Pesan Rahbar

Home » » Syiah Bagian Dari Islam

Syiah Bagian Dari Islam

Written By Unknown on Thursday 12 February 2015 | 20:31:00


Oleh : Azis Anwar Fachrudin

Salah satu propaganda sektarian yang rentan mempertajam friksi di tubuh umat Islam ialah bahwa “Syiah bukan Islam”. Akhir-akhir ini, kampanye hitam itu cukup lantang disuarakan. Oleh sebagian kelompok dari kalangan Ahlus Sunnah, Syiah dianggap telah kafir; alias sudah berada di luar koridor agama Islam. Yang lebih memprihatinkan, vonis kafir itu dilancarkan dengan pukul rata tanpa merinci dulu keragaman di dalam Syiah.

Propaganda “Syiah bukan Islam” bukan semata klaim biasa. Ia berbahaya, sebab rawan membangkitkan misi “jihad” dan pencabutan nyawa. Sudah berabad-abad lamanya, kita tahu, pertengkaran Sunni-Syiah tak kunjung redam. Umat Islam tampaknya lebih mudah bertoleransi dengan agama lain ketimbang pada mazhab yang lahir dari pergolakan di tubuh umat Islam sendiri.

Banyak statemen dilancarkan untuk memojokkan Syiah, antara lain, dengan berbagai tuduhan yang, sedikit atau banyak, adalah klaim sepihak—klaim yang belum tentu dikonfirmasi oleh pendapat yang dinyatakan oleh ulama yang terakui (mu’tabar) dari kedua belah pihak.

Tulisan ini akan menjawab propaganda itu: Benarkah Syiah bukan Islam?

[ 1 ]
Pernah ada, dan sampai kini masih berlangsung, upaya pendekatan antar mazhab (at-taqrîb bain al-madzâhib). Upaya ini sudah bermula sejak tahun 1950-an. Penggagasnya ialah para ulama Al-Azhar waktu itu, dipimpin oleh Syaikh Mahmud Syaltut.

Upaya ini bertujuan untuk meminimalisasi ketegangan antar mazhab, rekonsiliasi Ahlus Sunnah-Syiah, sekaligus mengakui delapan mazhab yang sah sebagai bagian dari Islam. Delapan mazhab itu ialah: 4 mazhab Ahlus Sunnah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, & Hanbali), 2 mazhab Syiah (Zaidiyah & Ja’fariyah-Imamiyah), mazhab Zhahiriyah, dan mazhab Ibadhiyyah (Khawarij). [Mengenai proyek taqrib ini, anda dapat dengan mudah mencari informasinya di google. Websitenya, antara lain, taghrib.org, atau search dengan kata kunci Arab: at-taqrib baina as-sunnah wa asy-syi’ah]


Kedelapan mazhab itu diakui pula oleh Syaikh Wahbah az-Zuhaily dalam karya ensiklopedisnya tentang fikih: Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu. Dikatakan oleh Syaikh Wahbah dalam penjelasannya di bagian-bagian awal, pada bab tentang fikih Imamiyyah:

“Fiqh Imamiyah, meski lebih dekat ke mazhab Syafi’i, ia tak berbeda dengan fiqh Ahlus-Sunnah dalam persoalan yang masyhur kecuali kira-kira terkait 17 masalah. Yang paling penting (dari perbedaan itu) adalah pembolehan nikah mut’ah. Perbedaan Syiah Imamiyah dengan Ahlus Sunnah tak lebih sebagaimana perbedaan mazhab-mazhab fiqh lainnya, seperti Hanafi dengan Syafi’i. Mazhab Imamiyah ini sampai sekarang menyebar di Iran dan Irak. Secara substantif, perbedaan Syiah-Imamiyah dengan Ahlus Sunnah tidak merujuk ke soal akidah atau fiqh, melainkan hanya pada aspek pemerintahan dan imamah.”

Sejak tahun 50-an, Syaikh Mahmud Syaltut sudah memfatwakan kebolehan beribadah dengan menggunakan mazhab Ja’fari (Syiah-Imamiyah). Diberitakan pula, bahwa Syaikhul Azhar Ahmad Thayyib saat ke Iran bermakmum salat kepada ulama Syiah (lihat di sini).


شيخ الأزهر: تكفير الشيعة مرفوض وسوف أصلي خلفهم في النجف الأشرف


قال شيخ الأزهر أحمد الطيب: “اننا لم نعد عربا بثقافة عربية ولا مسلمين بثقافة إسلامية خاصة أن بعض الأفكار التافهة تتخطفنا”.
ولفت الشيخ الطيب الى أنه “يُخطط لفتنة اليوم يراد لها ان تنبعث في بلاد أهل الإسلام في وقت نحتاج فيه الى وحدة الأمة الاسلامية لكل دولها”.

وأضاف “هذا هو المهم والضروري الذي نحتاجه وبدونه لا نستطيع ان نرفع رؤوسنا في يوم من الأيام”.

ورفض الشيخ الطيب ان يكون هناك فضائيات تحكم بكفر المسلمين الشيعة.

وأضاف: “هذا غير مقبول ولا نجد له مبرراً لا من كتاب ولا سنة ولا إسلام”.

وتابع بالقول “نحن نصلي وراء الشيعة، فلا يوجد عند الشيعة قرآن آخر كما تطلق الشائعات وإلا ما ترك المستشرقون هذا الأمر فهذا بالنسبة لهم صيد ثمين”.

وردا على سؤال، رأى الشيخ الأزهر انه “لا يوجد خلاف بين السني والشيعي يخرجه من الإسلام انما هي عملية استغلال سياسي لهذه الخلافات”، معلنا انه: “سيزور النجف اذا ذهب الى العراق”.

وقال: “الإزهر واجبه الأول العمل على وحدة الأمة الاسلامية وكذلك توحيد المسلمين على رؤية مع اختلاف الاجتهاد”، مبديا استعداده “لزيارة أي مكان اجمع فيه المسلمين مع بعضهم والنجف بصفة خاصة”.

ولفت الى أنه قال للوفد العراقي الذي زاره مؤخراً “سآتيكم وأنا أب للسنة والشيعة”.

المصدر: جريدة النهار اللبنانية

Syaikul Azhar Ahmad Thayyib pun menyatakan bahwa Syiah tidak kafir; Syiah adalah bagian dari Islam (lihat di sini).


Dr. Ahmad Thayyib : Syiah adalah Salah Satu Mazhab Islam

Al-Azhar adalah sebuah lembaga keilmuan tertua didunia islam dan menjadi rujukan permasalahan-permasalahan umat dunia saat ini. berbicara tentang Al-Azhar, maka tak lepas dari ulama-ulamanya. Dari sekian banyaknya ulama di Azhar, syeikh Ahmed Muhammad Ahmed El-Tayeb terpilih sebagai Grand Syeikh Universitas atau rektor Al-Azhar saat ini. Sebuah jabatan yang dianggap oleh sebagian umat islam sebagai otoritas tertinggi dalam pemikiran Islam Sunni dan fikih serta mempunyai pengaruh kuat dalam masyarakat Islam di seluruh dunia terutama bagi pengikut mazhab Asy’ariyah dan Maturidi.

Berikut ini adalah wawancara Channel Nil TV Mesir dengan Dr. Ahmaad Thayyib.

Wartawan: Bagaimana ajaran Syiah menurut Anda?

Dr. Thayyib: Tidak ada masalah dengan ajaran Syiah. 50 tahun lalu, Syaikh Syaltut berfatwa bahwa Syiah adalah mazhab kelima dalam Islam dan sama seprti mazhab-mazhab Islam yang lain.

T: Anak-anak kita akan menjadi Syiah. Apa tindakan kita?

J: Biar saja mereka menjadi Syiah. Apakah kita akan menyalahkan orang yang berpindah mazhab dari Hanafi ke Maliki? Mereka (yang menjadi Syiah) hanya berpindah dari mazhab keempat ke mazhab kelima.

T: Orang Syiah menjadi kerabat kita. Mereka menikah dengan anak-anak kita.

J: Apa masalahnya? Pernikahan antar mazhab itu dibolehkan.

T: Kabarnya Alquran mereka berbeda dengan Alquran kita.

J: Itu omong kosong. Tidak ada perbedaan antara Alquran kita dan mereka. Bahkan rasmul khat mereka sama dengan Alquran kita.

T: 23 ulama dari sebuah negara (Saudi) berfatwa bahwa Syiah adalah kafir dan rafidhi.

J: Hanya Al-Azhar yang bisa berfatwa untuk muslimin. Fatwa mereka (ulama Saudi) tidak kredibel.

T: Lalu bagaimana dengan perselisihan Syiah-Sunni yang dikemukakan mereka?

J: Perselisihan itu adalah politik luar negeri yang ingin memecah belah Syiah dan Sunni.

T: Saya punya pertanyaan serius. Syiah tidak menerima Abu Bakar dan Umar. Bagaimana bisa Anda menyebut mereka muslim?

J:Memang mereka tidak menerima. Tapi apakah meyakini Abu Bakar dan Umar termasuk prinsip agama Islam? Kisah tentang mereka berdua adalah kisah sejarah. Sejarah tidak berkaitan dengan prinsip akidah.

Wartawan yang terhenyak mendengar jawaban ini, lalu bertanya: Ada satu kritikan terhadap Syiah. Mereka berkata bahwa imam zaman mereka masih hidup semenjak 1000 tahun lalu.

J: Mungkin saja,kenapa tidak mungkin? Tapi tak ada alasan kita mesti berkeyakinan sama spt mereka.

T: Mungkinkah bocah berusia 8 tahun menjadi imam? Syiah meyakini bahwa bocah berusia 8 tahun menjadi imam.

J: Kalau bayi dalam buaian bisa menjadi nabi, tidak mengherankan bocah usia 8 tahun menjadi imam. Meski kita sebagai Ahlussunnah tidak meyakini hal ini. Tapi keyakinan ini tidak merusak keislaman mereka. Mereka tetap orang muslim.

Setelah mendengar wawancara di atas, Dr. Shojaei Fard,dosen ilmu mekanik di Universitas Elm va Shanat,berkata,”Wawancara ini sangat menarik untuk saya. Saya berusaha menghubungi Syaikh Thayyib untuk berterima kasih kepadanya. Melalui telpon saya berkata kepada beliau,”Anda membela Syiah dengan sangat baik. Bahkan seorang ulama Syiah pun mungkin tidak akan melakukan pembelaan serupa. Minimal dia akan bersikap hati-hati. Tapi Anda berani mengatakan bahwa keyakinan kepada Abu Bakar dan Umar bukan bagian dari prinsip Islam.

Syaikh Thayyib berkata,”Saat Ayatullah Khamenei menghadapi Amerika dengan teguh dan membuat mereka bertekuk lutut dalam masalah nuklir, dan di sisi lain, Sayyed Hasan Nasrullah melawan Zionis dengan berani dan mengalahkan merka dalam perang 33 hari, saya melihat mereka sebagai kebanggaan Islam. Amerika dan kawan-kawannya berniat mencitrakan mereka sebagai Syiah radikal dan menyebut Syiah sebagai rafidhi nonmuslim demi mengambil kebanggaan ini dari Dunia Islam. Supaya para pemuda kita merasa bahwa kebanggaan ini milik Islam, saya telah mengadakan 8 acara televisi untuk mengatakan bahwa Syiah adalah muslim, Syiah tidak berbeda dengan kita, dan Syiah adalah salah satu mazhab Islam.”

sumber : http://syiahindonesia.net/

Kalau Khawarij yang lebih potensial menimbulkan friksi di tubuh umat Islam saja masih dihukumi Islam, apalagi Syiah.

Banyak ulama Al-Azhar yang berbeda dengan sikap—maaf untuk tegas menyebut—Salafi-Wahabi dalam menghadapi Syiah (lihat di sini).


موقف علماء الأزهر من التقريب بين السنة والشيعة

حينما بدأت الإعداد لهذا الموضوع كنت على ثقة بأن إجابات الغالبية العظمى من أساتذة وشيوخ الأزهر لن تشفي غليلي، ذلك أن الأزهر – منذ الخمسينات- قاد ما سمي بـ"التقريب بين المذاهب"ونتيجة لذلك قرر تدريس الفقه الإمامي الاثنى عشري (الجعفري) في جامعاته ومعاهده. وكثير من علماء الأزهر لا يزالون عند موقفهم حتى بعد أن نطرح عليهم النصوص التي تؤكد جموح الفكر الشيعي وخطورته، فهم يدافعون عن الشيعة، ويقللون من الخلاف. ونحن نعرض في هذه السطور- وللأمانة العلمية وبدون تدخل من جانبنا- موقف علماء الأزهر المؤيدين للتقريب بين السنة والشيعة. لكننا لم نعدم رؤية مغايرة لبعض الأساتذة الأزهريين الذين تعمقوا في الموضوع وأحاطوا بجوانبه ومن ثم جاءت رؤيتهم معارضة للتقريب وكاشفة لخطورة الفكر الشيعي وتلغيمه لأي حوار موضوعي مع الفكر السني.

** في البداية يرى الدكتور محمد سيد طنطاوي ـ شيخ الأزهرـ أنه لا فرق بين السنة والشيعة وأن كل من يشهد أن لا إله إلا الله فهو مسلم، وأن الخلاف، إن وُجد، فهو خلاف في الفروع وليس في الثوابت والأصول، والخلاف موجود في الفروع بين السنة أنفسهم والشيعة أنفسهم، وقال إن كل من يحاول إشاعة الخلاف بين السنة والشيعة مأجور، وإنه يجب علينا أن نواجه هذه الهجمة الشرسة ضد الدين الإسلامي، فالأمر الأهم هو ضرورة الاعتصام بحبل الله إن لم يكن من أجل الدين، فعلى الأقل من أجل الدنيا التي يلتقي فيها الجميع على طاعة الله. وشيخ الأزهر يرى أن التقريب بين المذاهب أمر إيجابي ويجب السعي إليه وتشجيعه لأنه من خير الأعمال ومن التعاون على البر والتقوى.


هل تجاوز الشيعة تراثهم؟

** أما الشيخ محمود عاشور ـ وكيل الأزهر ـ فيقول: العالم الإسلامي يواجه استعماراً قوياً يشكل نفسه لتفتيت وحدة الأمة الإسلامية، ويحاول إشاعة الخلاف ما بين السنة والشيعة حتى لا يلتفتوا إلى قضاياهم الأساسية.

والشيخ محمود عاشور يرى أن التقريب بين السنة والشيعة يمكن أن يحدث ليس على أساس تنازل أحد الطرفين عن شيء من قناعاته للآخر، وإنما على أساس الإقرار بجامعية الإسلام للطرفين، والاحترام المتبادل، واعتماد نهج الحوار في قضايا الخلاف، وتفعيل التعاون في خدمة المصلحة العامة للإسلام والمسلمين.

وهو يرى أن ما عرضناه على فضيلته من تهجم الشيعة على أهل السنة وسبهم للصحابة وغير ذلك من القضايا الهامة، يرى أن ذلك كان موجوداً في بعض كتب الشيعة وماضيهم وتراثهم، وقد يكون ناتجاً عن الظروف التي كانوا يعيشونها آنذاك من القمع والاضطهاد، لكن الواقع الفعلي للشيعة الآن بعيد عن مثل هذه الأمور. فالشيعة الإيرانيون مثلاً وقد أصبحت السلطة بيد علمائهم منذ ربع قرن، ودولتهم من أقوى دول المنطقة، إلا أن وسائل إعلامهم، وخطب جمعهم التي تبث على الهواء، وأحاديث قياداتهم، لم يحصل فيها شيء من هذا القبيل، حتى أيام الحرب العراقية الإيرانية.

وكذلك الحال بالنسبة للشيعة في لبنان، وهم القوة الأبرز هناك، ومع النصر الكبير الذي حققوه على العدو الصهيوني، إلا أن وسائل إعلامهم، مثل فضائية "المنار"، لم يرصد عليها شيء من الإساءة إلى الخلفاء، وأجلاء الصحابة، وأمهات المؤمنين.

إن في ذلك دلالة واضحة على تجاوز واقع الشيعة المعاصر لمؤاخذات كانت تحسب على بعضهم في أزمنة غابرة. وقد يكون هناك أفراد منهم متأثرين ببعض الآراء والمواقف السابقة، لكنهم لا يشكلون حالة عامة.


الأزهر أقر تدريس الفقه الشيعي:

** يقول الدكتور عبدالصبور مرزوق الأمين العام للمجلس الأعلى للشؤون الإسلامية: جميع المسلمين وكل العرب مستقبلهم محفوف بالمخاطر وليس أمامهم طريق غير إعادة إعمال مفهوم الأمة الذي أكد عليه القرآن الكريم. إن المذهب الشيعي له أتباع أقوياء وله دول وأنظمة ولا يمكن إجبارهم علي التخلي عن مضمون الفكر الشيعي فإيران التي بلغت من القوة السياسية والعسكرية والتي تجعلها تتحدي أمريكا وتؤكد أنها تمتلك صواريخ تضرب بها إسرائيل وهي دولة إسلامية وليس لها نظير في المحيط العربي والإسلامي... هل من العقل أن أهدم هذه القوة أو أفرط فيها وأهديها للعدو؟.. العقل يقول لا ونقول ليضع الجميع يده بيد أخيه لنكن قوة واحدة.

ويضيف د. عبد الصبور مرزوق: في الخمسينات وعلي يد الشيخ محمد تقي الدين القمني والشيخ محمود شلتوت وأساتذة أجلاء من الأزهر كان عددهم كبيرا، كانوا يتحاورون ويتدارسون نقاط الخلاف والاتفاق بين السنة والشيعة واستطاعوا التلاقي في كثير من القضايا وهذا يدل علي ان التقارب ممكن، ومع ما نعانيه اليوم أصبح التقريب بين المذهبين ضرورة حتمية أمام من يريد أن يزيح الإسلام كله من الوجود بمن فيه من سنة وشيعة ألم يقل الرئيس بوش أن في مقدمة اهتماماته في الولاية الثانية في رئاسة الولايات المتحدة أن لا يدع رجل دين له ذقن ولا رجلا يحرم شرب الخمر أو يطلب من زوجته الحجاب وكان هذا علناً ونشر بالصحف فكيف نتمسك بالقضايا الخلافية وكل من السنة والشيعة في مهب الريح.

ويؤكد د. مرزوق أنه ثبت بالدليل القاطع أنه لا يوجد لدي الشيعة المغالين قرآن خاص بهم ولا يوجد ما يقال عنه.. مصحف فاطمة.. فهو غير صحيح. ويرى أن ثمار جهود العلماء في التقريب بين السنة والشيعة وصلت إلى حد أنه اختير المذهب الجعفري ليدرس في جامعة الأزهر وإلي الآن يدرس بالفعل.

كما أصدر الإمام الأكبر الشيخ محمود شلتوت في الستينيات فتوي أثارت جدلا كبيرا وأجازت الفتوي التعبد بمذهب الشيعة الإمامية وقد عضد الشيخ محمد الغزالي هذه الفتوي برأيه فيها تقول الفتوي كما وردت علي لسان الشيخ محمود شلتوت إن "الإسلام لا يوجب علي أحد من أتباعه اتباع مذهب معين بل إن لكل مسلم الحق في أن يقلد ـ بادئ ذي بدء ـ أي مذهب من المذاهب المنقولة نقلا صحيحاً والمدونة أحكامها في كتبها الخاصة ولمن قلد مذهبا من هذه المذاهب أن ينتقل إلي غيره أي مذهب كان ولا حرج عليه في شيء من ذلك. وأن مذهب الجعفرية المعروفة بمذهب الشيعة الإمامية الاثني عشرية مذهب يجوز التعبد به شرعا كسائر مذاهب أهل السنّة فينبغي علي المسلمين أن يعرفوا ذلك وأن يتخلصوا من العصبية بغير الحق لمذاهب معينة فما كان دين الله، وما كانت شريعته لمذهب أو مقصورة علي مذهب، فالكل مجتهدون مقبولون عند الله تعالي يجوز لمن ليس أهلا للنظر والاجتهاد تقليدهم والعمل بما يقررونه في فقههم ولا فرق في ذلك بين العبادات والمعاملات.

هذه الفتوى كانت بمثابة البركان الذي انفجر وأقام الدنيا ولم يقعدها وهاجت الناس وماجت إلي درجة أن البعض لجأ إلي شيوخ الأزهر ورجال الدين ليجدوا لديهم رأيا آخرا وكان منهم الشيخ محمد الغزالي الذي لم يختلف مع الشيخ شلتوت وأيده في الرأي، حيث قال لمن سأله عن كيفية إصدار شيخ الأزهر فتواه بأن الشيعة مذهب إسلامي كسائر المذاهب المعروفة؟.. ماذا تعرف عن الشيعة؟.. فسكت السائل قليلا، ثم أجاب قائلا "ناس علي غير ديننا". فقال الشيخ الغزالي للرجل: ولكني رأيتهم يصلون ويصومون كما نصلي ونصوم وعجب السائل وقال "كيف هذا؟"، فقال الشيخ "والأغرب أنهم يقرأون القرآن مثلنا ويعظمون الرسول صلي الله عليه وسلم مثلنا ويحجون إلي البيت الحرام".

الشيعة لا يعظمون القرآن والسنة:

يقول د. جلال عوضين أستاذ الحديث بجامة الأزهر: إن الشريعة الإسلامية تقوم على ركنين، الركن الأول هو القرآن الكريم، والركن الثاني هو السنة النبوية المشرفة. وهذان الأصلان لا يمكن التهاون فيهما، إذ بدونهما لا معنى للشريعة ولا تقوم للإسلام قائمة. فالقرآن والسنة هما مصدر التلقي الذي يجب الاعتراف به ابتداءً للدخول في الإسلام. وللأسف الشديد هناك خلاف جذري حول هذين الأصلين بين أهل السنة والشيعة. فبالنسبة للأصل الأول وهو القرآن الكريم، فبينما نجد الحفاوة الكاملة من جانب أهل السنة بالقرآن الكريم وتجويده وتلاوته وقراءاته وعلومه وتفسيره، حيث هو المادة الأساسية لكل طالب علم في المدارس والمعاهد والجامعات الدينية، نجد أن عكس ذلك هو الصحيح عند الشيعة، فهم لا يولون القرآن وعلومه أي اهتمام باعتراف قادتهم أنفسهم. فهناك عدم اهتمام من الشيعة بتلاوة وتعلم القرآن حتى على مستوى الجامعات والحوزات العلمية الدينية، وعلي خامنئي مرشد الثورة الإيرانية يقول: ( مما يؤسف له أن بإمكاننا بدء الدراسة ومواصلتنا لها إلى حين استلام إجازة الإجتهاد من دون أن نراجع القرآن ولو مرة واحدة !!! لماذا هكذا ؟ لأن دروسنا لا تعتمد على القرآن).

ومما يزيد الأمر سوءً أن الشيعة يعتقدون بوجود مصحف لديهم اسمه مصحف فاطمة فيروي الكليني في كتابه " الكافي " عن جعفر الصادق : ( وإن عندنا لمصحف فاطمة عليها السلام، قال : قلت : وما مصحف فاطمة ؟ قال : مصحف فيه مثل قرآنكم هذا ثلاث مرات، والله مافيه حرف واحد من قرآنكم).

ويضيف د. جلال عوضين: إن عقيدة كبار علماء الشيعة في تحريف القرآن معروفة، ومع تبرؤ بعض الشيعة ظاهريا من القول بتحريف القرآن، إلا أننا نراهم لايزالون يطبعون تلك الكتب المحشوة بالروايات التي تقول بالتحريف. كما يعظم الشيعة العلماء المصرحين بالقول بالتحريف مثل النوري الطبرسي، وسليم بن قيس الهلالي، ومحمد الفيض الكاشاني، ومحمد باقر المجلسي، ويوسف البحراني، ونعمة الله الجزائري. ولازال هناك من علماء الشيعة المعاصرين من يصرح بالتحريف.

ويتساءل د. جلال عوضين: إذا كان القرآن عند الشيعة محرفاً أو ناقصاً فكيف يمكن الاستناد إليه ؟!، وكيف يخلو القرآن من الركن السادس للإسلام؟، وكيف يحتوي القرآن على آيات تخالف عقيدة الأئمة بزعمهم ؟!.

أما الأصل الثاني وهو السنة النبوية المشرفة- والكلام للدكتور جلال عوضين- فبينما نجد اهتماماً كبيراً بالسنة، وعلوم مصطلح الحديث، والجرح والتعديل، وتاريخ الرجال، وتطبيق معايير علمية دقيقة لمعرفة صحة الحديث أذهلت علماء الغرب، بينما يحدث ذلك عند السنة نجد أن الشيعة لا يعملون بها إلا فيما يوافق مذهبهم.

فأهل السنة لديهم منهج في تلقي الأحاديث يخضعون له كل ما جاءهم من الأحاديث عن النبي صلى الله عليه وسلم .. فلماذا لا يفعل الشيعة ذلك ؟.

الإمامة أكبر عائق:

يرى د. محمد عبد المنعم البري الأستاذ بجامعة الأزهر أنه لا يمكن أن يحدث تقارب بين أهل السنة والشيعة طالما تمسك الشيعة بعقيدتهم في الإمامة التي تكون عندهم بالنص، إذ يجب أن ينص الإمام السابق على الإمام اللاحق بالعين لا بالوصف، وأن الإمامة من الأمور الهامة التي لايجوز أن يفارق النبي صلى الله عليه وسلم الأمة ويتركها هملاً يرى كل واحد منهم رأياً، بل يجب أن يعين شخصاً هو المرجوع إليه والمعوَّل عليه. ويستدلون على ذلك بأن النبي صلى الله عليه وسلم قد نص على إمامة علي من بعده نصاً ظاهراً يوم غدير خم. ويزعمون بأن علياً قد نص على ولديه الحسن والحسين .. وهكذا .. فكل إمام يعين الإمام الذي يليه بوصية منه .. ويسمونهم الأوصياء. ويتفرع عن هذا المبدأ الباطل عدة مبادئ باطلة أخرى مثل العصمة، والعلم، وخوارق العادات، والغيبة، والرجعة.

فالأئمة عندهم معصومون عن الخطأ والنسيان، وعن إقتراف الكبائر والصغائر، وكل إمام من الأئمة أُودِع العلم من لدن الرسول صلى الله عليه وسلم بما يكمل الشريعة، وهو يملك علماً لدنياً ولايوجد بينه وبين النبي من فرق سوى أنه لايوحى إليه، وقد استودعهم رسول الله صلى الله عليه وسلم أسرار الشريعة ليبينوا للناس مايقتضيه زمانهم.

ويجوز أن تجري خوارق العادات على يد الإمام ، ويسمون ذلك معجزة، وإذا لم يكن هناك نص على إمام من الإمام السابق عليه وجب أن يكون إثبات الإمامة في هذه الحالة بالخارقة. ويرون بأن الزمان لايخلو من حجة لله عقلاً وشرعاً، ويترتب على ذلك أن الإمام الثاني عشر قد غاب في سردابه كما يزعمون وأن له غيبة صغرى وغيبة كبرى، وهذا من أساطيرهم. ويعتقدون بأن حسن العسكري سيعود في آخر الزمان عندما يأذن الله له بالخروج، ويقولون بأنه حين عودته سيملأ الأرض عدلاً كما ملئت جوراً وظلماً، وسيقتص من خصوم الشيعة على مدار التاريخ.

ويضيف د. محمد عبد المنعم البري أنه لا يمكن أن ينجح أي تقريب إذا أصر الشيعة على الإيمان بمبدأ التقية التي يعدونها أصلاً من أصول الدين، ومن تركها كان بمنزلة ترك الصلاة، وهي واجبة لايجوز رفعها حتى يخرج القائم، فمن تركها قبل خروجه خرج عن دين الله تعالى وعن دين الإمامية. كما تقف المتعة حجر عثرة أمام التقريب المزعوم، فالشيعة يرون بأن متعة النساء خير العادات وأفضل القربات مستدلين على ذلك بقوله تعالى: ( فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة) وقد حرّم الإسلام هذا الزواج الذي تشترط فيه مدة محدودة فيما اشترط أهل السنة وجوب استحضار نية التأبيد، ولزواج المتعة آثار سلبية كثيرة على المجتمع.

ومن العوائق التي يراها د. البري في طريق التقريب بين السنة والشيعة هي مسألة سب الصحابة. فهم عندهم مبدأ البراءة، حيث يتبرأون من الخلفاء الثلاثة أبو بكر وعمر وعثمان رضوان الله عليهم جميعاً وينعتوهم بأقبح الصفات لأنهم - كما يزعمون- اغتصبوا الخلافة دون علي الذي هو أحق منهم بها، كما يبدأون بلعن أبوبكر وعمر- رضي الله عنهم وأرضاهم - بدل التسمية في كل أمر ذي بال، وهم ينالون كذلك من كثير من الصحابة باللعن، ولا يتورعون عن نيل أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها بالطعن واللعن .

إن الله سبحانه وتعالى ورسوله صلى الله عليه وسلم بينا مكانة الصحابة الذين نشروا الدين وحملوا لواء الإسلام ! إلا أن الشيعة تقول في حقهم : (إن الناس كلهم ارتدوا بعد رسول الله غير أربعة). وتكفير ولعن الشيعة لأم المؤمنين عائشة قائم!! يقول المجلسي: (إننا نتبرأ من الأصنام الأربعة أبو بكر وعمر وعائشة وحفصة .. وأنهم شر خلق الله على وجه الأرض وأنه لا يتم الإيمان بالله إلا بعد التبرؤ منهم ).

والشيعة ترى من الكيد للإسلام أن يأخذوا تفسيرهم للقرآن عن أمثال أبي هريرة وسمرة بن جندب وأنس بن مالك وغيرهم ممن أتقنوا صناعة التلفيق والدس والكذب والإفتراء حاشا لله. ويقول علماؤهم إن تجويز الشيعة لعن الشيخين أبي بكر وعمر وأتباعهما فإنما فعلوا ذلك أسوة لرسول الله واقتفاء لأثره !! فإنهم ولاشك قد أصبحوا مطرودين من حضرة النبي وملعونين من الله.


موقف إيران من السنة يفضحه:

** يقول د. محمد عبد السلام نوير الأستاذ بجامعة الأزهر: أهل السنة يشكلون ما يزيد على عشرين في المائة من سكان إيران حسب تقديرات غير رسمية، بينما تقول السلطات الرسمية إنهم لا يشكلون أكثر من تسعة في المائة من السكان البالغ عددهم 65 مليون نسمة. وهم مع هذه النسبة ممنوعون من تولي الوظائف القيادية والمسؤوليات الكبرى كالوزارة ونيابة الوزراء والسفارة فضلا عن قيادة القوات المسلحة والمسؤوليات الرئيسية في القضاء، حيث لا يوجد سني واحد في مجلس الوزراء والمناصب الرئيسية في الوزارات والمؤسسات الكبرى، كما أن المحافظين ورؤساء الدوائر الرسمية في المدن والمحافظات التي يشكل أهل السنة الأغلبية المطلقة فيها، هم جميعا من الشيعة.

إن الحكومة الإيرانية ترفض الموافقة على إنشاء مسجد لأهل السنة في طهران رغم انتماء ما يزيد على نصف مليون من سكان العاصمة إلى المذهب السني بينما هناك معابد وكنائس للأقليات الدينية مثل الزرادشتيين واليهود والنصارى في العاصمة.

ومنذ بداية الثورة وحتى اليوم تمارس الحكومة الإيرانية أبشع أنواع الظلم والتمييز ضد علماء ودعاة وشباب ومثقفي وأبناء أهل السنة ومن بينها: أن الشيعة أحرار في نشر عقائدهم وممارسة طقوسهم وتأسيس الأحزاب والمنظمات في حين أنه ليس لأهل السنة شئ من هذه الحقوق بل هم يظلمون ويطردون ويسجنون ويقتلون.

ويمنع أئمة وعلماء أهل السنة من إلقاء الدروس في المدارس والمساجد والجامعات ولا سيما إلقاء الدروس العقائدية، بينما لأئمتهم ودعاتهم الحرية المطلقة في بيان مذهبهم بل التعدي على عقيدة أهل السنة. كما توضع مراكز ومساجد أهل السنة تحت المراقبة الدائمة، ويتجسس رجال الأمن وأفراد الاستخبارات على جوامع أهل السنة لا سيما أيام الجمعة ومراقبة الخطب والأشخاص الذين يتجمعون في المساجد.

ويضيف د. محمد عبد السلام نوير: إن جميع وسائل الإعلام والنشر كالإذاعة والتلفزيون والكتب والجرائد والمجلات شيعية المذهب ولا يملك أهل السنة أيا من تلك الوسائل بل تستعمل هذه الوسائل لضربهم وإضعافهم. وبالإضافة لذلك يتم هدم وإغلاق المساجد والمدارس والمراكز الدينية لأهل السنة. وقد تورط النظام الإيراني في اعتقال وسجن عدد كبير من الشيوخ والعلماء البارزين وطلبة العلم والشباب الملتزمين دون أني ذنب أو ارتكاب أية جريمة فقط لأنهم متمسكون بعقيدتهم الإسلامية ويدافعون عن الحق ويطالبون بحقوقهم الشرعية، كما تورط أيضاً في اغتيال أو اختطاف ثم إعدام العشرات من العلماء والدعاة البارزين والمئات بل الآلاف من المثقفين وطلبة العلم والشباب الملتزمين من أهل السنة.

وهكذا نرى أن موقف علماء الأزهر الشريف من التقريب بين السنة والشيعة ليسوا فيه سواء ، وقد نقلنا هنا نص ما ذكروه في المقابلات التي أجراها موقع البينة معهم ، نسأل الله أن يرينا الحق حقا ويرزقنا اتباعه ويرينا الباطل باطلا ويرزقنا اجتنابه وكشفه وبيانه.

Banyak ulama Salafi-Wahabi yang menganggap Syiah sudah kafir, bukan lagi bagian dari Islam. Tapi ulama-ulama Al-Azhar tidak mengkafirkan Syiah; paling maksimal mereka menyatakan Syiah telah berbuat bid’ah dalam akidah, tentu saja dengan perspektif kredo Sunni (a.l. karena akidah kemaksuman Imam, raj’ah, ghaibah, bada’, dll.), tapi Syiah tetaplah masih berada dalam koridor Islam.

Proyek “taqrib” itu pernah pula dikukuhkan dalam Deklarasi Amman pada 2005. Deklarasi itu menghimpun wakil-wakil tiap negara dari seluruh dunia Islam, tak terkecuali dari Irak dan Iran. Wakil dari Indonesia saat itu, antara lain, ialah KH Hasyim Muzadi (Ketua PBNU saat itu). Dan jelas ternyatakan dalam deklarasi itu bahwa mazhab Syiah diakui sah sebagai bagian dari Islam. [Sila search di google tentang Deklarasi Amman, atau kunjungi websitenya di ammanmessage.com]


Deklarasi itu ditindaklanjuti lagi, untuk menyikapi konflik sektarian di Irak, dengan Dekrasi Mekkah pada 2006, dan Deklarasi Bogor, Indonesia, pada 2007.


[ 2 ]
Sebenarnya dalam batasan yang bagaimana seseorang bisa divonis kafir?

Saya akan mengambil pandangan ulama ortodoks: Imam Abu Hamid al-Ghazali dengan karyanya Fayshal at-Tafriqah. Tiada yang meragukan otoritas Al-Ghazali, kecuali segelintir saja dari kalangan Salafi. Al-Ghazali adalah ulama ortodoks Sunni-Asy’ari-Syafi’i; menjadi rujukan ajaran tasawuf Nahdlatul Ulama (NU), di samping Junaid al-Baghdadi.

Saya pernah mengulas tentang Fayshal at-Tafriqah itu di bagian lain di blog ini (rujuk ke tulisan ini: Mengkafirkan itu Tidak Mudah/Jangan mudah mengkafirkan sesama muslim). Saya ulas sedikit di sini beberapa poin penting darinya.


Jangan Mudah Mengkafirkan Sesama Muslim

Saat ini mudah sekali sebagian pihak memberi label kafir kepada mereka yang tidak sependapat, beda penafsiran dan juga beda pilihan politik. Ini seperti pengulangan sejarah kelam umat Islam yang gara-gara persoalan kepemimpinan selepas terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan kemudian terjadi perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Keduanya adalah sahabat Nabi yang harus kita hormati, namun gara-gara perbedaan politik ada sebagian pihak yang mengkafirkan salah satu atau keduanya. Muncul pula sejumlah hadits palsu hanya sekedar untuk mencaci atau mendukung salah satunya. Ayat suci direduksi menjadi alat politik.

Sepanjang sejarah kita saksikan betapa mudahnya sebagian pihak mengkafirkan muslim lainnya. Seolah mereka tidak takut dengan ancaman dari penggalan Hadits Nabi ini:

 ‎وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

“Barang siapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh” (HR Bukhari-Muslim)

Berdasarkan prinsip kehati-hatian yang terkandung dalam Hadits di atas, maka para ulama berhati-hati untuk menjatuhkan vonis kafir kepada sesama Muslim.

Qadhi Iyad yang bermazhab Maliki menulis kitab yang sangat terkenal, yaitu al-Syifa bi ta’rif huquq al-Musthafa. Beliau menukil pendapat para ulama:

 ‎ونقل القاضي عياض رحمه الله عن العلماء المحققين قولهم: ‎يجب الاحتراز من التكفير في أهل التأويل فإن استباحة دماء المصلين الموحدين خطر، والخطأ في ترك ألف كافر أهون من الخطأ في سفك محجمة من دم مسلم واحد.

“Wajib menahan diri dari mengkafirkan para ahli ta’wil karena sungguh menghalalkan darah orang yang shalat dan bertauhid itu sebuah kekeliruan. Kesalahan dalam membiarkan seribu orang kafir itu lebih ringan dari pada kesalahan dalam membunuh satu nyawa muslim.”

Kitab al-Syifa di atas diberi syarh (penjelasan) salah satunya oleh al-Mulla Ali al-Qari al-Harawi yang bermazhab Hanafi. Beliau memberi penjelasan sebagai berikut:

قال علماؤنا إذا وجد تسعة وتسعون وجها تشير إلى تكفير مسلم ووجه واحد إلى ابقائه على إسلامه فينبغي للمفتي والقاضي أن يعملا بذلك الوجه وهو مستفاد من قوله عليه السلام ادرؤوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم فإن وجدتم للمسلم مخرجا فخلوا سبيله فإن الإمام لأن يخطئ في العفو خير له من أن يخطئ في العقوبة رواه الترمذي وغيره والحاكم وصححه

“Berkata para ulama kita jika terdapat 99 hal yg menguatkan kekafiran seorang Muslim, tetapi masih ada satu alasan yang menetapkan keislamannya maka sebaiknya Mufti dan Hakim beramal dengan satu alasan tersebut, dan ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: ‘Hindarkanlah hukuman-hukuman pidana dari kaum muslimin semampu kalian, jika kalian mendapatkan jalan keluar bagi seorang muslim, maka pilihlah jalan itu. Karena sesungguhnya seorang pemimpin yang salah dalam memberi maaf itu lebih baik dari pada pemimpin yang salah dalam menghukum,’ sebagaimana diriwayatkan Imam Turmudzi dan lainnya dan Imam al-Hakim yang mensahihkannya.”

Dari penjelasan di atas terlihat jelas kehati-hatian para ulama. Meskipun ada sekian banyak bukti yang mengarah pada kekafiran saudara kita, namun jikalau masih terlihat satu saja alasan untuk menetapkan keislamannya, para ulama memilih satu alasan tersebut dan menahan diri untuk mengkafirkan orang tersebut. Lebih baik kita keliru menyatakan dia tetap Islam ketimbang kita keliru mengatakan dia kafir. Lebih baik kita keliru memaafkan dia ketimbang kita keliru menghukum orang yang tak bersalah.

Dalam masalah pidana yang tidak punya konsekuensi mengeluarkan orang dari keimanannya saja perlu kita carikan alasan agar pelakunya terbebas dari hukuman, apalagi mengkafirkan orang yang jika salah memvonisnya, maka konsekuensi di dunia sangatlah berat seperti dibunuh jika tidak mau taubat, hilangnya hak waris, fasakh pernikahannya, apalagi konsekuensi di akherat.

Ucapan senada juga sudah disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali yang bermazhab Syafi’i dalam kitab al-Iqtishad fil i’tiqad

وقال أبو حامد الغزالي : ‎”والذي ينبغي الاحتراز منه :”التكفير” ما وجد إليه سبيلا، فإن استباحة الدماء والأموال من المصلين إلى القبلة، المصرحين بقول لا إله إلا الله محمد رسول الله خطأٌ، والخطأ في ترك ألفِ كافر في الحياة أهون من الخطأ في سفك دمٍ لمسلم”

“Agar menjaga diri dari mengkafirkan orang lain sepanjang menemukan jalan untuk itu. Sesungguhnya menghalalkan darah dan harta muslim yang shalat menghadap qiblat, yang secara jelas mengucapkan dua kalimat syahadat, itu merupakan kekeliruan. Padahal kesalahan dalam membiarkan hidup seribu orang kafir itu lebih ringan dari pada kesalahan dalam membunuh satu nyawa muslim”.

Rasulullah SAW juga bersabda: “tiga perkara yang merupakan dasar keimanan: menahan diri dari orang yang mengucapkan La Ilaha illallah, tidak mengkafirkannya karena suatu dosa, dan tidak mengeluarkannya dari keislaman karena sebuah amalan…” (HR Abu Dawud, nomor 2170)

Dibalik ucapan mengkafirkan orang lain itu sebenarnya tersembunyi perasaan bahwa saya lebih baik dari dia; saya lebih islami, lebih suci, dan lebih benar serta akan masuk surga ketimbang dia. Persoalannya darimana kita tahu bahwa amalan ibadah kita “yang banyak sekali itu” pasti diterima Allah dan dosa mereka “yang begitu banyak itu” tidak akan Allah ampuni?

Saya tidak tahu nasib saya kelak, bagaimana saya bisa begitu yakin dengan nasib orang lain. Anda pun juga demikian. Ini merupakan hak prerogatif Allah. Jangan sampai kita justru jatuh pada kesyirikan karena merasa dan bertindak seperti Allah yang menentukan keimanan orang lain. Semoga Allah mengampuni kita semua.

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School


Sudah menjadi kesepakatan ulama Asy’ariyah (mazhab akidah yang diikuti mayoritas umat Islam): tidak boleh mengkafirkan ahlul-qiblah. Tidak boleh mengkafirkan orang yang memegangi kalimat syahadat (tiada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya). Diterangkan pula oleh Al-Ghazali, tidak boleh mengkafirkan mazhab yang tidak melanggar hal pokok (ushul) dalam agama yang mutawatir (teriwayat oleh banyak orang dan mustahil ada persekongkolan untuk berdusta).

Terhadap hal yang mutawatir inipun Al-Ghazali masih merinci, sebab bisa jadi yang mutawatir bagi Ahlus Sunnah, belum tentu mutawatir bagi Syiah. Karena itu, kata Al-Ghazali, perbedaan dalam kemutawatiran suatu statemen akidah, tak bisa dijadikan dasar untuk mengkafirkan.

Contoh dari hal yang layak untuk dikafirkan, menurut Al-Ghazali, misalnya kalau ada orang menyatakan bahwa kiblat yang menjadi arah salat bukanlah di Mekkah, sebab hal ini disepakati mutawatir lintas sekte. Misal lainnya, bila seseorang menyatakan bahwa Sayyidah ‘Aisyah telah berzina, padahal mutawatir dan termaktub di Al-Quran, belasan ayat yang membebaskan ‘Aisyah dari tuduhan zina.

Al-Ghazali pernah menulis satu kitab yang membantah akidah salah satu sekte Syiah. Judulnya: “Fadha’ih al-Bathiniyyah”. Buku ini ditulisnya untuk membantah klaim-klaim akidah Syiah-Ismailiyah (bukan Syiah-Imamiyah; yang mayoritas dalam Syiah sekarang). “Bathiniyah” waktu itu menjadi nama yang lazim tersemat ke Syiah-Ismailiyah (7 Imam), dan masuk kategori Syiah-ekstrem. Bahkan dalam menanggapi Bathiniyah pun Al-Ghazali masih memilah-milah, dan tampak sangat berhati-hati.

Al-Ghazali menerangkan bahwa meski Syiah mencaci Sahabat, dan itu dosa, ia tak menyatakan si pencaci itu kafir. Kata Al-Ghazali, “Kalau keliru dalam menisbatkan sifat pada Allah, sebagaimana terjadi dalam perdebatan antara Shifatiyyah dan Mu’atthilah, tidak dihukumi kafir, maka keliru dalam menisbatkan sifat kepada manusia lebih ringan hukumnya.”

Al-Ghazali amat mewanti-wanti agar umat Islam tidak tergesa-gesa menjatuhkan vonis kafir. Sebab vonis kafir itu berbahaya. Menurut fikih konservatif, vonis kafir bisa berujung pada status halal darahnya (ibâhah ad-dam). Konsekuensi takfir ialah pencabutan nyawa. Maka terang Al-Ghazali berkata: Kesalahan dalam membiarkan seratus kafir hidup, masih lebih ringan daripada kesahalan dalam menumpahkan darah seorang muslim. Kata al-Ghazali pula, kesalahan memasukkan orang ke dalam Islam, lebih ringan daripada kesalahan mengeluarkannya dari Islam.

Karena itu, sudah menjadi ajaran Ahlus Sunnah, untuk tak boleh tergesa-gesa mengkafirkan Syiah. Pengkafiran yang tergesa-gesa, apalagi menggeneralisasi semua Syiah apapun cabangnya adalah kafir, adalah bentuk kezaliman terhadap ajaran Ahlus Sunnah sendiri.


[ 3 ]
Tak sedikit perawi-perawi Syiah yang diambil hadisnya oleh Shahih Bukhari dan Muslim. Ini jelas menjadi fakta yang sulit dibantah: Kalau mereka bukan muslim, tentunya Al-Bukhari dan Muslim tak akan mengambil hadisnya.

Namun, ada sebagian pandangan menyatakan keberatan. Katanya, perawi-perawi di dua kitab hadis tersahih Ahlus Sunnah itu memang Syiah, namun Syiah dulu dengan sekarang berbeda. Syiah yang diambil hadisnya oleh Bukhari-Muslim hanya yang berpandangan bahwa Ali lebih unggul (afdhal) di atas Abu Bakar, Umar dan Utsman.

Namun klaim ini tidak sepenuhnya tepat. Sebab jika ada kelompok Islam yang mengunggulkan Ali di atas ketiga khalifah sebelumnya, tidak lantas menjadikannya Syiah. Sejarah Islam mencatat, dulu ada Mu’tazilah-Bashrah yang mengunggulkan Ali, tapi mereka memusuhi Syiah. Mu’tazilah-Bashrah ini berbeda pandangan dengan Mu’tazilah Baghdad.

Lepas dari hal itu, para perawi Syiah yang diambil hadisnya oleh al-Bukhari dan Muslim bukan sekedar Syiah saja. Ambil contoh sebagian dari perawi yang Syiah itu. Misalnya, Ubaydullah ibn Musa al-‘Absi. Kata Ibn Mandah, Ubaydullah ini seorang Syiah-Rafidhah, dan ia tidak mengizinkan orang bernama Mu’awiyah masuk ke rumahnya. Yang lain, misalnya Abbad ibn Ya’qub ar-Rawajini. Ia dinyatakan oleh Ibn Hajar sebagai Rafidhah juga.

Itu sekedar contoh, dan masih banyak yang lainnya. Misalnya, Abdul Malik ibn Ayan al-Kufi, Awf ibn Abi Jamilah al-A’rabi, Abdur Razaq as-Shan’ani, dll. Sebagian menyatakan, jumlah perawi Syiah yang terambil riwayat hadisnya di kitab hadis yang enam (al-kutub as-sittah) ada puluhan orang. Mereka bukan sekedar Syiah belaka, tapi juga Rafidhah (menolak kepemimpinan ketiga khalifah sebelum ‘Ali ibn Abi Thalib).

Data ini tegas menunjukkan, meski ke-Rafidhah-an dinyatakan oleh Ahlus Sunnah sebagai bid’ah, tapi mereka tetaplah bagian dari Islam. Jika mereka dikeluarkan dari Islam, entah ada berapa hadis Sunni yang akan hilang. Artinya, pengkafiran Syiah meniscayakan kerugian besar bagi rujukan hadis milik Ahlus Sunnah.


[ 4 ]
Tidak semua sekte Syiah itu sesat; sebagaimana tidak semua sekte di Ahlus Sunnah itu lurus seratus persen. Karena itu, kita mesti menghindari generalisasi. Sebab, penisbatan pandangan pada bukan orang yang menyatakannya adalah kezaliman.

Maka dari itu, tidak boleh menisbatkan pandangan sekte Syiah A, ke sekte Syiah B; tidak boleh menisbatkan pandangan Syiah-minoritas sebagai tolok ukur yang mewakili Syiah keseluruhan; tidak boleh menjadikan pandangan orang biasa, yang bukan ulamanya, sebagai representasi pandangan sekte itu.

Ini pun berlaku sama saat Syiah, misalnya, hendak menilai Ahlus Sunnah. Tidak bisa menjadikan pandangan Salafi-Wahabi misalnya, sebagai representasi Ahlus Sunnah. Di Indonesia, kita tak bisa menjadikan pandangan salah satu partai Islam, misalnya, sebagai representasi satu-satunya Ahlus Sunnah di Indonesia. Sekali lagi, generalisasi dalam menisbatkan pandangan adalah kezaliman.

Syiah itu sekte tertua yang lahir dari friksi umat Islam. Karena itu, perkembangan di dalamnya pasti terjadi. Kita tak bisa serta merta menyamakan bahwa Syiah saat ini adalah sama persis dengan Syiah masa lampau. Perubahan pandangan itu hal biasa. Bukan hanya di Syiah, di sisi Ahlus Sunnah pun begitu.

Pandangan Abu Hanifah dengan Hanafiyah bisa beda. Pandangan Al-Asy’ari dengan Asya’irah (pengikut Al-Asy’ari bisa beda). Bahkan pandangan As-Syafi’i di dalam dirinya sendiri antara saat beliau di Irak dengan di Mesir, bisa berbeda. Syiah pun demikian. Mainstream Syiah-Imamiyah terbagi jadi dua: Akhbari dan Ushuli (mirip Ahlul Hadits dan Ahlur Ra’yi dalam Ahlus Sunnah). Yang mayoritas di Syiah-Imamiyah adalah yang Ushuli.

Dalam hal menilai Syiah, saya memegangi statemen Syiah masa kini sesuai pernyataan buku “Buku Putih Mazhab Syiah: Menurut Para Ulamanya yang Muktabar” yang ditulis oleh tim Ahlul Bait Indonesia (ABI), terbitan 2012. Ini karena, penilaian yang adil adalah dengan mendasarkan pada klaim si “terdakwa”, bukan tuduhan musuhnya.

Ambil contoh tentang tuduhan bahwa menurut Syiah, Al-Quran yang ada sekarang ini telah mengalami distorsi (tahrif). Menurut pengakuan buku putih itu (halaman 34): “Jumhur ulama Syiah meyakini bahwa Al-Quran yang ada di tangan Muslim saat ini adalah satu-satunya Al-Quran.” Dikatakannya pula (masih di halaman 34): “Asal-muasal tuduhan tahrif terhadap Syiah diambil dari pandangan segelintir ulama Syiah dari kelompok Akhbari. Munculnya klaim tahrif itu diprakarsai kelompok Syiah-Akhbari, antara lain oleh Ni’matullah al-Jazairi dan Syaikh Nuri dengan kitabnya ‘Fashlul Khitab’.”

Di situ cukup terang, tuduhan dari sebagian kalangan Sunni tidak terkonfirmasi oleh pihak Syiah yang muktabar. Oleh karena itu, mari kita adil menilai. Dari dari bentuk keadilan menilai ialah kita tidak bisa serta merta menilai pandangan Syiah masa kini dengan hanya berdasar pada kitab induk hadis Syiah, seperti Al-Kafi karya Al-Kulaini—yang biasanya disetarakan dengan Shahih Bukhari bagi Ahlus Sunnah. Sebab, tidak semua di Al-Kafi adalah sahih (al-Kulaini sendiri tak menisbati kitabnya dengan, misalnya, Shahih al-Kafi), sebagaimana tidak semua yang di Shahih Bukhari adalah sahih (padahal judul kitab itu ternisbati kata “Shahih”). Yang studi hadis tentu tahu hal ini.

Intinya, silakan baca buku itu, dan anda akan mendapati hal yang berbeda dari propaganda negatif yang selama ini menyebar tentang Syiah, padahal itu klaim dari segolongan saja. Poin saya dalam argumentasi ini ialah: hindarilah generalisasi; sebab generalisasi adalah bentuk kezaliman.


[ 5 ]
Ada setidaknya tiga poin yang selama ini disepakati dalam berbagai muktamar taqrib Sunnah-Syiah. Yakni: (1) Al-Quran harus sama—ini sudah dijelaskan di atas; (2) Tidak boleh mencela figur-figur yang dihormati oleh kedua belah pihak; (3) tidak boleh ada Syiahisasi di negeri-negeri Sunni; begitu pula sebaliknya.

Mencela figur-figur terhormat, baik dari Syiah yang mencela Sahabat, atau Sunni yang mencela para ulama Syiah masa kini, itu tentu haram. Jangankan mencela manusia, mencela sesembahan orang musyrik pun dilarang (lihat QS 6:108). Karena itu jelas, dan ini berlaku lintas sekte, bahwa mencela mazhab atau agama lain itu merusak ukhuwah. Rekonsiliasi Sunni-Syiah tiada akan terwujud jika Syiah, misalnya, masih mencaci Sahabat yang dihormati Sunni; atau orang Sunni misalnya, mencaci Ayatullah Khomeini.

Itulah asas taqrib. Dan, syukurlah, sebagian ulama Syiah kini sudah memfatwakan keharaman bagi orang Syiah untuk mencaci Sahabat yang dihormati Ahlus Sunnah. Di sini, kita tahu, perkembangan pendapat itu ada.

Tentang poin ketiga itu, yakni tiada bolehnya Syiahisasi atau Sunnahisasi di negeri yang berbeda mazhab, perkenankan saya untuk mengajukan kritik berikut.

Selama ini, argumen pelarangan penyebaran mazhab lain di negeri lain adalah karena penyebaran sekte itu, baik Sunnah ke negeri Syiah, atau Syiah ke negeri Sunni, akan menimbulkan friksi akut di masyarakat. Menurut saya, perpecahan, friksi, fragmentasi, dan sebagainya terjadi bukanlah karena keberadaan mazhab itu, tapi karena pengikut mazhabnya yang eksklusif dan tidak terbiasa dengan kritik dari kalangan yang beda aliran.

Jangankan antara Sunni dengan Syiah, di dalam Sunni sendiri pun tak jarang terjadi friksi antara mazhab-mazhabnya. Sampai kini, tidak bisa dimungkiri, terjadi pertengkaran hebat antara Sunni-Asy’ari-Maturidi dengan Sunni-Salafi-Wahabi. Pertengkaran bukan hanya di level ulamanya, tapi juga di akar rumput. Di Indonesia, Nahdhiyin menentang keras keberadaan Wahabi.

Perlu pula dicatat, saat Wahabi mensyirikkan amaliyah NU (tawassul, tabarruk, ziarah kubur, maulid Nabi, dll.), maka itu bukan lagi persoalan furu’ (cabangan), itu sudah ushul (pokok). Apalagi, kita tahu, syirik adalah dosa terbesar. Tentu naif kalau dinyatakan bahwa Wahabi mestinya dilarang beredar di Indonesia hanya dengan alasan keberadaan Wahabi menimbulkan friksi di masyarakat dan merusak ukhuwah Islam, bukan?

Lagipula, dalam catatan sejarah, pertengkaran sektarian bukan saja terjadi karena perbedaan soal ushul, melainkan juga furu’. Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jam al-Buldan, bab entri huruf hamzah dan shad, tentang kejadian pada abad ke-5 H, menyatakan bahwa pada masa itu di Isfahan pernah terjadi fanatisme akut antara Hanafiyah dan Syafi’iyyah. Antara kedua mazhab itu terjadi peperangan cukup lama. (Waqad fasyâ al-kharâb fi hadza al-waqt wa qablahu fi nawâhîhâ li katsrah al-fitan wa at-ta’asshub baina asy-syafi’iyyah wa al-hanafiyyah wa al-hurûb al-muttashilah bain al-hizbain).

Masih di Mu’jam al-Buldan, bab entri huruf ra’ dan ya’, terjadi di Ray (Iran), pernah ada peperangan antara Hanafiyah dengan Syafi’iyah yang, karena kemenangan berada di tangan Syafi’iyah, kemudian penduduk Rustaq yang bermazhab Hanafi mendatangi Ray dengan membawa senjata dan bunuh-bunuhan pun terjadi.

Muhammad ibn Ismail as-Shan’ani di kitabnya, Irsyâd an-Nuqqâd fi Taysîr al-Ijtihad, pada bab Tawaqquf fi tashdîq al-mukhbir hattâ taqûm al-bayyinah, menuliskan bahwa Mula ‘Ali al-Qari berkata bahwa dulu pernah masyhur terjadi, bila ada Hanafi pindah ke mazhab Syafi’i maka akan dihukum; dan jika sebaliknya, maka tidak dipersoalkan (isytahara baina al-hanafiyyah anna al-hanafiy idza intaqala ilâ madzhab asy-syâfi’i yu’azzaru waidza kâna bi al-‘aksi fainnahu yukhla’u ‘alayh).

Sekali lagi, persoalan perpecahan di tubuh umat Islam bukanlah karena beda sekte semata. Lebih dari itu, friksi terjadi karena masing-masing pengikut mazhab tidak terbiasa dengan kritik dan mudah tegang hanya karena dipicu sentimen yang dibumbui panasnya tensi politik. Ini bukan berarti saya hendak membuka lebar ajaran Syiah disebar di negeri Sunni. Tentu saja, ajaran Syiah yang berisi cacian kepada Sahabat tidak bisa ditolerir. Caci-maki terhadap figur terhormat, dari agama manapun, adalah tindakan yang merusak persaudaraan.


[ 6 ]
Dulu di masa-masa ketika kredo Sunni dan Syiah belum “dibekukan” dalam kitab-kitab induk, hubungan Sunni-Syiah cukup damai. Keduanya terintegrasi dalam masyarakat.

Dalam hal ini saya merujuk ke ulasan yang pernah disampaikan Mukhtar as-Syinqiti, doktor bidang sejarah agama yang menulis disertasi tentang pengaruh Perang Salib terhadap friksi Sunni-Syiah. Anda bisa mencari makalahnya di websitenya (berbahasa Arab: shinqiti.net) dan kuliah-kuliahnya di Youtube (Misalnya, search dengan kata kunci Arab: as-sunnah wa asy-syî’ah; baina at-tawâshul wa al-qathî’ah) bisa dilihat videonya:


Dikatakannya, dulu di masa Abbasiyah, hubungan Sunni dan Syiah itu komunikatif (tawâshul), saling terbuka dan saling belajar. Tidak ada friksi sektarian dalam skala yang massif antara Sunni & Syiah. Di masa itu, Sunni & Syiah berintegrasi dalam masyarakat. Tak jarang, orang Sunni belajar di masjid Syiah, demikian pula sebaliknya. Muhaddits Ahlus Sunnah, Al-Hakim an-Naisaburi, misalnya, yang menulis Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, didaku sebagai ulama Syiah, sebab al-Hakim lah yang menulis kitab musthalah hadits yang diberikannya kepada murid-muridnya yang Syiah.

Di sisi lain, Sunni pun menyerap budaya Syiah. Muhammad Zaki Ibrahim dalam Fiqh as-Shalawat wa al-Mada’ih an-Nabawiyyah (2011: 103-105) menceritakan bahwa tradisi perayaan maulid Nabi dimulai oleh kalangan Syiah dari Dinasti Fathimiyah di Mesir. Tradisi maulid waktu itu digalakkan untuk membangkitkan semangat cinta Nabi dan Ahlul Bait, serta memperkokoh persatuan dan konsolidasi negara sebagai rival pemerintahan Sunni di Baghdad.

Melihat efek dari tradisi maulid itu, Sultan Muzhaffar ad-Din di Irbil (masih bawahan Abbasiyah Baghdad yang Sunni) ikut membudayakannya. Ia bahkan menggelontorkan lebih dari 1000 dinar sebagai hadiah bagi siapa saja yang mampu menyusun syair-syair pujian kepada Nabi (madah nabawiy). Sejak saat itu, tradisi maulid menjadi budaya populer dan semarak dilakukan di negara-negara kekhilafahan lainnya.

Tradisi maulid semakin berkembang ketika Shalahuddin al-Ayyubi memanfaatkan efek tradisi maulid itu. Shalahuddin berpandangan bahwa maulid bisa menjadi manifesto persatuan dan persaudaraaan (ukhuwwah) umat Islam. Untuk membangkitkan semangat juang prajuritnya, Shalahuddin mengadakan sayembara menggubah syair-syair madah. Salah satu karya besar yang lahir setelah itu adalah kitab Maulid al-Barzanji, karya Syaikh Ja’far al-Barzanji, yang masih banyak dibaca hingga kini dan cukup sering didendangkan rutin mingguan oleh orang-orang NU.

Lebih dari itu, dulu tak sedikit di antara para khalif Abbasiyah yang mengambil menteri dari orang Syiah. Dinasti Fathimiyah, yang bermazhab Syiah-Ismailiyah, pun tak sedikit mengambil menteri dari orang Sunni. Para ilmuwan dan saintis yang mengabdi pada negara juga banyak yang lahir dari kelompok Syiah: Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Miskawayh, Jabir ibn Hayyan, Ibn Sina, dll—karena itu, bila sekolompok umat Islam tak mengakui Syiah sebagai bagian dari Islam, maka mereka tak bisa mendaku penemuan para saintis itu sebagai sumbangsih Muslim kepada dunia.

Dalam hal ini berlaku hukum sejarah: Peradaban yang berkembang (izdihâr) ialah peradaban yang terbuka (infitâh), menyerap berbagai budaya, dan toleran pada perbedaan pandangan. Semakin peradaban tertutup, maka ia makin menuju fase kemunduran (inhithâth). Tiada peradaban yang berkembang hanya berdasar murni dari dirinya sendiri, tanpa ada kontak dengan peradaban, kebudayaan, dan pemikiran yang berbeda.

Di masa inklusivisme—Dr Mukhtar menyebutnya ‘ashr at-tawâshul wa al-infitâh—pernah terjadi integrasi Sunni-Syiah dalam masyarakat, dan hampir tiada friksi. Lalu, eksklusivisme—Dr Mukhtar menyebutnya dengan istilah ‘ashr at-ta’asshub wa al-qathî’ah—menghinggapi hubungan Sunni-Syiah dengan ditandai oleh dua perkembangan sejarah. Pertama, saat pandangan Hanabilah mendominasi dunia Sunni dan, kedua, saat Mu’tazilah merasuk ke dunia Syiah.

Akar sengketa bermula pada awal-awal abad ke-5 H, sebagai imbas dari tragedi “mihnah”—yang menyeret Imam Ahmad ibn Hanbal ke dalam siksaan penjara. Tragedi itu menyisakan permusuhan akut antara Ahlul Hadits versus Mu’tazilah. Seiring dengan hegemoni Ahlul Hadits yang mengalahkan dominasi Ahlur Ra’yi di dunia Sunni, permusuhan pada Mu’tazilah menguat. Di sisi lain, Mu’tazilah terserap ke dalam Syiah. Jadilah Syiah bukan sekedar gerakan politik, melainkan menjadi mazhab akidah. Sejak itulah, Syiah sebagai ideologi menemukan bentuk yang sempurna. Di masa itu pula kemudian 4 kitab hadis induk Syiah mulai ditulis. (Empat kitab hadis induk Syiah itu muncul setelah Sunni-Syiah sudah mengalami fase separasi dan benih-benih permusuhan mulai tumbuh, sehingga tidak kecil kemungkinannya sentimen sektarian ikut merembes ke dalam kitab hadis Syiah itu)

Pada mulanya, sengketa terjadi hanya antara Hanabilah versus Syiah. Kitab-kitab tarikh yang menerangkan kejadian pada abad 5 H, kata Dr Mukhtar asy-Syinqithi, banyak menuliskan terjadinya fitnah antara Hanabilah versus Syiah.

Pada perjalanan selanjutnya, ringkas cerita, pandangan Hanabilah ini mendominasi dunia Sunni [Apalagi, saat permusuhan itu semakin diruncingkan oleh Ibn Taimiyyah, yang mengkritik keras Syiah melalui kitabnya “Minhaj as-Sunnah”, kemudian ajaran Ibn Taimiyah itu dihidupkan oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab dan menjadi paham Salafi kini]. Di sisi Syiah-Imamiyah, gerakan politiknya semakin radikal seiring ideologi politik harakiy ala Syiah-Ismailiyah menjadi ideologi arus utama: oposisi setia terhadap Sunni. Sejak itu, Sunni dan Syiah terlibat sengketa tiada henti sampai sekarang.

Poin saya di sini adalah: sengketa akut Sunni-Syiah sangat tidak terlepas dari faktor sejarah politik. Tensi politik dalam sejarah masa lampau itu, sedikit maupun banyak, ikut mempengaruhi ajaran dan kredo yang kemudian merembes ke dalam kitab-kitab rujukan kedua mazhab tersebut.

Butuh usaha besar untuk menggali kembali sisi sejarah yang hilang; sejarah saat Sunni dan Syiah bisa berdampingan, berintegrasi; dan perbedaan pandangan tidak menjadi alasan untuk bermusuhan, justru jadi peluang untuk saling belajar; menerima dan memberi.


[ 7 ]
Data sejarah Nusantara menunjukkan bahwa Syiah sudah lama berada di bumi Indonesia. Salah satu tesis terkuat tentang muasal Islam di Nusantara ialah dari Gujarat & Persia yang, sedikit atau banyak, diwarnai oleh ajaran dan amaliyah Syiah.

Menurut Agus Sunyoto di buku Wali Songo, Islam mulai berkembang di India, salah satunya, dimotori oleh kalangan Alawiyyin yang lari dari kejaran penguasa Umayyah dan Abbasiyah. Pengaruh tradisi dan pemikiran Alawiyyin yang dianut orang-orang Persia terbawa ke India. Dari India, kemudian terbawa ke Nusantara.

Pengaruh Persia itu antara lain ada dalam sistem pengajaran al-Qur’an yang menggunakan istilah-istilah berbahasa Persia untuk menyebut harakat (vokal) dalam bahasa Arab, seperti jabar untuk fathah, jer untuk kasrah, dan pes (fesy) untuk dhammah. Generasi simbah saya masih ada yang mengeja al-Quran dengan jabar, jer, dan pes itu.

Pengaruh dalam bidang kesusastraan juga cukup besar. Ini muncul dalam karya terjemahan dari sastra Persia: Qissa-i-Emir Hamza (Hikayat Amir Hamzah, mengisahkan kepahlawanan Hamzah ibn Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad Saw), Qissah Insyiqaq al-Qamar (Hikayat Terbelahnya Bulan, salah satu mukjizat Nabi Muhammad Saw), Rawdhat al-Ahbab (Hikayat Nur Muhammad), Wafat Nameh (Hikayat Nabi Wafat), Qissah Wasiyyah al-Mustafa li Imam ‘Ali (Kisah Wasiat Nabi kepada Ali), Qissah Amir al-Mu`minin Hasan wa Husain (Kisah Amirul Mukminin Hasan dan Husain), Qissah i Ali Hanafiyah (Kisah Ali al-Hanafiyah [putra Ali ibn Abi Thalib dari istrinya, Khaulah, dari Bani Hanifah]), dan lain-lain. [Simaklah judul-judul karya itu; yang indikatif pada ajaran Syiah]

Konon, dulu juga pernah ada Kesultanan Perlak di Aceh—yang sezaman dengan masa Daulah Abbasiyah—yang bermazhab Syiah. Ada pula beberapa tradisi Syiah yang bertahan lama, mungkin sampai kini masih ada, yakni perayaan Asyuro dengan Tabot & bubur Asyuro—dan bulan Muharram pun lazim disebut orang Jawa dengan nama “Sasi Suro”. Adapula beberapa ajaran yang mirip—untuk tak dikatakan sama persis—antara Syiah dengan Ahlus Sunnah. Misalnya, tawassul, tabarruk, peringatan hari kematian, ziarah kubur, maulid Nabi, dan lain-lain.

Data sejarah ini menunjukkan bahwa sudah sejak lama Syiah menjadi bagian integral dalam Islam di Nusantara. Santri-santri Nahdliyin yang gemar shalawat pasti tahu bahwa syair “Ya Rasulallah Salamun ‘Alayk” yang biasa dibaca dalam Barzanji atau Diba’i menyebut imam-imam Syiah: dari ‘Ali ibn Abi Thalib sampai ‘Ali ar-Ridha. (Lihat mulai bagian syair: kam imâmin ba’dahu khalafû). Orang-orang NU yang gemar bershalawat tentu tahu kasidah-kasidah macam “Ya Zahra”, “Ya Ala Baitin Nabi”, “Birasulillah wal-Badawi”, “Li Khamsatun”, dll. [Sebagai misal, “Li Khamsatun” oleh anak-anak Syiah bisa dilihat Videonya:


“Li Khamsatun” oleh anak-anak NU bisa dilihat Videonya:


Kasidah-kasidah pujian kepada Ahlul Bait itu tak hanya didendangkan oleh Sunni, melainkan juga oleh Syiah. Kenyataan ini menunjukkan kebenaran ungkapan masyhur dari Gus Dur itu: NU adalah Syiah-kultural.


[ 8 ]
Makna “Syiah” dalam konsep Al-Quran (6:159 & 30:32) sebenarnya identik dengan golongan yang suka mencerai-beraikan agama (alladzina farraqû dînahum wakânû syiya’an)–perlu dimengerti, istilah “Syiah” itu sendiri sebenarnya peyoratif; orang-orang Syi’i lebih suka menisbati diri mereka sendiri dengan nama Mazhab Ahlil-Bayt atau sekurang-kurangnya dengan Syi’atu ‘Ali. Hari ini ada sebagian umat Islam yang berusaha menghentikan upaya persatuan & rekonsiliasi Sunni-Syiah, atas dasar anggapan bahwa Syiah bukan Islam. Bisa jadi, justru para pemecah belah itulah yang lebih cocok dengan konsep “Syiah” dalam deskripsi Al-Quran. Artinya, mereka menjadi “Syiah” tanpa sadar.

Betapapun, persatuan itu lebih baik daripada perpecahan. Al-Quran menyatakan banyak ayat tentang perdamaian dan rekonsiliasi (ash-shulh): Wash-shulhu khair; Wa ashlihû dzâta baynikum, dll. Al-Quran melarang umat Islam berpecah belah: la tafarraqû.

Kita mesti mengakhiri sengketa panjang lebih dari satu milenium ini. Sungguh menarik ayat yang dikutip Syaikh Wahbah dalam salah satu Muktamar Taqrib: Tilka ummatun qad khalat, lahâ ma kasabat wa ‘alayha ma iktasabat. Mereka kaum yang telah lalu; bagi mereka apa yang mereka lakukan. Sejarah kelam mestinya kita tinggalkan, demi menatap masa depan yang lebih toleran terhadap perbedaan, bukan?

In urîdu illa al-ishlâh ma istatha’tu. Wamâ tawfîqî illâ billâh.

(Liputan-Islam/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: