Pesan Rahbar

Home » » Syi'ah, Wahabiyah dan Salafiyah

Syi'ah, Wahabiyah dan Salafiyah

Written By Unknown on Monday, 1 December 2014 | 01:34:00


Oleh: Cak Nurcholis Majid


1. SYIAH

Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.

Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.

Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.

Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.


Doktrin

Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu'uddin {masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
1. Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
2. Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
3. An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia
4. Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
5. Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.

Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3).

Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang).Dimensi ketuhanan ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3).

Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang). Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2)

Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70)

Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al-Maa'idah / QS. 5:17)

Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An'am / QS 6:149)

Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96)

Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22).

Allah yang menentukan segala akibat. Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2)

Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi.

Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70)

Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al-Maa'idah / QS. 5:17)

Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An'am / QS 6:149)

Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96)

Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22).

Allah yang menentukan segala akibat. nabi sama seperti muslimin lain. I’tikadnya tentang kenabian ialah:
1. Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
2. Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.
3. Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada.
4. Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
5. Al-Qur'an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW.


Sekte dalam Syi'ah

Syi'ah terpecah menjadi 22 sekte[rujukan?]. Dari 22 sekte itu, hanya tiga sekte yang masih ada sampai sekarang, yakni:


Dua Belas Imam

Disebut juga Imamiah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam); dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan imam mereka yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6. Jafar bin Muhammad (703–765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7. Musa bin Ja'far (745–799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
8. Ali bin Musa (765–818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
9. Muhammad bin Ali (810–835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
10. Ali bin Muhammad (827–868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11. Hasan bin Ali (846–874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
12. Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi


Ismailiyah

Disebut juga Tujuh Imam; dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6. Ja'far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7. Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.


Zaidiyah

Disebut juga Lima Imam; dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:
1. Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2. Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3. Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4. Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5. Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.


2. WAHABIYAH


WAHABISME DI INDONESIA

Apakah Ada Pengaruh Wahabisme di Indonesia?

Apakah ada pengaruh Wahabiyah di Indonesia? Jika ada, siapakah kelompok atau gerakan yang mewakilinya? Bagaimana Wahabiyah masuk ke Indonesia? Ketika radikalisasi Islam dianggap menjadi ciri penanda masyarakat Islam di Indonesia – terutama setelah rubuhnya Orde Baru, apakah itu dapat dipandang sebagai pengaruh paham Wahabiyah? Apakah doktrin jihad yang digunakan kelompok teroris diambil dari doktrin jihad Wahabiyah? Apakah Salafiyah – dan bukan Wahabiyah – yang dapat disalahkan karena berada di balik radikalisasi dan militansi yang muncul dalam isu penerapan syariat Islam? Tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan-pertanyaan ini sehingga uraian di bawah ini hanya bersifat tentatif.


Jihad di Nusantara Akhir Abad XVIII

Dalam sejarah pemikiran Islam di Asia Tenggara, ada seorang ulama yang hidup semasa dengan Muhammad ibn `Abd al-Wahhab, yaitu Abd al-Samad al Palimbani (wafat kira-kira 1788). Ia termasuk salah seorang yang paling dahulu – kalau bukan yang pertama – menulis uraian panjang mengenai jihad. Sebelum al-Palimbani, jihad bukan topik penting dalam karya-karya ulama di Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya. Baik karya Nuruddin ar-Raniri, al-Sirāt al-Mustaqīm, maupun karya Abd al-Ra’uf, Mir’at al-Tullâb, tidak mencakup bab mengenai jihad. Begitu pula, jihad sebagai doktrin ideologis dan bagian dari konstruksi musuh yang non-Muslim, termasuk penjajah dari Eropa, tidak berkembang. Penting dicatat bahwa, di dalam kitab-kitab yang muncul di Asia Tenggara sebelum paruh kedua abad XVIII, perang melawan penjajah Portugis (tahun 1511, di Malaka) dan Spanyol (tahun 1578, di Brunei) tidak disebut dan dilegitimasikan sebagai jihad atau perang sabil (Mansurnoor, 2004).

Al-Palimbani, seperti tampak dari namanya, adalah ulama kelahiran Palembang, yang tinggal di Mekkah. Ia lebih banyak menulis karya di bidang tasauf (misalnya?). Akan tetapi, kolonialisme dan perkembangan di Jazirah Arab, khususnya kemunculan dan gebrakan awal gerakan Wahabiyah, telah mendorongnya menulis mengenai masalah jihad dan menganjurkan raja-raja di Nusantara supaya berjihad melawan musuh yang berasal dari agama lain, yaitu kekuatan-kekuatan kolonial. Pada tahun 1772 al-Palimbani menulis surat kepada Raja Mataram Sultan Hamengkubuwono I dan Susuhunan Prabu Jaka, yang memuji raja-raja Mataram terdahulu yang berjihad melawan Belanda. Di kemudian hari, tulisannya menjadi rujukan penulis-penulis Aceh dan Melayu yang sedang gencar melancarkan perang melawan penjajah. Karyanya juga dirujuk dalam Hikayat Prang Sabi, syair jihad Aceh yang muncul seabad setelah al-Palimbani. (Mansurnoor, 2005; Bruinessen, 1990).

Setelah al-Palimbani, perlawanan terhadap penjajah Belanda semakin sering disebut sebagai jihad. Raja Ali Haji dari Pulau Panyengat, Riau, dalam bukunya Tuhfat al-Nafis menyebut perang melawan Belanda di Melaka pada 1784 sebagai jihad fi sabil Allah (Mansurnoor, 2005: 10). Perang Diponegoro (1825-1830), oleh pemimpinnya, Pangeran Diponegoro, juga disebut jihad. Di dalam Babad Dipanegara disebutkan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad karena Belanda adalah kafir. Ia juga mengajak supaya pengikutnya memerangi pemimpin dan penguasa Jawa yang menjadi antek Belanda, karena mereka menurutnya adalah murtad. Begitu pula, Perang Aceh yang berlangsung sejak akhir abad XIX dikategorikan sebagai jihad (Mansurnoor, 2005: 18-19).


Gerakan Padri di Sumatra Barat

Sebagian sejarawan menganggap Gerakan Padri di Sumatra Barat pada awal abad XIX sebagai gerakan Islam yang dipengaruhi paham Wahabi – baik dari sudut puritanisme maupun – dalam kadar yang lebih rendah – penggunaan kekerasan dalam dakwah. Beberapa tokoh dari Minangkabau tengah melaksanakan ibadah haji ketika kaum Wahabi menaklukkan Makkah dan Madinah pada tahun 1803-1804 – sebelum mereka terusir dari Madinah pada 1812 dan dari Mekkah pada 1813 karena dipukul pasukan Khalifah Usmaniah. Para jamaah haji dari Minangkabau ini sangat terkesan dengan ajaran tauhid dan syariat Wahabiyah dan bertekat menerapkan paham baru tersebut apabila mereka kembali ke Sumatra. Tiga di antara mereka adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Bersama-sama dengan Tuanku Nan Renceh, mereka memimpin apa yang kemudian disebut Gerakan Padri. (Dobbin, 1992: 152; Azra, 1994: 191-192).

Salah seorang dari jamaah haji dari Minangkabau itu adalah Haji Miskin. Dia menentang beberapa praktik yang menurutnya tidak sesuai dengan syariat, yaitu adu ayam jago, minum tuak, dan mengisap candu – kebiasaan yang sering berujung dengan perkelahian dan bahkan pembunuhan. Tidak mudah bagi Haji Miskin untuk menghentikan kebiasaan buruk ini. Malahan, ia ditentang masyarakat dan dalam beberapa perkelahian Haji Miskin dan pengikutnya terpaksa melarikan diri.

Tokoh Padri lainnya adalah Tuanku Nan Renceh. Ia juga menentang kebiasaan adu jago yang dilakukan di gelanggang yang khusus dibangun untuk tujuan tersebut. Dengan alasan bahwa cara-cara yang lunak telah gagal menghentikan kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat, Tuanku Nan Renceh mengadopsi ajaran jihad – yaitu dengan memerangi dan membunuh orang-orang yang menjalankan kebiasaan buruk tersebut. Kakak perempuan ibunya termasuk yang ia bunuh karena mengunyah tembakau. Memang, selain melarang adu jago, ia juga mengharamkan penggunaan tembakau dan candu. Yang juga ia kecam adalah judi, makan sirih, dan minum minuman keras. Selain itu, ia juga meminta orang memakai pakaian berwarna putih, melarang perhiasan emas dan pakaian sutra. Perempuan diminta menutupi wajahnya dan laki-laki dilarang mencukur jenggot. Tentu saja, Tuanku Nan Renceh dibantu para petugasnya mengawasi orang supaya supaya tidak lupa menjalankan salat lima waktu.

Penggunaan jihad dan kekerasan juga ditujukan dalam memerangi desa-desa dan kelompok-kelompok tarekat yang tidak tunduk kepada paham Wahabi kelompok Padri. Tidak jarang, desa yang satu diadu dengan desa lainnya dengan memanfaatkan potensi ketidakselarasan yang melanda hubungan antardesa di Minangkabau. Pengikut Tuanku Nan-Renceh bersedia berpartisipasi dalam perkelahian dan peperangan karena, jika menang, mereka akan mendapatkan harta rampasan dan upeti yang diberikan desa yang kalah (Dobbin, 1992: 159).

Gerakan Padri tidak berhasil menguasai semua wilayah Minangkabau dalam satu atap pengaruh Wahabiyah. Campurtangan Belanda di wilayah itu, dan perang yang berlangsung berkali-kali di berbagai kota di Sumatra Barat pada dekade-dekade awal abad XIX, cukup menyulitkan gerakan Padri dalam mengembangkan pengaruhnya. Selain itu, perubahan lain juga terjadi. Pada tahun 1820-an, gelombang jamaah haji baru kembali dari Tanah Suci. Mereka naik haji ketika pengaruh Wahabi di Mekkah dan Medinah merosot setelah dikalahkan di dua kota tersebut.


Pengaruh Wahabisme di Abad XX?

Di awal abad XX, dua gerakan dan organisasi Islam yang bersemangat puritan dan dengan pengaruh Wahabisme yang bervariasi bisa disebutkan secara singkat di sini. Keduanya adalah Muhammadiyah (berdiri 1912) dan Al-Irsyad (1915). Gerakan Islam lainnya, Nahdatul Ulama (1926) juga perlu disebut karena secara negatif dipengaruhi oleh gerakan Wahabisme dan Salafiyah. Selain perkembangan Islam di Timur Tengah, beberapa faktor penting terkait dengan gerakan-gerakan ini, yaitu gerakan reformasi Islam di Indonesia, kolonialisme Belanda dan pengaruhnya di bidang pendidikan dan reformasi sosial, dan nasionalisme.

Haji Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah, berasal dari periode yang lebih belakangan dari gerakan Padri. Yang lebih penting lagi, dia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci (yang kedua kali) pada saat yang menarik: Ketika Mekkah dan Medinah dikuasai oleh penguasa Wahabi/Saudi yang sedang membentuk negara Arab Saudi/Wahabi ketiga, dan, pada saat yang sama, ketika gerakan Salafiyah dicanangkan oleh Muhammadi Abduh dan Rasyid Ridla. Dengan Ridla, Ahmad Dahlan memiliki hubungan pribadi antara tahun 1903-1905. Karenanya, Ahmad Dahlan dapat menimba inspirasi dari dua gerakan tersebut. Akan tetapi, fanatikisme dan kekerasan yang dipertontonkan kaum Wahabiyah di jazirah Arab, begitu pula gerakan jihad melawan penjajah Belanda atau penguasa Indonesia, tidak tampak baik dalam biografi Ahmad Dahlan maupun dalam sejarah gerakan Muhammadiyah yang didirikannya (Pijper, 1984: 110-13; Noer, 1980: 108).

Syeikh Ahmad Surkati (1870-1943), pendiri organisasi pendidikan dan keagamaan Al-Irsyad, adalah seorang ulama keturunan Arab yang berasal dari Sudan dan datang ke Indonesia pada 1905. Dari negerinya ia pergi ke Mekkah dan mempelajari karya Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah. Ia juga mempelajari karya Muhammad Abduh. Ia menentang bidah di bidang syara` dan ibadat. Ia juga mentang praktik ziarah makam dan tempat-tempat keramat, memohon perantaraan (tawassul) para Nabi dan Wali, dan syafaat (Pijper, 122-123). Praktik bidah lainnya yang ia tentang adalah tahlil dan talkin. Praktik yang terakhir ini menurutnya berasal dari Suriah (Pijper, 125).

Beberapa praktik dan keyakinan keagamaan yang ditentang kalangan reformis dan puritan di Indonesia seperti Haji Ahmad Dahlan dan Syeikh Ahmad Surkati, adalah tahlilan, selamatan, sesaji, ziarah makam wali, tawassul, dan peran mazhab-mazhab fikih.

Nahdatul Ulama didirikan pada 1926. Kehadirannya terkait dengan dua perkembangan penting di dunia Islam, yaitu penghapusan khilafah di Turki dan tegaknya negara Wahabi-Saudi di Jazirah Arabia (Feillard, 1999: 11). Kalangan ulama ingin mempertahankan seperangkat praktik keagamaan yang selama ini dijalankan di Indonesia dan yang ditentang oleh paham Wahabi, yaitu membangun kuburan, ziarah, membaca puji-pujian seperti dalāil al-khairāt, kepercayaan kepada para wali, dan mengamalkan mazhab Syafii. Walaupun demikian, NU menolak tuduhan bidah yang dituduhkan oleh kalangan yang ingin memurnikan Islam, dan di dalam statuta NU disebutkan bahwa organisasi ini akan menyeleksi kitab mana yang ditulis oleh ulama Ahli Sunnah Wal Jamaah dan kitab yang ditulis ahli bidah (Feillard, 1999: 12-13).

Gerakan dan organisasi Islam yang muncul pada awal abad XX, baik yang puritanis maupun tradisionalis, tidak banyak menyinggung doktrin jihad. Ini selaras dengan berkurangnya perlawanan bersenjata terhadap penjajahan Belanda dan Jepang dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Gerakan nasionalisme dan gerakan keagamaan dalam konteks nasionalisme lebih menekankan cara-cara reformasi sosial, bukan perlawanan bersenjata. Selain itu, dalam kasus Indonesia, penjajah Belanda juga mengadakan perubahan mendasar di awal abad XX, yaitu politik etik yang menekankan reformasi sosial. Pendekatan ini menimbulkan munculnya konflik antara pendekatan kerjasama (kooperatif) dan perlawanan (non-kooperatif) di kalangan gerakan nasionalis di Indonesia sehubungan dengan penjajah Belanda dan kemudian Jepang.

Akan tetapi, radikalisasi masih dapat dilihat di daerah tertentu dan terkait dengan pertarungan politik dan elit lokal di masyarakat Muslim. Di Aceh, misalnya, ada konflik antara ulama reformis yang tergabung dalam PUSA (Persatuan ulama seluruh Aceh) yang didirikan Daud Beureueh dan ulama tradisionalis yang sebagian bergabung dalam gerakan PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang didirikan di Bukit Tinggi, Sumatra Barat pada 1930 dan cukup berpengaruh di Aceh. Yang penting dicatat di sini adalah bahwa dalam konteks Aceh, Salafiyah berarti tradisionalis, dan Wahabi berarti reformis dan puritan seperti PUSA dan Daud Beureueh. Saling mengkafirkan di antara kedua kubu sering terjadi.

Perkembangan lainnya yang menyangkut radikalisasi terjadi pada masa kemerdekaan dan terkait dengan perlawanan terhadap kecenderungan sentralisasi pemerintah pusat. Salah satunya yang terpenting adalah Gerakan Darul Islam pimpinan Kartosuwirjo di Jawa Barat, yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada Agustus 1949. Konstitusi NII menyatakan bahwa negara menjamin berlakunya syariat Islam dalam masyarakat Islam serta menjamin kebebasan beribadah bagi pemeluk agama-agama lain. Sehubungan dengan jihad, Kartosuwiryo membedakan jihad al-akbar dari jihad al-asghar, yang pertama adalah usaha-usaha mengembangkan diri, dan yang kedua berarti memanggul senjata melawan musuh. Sebelum Perang Dunia I, ia menekankan jihad al-akbar dan setelah ia melancarkan perlawanan terhadap pemerintah pusat, ia menekankan jihad al-asghar.

Gerakan Darul Islam, yang sempat menyebar ke Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Aceh, padam pada tahun 1960-an (tahun 1962 di Jawa Barat dan Aceh; tahun 1963 di Kalimantan Selatan; tahun 1965 di Sulawesi; di Jawa Tengah tahun 1955). Kartosuwirjo sendiri ditembak pada 1962. Akan tetapi, di masa yang belakangan, beberapa gerakan yang mengusung isu penerapan syariat, seperti N11 KW 9 di Cianjur, Komando Jihad, dan KPSI (Komite Penegakan Syariat Islam) di Sulawesi Selatan secara eksplisit atau implisit mengaitkan pergerakannya dengan Darul Islam.

Sejumlah organisasi kecil Islam berskala nasional, yang tidak berafiliasi dengan partai politik Islam maupun organisasi besar Islam, tetapi menuntut pemberlakuan syariat Islam dan sangat signifikan dalam pergerakannya yang akan dikaji di sini. Organisasi-organisasi ini menuntut penerapan syariat Islam pada basis yang sama dengan partai-partai politik Islam, yakni amandemen pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang mencantumkan kembali tujuh patah kata dalam rumusan Piagam Jakarta, yakni “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah (FKAWJ) dengan Laskar Jihadnya, Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), merupakan sebagian dari gerakan radikal nasional yang berjuang untuk tuntutan tersebut.


FKAWJ dan Laskar Jihad

FKAWJ dibentuk di Solo pada 14 Februari 1998, beberapa bulan menjelang lengsernya rejim Suharto, dan dipimpin oleh Jafar Umar Thalib. Karakter utama forum ini adalah salafisme, yang menganjurkan pembacaan literal terhadap al-Quran dan hadits, serta menolak seluruh penafsiran independen maupun praktek-praktek tradisional. FKAWJ memiliki sejumlah cabang di berbagai daerah Indonesia, dan kebanyakan anggotanya adalah mahasiswa, lulusan perguruan tinggi dan yang putus kuliah, terutama yang menggeluti bidang eksakta. Menurut Thalib, anggota dengan latar belakang semacam itu menghargai “presisi” hukum Islam.

FKAWJ memiliki sayap paramiliter bernama Laskar Jihad yang juga dipimpin oleh Thalib sendiri. Popularitas Laskar jihad melebihi FKAWJ lantaran mendapat publikasi yang luas dari media massa. Ada sejumlah alasan mengapa laskar ini memperoleh perhatian khusus media dan masyarakat. Pertama, ia menggunakan teknologi komunikasi yang terjangkau secara luas di Indonesia – mulai dari mesin faks hingga internet. Kedua, ia memanfaat teknologi baru itu dengan mengkombinasikannya dengan media konvensional untuk menanggulangi kerugian-kerugian yang dihadapinya sehubungan dengan kelompok-kelompok Muslim lainnya yang lebih besar dan moderat. Terakhir, fenomena Laskar Jihad menarik karena mengilustrasikan bahwa keragaman yang tengah tumbuh dalam masyarakat Muslim tidak mesti menjamin eksistensi pluralisme atau demokrasi.

Berdampingan dengan pengiriman pejuangnya ke Maluku, Laskar Jihad membuat suatu web-site (http://www.laskarjihad.org) yang menampilkan galeri foto kekejian Kristen di Maluku, laporan harian tentang kerusuhan Maluku, dan tafsiran bilingual (Indonesia-Inggris) tentang makna jihad. Laporan harian tentang kerusuhan Maluku kemudian dicetak dalam bentuk buletin, Maluku Hari Ini, dan disebarkan di jalan-jalan di berbagai kota yang memiliki jaringan Laskar Jihad.

Laskar Jihad, yang dibentuk pada Februari 2000, memang muncul dilatarbelakangi oleh pecahnya perang saudara antara kaum Muslimin dan Kristen di Maluku pada awal 1999. Tujuan pembentukannya adalah untuk melindungi kaum Muslimin dari kelompok paramiliter Kristen yang tidak mampu dilakukan pemerintah, dan menggulingkan Presiden Abdurrahman Wahid dari kekuasaannya. FKAWJ dan Laskar Jihad menentang Wahid karena dianggap menolak menerapkan syariat, mengusulkan pencabutan larangan Partai Komunis, serta mewacanakan pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel.

Setelah pembentukannya, pejuang Laskar Jihad di kirim ke Ambon, Poso dan daerah lainnya. Presiden Wahid berupaya mencegah masuknya Laskar Jihad ke Ambon, tetapi tidak berhasil. Selama tahun 2000 dan 2001, Laskar Jihad menempatkan sekitar 2000 pejuangnya di Maluku secara bergiliran. Mereka tinggal di rumah penduduk Muslim setempat, yang barangkali dimaksudkan memfasilitasi penyebaran ajaran-ajaran Salafi. Pada awalnya, kaum Muslimin lokal menyambut baik para pejuang Laskar Jihad. Mereka mengakui bahwa para pendatang tersebut telah mengubah perimbangan perang yang menguntungkan masyarakat Muslim. Namun, lantaran oposisi yang ditunjukkan anggota Laskar Jihad terhadap tradisi mereka mengenai shalat, puasa, dan lainnya, sikap orang-orang Maluku ini pun mulai berubah.

Akhirnya, operasi militer Laskar Jihad di Maluku mulai memperlihatkan titik balik dan ekses-eksesnya. Pada Maret 2001, seorang anggota Laskar Jihad dipersalahkan telah melakukan zina dan dihukum oleh Thalib dengan rajam. Beberapa minggu kemudian, Panglima Laskar Jihad itu ditangkap polisi atas tuduhan memprovokasi kerusuhan dan membunuh. Setelah protes keras dari sejumlah politisi Muslim atas penahanan tersebut, Thalib dilepaskan dari penjara, tetapi tuntutan terhadapnya tidak dicabut.

Pada awal 2002, momentum perdamaian Kristen-Muslim di Maluku mulai tampak, dan terwujud dalam Deklarasi Malino yang ditandatangani para pemimpin kedua komunitas itu pada 12 Februari 2002. Lantaran memprovokasi kaum Muslimin untuk menentang Deklarasi Malino dalam suatu pidato radionya di Maluku, polisi kembali menangkap Thalib pada pertengahan Mei 2002. Tetapi, kasus Panglima Laskar Jihad ini lambat diselesaikan oleh pengadilan.

Tiga hari setelah peristiwa bom Bali, 12 Oktober 2002, Thalib membubarkan Laskar Jihad dan menyerukan anggotanya kembali ke rumahnya masing-masing. Pembubaran ini, menurut penjelasan pimpinan Laskar Jihad, telah direncanakan sejak September 2002, dan tidak terkait peristiwa pemboman tersebut. Sementara organisasi induk Laskar Jihad, FKAWJ, tetap dipertahankan eksistensinya, tetapi dengan masa depan yang tidak menentu.


FPI

FPI muncul sebagai sebuah organisasi pada 17 Agustus 1998, dengan ketua umum Habib Muhammad Rizieq Syihab, dan berkembang subur pada masa pemerintahan Presiden Habibie. FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekeliling Soeharto. Di masa Prabowo Subianto aktif di TNI, FPI diduga sebagai salah satu binaan menantu Soeharto itu. Namun, setelah Prabowo jatuh, FPI kemudian cenderung mendekati kelompok Jendral Wiranto yang tengah bermusuhan dengan kelompok Prabowo. Keterkaitan FPI dengan Wiranto barangkali dapat dideduksi dari aksi ratusan milisi FPI — yang selalu berpakaian putih-putih — ketika menyatroni kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), memprotes pemeriksaan Jendral Wiranto dan kawan-kawan oleh KPP HAM. Milisi FPI yang datang ke kantor Komnas HAM dengan membawa pedang dan golok bahkan menuntut lembaga hak asasi manusia ini dibubarkan karena dianggap lancang memeriksa para jendral. Sementara kedekatannya dengan ABRI terlihat dalam aksi demonstrasi tandingan yang dilakukannya melawan aksi mahasiswa yang menentang RUU Keadaan Darurat yang diajukan Mabes TNI kepada DPR pada 24 Oktober 1999. Setelah kejatuhan Wiranto, kelompok ini kehilangan induknya dan mulai mengalihkan perhatiannya kepada upaya penegakan syariat Islam di Indonesia.

FPI adalah organisasi tertutup dan telah menebarkan sejumlah jaringannya di berbagai wilayah Indonesia. Sebagaimana organisasi penegak syariat Islam lainnya, FPI memiliki sayap milisi yang dikenal sebagai Laskar Pembela Syariat Islam (LPI), suatu satgas yang digembleng dengan pendidikan semi militer dan militan. Anggota LPI ini rela meregang nyawa demi cita-cita FPI. Penjenjangan dalam satgas ini diatur mirip dengan penjenjangan dalam militer: Mulai dari Imam Besar dan Wakil (pemimpin laskar tertinggi), penjenjangannya kemudian menurun kepada Imam (panglima beberapa provinsi), Wali (panglima provinsi), Qoid (komandan laskar kabupaten), Amir (komandan laskar kecamatan), Rois (komandan regu), dan Jundi (anggota regu).

Belakangan, FPI makin dikenal luas karena aktivitasnya yang menonjol dalam kancah politik Indonesia. Kelompok ini pertama kali dikenal karena keterlibatannya sebagai “PAM swakarsa” yang — dengan bersenjatakan golok dan pedang — menyerang para mahasiswa yang menentang pencalonan kembali Habibie sebagai Presiden RI dalam sidang istimewa MPR pada Nopember 1998. Pada bulan yang sama, FPI terlibat dalam aksi penyerangan satpam-satpam Kristen asal Ambon di sebuah kompleks perjuadian di Ketapang, Jakarta. Pada Desember 1999, ribuan anggota FPI menduduki Balai Kota Jakarta selama sepuluh jam dan menuntut penutupan seluruh bar, diskotik, sauna dan night club selama bulan Ramadan. Kelompok militan ini, selama tahun 2000, secara reguler menyerang bar, kafe, diskotik, sauna, rumah bilyard, tempat-tempat maksiat, dan tempat-tempat hiburan lainnya di Jakarta, Jawa Barat, dan bahkan di Lampung.

Dalam serentetan kejadian di atas, polisi terlihat hanya datang menyaksikan aksi-aksi perusakan. Sekalipun polisi kemudian mengeritik aksi-aksi itu, tetapi tak satu pun anggota FPI yang ditangkap. Sejumlah pengamat mengungkapkan — yang juga diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat — bahwa polisi telah memanfaatkan FPI dan milisinya LPI untuk memaksakan protection rackets-nya. Sebagai akibatnya, polisi memaafkan aksi tersebut atau bahkan mengarahkan serangan itu ke sasarannya.

Untuk memperjuangkan penegakan syariat Islam, FPI, misalnya, mengeluarkan pernyataan kebulatan tekad menjelang ST MPR 2001 yang meminta MPR mengamandemen konstitusi dan memberlakukan syariat Islam. FPI menuntut MPR/DPR mengembalikan tujuh kata Piagam Jakarta, yaitu “dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluknya,” ke dalam UUD 1945, baik pada batang tubuh maupun pembukaannya. Kelompok ini yakin bahwa krisis multidimensional yang tengah melanda Indonesia akan segera berakhir dengan diberlakukannya syariat Islam. Pada 1 Nopember 2001, FPI kembali melakukan aksi pada pembukaan sidang tahunan DPR/MPR, dan menyampaikan lima tuntutan. Tiga di antaranya yang relevan dengan isu penegakan syariat adalah: (1). Kembalikan 7 kata Piagam Jakarta; (2) masukan syariat Islam ke dalam UUD 1945; dan (3) buat undang-undang anti maksiat. Pada Agustus 2002, bersama 14 organisasi kemasyarakatan Islam lain — di antaranya adalah Front Hizbullah, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) — yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI), FPI menyampaikan “Petisi Umat Islam” tentang pencantuman syariat Islam dalam UUD 1945.

Ketika tekanan internasional semakin kuat terhadap pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan aksi-aksi terorisme, polisi menangkap pemimpin FPI, Habib Muhammad Rizieq Syihab, dan menjeratnya dengan dakwaan provokator sejumlah aksi kekerasan dan perusakan. Sehari setelah pengubahan status Habib Rizieq dari tahanan polisi menjadi tahanan rumah, pada 6 Nopember 2002 pimpinan FPI membekukan kegiatan FPI di seluruh Indonesia untuk waktu yang tidak ditentukan. Tetapi, menjelang invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak pada Maret 2003, FPI kembali muncul dan melakukan pendaftaran mujahidin untuk membantu Irak melawan para agresornya.


Mu'tazillah, Maturidiyah, Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Mu’tazilah

Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basra, Irak, di abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha' (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.


Ajaran utama

Ajaran Mu'taziliyah kurang diterima oleh kebanyakan ulama Sunni karena aliran ini beranggapan bahwa akal manusia lebih baik dibandingkan tradisi. Oleh karena itu, penganut aliran ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat Al Qur'an secara lebih bebas dibanding kebanyakan umat muslim. Mu’taziliyah memiliki 5 ajaran utama, yakni :
1. Tauhid. Mereka berpendapat :
o Sifat Allah ialah dzatNya itu sendiri.
o al-Qur'an ialah makhluk.
o Allah di alam akhirat kelak tak terlihat mata manusia. Yang terjangkau mata manusia bukanlah Ia.

2. Keadilan-Nya. Mereka berpendapat bahwa Allah SWT akan memberi imbalan pada manusia sesuai perbuatannya.

3. Janji dan ancaman. Mereka berpendapat Allah takkan ingkar janji: memberi pahala pada muslimin yang baik dan memberi siksa pada muslimin yang jahat.

4. Posisi di antara 2 posisi. Ini dicetuskan Wasil bin Atha' yang membuatnya berpisah dari gurunya, bahwa mukmin berdosa besar, statusnya di antara mukmin dan kafir, yakni fasik.

5. Amar ma’ruf (tuntutan berbuat baik) dan nahi munkar (mencegah perbuatan yang tercela). Ini lebih banyak berkaitan dengan hukum/fikih.

Aliran Mu’taziliyah berpendapat dalam masalah qada dan qadar, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia sendirilah yang menciptakannya.


Tokoh Mu’taziliyah

Tokoh-tokoh Mu’taziliyah yang terkenal ialah :
1. Wasil bin Atha', lahir di Madinah, pelopor ajaran ini.
2. Abu Huzail al-Allaf (751-849 M), penyusun 5 ajaran pokoq Mu’taziliyah.
3. an-Nazzam, murid Abu Huzail al-Allaf.
4. Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Abdul Wahab/al-Jubba’i (849-915 M).

Meski kini Mu’taziliyah tiada lagi, namun pemikiran rasionalnya sering digali cendekiawan Muslim dan nonmuslim.


Aliran Maturidiyah

1. A. Asal-Usul Maturidiyah

Aliran maturidiyah lahir di samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Almaturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi. Riwayatnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut Abu Hanifa sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Abu Hanifa. Sistem pemikiran aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunah.

Untuk mengetahui sistem pemikiran Al-maturidi, kita bisa meninggalkan pikiran-pikiran asy’ary dan aliran mu’tasilah, sebab ia tidak lepas dari suasana zamannya. Maturidiyah dan asy’aryah sering terjadi persamaan pendapat karena persamaan lawan yang dihadapinya yaitu mu’tazilah. Namun, perbedaan dan persamaannya masih ada.

Al-Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal ini mungkin banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifa karena Al-maturidi sebagai pengikat Abu Hanifa. Dan timbulnya aliran ini sebagai reaksi terhadap mu’tazilah.


1. B. Pokok-Pokok Ajaran Maturidiyah

1. Kewajiban mengetahui tuhan. Akal semata-mata sanggup mengetahui tuhan. Namun itu tidak sanggup dengan sendirinya hukum-hukum takliti (perintah-perintah Allah SWT)
2. Kebaikan dan kerburukan dapat diketahui dengan akal
3. Hikmah dan tujuan perbuatan tuhan

Perbuatan tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah). Baik dalam cipta-ciptaannya maupun perintah dan larang-larangannya, perbuatan manusia bukanlah merupakan paksaan dari Allah, karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradahnya.

1. C. Golongan-Golongan Didalam Maturidiyah Ada dua golongan didalam maturidiyah yaitu:

2. 1. Golongan samarkand.

Yang menjadi golongan ini dalah pengikut Al-maturidi sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat tuhan, maturidi dan asy’ary terdapat kesamaan pandangan, menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.

Begitu juga tuhan berkuasa dengan zatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia maturidi sependapat dengan golongan mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbutannya. Apabila ditinjau dari sini, maturidi berpaham qadariyah. Maturidi menolak paham-paham mu’tazilah, antara lain maturidiyah tidak sepaham mengenai pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-qur’an itu makhluk. Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi. Demikian pula masalah antropomorphisme. Dimana maturidi berpendapat bahwa tangan wajah tuhan, dan sebagainya seperti pengambaran al-qur’an. Mesti diberi arti kiasan (majazi). Dalam hal ini. Maturidi bertolak belakang dengan pendapat asy’ary yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi (ditakwilkan).

1. 2. Golongan bu hara

Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran maturidi. Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary.

Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagin umat Islam yang bermazab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran maturidiya sampai sekarang masih hidup dan berkembang dikalangan umat Islam.

1. D. Beberapa aspek kesamaan pemahaman antara Asy’ariyah dan Maturidiyah.

Sebagai aliran yang se zaman dengan mazhab Asya`irah, jika di tela’ah terdapat banyak kesamaan antara dua mazhab ini. Keduanya termasuk dalam aliran Ahlussunnah. Terkait kepemimpinan para khalifah setelah Nabi saw sesuai urutan historis yang telah terjadi, keduanya memiliki pandangan serupa. Juga tak ada perbedaan dalam pandangan mereka terhadap para penguasa Bani Umayah dan Bani Abbas. Dalam semua sisi masalah imamah pun mereka saling sepakat. Keduanya juga sepaham bahwa Allah bisa dilihat tanpa kaif (cara), had (batas), qiyam (berdiri) wa qu`ud (duduk) dan hal-hal sejenisnya. Berbeda dengan Hasyawiyah dan Ahlul hadits yang berpendapat bahwa Allah, seperti selain-Nya, bisa dilihat dengan kaif dan had.


Dalam hal kalam Allah (Al-Quran), kedua mazhab ini juga memiliki pandangan sama, yaitu bahwa kalam-Nya memiliki dua tingkatan. Pertama adalah kalam nafsi yang bersifat qadim (dahulu), dan kedua adalah kalam lafdhi (lafal) yang bersifat hadits (baru). Ini adalah pendapat moderat dari kedua mazhab ini, yang berada di antara pendapat Mu`tazilah bahwa kalam Allah hadits secara mutlak, dan pendapat Ahlul hadits bahwa kalam-Nya qadim secara mutlak. Ringkas kata, Asya`irah dan Maturidiyah memiliki banyak kesamaan pandangan dalam masalah akidah. Namun, di saat yang sama, ada pula beberapa perbedaan dalam prinsip-prinsip teologis dua mazhab ini, yang membedakan mereka satu sama lain, antara lain:

- Asya`irah membagi sifat-sifat Allah kepada dzati dan fi`li. Namun Maturidiyah menolak pembagian ini dan menyatakan bahwa semua sifat fi`li-Nya qadim seperti sifat dzati.

- Asya`irah mengatakan bahwa Allah mustahil membebankan taklif yang tak mampu dilakukan manusia, sementara Maturidiyah berpendapat sebaliknya.

- Asya`irah meyakini bahwa semua yang dilakukan Allah adalah baik, sedangkan Maturidiyah, berdasarkan hukum akal, berpandangan bahwa Dia mustahil berbuat zalim.

Kesimpulannya, meski Asya`irah dan Maturidiyah tergabung dalam kelompok Ahlussunnah dan banyak memiliki kesamaan, namun mereka juga memiliki perbedaan pendapat dalam sebagian masalah.


AL SUNNAH WAL JAMMAH

Ajarannya;
• Tuhan mempunyai sifat.untuk mengetahui sesuatu tidak dgn sifatNya tapi dgn zatNya.disebut azali
• Alqur’an bukan diciptakan (makhluk) sebab tidak menggunakan ‘kin’ alqur’an bersifat qadim.
• Tuhan dapat dilihat di akherat(an nahl 40)
• Perbuatan manusia diciptakan oleh allah,bukan oleh manusia dengan teori kasab (As shafaat 96)
• Tuhan bersifat mutlak
• Antropomorphisme
• Keadilan tuhan
• Pelaku dosa besar tetap mukmin

(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: