Pesan Rahbar

Home » » Profil dan Nasab Abdul Muththalib (Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdu Manaf) Menurut Daftar Pustaka

Profil dan Nasab Abdul Muththalib (Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdu Manaf) Menurut Daftar Pustaka

Written By Unknown on Thursday, 10 November 2016 | 01:04:00

Foto lama (Sebelum Perusakan Oleh Wahabi Mekah) perkuburan Hujun tempat pemusaraan Tuan Abdul Muthtalib

Peran Terkemuka: Kakek Nabi Muhammad Saw, pemuka kabilah Quraisy, dan tokoh besar kota Mekah
Tanggal Lahir: 127 sebelum Hijrah, Madinah Semenanjung Jazirah Arab
Tahun Wafat: 40 sebelum Hijrah
Tempat pusara: Perkuburan Hujun, Mekah, Semenanjung Jazirah Arab
Tempat Tinggal: Mekah
Keturunan, Nasab: Quraisy, Arab
Gelar: Pemberi minum Para jemaah haji
Agama: Penyembah Tuhan Yang Esa
Sanak famili: Abu Thalib, Nabi Saw, Abdullah


Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdu Manaf (Bahasa Arab: عَبْدُ المُطَّلِب بن هاشم بن عبد مناف ) adalah kakek Rasulullah Muhammad Saw, pembesar kabilah Quraisy yang sangat disegani dan dihormati di kota Mekah. Ia lahir di kota Yatsrib dan hijrah ke Mekah pada usia 7 tahun dan menjalani kehidupannya di kota tersebut sampai akhir hayatnya. Ia dikenal dalam peristiwa penyerangan kota Mekah oleh pasukan bergajah yang dipimpin Abrahah.


Nasab

Abdul Muththalib berasal dari kabilah Quraisy, putra Hasyim sehingga ia dikenal sebagai pembesar dari Bani Hasyim. Nasab dan silsilah keluarganya sampai kepada Nabi Ibrahim As. Ibunya bernama Salma binti ‘Amru dari Bani Najar Khazraj dari Thaifah. Setelah Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah, kabilah neneknya tersebut menjadi sahabat dan pembela Rasulullah Saw.[1] Nasab Aimmah As dan para pembelanya (Bani Ali, Bani Ja’far dan Bani Aqil) berujung pada Abu Thalib bin Abdul Muththalib dan yang berasal dari nasab Bani Abbas ada 37 orang dari khalifah Dinasti Abbasiyah (132 – 656 H) sampai kepada Abbas bin Abdul Muththalib dan nasab 17 orang dari khulafa Abbasiyah di Mesir (659 – 923 H). Begitupun khalifah ke 35 Dinasti Abbasiyah di Irak yaitu al-Thahir Billah (622 – 623 H) juga sampai kepada Abbas bin Abdul Muththalib. [2]


Nama dan Kunyah

Nabi asli Abdul Muththalib yaitu Syaibah dan kunyahnya adalah Abul Harits.[3] Disebutkan pula bahwa ia memiliki nama lainnya, diantaranya: Amir, Sayid al-Bathaha’, Saqi al-Hajaij, Saqi al-Ghaits, Ghaits al-Wara fi al-‘Am al-Jadab, Abu al-Sadat al-‘Asyarah, Abd al-Muthalib, Hafir Zam-zam [4], Ibrahim Tsani [5] dan Fayyadzh.

Yang menjadi penyebab ia lebih dikenal dengan sebutan Abdul Muththalib: Setelah beberapa tahun pasca wafatnya Hasyim, Muththalib (paman Abdul Muththalib) membawanya dari kota Yastrib ke kota Mekah. [6]

Sewaktu warga kota Mekah dan Quraisy melihat Abdul Muththalib memasuki kota bersama pamannya, mereka menganggapnya sebagai budak yang dibawa Muththalib dari kota Yastrib, dengan itu dinamai Abdul Muththalib (budak atau hamba sahaya dari Muththalib), meski mereka menyadari kekeliruan itu, nama Abdul Muththalib oleh penduduk Mekah terus dilekatkan padanya. [7]


Hari Kelahiran

Hasyim ayah Abdul Muthalib dalam perjalanannya ke Yastrib, ia menikah dengan Salma binti ‘Amru bin Zaid dari Thaifah Bani Najar. [8] Sebelum kelahiran puteranya Abdul Muthalib (Syaibah), Hasyim melakukan perjalananan ke kota Gaza Palestina namun meninggal dunia di kota tersebut, dan di tempat itu pula ia dimakamkan. [9]

Beragam pendapat dari ahli sejarah menyebutkan Abdul Muththalib bersama ibunya di kota Yastrib selama 7 tahun, ada pula yang menyebut lebih dari itu. [10] Tidak berselang lama, Muththalib pamannya sengaja ke kota Yastrib untuk menjemputnya dan membawanya kembali ke kota Mekah. [11]


Menjadi Pembesar di Kota Mekah

Muththalib setelah kematian saudaranya Hasyim, ia kemudian menjadi pengganti kedudukannya sebagai kepala kabilah. Setelah beberapa tahun berlalu, sewaktu berada di Yaman disebuah perkampungan bernama Radiman, ia meninggal dunia sehingga kedudukannya sebagai kepala kabilah jatuh ke tangan keponakannya, Abdul Muththalilb. Abdul Muththalib berkat kecakapan, kecerdasan dan kebijaksanaan yang dimilikinya, semua kaum Quraisy ridha dengan kepemimpinannya.[12]


Kepribadian Abdul Muththalib

Ya’qubi mengatakan, “Abdul Muththalib sewaktu memegang kedudukan sebagai kepala kabilah, tidak disertai dengan persaingan. Allah Swt tidak memberikan kecakapan dan kemampuan memimpin pada siapapun dizamannya sebagaimana yang ia miliki. Dari sumur Zam-zam di Mekah sampai Dzu al-Haram di Thaif ia jamin kenyamanannya. Kaum Quraisy sendiri memberikan masing-masing hartanya kepada Abdul Muththalib untuk dikelolah dan dibawah manajemennya tidak ada seorangpun warga yang mengalami kelaparan meskipun burung-burung di pegunungan juga tidak pernah ada yang kekurangan makanan. Mengenai hal tersebut, Abu Thalib pernah berkata, “Betapa kami memberikan makanan kepada masyarakat, sampai burung-burungpun merasa dikeyangkan oleh kedermawanan kami.”

Semasa hidupnya, Abdul Muththalib sama sekali tidak pernah menyembah berhala. Ia meyakini tauhid dan memiliki ilmu ma’rifat mengenai Allah Swt, sehingga jika ia bernadzar atau bersumpah maka ia niatkan karena Allah Swt. Sebagian dari sunnah yang dijaganya, disebutkan dalam Al-Qur’an. [13]

Ya’qubi meriwayatkan hadis yang sanadnya sampai ke Nabi Muhammad Saw, bahwa ia bersabda, “Allah Swt mengumpulkan pada kakek saya –Abdul Muththalib- silsilah kenabian dan keagungan para bangsawan.” [14]


Pasukan Bergajah

Berdasarkan catatan sejarah, baik dalam periwayatan Islam maupun kesaksian warga setempat, peristiwa penyerangan ke kota Mekah oleh tentara Abrahah yang dikenal dengan istilah Ashab al-Fil (Pasukan Bergajah) yang hendak menghancurkan Ka’bah terjadi pada masa Abdul Muththalib sebagai kepala kabilah dan pimpinan di kota Mekah. [15] Sewaktu memasuki kota Mekah, tentara Abrahah merampas unta-unta milik penduduk Mekah. Ketika mendapatkan laporan tersebut, Abdul Muththalib menemui Abrahah dan memprotes tindakannya. Ia meminta agar unta-unta yang dirampas tentara Abrahah untuk segera dikembalikan kepada pemiliknya. Abrahah mengatakan, “Aku pikir kamu datang untuk berdialog untuk mencegah niatku menghancurkan Ka’bah.”

Abdul Muththalib, “Saya adalah penanggungjawab dan penjaga dari unta-unta yang tentara anda rampas. Sementara Ka’bah, ada pemiliknya sendiri yang akan menjaganya.”

Sehabis menyampaikan hal tersebut, ia kembali ke kota Mekah dan memerintahkan kepada penduduk kota Mekah untuk berlindung di balik bukit sembari membawa harta benda mereka untuk diselamatkan. [16]

Hari berikutnya, terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan. Ketika pasukan bergajah Abrahah hendak menghancurkan Ka’bah, tiba-tiba berdatangan sekelompok burung dari langit yang menyerang pasukan tersebut sehingga pasukan tersebut kocar-kacir. Banyak dari pasukan bergajah tersebut yang tewas dan sebagian kecil dari mereka melarikan diri.[17]


Penggalian Sumur Zam-zam

Menurut catatan sejarah kota Mekah, sebelum Mekah dibawah dominasi Qushay bin Kilab (nenek moyang Rasulullah Saw), kabilah Jurhum lebih dulu berkuasa di Mekah. Namun karena kabilah Jurhum bertindak sewenang-wenang dan menindas kabilah lain, maka terjadi perebutan kekuasaan yang diawali dengan perang antar kabilah yang berlarut-larut. Saat Umar bin Harits menjadi kepalah kabilah, Jurhum mengalami kekalahan. Untuk menyelamatkan harta kabilah yang tersimpan di dalam Kabah, Umar bin Harits mengeluarkannya dan menjatuhkannya ke sumur Zam-zam kemudian menutupinya dengan tanah supaya tidak bisa ditemukan. Beberapa tahun setelahnya saat Mekah dibawah kekuasaan Abdul Muthalib, ia memerintahkan untuk menemukan kembali sumur Zam-zam dan melakukan penggalian atasnya. Beruntung, lokasi sumur Zam-zam bisa ditemukan dan pasca penggalian Abdul Muthalib menemukan harta dan perhiasan yang tersembunyi didalamnya. Dengan harta tersebut, Abdul Muthalib mendanai renovasi Ka’bah termasuk renovasi sumur Zam-zam sehinggar akhirnya bisa dimanfaatkan kembali oleh penduduk kota Mekah. [18]


Janji Abdul Muthalib

Menurut sebagian perawi, pada peristiwa penggalian sumur Zam-zam yang mendapat mendapat penentangan dan protes dari pembesar-pembesar Quraisy lainnya, untuk memuluskan langkahnya, Abdul Muthalib melakukan nazar (janji) kepada dirinya sendiri bahwa jika ia mempunyai 10 anak, maka anak kesepuluhnya akan dia kurbankan di jalan Allah Swt di sisi Ka’bah. Proses penggalian sumur Zam-zampun mendapat kemudahan dari Allah Swt dan akhirnya bisa kembali dimanfaatkan seperti semula.

Beberapa tahun setelahnya, Abdul Muthalib dikaruniai anak sampai sepuluh orang. Anak kesepuluh yang dia niatkan untuk dikurbankan, diberi nama Abdullah. Namun karena rasa sayangnya yang besar pada Abdullah, Abdul Muthalib mengganti nazarnya dengan mengurbankan seratus ekor unta untuk menggantikan posisi Abdullah.

Ali Dawani dengan bersandar pada keyakinan bahwa Abdul Muthalib adalah seorang yang bertauhid, menolak kesahihan riwayat tersebut dengan mengajukan alasan, silsilah perawi pada riwayat berkenaan dengan peristiwa tersebut adalah orang-orang yang tidak bisa ditelusuri identitasnya dan menurutnya itu adalah riwayat buatan yang baru muncul pada masa dinasti Bani Umayyah, untuk menunjukkan Abdul Muthalib termasuk seorang yang musyrik, sehingga mereka bisa menjatuhkan posisi Imam Ali bin Abi Thalib As yang memiliki nasab dan silsilah yang terhormat.[19]


Iman Abdul Muthalib

Menurut riwayat yang kuat, Abdul Muthalib menganut agama yang hanif dan tidak pernah menyembah berhala sekalipun dalam episode hidupnya. Salah seorang sejarahwan abad ketiga Hijriyah , Mas’udi setelah melakukan penelitian terhadap berbagai pendapat yang muncul berkenaan dengan iman dan agama Abdul Muthalib berpendapat, bahwa Abdul Muthalib tidak pernah menyembah berhala dan menganut agama yang hanif (lurus). [20]

Syaikh Shaduq yang menukilkan riwayat dari Imam Shadiq As menyatakan bahwa Nabiullah Muhammad Saw pernah berkata kepada Imam Ali As: Abdul Muthalib tidak pernah kalipun bermain judi dan menyembah berhala. Selanjutnya ia berkata, “Aku memegang teguh agama nenek moyangku, Ibrahim.” [21]


Sunnah Abdul Muthalib

Syaikh Shaduq dalam kitab Khashāl menuliskan riwayat dari Imam Shadiq As yang menyebutkan Nabi Muhammad Saw berkata kepada Imam Ali As, “Abdul Muthalib memiliki lima sunnah yang diberlakukannya pada masa jahiliyah, dan kelima sunnah tersebut tetap diberlakukan di masa Islam. Lima sunnah itu adalah, mengharamkan istri ayah untuk dinikahi anaknya, dan Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.” [22]

Ia menemukan harta yang terpendam (maksudnya adalah harta yang ditemukannya pada saat penggalian sumur Zam-zam) dan mengeluarkan khumusnya.[23] Allah Swt berfirman mengenai hal tersebut, “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah…” [24]

Sewaktu sumur Zam-zam bisa kembali dimanfaatkan, Abdul Muthalib menyebutnya سقایة الحاج (tempat minum jamaah haji) yang diperuntukkan untuk menjamu jamaah haji. Mengenai pelayanan terhadap jamaah haji yang dilakukan Abdul Muthalib, Allah Swt berfirman, “Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah?” [25]

Abdul Muthalib menetapkan aturan diyah (denda) terhadap pembunuhan satu jiwa manusia sebanyak seratus ekor unta, dan hukum itu pula yang Allah Swt berlakukan dalam agama Islam. Ketika melakukan putaran saat tawaf di Ka’bah yang dilakukan kaum Quraisy sebelumnya tidak memiliki ketentuan jumlah, lalu oleh Abdul Muthalib ditetapkan ketentuan, saat tawaf yang dilakukan adalah mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Aturan tawaf tujuh kali putaran itu pula yang kemudian hari ditetapkan dalam aturan fiqh haji dalam Islam. [26] Ya’qubi menulis, “Abdul Muthalib menjadi peletak batu pertama sunnah-sunnah yang kemudian dijalankan dan ditetapkan oleh Rasulullah Saw yang mendapat penegasan dengan turunnya ayat-ayat Ilahi yang berkenaan dengan hal tersebut. Diantaranya: Kesetiaan pada nadzar (janji), penetapan 100 ekor unta sebagai pembayaran diyah, pengharaman pernikahan dengan mahram, pelarangan memasuki rumah melalui atas atap, memotong tangan pencuri, pelarangan membunuh anak perempuan, mubahalah, pengharaman minumkan keras, pengharaman zina dan pemberlakukan hukum rajam untuk pelakunya, pengraman mengundi/judi, melarang tawaf dengan telanjang, penghormatan terhadap tamu, pengeluaran ongkos ibadah haji dari harta yang halal dan layak, memuliakan bulan-bulan haram dan pelarangan untuk berbuat riya dan berlaku nifak.” [27]


Wafat

Menurut sumber yang masyhur, Abdul Muthalib meninggal dunia disaat Nabi Muhammad Saw berusia 8 tahun. [28]Sejarahwan berbeda pendapat mengenai usia Abdul Muthalib saat wafatnya, ada yang berpendapat 82 tahun, 108 tahun dan 140 tahun.

Disebutkan, sesaat sebelum meninggalnya, Abdul Muthalib mengumpulkan anak-anak perempuannya dan berkata, “Sebelum saya wafat, saya menginginkan kalian menangis untukku, bacakanlah syair kesedihan, sehingga kalian bisa mengatakan apa yang kalian hendak katakan setelah aku meninggal.”

Seketika itu pula, anak-anak perempuan Abdul Muthalib menangisinya dan membacakan sajak-sajak kepiluan. Dinukilkan dari Ummu Aiman, yang berkata, “Muhammad mendatangi jenazah Abdul Muthalib dan kemudian menangis. Jenazah Abdul Muthalib dibawa ke Hujun dan dimakamkan di sisi kakeknya, Qushai bin Kilab. [29]


Keturunannya

Diriwayatkan Abdul Muthalib memiliki 10 orang putra yang bernama: Harits, Abdullah, Zubair, Abu Thalib, Hamzah, Maqum, Abbas, Dharar, Qatsam, Abu Lahab (nama lainnya Abdul ‘Azi) dan Ghaidaq.[30]

Ia juga memiliki enam anak perempuan yang bernama: Atikah, Shafiyah, Amimah, Barah, Urwa dan Ummu Hakim.[31] Diantara paman Rasulullah hanya Abu Thalib, Hamzah dan Abbas yang menerima dakwah Rasulullah Saw dan memeluk agama Islam, begitupun dari kalangan bibinya, hanya Shafiah dan Urwa. [32]


Catatan Kaki

1. Usdu al-Ghabah, jld. 6, hlm. 151.
2. Nasab Bani Harits dan Bani Abi Lahab juga sampai kepada Abdul Muthalib. Dapat dirujuk dalam kitab ‘Amdata al-Thālib fi Ansāb Ali Abi Thālib yang ditulis oleh Jalamuddin Ahmad bin Ali Husaini, yang lebih dikenal dengan nama Ibn Ghanabah (w. 828 H).
3. Ibnu Abdul Barra, jld. 1, hlm. 27.
4. Bihār al-Anwār, jld. 15, hlm. 128.
6. Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 11, Beirutm 1379 H.
7. Tārikh al-Thabari/terj, jld. 3, hlm. 802.
8. Rasul Mahlati, Sayid Hasyim, Zendeghi Muhammad Saw, jld. 1, hlm. 91.
9. Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 65.
10. Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 65.
11. Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 1, hlm. 137.
12. Rasuli Mahlati, Sayid Hasyim, Zendeghi Muhamamd Saw, jld. 1, hlm. 91.
13. Ibn Sa’ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 1, hlm. 77, Tārikh Ibn Khaldun, jld. 1, hlm. 365.
14. Terj. Tarikh Ya’qubi, jld. 1, hlm. 363.
15. Terj. Tarikh Ya’qubi, jld. 1, hlm. 363.
16. Akhbār al-Thawāl/terj. hlm. 92.
17. Affarinasy wa Thārikh/terj, jld. 1, hlm. 532.
18. Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 1, hlm. 47.
19. Ibn Katsir al-Damsiqi, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 244.
20. Dawani, Ali, Tarikh Isla az Agaz ta Hijrat, hlm. 45.
21. Marwaj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 109.
22. Shaduq, Khashāl, jld. 1, hlm. 455.
23. Nisa’: ayat 22.
24. Tarikh Tahqiqi Islam, jld. 1, hlm. 206.
25. Al- Anfal: 41.
26. At-Taubah, ayat 19.
27. Shaduq, Khashāl, jld. 1, hlm. 455.
28. Tarikh Tahqiqi Islam, jld. 1, hlm. 207.
29. Ibn Jauzi, al-Munadzham fi Tarikh al-Umum wa al-Muluk, jld. 2, hlm. 282.
30. Ibn Atsir, Asad al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahābah, jld. 1, hlm. 23.
31. Affarinasy wa Tārikh/trej, jld. 2, hlm. 722.
32. Affarinasy wa Tārikh/trej, jld. 2, hlm. 722.


Daftar Pustaka 

1. Ibnu Abdu al-Bar, al-Isti’āb fi Ma’rifati al-Ashāb, riset: Ali Muhammad al-Bajawi, Dar al-Jail, cet. 1, Beirut, 1412 H.
2. Tarikh Ya’qubi, cet. Beirut, 1379 H.
3. Ibn Hisyam, Abdul Mulk bin Hisyam al-Hamiri, al-Sirah al-Nabawiyah, riset: Musthafa al-Siqa, Beirut, Dar al-Ma’rifah.
4. Rasuli Mahlati, Sayid Hasyim, Zendeghi Muhammad Saw, Tehran, Intisyarat Kitabchi, 1375 S.
5. Ibn Sa’ad, Muhamamd bin Sa’ad bin Muni’ bin Hasyim Bashri, al-Thabaqāt al-Kubra, riset: Mahmud Mahdawi Damaghani, Tehran, Intisyarat Farhang wa Andisyeh, 1374 S.
6. Ibn Hisyam, Abdul Mulk bin Hisyam al-Hamiri, al-Sirah al-Nabawiyah, riset: Mushthafa al-Siqa, Beirut, Dar al-Ma’rifah.
7. Ibn Atsir, ‘Az al-Din Abu al-Hasan Ali bin Muhammad, al-Kāmal fi al-Tārikh, riset: Abu al-Qasim Halat, Tehran, Muassasah Mathbu’ati Ilmi, 1371 S.
8. Qarah Chanlu, Husain, Haramain al-Syarifain (Tarikh Mekah wa Madinah), Tehran, Intisyarat Sepahr.
Abu al-Fada, Ismail bin Umar bin Katsir al-Damsyiqi, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Beirut, Dar al-Fikr, 1407 H.
9. Dawani, Ali, Tarikh Islam az Aghaz ta Hijrat, Qom, Daftar Intisyarat, Islami, cet. 8, 1373 S.
10. Abu al-Farj Abd al-Rahman bin Ali bin Muhammad ibn al-Jauzi (597 M), al-Mudzham fi Tarikh al-Umum wa al-Muluk, riset: Muhammad Abdul Qadir ‘Atha wa Mushthafa Abdul Qadir Atha, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 1412 H.
11. Ibn Atsir Abu al-Hasan Alli bin Muhammad bin Abdul Karim, Asad al-Ghābah fi Ma’rifah al-Shahabah, Beirut, Dar al-Fikr, 1409 H.
12. Al-Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, riset: Muhammad Baqir al-Mahmudi, Beirit, Muassasah al-‘Ilmi lil Mathbu’āt, cet. 1, 1394 H.
13. Tārikh Thabari, Muhammad bin Jarir Thabari (w. 310 H), riset: Abu al-Qasim Paindah, Tehran, Asathir, cet. 5, 1375 S.
14. Al-‘Abr Tārikh Ibn Khaldun, terj. Abdul Muhammad Aiti, Muassasah Muthāla’āt wa Tahqiqāt Farhanggi, cet. pertama, 1363 S.
15. Akhbar al-Thawāl, Abu Hanifah Ahmad bin Daud Dainuri (w. 283 H), terj. Mahmud Mahdawi Damaghani, Tehran, Nasyr Ney, cet. 4, 1371 S.
16. Affarinasy wa Tarikh, Muthahar bin Thahir Muqaddasi, terj. Muhammad Reza Syafi’i Kudakani, Tehran, Aghah, cet. I, 1374 S.
17. Muruj al-Dzahab wa Ma’ādin al-Jauhar, Abu al-Hasan Ali bin al-Husain bin Ali al-Mas’udi (w. 364 H) riset: As’ad Dhagar, Qom, Dar al-Hijrah, cet. 2, 1409 H.
18. Muhammad Hadi Yusufi Gharawi, Tarikh Tahqiqi Islam, terj. Husain Ali Arabi, Qom, Muassasah Amuzesy Imam Khomaeni ra.

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: