Pesan Rahbar

Home » » Membaca 70 Tahun Bandung Lautan Api; Perlawanan Tak Pernah Padam

Membaca 70 Tahun Bandung Lautan Api; Perlawanan Tak Pernah Padam

Written By Unknown on Tuesday, 29 March 2016 | 00:08:00


Sebelum perhelatan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 digelar, banyak momentum politik yang terjadi di Kota Bandung. Misalnya pembentukan Indische Partij pada 1912 yang digagas oleh E. F. E. Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara, yang pada gilirannya menjadi momen gerakan nasional pertama melawan kolonialisme.

Partai Nasional Indonesia (PNI) juga didirikan di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927, dua tahun setelah terbentuknya Algemene Studie Club yang didirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925. Pemerintah Hindia Belanda mengadakan penggeledahan secara besar-besaran dan menangkap empat pemimpin PNI, yaitu Ir. Soekarno, Maskun, Gatot Mangunprojo, dan Supriadinata. Mereka kemudian diajukan ke pengadilan di Bandung. Dalam proses pengadilan itulah Bung Karno menyusun pembelaan monumental: “Indonesia Menggugat”.


Bandung Membara

Buku berjudul “Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan” karya tim penulis Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung, mengupas secara dalam mengenai peristiwa Bandung Lautan Api.

Dikisahkan bahwa Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak awal hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan.

Malam tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.

Tentara sekutu memberikan ultimatum pertama dengan alasan untuk menjaga keamanan, mereka menuntut agar Kota Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia selambat-lambatnya pada 29 November 1945.

pada 25 November 1945, rakyat Bandung ditimpa musibah, yakni banjir besar akibat meluapnya Sungai Cikapundung. Bencana alam tersebut menelan ratusan korban yang terhanyut karena derasnya arus sungai. Ribuan penduduk Bandung juga kehilangan tempat tinggal.

Keadaan tersebut justru dimanfaatkan tentara sekutu dan Belanda atau NICA (Netherland Indies Civil Administration). Mereka menyerang rakyat yang sedang tertimpa musibah. Pada 5 Desember 1945, pesawat-pesawat tempur Inggris mengebom daerah Lengkong Besar.

Tentara sekutu mengeluarkan ultimatum kedua pada 23 Maret 1946. Kali ini, mereka menuntut Tentara Republik Indonesia (TRI) mengosongkan seluruh kota Bandung. Pemerintah Republik Indonesia memerintahkan agar TRI mengosongkan Kota Bandung.

Untuk membicarakan hal krusial ini, Perdana Menteri (PM) RI, Sutan Sjahrir menerima kunjungan Komandan Divisi III (kini Kodam III Siliwangi) Kolonel AH Nasution di Jakarta. Nasution menuturkan hasil perundingan mereka dengan pihak Inggris yang melakukan ultimatum kepada Indonesia, khususnya memerintahkan TKR dan pejuang untuk meninggalkan Bandung.

Dengan berbagai pertimbangan strategis, diplomatis, dan teknis, akhirnya PM Sjahrir memutuskan bahwa TKR dan pejuang harus pergi dari Bandung. “Kerjakan saja,” kata Sjahrir.

Sjahrir beralasan bahwa TRI adalah modal yang harus dipelihara dan dibangun untuk melawan musuh yang sebenarnya, bukan Inggris tetapi Belanda/ Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Jika TRI mempertahankan Bandung dengan melawan Inggris, lambat laun Bandung tetap akan diduduki. Sebab, dari segi persenjataan dan jumlah personel, Inggris bukanlah lawan yang seimbang bagi TRI meskipun dibantu pejuang atau laskar.

Saat itu, TRI Bandung hanya memiliki 100 pucuk senjata, kebanyakan memakai bambu runcing dan senjata tajam lainnya. Sedangkan Inggris memiliki 12 ribu pasukan yang bersenjata lengkap dan modern, belum lagi dibantu pasukan bayaran Gurkha dan NICA.

“Jangan sampai hancur dahulu. Harus kita bangun untuk kelak melawan NICA,” kata Sjahrir. Selain itu, dia juga memerintahkan meski TKR meninggalkan Bandung, pemerintah sipil supaya tetap di posnya masing-masing. Alasannya, jika mereka pergi NICA akan mengisi pos atau kantor-kantor mereka.

Dalam menyikapi ultimatum Inggris, sikap para pejuang terbelah. Ada yang menginginkan bertahan di Bandung sambil melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan, ada juga yang memilih meninggalkan Bandung sambil mengatur strategi gerilya ketika berada di luar Bandung. Meski begitu, tujuan mereka sama yakni menolak keras upaya penjajahan kembali oleh Belanda.

Nasution kembali ke Bandung. Pada 24 Maret 1946 pukul 10.00 WIB. Para petinggi TRI mengadakan rapat untuk menyikapi perintah PM Sjahrir di Markas Divisi III TKR. Rapat ini dihadiri para pemimpin pasukan Komandan Divisi III Kolonel Nasution, Komandan Resimen 8 Letkol Omon Abdurrahman, Komandan Batalyon I Mayor Abdurrahman, Komandan Batalyon II Mayor Sumarsono, Komandan Batalyon III Mayor Ahmad Wiranatakusumah, Ketua MP3 Letkol Soetoko, Komandan Polisi Tentara Rukana, dan perwakilan tokoh masyarakat dan pejuang Bandung.

Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam militer di Bandung, Nasution akhirnya memutuskan untuk mentaati keputusan pemerintah RI. Keputusan ini berisi beberapa poin, di antaranya TRI akan mundur sambil melakukan infiltrasi atau bumi hangus, hingga Bandung diserahkan dalam keadaan tidak utuh.

Lalu rakyat akan diajak mengungsi bersama TRI. Selama pengungsian, TRI dan pejuang akan melakukan perlawanan dengan taktik gerilya ke Bandung Utara dan Selatan yang dikuasai musuh.

Melalui siaran RRI pada pukul 14.00, Nasution mengumumkan: bahwa semua pegawai dan rakyat harus keluar sebelum pukul 24.00, tentara melakukan bumi hangus terhadap objek vital di Bandung agar tidak dipakai Inggris dan NICA.

Saat malam tiba, TRI akan menyerang Bandung. TRI juga mempersiapkan sejumlah titik pengungsian bagi Keresidenan Priangan, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Jawatan KA, Jawatan PTT, rumah sakit, dan lain-lain.

Karena persiapan yang minim, banyak gedung vital yang tidak bisa diledakkan, kalaupun meledak, tidak sanggup merusak bangunan yang terlalu kokoh. Beberapa kemungkinan menjadi pemicu melesetnya jadwal ledakkan dari jadwal semula, yakni faktor teknis atau keterampilan menguasi bahan peledak yang minim, alat peledak yang kurang, atau ada sabotase untuk menggagalkan sekenario Bandung Lautan Api. Terlebih saat persiapan pengungsian pasukan Gurkha dan NICA terus melakukan provokasi hingga penembakan terhadap para pejuang.

Kebakaran hebat justru timbul dari rumah-rumah warga yang sengaja dibakar, baik oleh pejuang maupun oleh pemilik rumah yang sukarela membakar rumahnya sebelum berangkat ngungsi. Rumah-rumah warga yang dibakar membentang dari Jalan Buah Batu, Cicadas, Cimindi, Cibadak, Pagarsih, Cigereleng, Jalan Sudirman, Jalan Kopo. Kobaran api terbesar ada di daerah Cicadas dan Tegalega, di sekitar Ciroyom, Jalan Pangeran Sumedang (Oto Iskandar Dinata), Cikudapateuh, dan lain-lain.

Secara bergelombang antara 100 ribu hingga 200 ribu warga Bandung meninggalkan kampung halamannya dari siang hingga malam. Sebagian besar pengungsi bergerak dari daerah selatan rel kereta api ke arah selatan sejauh 11 kilometer melewati Sungai Citarum. Ada pula yang yang bergerak dari utara, barat dan timur. Jalan raya besar seperti Regentsweg (kini Dewi Sartika), Jalan Raya Banjaran (Muhammad Toha), Jalan Kopo, dan Jalan Buah Batu menjadi jalan utama yang digunakan pengungsi. Sebagian pengungsi ada yang melalui Cigereleng, Jalan Raya Banjaran, Menuju Dayeuhkolot.

Nasution menegaskan, pengungsian dan pembakaran Bandung sebagai strategi perlawanan terhadap Inggris dan NICA sekaligus menyiapkan diri menghadapi agresi militer Belanda.

Setelah Peristiwa ini, Inggris memaksa Belanda agar melanjutkan perundingan dengan RI. Padahal sejak awal Belanda menolak berunding dengan alasan Indonesia adalah negara Bentukan Jepang. Beberapa perundinganpun digelar, Linggarjati 10 November 1946, perjanjian Renville pada 1948, perjanjian Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, dan pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949.

(Empat-Pilar-MPR/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: