Pesan Rahbar

Home » » Materi Radikalisme di Unmul Mendapat Jatah Satu SKS

Materi Radikalisme di Unmul Mendapat Jatah Satu SKS

Written By Unknown on Sunday 3 April 2016 | 20:22:00

Kajian keislaman oleh Pusdima Unmul – Foto: unmul.ac.id

Peneliti muda dari Kementerian Agama (Kemenag) Sulawesi Selatan, Sabara Nuruddin memaparkan hasil penelitiannya mengenai gerakan radikal dan fenomena radikalisme di lingkungan kampus.

Kepada Satu Islam, Sabara memaparkan hasil penelitian kualitatifnya di Kampus Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Kaltim.

Secara umum perkambangan pergerakan keislaman mahasiswa di kalangan mahasiswa Universitas Mulawarman Samarinda, Kaltim terbagi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok moderat yang diwakili oleh HMI, PMII, dan IMM. Sementara kelompok kedua adalah kelompok radikal yang berafiliasi kepada tiga kelompok.

Pertama adalah HTI, memiliki sayap di kampus yang bernama ‘Gema Pembebasan’. Kelompok kedua adalah Tarbiyah, yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin yang secara politik berafiliasi ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

“Kelompok Tarbiyah, bergerak di organisasi eksternal dan internal kampus. Di organisasi eksternal, kelompok Tarbiyah bergerak di ormas KAMMI, sementara di organisasi internal kampus, mereka berkiprah di Lembaga Dakwah Kampus (LDK),” tutur Sabara.

Kelompok ketiga berafiliasi pada Salafi atau Wahabi. Menurut Sabara, kelompok Salafi belum terlihat secara massif di Unmul.

Sabara menuturkan seluruh dakwah kampus di Samarinda, diantaranya di Unmul, Universitas Widyagama Mahakam (UWGM), Untag, dan STIMIK Widya Cipta Dharma, didominasi oleh kelompok Tarbiyah.

Kelompok Tarbiyah, menurut Sabara, secara terbuka tidak menolak Pancasila, tetapi pada kajian-kajian internal, mereka mengusung ide khilafah.

“Akan tetapi Pancasila yang mereka terima adalah Pancasila yang piagam Jakarta,” jelasnya.

Terkait dengan sikap toleransi, ketiga kelompok ini cenderung intoleran, paling tidak menutup diri. “Seperti contohnya, kelompok Tarbiyah ini, contohnya kelompok Tarbiyah. bahkan kepada HTI saja, Tarbiyah cenderung menutup diri,” papar Sabara.

Kesamaan dari ketiga kelompok ini menurut Sabara adalah penolakan bahkan pengharaman terhadap tradisi keislaman lokal seperti maulid, tahlil, barzanji, ziarah kubur dan lain-lain.

Pola rekrutmen kelompok radikal terhadap mahasiswa melalui lembaga dakwah resmi LDK yang berstatus Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Saat penerimaan mahasiswa baru mereka menggunakan baju dakwah kampus dengan menggelar kajian keislaman, mentoring dan rekrutmen untuk menuju proses kaderisasi.

Bahkan, lanjut sabara, khusus di Unmul, LDK mendapat kewenangan dari dosen mata kuliah Agama Islam untuk membina praktikum agama Islam. Ironisnya, aktivitas ini mendapat porsi satu SKS.

Mata kuliah Agama Islam di kedua kampus itu ada tiga SKS. Dua SKS dari mata kuliah yang diberikan dosen yaitu berupa toeri di kelas dan satu SKS praktikum dari LDK.

“Mereka melakukan doktrinasi dan propaganda pemahamannya melalui saluran resmi, dan mereka mendapat porsi satu SKS loh,” tutur Sabara.

Sabara melanjutkan, Kemenag menggunakan tiga indikator dalam mengidentifikasi paham radikal. Pertama respon terhadap kebangsaan yang dicirikan dengan menggugat Pancasila, menggugat NKRI dan menggugat sistem pemerintahan republik yang digunakan negara Indonesia, lalu menjadikan Syariat Islam dan Negara Islam sebagai orientasinya.

Kedua, respon terhadap kelompok lain atau kelompok di luar mereka. Hal ini dicirikan dengan penolakan eksistensi kelompok selain mereka.

“Misalnya menghalangi peribadatan dan atktifitas kelompok lain dengan aksi nyata, bahkan meski hanya dengan melempar wacana,” jelasnya.

Yang ketiga adalah respon terhadap tradisi Islam Nusantara. Suatu kelompok atau sesorang bisa diitentifikasi berpaham radikal diantaranya ketika menolak atau mengharamkam tradisi Islam Nusanatara seperti, maulid, barzanji, ziarah kubur, dan tahlilan.

(Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: