Pesan Rahbar

Home » » Imam Ali dalam Tradisi Kebudayaan Islam Indonesia

Imam Ali dalam Tradisi Kebudayaan Islam Indonesia

Written By Unknown on Sunday, 1 February 2015 | 00:51:00


Dalam tradisi kebudayaan Indonesia, orang tidak mungkin melupakan istilah yang dikaitkan dengan Imam Ali dalam kultur Indonesia seperti istilah Baginda Ali. Baginda Ali itu dalam tradisi kebudayaan Indonesia dapat disetarakan dengan seorang raja. Raja dalam mistisisme, raja di dalam tasawuf. Dan itu sebenarnya adalah akar-akar sufi di dalam tradisi Islam di Indonesia. Pengaruh Imam Ali cukup besar.

AM Safwan*)


Imam Ali dalam Tradisi Kebudayaan Islam Indonesia

Amirul Mukminin, Imam Ali bin Abi Thalib memiliki pengaruh yang sangat besar bagi Indonesia, terutama dalam konteks budaya negara ini.Faktanya dapat ditemukan dalam ajaran tasawuf di Indonesia, yang juga dikenal oleh masyarakat Iran dengan sebutan irfan. Meski tentu saja secara teoritis ada sejumlah perbedaan yang mendasar antara irfan dan tasawuf yang diajarkan di Iran dan Indonesia. Tetapi, dalam sampel budaya keislaman di Indonesia, Imam Ali as bukanlah kata yang asing. Sebab sumber-sumber tareqat dan referensi tasawuf mereka itu merujuk kepada keturunan dan silsilah kepemimpinan dari Imam Ali as yang dibawa ke Indonesia melalui Ali al-Uraidhi yang sampai kepada Imam Musa al-Kazdim. Sumber-sumber dan mata rantai ini sangat memengaruhi pribadi para pengikut setianya yang tidak dikenal sebagai orang-orang yang mengajarkan suluk tareqat, sebagaimana yang dibawa dalam konteks Indonesia.

Kedua, pengaruh pemikiran Imam Ali as atau ajaran-ajarannya dalam konteks Islam Indonesia, terutama dalam tradisi Islam pertama yang masuk ke Tanah Air bisa dilacak dari pendekatan tasawuf yang saat ini banyak dikembangkan oleh organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdhatul Ulama. Mereka tidak asing dengan ucapan-ucapan dan kalam Sayidina Ali terutama dalam dimensi esoterik batiniah.

Pengaruh Imam Ali semakin terdengar gemanya pada era kontemporer ketika Revolusi Islam Iran yang dicetuskan oleh Imam Khomeini dan juga murid-murid setianya seperti Ayatullah Syahid Muthahhari. Sehingga pemikiran sosok dan kepribadian Imam Ali juga melingkupi masyarakat Islam menengah Indonesia dan Islam perkotaan yang notabene tidak menyentuh tradisi Islam klasik. Mereka juga mulai mendengar nama, pikiran maupun bentuk-bentuk kehadiran pemikiran Imam Ali di era kontemporer. Dan kita di Indonesia mendengarnya melalui Revolusi Islam Iran. Karena itu, dasar pemikiran Imam Ali as pada level kebudayaan Islam di Indonesia itu sudah sangat jauh berpengaruh sejak awal masa perkembangan Islam yang dikenal dengan Wali Songo sebagai pembawa ajaran Islam awal yang sangat masyhur dan tidak mungkin dilepaskan kaitannya dengan perkembangan sejarah Islam di Indonesia. Wali Songo yang berjumlah sembilan itu merupakan keturunan Imam Ja'far Shadiq as (salah seorang Imam Syiah).

Pengaruh pemikiran Imam Ali dan figurnya pada level Islam perkotaan di era kontemporer ini juga didengar melalui pemikiran-pemikiran politik Imam Ali yang dicetuskan oleh Imam Khomeini. Bisa dikatakan bahwa pribadi besar Imam Ali turut dipelajari pada level yang sangat kultural dan juga mulai didekati pada level struktural. Bentuknya melalui berbagai pendekatan organisasi dan kajian kelompok-kelompok studi, misalnya pada level filsafat politik Imam Ali dengan mengkaji doktrin-doktrin kekuasaan dalam konsepsi Wilayatul Fakih, dan berbagai kolaborasi yang dilakukan kelas menengah di Indonesia juga mulai dipandang sebagai kajian-kajian yang otentik.

Mengenang Amirul Mukminin Imam Ali as, buat saya yang paling luar biasa sebagai seorang pembaca, sebagai seorang awam, Sayidina Ali telah berhasil memfilsafatkan kehidupan itu sebagai sebuah spiritualitas. Imam Ali as berhasil menjelaskan filsafat kehidupan tersebut dalam bahasa sehari-hari yang sangat rapi dan dalam. Beliau juga menjelaskan pemikiran besar melalui kehidupan sehari-hari. Imam Ali menyampaikan konsep-konsep besar melalui tindakan-tindakan praktisnya sehari-hari. Beliau bisa menjelaskan sesuatu yang sangat filosofis dengan pola dan perilaku yang sangat biasa sebagaimana kehidupan orang biasa tetapi menawarkan hikmah yang dalam.

Dalam konsepsi Indonesia, mungkin kita mendengar banyak tentang Imam Ali sejauh yang saya ketahui adalah dari buku Nahjul Balaghah, puncak kefasihan yang disyarah oleh Sayyid Radhi. Padahal ada juga kalam atau ucapan Imam Ali yang sangat besar yaitu Ghurar al-Hikam. Itupun saya kira penting untuk diupayakan ditransformasikan ke dalam bahasa pembaca Indonesia. Sehingga pribadi Imam Ali lebih dikenal dalam berbagai dimensinya.

Untuk konteks yang lebih jauh, tradisi penelitian tentang pemikiran Imam Ali ini memang secara khusus banyak dikaitkan dengan ajaran Syiah Imamiah. Tetapi tampaknya sekarang ini kurang banyak kolaborasi atau pemikiran-pemikiran yang dikaji langsung pada pemikiran Nahjul Balaghahnya Imam Ali as. Bisa jadi karena keterbatasan sumber untuk bisa membantu meneliti karya Nahjul Balaghah itu. Sumber-sumber yang mensyarahi Nahjul Balaghah hampir tidak ada yang kita bisa baca dalam kultur pembacaan kontekstual Islam Indonesia. Mungkin juga karena pensyarahnya banyak hadir dalam referensi berbahasa Persia sehingga kita yang di Indonesia dengan kemampuan berbahasa Indonesia, Inggris dan Arab kurang punya akses terhadap referensi berkenaan dengan syarah kehidupan Imam Ali as. Padahal kebudayaan Islam di Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari pengaruh keturunan Ahlul Bait yang membawa ilmu Imam Ali.

Dalam tradisi kebudayaan Indonesia, orang tidak mungkin melupakan istilah yang dikaitkan dengan Imam Ali dalam kultur Indonesia seperti istilah Baginda Ali. Baginda Ali itu dalam tradisi kebudayaan Indonesia dapat disetarakan dengan seorang raja. Raja dalam mistisisme, raja di dalam tasawuf. Dan itu sebenarnya adalah akar-akar sufi di dalam tradisi Islam di Indonesia. Pengaruh Imam Ali cukup besar. Namun untuk konteks yang lebih lanjut, kita pembaca di Indonesia sangat membutuhkan banyak upaya untuk menerjemahkan syarah-syarah tentang kehidupan Imam Ali dari bahasa Persia ke dalam bahasa Indonesia ataupun Inggris maupun bahasa Arab yang sampai pada kultur akademik Islam di Indonesia. Bukan semata karena persoalan teknis terjemahan tetapi memang upaya untuk menerjemahkan karya besar itu juga memerlukan orang-orang yang menguasai bahasa dari teks Nahjul Balaghah itu dengan baik sehingga meminimalkan kemungkinan reduksi pengertian.

Tampaknya harus ada kerja keras untuk mentransformasikan berbagai bentuk penafsiran dan syarah tentang Imam Ali, sehingga upaya ini bisa lebih kontinyu dan mampu menampilkan pemikiran Imam Ali lebih utuh, di saat banyak dari masyarakat Islam Indonesia mereduksi kebesaran Imam Ali semata-mata dalam konteks kemazhaban Syiah. Padahal tentu kita ketahui bahwa Imam Ali lebih dari sekedar seorang pendiri mazhab, lebih besar daripada hanya seorang pencetus aliran agama. Sejatinya, Imam Ali adalah seorang wali, seorang hujah zaman yang berbicara bukan hanya pada level gelar, level tasawuf, level filosofis, sekaligus beliau juga berbicara tentang bagaimana agama itu bisa hadir sebagai sebuah teori sosial, dan memiliki makna dalam kebudayaan.

Saya kira upaya itu bisa dibaca dari apa yang sudah dikerjakan Ayatullah Syahid Muthahhari ketika menginterpretasikan pemikiran-pemikiran Imam Ali dalam konteks sosial masyarakat. Saya kira kerja yang besar ini memerlukan transformasi, karya-karya, penafsiran-penafsiran yang lebih banyak sehingga kita cukup terbantu karena memang problema teks-teks Imam Ali as ini bukanlah teks yang begitu mudah untuk diterjemahkan kalau bukan oleh orang-orang yang ahli dalam dua sumber, paling tidak dalam bahasa Persia, menguasai konteks pemikiran atau dasar-dasar teologi filosofis dan irfani, serta tahu bahasa sasaran yaitu konteks pelajaran bahasa dan berbahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris maupun bahasa Arab. Dan yang jauh lebih prinsip dari semua itu bahwa sosok dan kepribadian Imam Ali jauh dari hingar-bingar yang hanya berkenaan dengan masalah-masalah yang terbatas dalam konteks mazhabnya saja.

Imam Ali pun sebagaimana kita ketahui adalah sosok yang disebut dalam bahasa orang Eropa sebagai Humanistik, sangat asketis, sangat spiritual, sangat filosofis, sekaligus juga tidak kehilangan akar kehidupan sosialnya sehari-hari. Beliau juga adalah seorang pekerja keras. Namun lebih dari itu semua, Imam Ali adalah seorang ulama, dan sepertinya kita kehilangan background seperti itu. Dalam konteks kebudayaan Indonesia, sekarang ini background tersebut lebih banyak menjadi mitos daripada sebuah figur yang hidup dalam kesadaran berpikir umat.

Selanjutnya yang terakhir dalam pandangan saya, kita memerlukan sebuah upaya menjalin banyak kerjasama dengan lembaga-lembaga yang ada di Indonesia untuk bisa mengangkat kembali pengaruh dan kebesaran seorang Imam Ali dalam tingkat pemikiran sosial, pemikiran politik dan pemikiran kebudayaan. Sehingga orang bisa melihat bahwa pemikiran Imam Ali tidak semata-mata terbatas dalam definisi teologis, tetapi juga bisa dilihat sebagai figur yang mencakup satu kerangka pemikiran sosial yang handal, sebagaimana dijelaskan dalam interpretasi dan syarah Ayatullah Muthahhari tentang pemikiran Imam Ali as. Dan tentunya beliau lebih besar dari apa yang saya bicarakan ini.

*) Ketua Yayasan Rausyan Fikr Yogyakarta
*)) Ditanskrip dari ceramah kesyahidan Imam Ali as, yang disiarkan radio IRIB bahasa Indonesia.

(IRIB-Indonesia/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: