisasi terkait keluhan masyarakat. Pertemuan diadakan di Hotel Banyuwangi Indah, di Jajag. Hampir semua warga yang hadir penolak tambang.
Mediasi berlangsung alot, tak membuahkan hasil. Dalam mediasi itu, Kapolres Banyuwangi, AKBP Bastoni Purnama sempat menyulut emosi karena mengatakan, warga Pesanggaran tak punya sopan santun. Tanpa hasil, pukul 12.00, warga membubarkan diri. Mereka pulang ke Pesanggaran.
Ketika rombongan dari Hotel Banyuwangi Indah sampai di Pesanggaran, di lokasi BSI sudah berkumpul ratusan orang menunggu.
Kabar tak ada titik temu menyebar dan menyulut emosi. Pukul 14.00, massa mendatangi BSI dengan tuntutan perusahaan pertambangan segera tutup. Gerbang masuk menuju perusahaan sudah dijaga Brimob.
Setengah jam kemudian, terjadi bentrok antara warga dan personel Brimob. Fitri mengatakan, bentrok ditengarai dorong mendorong ratusan warga mencoba memaksa masuk ke perusahaan. Brimob kewalahan, hingga melepaskan tembakan peringatan ke kerumunan massa.
Data dari Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Surabaya, empat orang luka kena peluru nyasar.
Idiono, terkena serpihan peluru di bagian kaki dan punggung. Sunar, luka tembak bagian telinga. Widianto kena tembakan di bagian punggung. Jovan, bocah berusia 15 tahun, kena percikan peluru di tubuh.
Massa membakar sejumlah sarana dan prasarana BSI di sekitar lokasi penambangan emas. Pos penjagaan, gudang mesin drill, beberapa alat berat, zavator dan 16 motor milik satpam dan karyawan ludes. Mereka juga membakar rumput dan kayu, merusak rambu jalan, merobohkan tiang telepon dan genset. Kerugian BSI ditaksir mencapai Rp20 miliar.
Kondisi di lokasi memanas karena tak ada titik temu dengan Pemkab Banyuwangi, Kepolisian dan BSI.
Untuk meredam gejolak massa yang mengamuk, Brimob mengeluarkan peringatan dan peluru hampa. Warga membawa pentungan, ketapel dan batu.
AKBP Bastoni Purnama mengtaatakan, kesalahpahaman hingga berujung aksi anarkis ini lantaran massa kurang dewasa. Dia bilang, hanya berusaha membuat suasana lebih kondusif dalam pertemuan, yang gaduh lantaran adu mulut berkepanjangan.
Kekhawatiran warga terjadi dengan kehadiran tambang. Muara penuh lumpur. (Dokumentasi 16 Agustus 2016 oleh Pokmas Pariwisata Pulau Merah/ Yogi Turnando)
Satu hal yang diingat Fitri, Pancer dan beberapa wilayah lain di sekitaran lokasi menjadi senyap dan hanya dihuni oleh kaum perempuan.
Usai kejadian, hampir tak ada laki-laki dewasa di kampung. Hanya beberapa bocah laki-laki kecil dan perempuan berjaga-jaga di rumah masing-masing. Aparat berkeliling mencari laki-laki dewasa.
Buntut aksi itu, tujuh orang dituduh melakukan penghasutan terhadap warga, ada nama Fitriyati di sana. Dalam persidangan 23 Mei 2016, Majelis Hakim memutuskan dua dari mereka, Fitri dan Edi Laksono, tak terbukti sah melakukan tindak pidana penghasutan.
Meskipun begitu, Fitri belum bisa bernapas lega. Pasalnya, Jaksa Penuntut Umum banding.
***
Kami juga ke Pantai Lampon, tempat wisata pantai di Kecamatan Pesanggaran berjarak 66 kilometer dari pusat Kota Banyuwangi. Kami ke sana sehari sebelum menjumpai Fitriyati.
Lampon tempat indah. Tampak sapi merumput di antara ilalang. Nyiur tepi pantai. Ada hamparan tanaman tahunan, mulai kebun jeruk, buah naga, mahoni sampai jati milik Perhutani. Ada pula tanaman macam jagung dan kacang panjang.
Untuk masuk lebih jauh ke perkampungan nelayan, kita harus melewati Markas Intai Amfibi. Mesin motor harus dimatikan, baru boleh melewati gerbang militer itu. Mesin motor boleh hidup kala telah menuntun agak jauh dari depan markas.
Di bibir pantai, ada bukit dapat dipanjat tanpa menggunakan alat. Di atas ada goa. Menurut warga Lampon, di masa perang goa itu oleh Jepang untuk mengintai musuh dari lautan. Kini, goa itu dipakai prajurit Intai Amfibi.
Kami lihat sesuatu di lautan Lampon. Di tengah laut biru ada sesuatu berwarna cokelat. Ia ibarat minyak tumpah ke air. Kata warga sekitar, itu dari muara. Sudah dua hari ini berwarna cokelat, biasa tak begitu.
Beberapa pemancing terlihat berkumpul di bawah bukit. Mereka tak merasa terganggu dengan warna air laut yang mencolok itu.
Kami berjalan mendekati Muara Sungai Lampon, ternyata air keruh, serupa penampakan air di tengah lautan.
Bu Mis, warga sekitar yang hendak mencari kul, sejenis keong laut, juga heran dengan air keruh itu. Tak pernah terjadi sebelumnya.
Di seberang muara sedang ada seorang lelaki menebar jala di air keruh. Bu Mis melambaikan tangan, pertanda mereka berdua saling mengenal.
Ancam kehidupan nelayan
Tragedi tsunami dan keberlangsungan kehidupan mereka sebagai nelayan, antara lain alasan mereka harus menolak pertambangan di Gunung Tumpang Pitu.
Dari 49.247 penduduk di Kecamatan Pesanggaran, ada 753 orang bekerja di sektor perikanan, sebagian ada di seputar Pantai Lampon, Pancer dan Rajekwesi, yang pada 1994 terdampak tsunami.
Menurut pengakuan beberapa nelayan di seputaran Pantai Lampon dan Pancer, sejak tiga tahun terakhir ini mereka sulit mendapatkan ikan. Hasil tidak tentu. Beberapa jenis ikan pada musim tertentu masih bisa dijumpai, namun tak sebanyak dulu.
Data dari Badan Pusat Statisti (BPS) Banyuwangi, terjadi penurunan produksi tangkap ikan perairan laut dan umum di Kecamatan Pesanggaran. Sepanjang 2014, total produksi tangkap laut dan perairan umum mencapai 18.323,39 ton.
Jumlah ini turun sepanjang 2015 menjadi 11.439 ton. Kondisi ini membuat para nelayan resah. Mereka berusaha memutar otak tetap bertahan hidup dari hasil perairan laut.
Sudari, nelayan Lampon, tampak sibuk menebar jala. Dia kelahiran Gumukmas, Jember. Sudah 20 tahun tinggal di Lampon.
Dia mengeluhkan ikan sepi beberapa tahun terakhir. Selama 20 tahun menjadi nelayan, dia bisa merasakan perubahan sedikit demi sedikit.
Untuk menyambung hidup, sekitar tiga tahun lalu nelayan mulai mencari benur. Selain ikan mulai jarang, menangkap benur lebih menjanjikan. Satu benur dihargai sekitar Rp15.000-Rp20.000. Para nelayan akan menjual pada pengepul.
“Menangkap benur itu perkerjaan yang tak kelihatan. Tidak perlu jauh-jauh melaut dan bisa ditingggal. Seperti orang tidur, bangun-bangun sudah dapat uang. Karena permintaan selalu ada,” kata Sudari.
Sudari menjelaskan rinci alat-alat menangkap benur, hingga proses penjualan. Dia belum tahu ada larangan Menteri Perikanan dan Kelautan, menangkap benur.
“Sekarang musim benur, tentu saya juga turut mencarinya. Kita tak pernah kekurangan pembeli benur.”
Fitri mengatakan, selain nelayan di Pantai Lampon, hampir sebagian besar nelayan Pancer juga menangkap benur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama musim paceklik ikan. Dia menyebut, ini sebagai, mengais rejeki melalui barang ilegal.
Jarak perahu mencari benur hanya berkisar antara 10-50 meter dari bibir pantai. Hal ini tentu saja menghemat bahan bakar kapal. Waring benur akan diturunkan menjelang sore hari, diperiksa besok pagi.
Selama jeda waktu itu, biasa nelayan akan mengisi dengan mengerjakan kegiatan laindi rumah maupun seputaran pantai. Pembuatan waring biasa dilakukan ibu rumah tangga.
Ainah, ibu rumah tangga pembuat waring benur di Pantai Lampon menyatakan, kebanyakan pengerjaan oleh-ibu-ibu nelayan. Kini, mereka mengeluhkan, bahan baku sabut kelapa mahal.
Benur lebih suka memakai waring dengan jebakan sabut kelapa, dibentuk semacam kelopak bunga. Setiap satu kelopak bunga dari sabut kelapa dengan diameter enam cm dihargai Rp1.000-Rp2.000.
Akhirnya, banyak nelayan memakai bahan lain selain sabut seperti kasa, kardus, dan karung. Para penjual tahu, hasil penjualan benur termasuk tinggi, hingga mereka menaikkan harga bahan baku pembuatan waring benur.
Ikan nelayan sudah susah, belum lagi kala pencemaran laut tambah parah karena limbah tambang emas. Para nelayan ini menolak tambang, tetapi sebagian takut bersuara.
“Kulo niki kan rakyat cilik to. Sama seperti sebagian besar masyarakat nelayan di Lampon. Dados mboten saget ngomong nopo-nopo. Ajreh. Lha protes sekedik pun dipadosi aparat. Ajreh Mas,” kata Sudari.
Sudari bilang, dia hanya masyarakat biasa, sama seperti sebagian besa warga nelayan. Mereka menolak tambang tetapi tak bisa bilang apa-apa karena takut dicari aparat kalau protes.
Kala dalam perjalanan pertambangan emas Tumpang Pitu menyebabkan limbah merugikan nelayan, mungkin mereka akan melayangkan keberatan.
Sudari menunjukkan kepada kami kapal-kapal besar untuk operasional pertambagan. Kami melihat jelas dari Lampon. Para nelayan melihat pemandangan ini, kebanyakan mereka memilih diam.
BSI, membangung dermaga sandar untuk pengangkutan operasional lewat jalur laut di Pantai Candrian. Pantai Candrian merupakan teluk terletak di Pantai Parang Kursi. Tepat di sisi timur Pulau Merah. Lokasi berada di KPH Perhutani Banyuwangi Selatan.
Alat-alat berat operasional pertambagan emas ini diangkut pakai kapal jenis Landing Craft Tank, salah satu LCT Cipta Karya Perkasa. Setelah alat-alat itu diturunkan dari kapal, dikirim menggunakan truk tronton menuju area BSI.
Menurut Sudari, pengangkutan alat berat lewat jalur laut ini karena protes masyarakat menolak pertambangan. Apalagi, sejak aksi massa membakar beberapa alat berat dan operasional pertambangan.
Pada Mei lalu, banyak masyarakat di seputaran Lampon yang menyaksikan kejadian tenggelamnya salah satu kapal LCT pengangkut alat berat. Kapal karam karena kelebihan muatan. Bego dan beberapa alat berat lain juga karam dan terpaksa dikatrol untuk mengangkat dari lautan.
Beberapa nelayan yang sering melaut di Pantai Candrian, merasa keberatan dengan kapal besar bermuatan alat-alat berat untuk proses pertambangan emas ini. Kapal-kapal ini sangat mengganggu kegiatan nelayan dalam mencari ikan.
Di Perairan Pantai Candrian ikan masih cukup banyak, seperti ikan sadar dan tigerfish. Pantai ini kadangkala juga dikunjungi wisatawan dan pemancing.
Selain memancing langsung, daya tarik Pantai Candrian, bisa langsung menombak ikan pakai anak panah. Pengunjung belum terlalu banyak karena akses susah. Satu-satu, jalan menggunakan jasa perahu dari Pulau Merah. Jarang sekali ada yang berminat karena biaya mahal, sekitar Rp.800.000 per perahu untuk delapan orang.
***
Menjelang sore, kami menuju Pantai Pulau Merah. Pantai-pantai di Kecamatan Pesanggaran ada di satu garis sama. Pantai Pulau Merah, Pantai Pancer, Parangkursi, dan Lampon. Semua berdekatan.
Di gerbang masuk menuju Pantai Pulau Merah, penjagaan tak terlalu ketat. Bahkan jika kami tak mengingatkan perempuan muda penjaga loket, mungkin kami tak butuh membeli karcis.
Harga parkir satu motor Rp2.000, harga tiket masuk per satu pengunjung, dengan tiket berlogo Perum Perhutani Banyuwangi, Rp8.000.
Tak jauh dengan Pulau Merah, ada perbukitan menjulang dikenal dengan Tumpang Pitu. Jauh sebelum dikenal bernama Pulau Merah, mula-mula orang sekitar menyebut pantai ini Ringin Pitu.
Menurut Yitno, warga sekitar, mengatakan, di Pantai Pulau Merah tak hanya ada homestay juga tiga villa. Masing-masing dimiliki orang Banyuwangi, Jakarta, dan Australia. Mbak Tut, pemilik warung tempat kami beristirat, membenarkan ucapan Yitno.
Yitno mengatakan, sejak Pulau Merah banyak dikunjungi, gaya hidup masyarakat turut berwarna. Minuman keras mulai masuk dan peredaran narkoba.
Akhir April, bandar narkoba Suparno, oleh penduduk sekitar dikenal Mbah Gober, ditangkap saat bertransaksi dengan oknum polisi yang sehari-harinya berdinas di Kehumasan Polsek Muncar. Mbah Gober suami Mbak Tut.
Menjelang maghrib, kala matahari senja menyinari Pulau Merah, terlihat beberapa karyawan BSI berseragam kuning biru dengan helm proyek melepas lelah di tepian pantai.
Peta potensi terdampak tsunami yang terpasang di Balai Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran. (Foto: Zuhana A Zuhro)
Dalam dokumen Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) BSI, Pulau Merah termasuk konsesi pertambangan. Sejauh ini, aktivitas pertambangan begitu terlihat di wilayah ini.
Saat pertambangan masih dikuasai PT. Indo Multi Niaga (IMN), antara 2006-2012, banyak masyarakat sekitar menyerbu wilayah konsesi perusahaan untuk pertambangan tradisional, baik pakai penggalian lobang, produksi dengan alat-alat sederhana hingga dengan panning (pendulangan).
Beberapa karyawan sering terlihat hilir mudik di perlintasan pintu masuk Pulau Merah menuju lokasi proyek.
Ketika diambil alih BSI, kata Yitno, akses menuju lokasi proyek ditutup untuk umum. Jarang sekali terlihat karyawan lewat di sana.
Menurut Fitri, saat pertambangan tradisional marak oleh warga di seputaran Tumpang Pitu, banyak ibu-ibu juga turut serta menggunakan sistem pendulang.
Mereka kebanyakan mendulang emas di Sungai Sungklon, di sebelah barat Gunung Tumpang Pitu dan bermuara di Pantai Pulau Merah. Terletak sekitar 100 meter dari bibir pantai. Masyarakat sekitar menyebut Muara Moro Seneng.
Ibu-ibu juga mendulang emas di Muara Moro Seneng. Dengan peralatan sederhana, mereka rela berendam di lumpur keruh berwarna kuning kecoklatan selama berjam-jam. Menurut Fitri, mereka mengeluh gatal-gatal di sekitaran kaki dan tangan. Itu berlangsung berhari-hari.
Mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Jember, Dyah Fatma Yuli, dalam penelitian skripsi berjudul ‘Konflik Pertambangan Emas di Gunung Tumpang Pitu Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi 2007-2009’ menyebutkan, sebagian pendulang mengaku mendapatkan emas dan langsung dijual di toko perhiasan di Pesanggaran.
Jika sedang beruntung mereka bisa mendapatkan uang sekitar Rp400.000-Rp.700.000 per hari. Mereka mengaku tak merasa nyaman ketika mendulang karena sering mendapatkan intimidasi aparat kepolisian yang setiap hari memantau lokasi.
Dalam data Amdal BSI, kebutuhan tenaga kerja operasional diambil dari wilayah lokal hanya sekitar 218 orang, untuk kontraktor sekitar 221 orang. Jumlah ini bukan hanya Kecamatan Pesanggaran, juga dari kecamatan lain di Kabupaten Banyuwangi.
Yudha Bayu, warga Pesanggaran mengaku sudah tiga kali mengajukan lamaran ke perusahaan, tetapi tak pernah diterima. Mahasiswa lulusan Universitas Jember ini kecewa dengan komitmen perusahaan yang tak sesuai janji.
“Dulu bilang mau melibatkan masyarakat sekitar. Nyatanya, banyak pekerja malah dari luar pulau. Kebanyakan dari Kalimantan. Masyarakat sini hanya kebagian tenaga kasar. Padahal kalau bicara wilayah terdampak nanti, Pesanggaran pasti hancur.”
Keindahan Pantai Pulau Merah, menjelang petang. Banyak turis datang ke sini. Sayangnya, belakangan mulai redup kala pantai dan laut rusak, air keruh dan berlumpur. (Foto: Zuhana A Zuhro)
Konfik di masyarakat
Kehadiran tambang menimbulkan prokontra di masyarakat. Masyarakat pro biasa bekerja di perusahaan pertambangan. Di Pancer, misal, seringkali konflik internal antar warga. Salah satu, pecahnya kelompok pengajian di wilayah itu. Masyarakat kontra menolak mengikuti pengajian yang dihadiri beberapa masyarakat pro termasuk kyai pengajian yang masuk di perusahaan pertambangan.
Perpecahan ini menimbulkan hubungan tak saling menyapa dan bergunjing. Beberapa warga kontra tambang sebagian besar dikucilkan mereka yang pro pertambangan emas. Warga kontra dianggap munafik oleh yang pro. Sebaliknya warga pro dianggap biadab.
Fitri menceritakan keseharian tetangga yang bekerja di perusahaan tambang. Mereka biasa sepulang kerja, memakai baju proyek berwarna biru gelap, helm proyek berwarna kuning dan kaca mata hitam. Mengendarai sepeda motor dengan kecepatan di atas rata-rata, di tengah jalan raya.
“Pasti di tengah. Nggak mau minggir, sering sekali membunyikan klakson. Ada beberapa pekerja yang mengendarai motor tanpa kemeja proyek, telanjang dada. Hanya celana, sepatu boat, helm proyek dan kaca mata hitam. Naik motor ugal-ugalan. Kadang kasihan melihat mereka, terkesan mengalami kekagetan budaya. Yang biasa nelayan pakai baju seadanya, hasil tak tentu, lalu bekerja proyek dengan gaji banyak.”
Bagi Fitri, kondisi mungkin berbeda kala masyarakat punya usaha beragam baik sektor pariwisata, pertanian maupun nelayan.
Laut tercemar, pariwisata redup, sampai gagal panen
Awal Agustus, media sosial digemparkan foto-foto yang diunggah oleh Pokmas Pariwisata Pulau Merah. Di foto itu memperlihatkan kondisi Pulau Merah dengan genangan lumpur kecoklatan.
Pasir putih bersih dan air laut biru segar yang menarik wisatawan datang dari pelosok negeri, tak lagi terlihat. Yang ada hanya genangan lumpur coklat dan kental bercampur air laut.
Yogi Turnando, anggota Pokmas Pariwisata di Pulau Merah bagian tim pansus lumpur, kepada Mongabay, kecewa dengan keadaan ini.
Pasalnya, kunjungan wisata langsung menurun drastis karena genangan lumpur dari Tumpang Pitu. Dia meminta BSI, bertanggungjawab terhadap kondisi ini. Terlebih, banyak masyarakat menggantungkan hidup pada pariwisata.
“Sebenarnya kejadian ini sudah berlangsung sejak 26 Juli, pas bulan puasa. Hanya, baru rame akhir-akhir ini sejak foto saya unggah di media sosial. Sebelum ada pertambangan emas, tidak pernah terjadi banjir lumpur seperti ini. Air laut bercampur dengan lumpur ini berasa pahit dan menimbulkan gatal-gatal di permukaan kulit dan bau.”
“Pokonya BSI harus tanggung jawab, mengembalikan semua ini seperti semula!”
Pokmas Pariwisata Pulau Merah akhirnya membentuk pansus khusus menangani permasalahan banjir lumpur. Selain sebagai media komunikasi dengan perusahaan, juga menampung aspirasi dari masyarakat nelayan dan petani yang dirugikan.
Sejauh ini, BSI sudah menyedot lumpur tetapi belum menampakkan hasil memuaskan. Meski hujan tak lagi turun, genangan lumpur terus mengalir dan membanjiri wisata Pulau Merah, Lampon dan Pancer.
Bagi Yogi, upaya penyedotan oleh perusahaan sudah terlambat. Air sudah tercampur air laut dan mencemari beberapa wilayah perairan sekitar.
Gurita yang mati di kubangan lumpur. (Dokumentasi 16 Agustus 2016 oleh Pokmas Pariwisata Pulau Merah/ Yogi Turnando)
Selain pengunjung menurun, banjir lumpur mengakibatkan 300 hektar jagung milik warga di Desa Sumberagung gagal panen. Hampir seluruh terendam lumpur, lalu layu dan membusuk.
Banyak petani di seputaran Tumpang Pitu menderita kerugian ratusan juta rupiah. Sekitar 500 kubik lumpur mengalir ke laut dan menurunkan tangkapan ikan di sekitar Pesisir Pulau Merah, Lampon dan Pancer. Dia khawatir hal ini akan meluas ke perairan sekitar.
Luapan bajir lumpur juga menggenangi sebagian perumahan di Kampung Roworejo. Biasa, jika musim hujan perumahan di sana terkena banjir. Namun, katanya, banjir kali ini tak seperti biasa, lebih tinggi dan dipenuhi lumpur kecoklatan.
Eka Muharram, Kabid Kedaruratan BPBD Banyuwangi menyatakan, bahwa banjir lumpur terjadi akibat Sungai Kapak di Tumpang Pitu meluap. Air sungai menggerus bukit di Gunung Tumpang Pitu. Bukit Tumpang Pitu gundul karena ada perusahaan pertambangan emas hingga tak bisa menjadi penyerap air. Air meluap dan menggenangi wilayah sekitar.
Chusnul Khotimah, Kepala Badan Lingkungan Hidup Banyuwangi, mengatakan, sudah mengambil contoh lumpur di Pulau Merah. Sampel ini akan diteliti dan uji lab di Laboratorium Tanah Universitas Jember untuk melihat kandungan di dalamnya. BLH juga menemui perusahaan tambang meminta kejelasan terkait banjir lumpur di Pulau Merah.
Ada dugaan ini terjadi karena pembukaan lahan dan pembangunan infrastruktur pertambangan emas di Tumpang Pitu.
Pada Senin (22/8/16), Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, mengantar sendiri surat teguran pertama kepada BSI. Dia mendatangi kantor BSI.
Anas mengatakan, kali pertama sejak menjabat mengkirim surat teguran sendiri. “Sebelum-sebelumnya kepada pihak lain yang tak mematuhi aturan, surat teguran diantar staf. Ini menunjukkan saya benar-benar memperingatkan BSI segera menyelesaikan pembangunan enam dam,” katanya.
BSI baru menyelesaikan pembangunan tiga dam. Kala hujan deras, lumpur dan sampah terbawa hingga ke hilir, termasuk ke Sungai Katak, berjung ke Pantai Pulau Merah.
Dia perintahkan, tiga dam selesai dalam tiga bulan. Dia juga tegaskan, BSI patuh dokumen lingkungan.
Banjir lumpur menggenangi wilayah sekitar perairan Pulau Merah, seakan membantah ucapan perusahaan yang menyatakan proses tambang aman dan tak merusak lingkungan.
Kondisi perairan pulau merah dilihat dari atas. (Dokumentasi 16 Agustus 2016 oleh Pokmas Pariwisata Pulau Merah/ Yogi Turnando)
Bupati Banyuwangi saat menyerahkan surat teguran langsung kepada PT BSI terkait banjir lumpur di Pulau Merah. (Foto: Zuhana A Zuhro)
Sumber: http://www.mongabay.co.id
(Mongabay/Info-Teratas/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email