Pesan Rahbar

Home » » Polugri dan Reformasi Ekonomi Saudi

Polugri dan Reformasi Ekonomi Saudi

Written By Unknown on Thursday, 2 March 2017 | 16:21:00

Pangkas Anggaran, Saudi defisit

Sekitar dekade enam puluhan, Dean Acheson (1893-1971) pernah mengatakan bahwa tujuan nasional Kerajaan Arab Saudi, sebagaimana negara lain, untuk bertahan hidup maupun mencapai kemakmuran, tapi harus menambahkan syarat di bawah dinasti Al Saud.

Hermann Frederick Eilts (2004:219) menempatkan statemen menteri luar negeri AS di era presiden Harry S Truman ini sebagai entry point untuk memahami watak politik Arab Saudi, dan tampaknya, masih relevan hingga kini untuk memahami kebijakan ekonomi politik Riyadh.

Pertama, penguasa kerajaan Arab Saudi mendefinisikan tujuan nasional negaranya dalam kerangka kepentingan dinasti Al Saud. Meskipun Arab Saudi mengadopsi institusionalisasi politik dalam piramida kekuasaannya, tapi coraknya bersifat tribal dan personal.(Philip S. Khoury and Joseph Kostiner,1987).

Syura yang diklaim sebagai alternatif demokrasi Barat, atau Bedouin Democracy, pada akhirnya tidak lebih dari perkumpulan para pangeran dinasti Al Saud ditambah ulama Wahabi. Menurut Fred Halliday (2005), bentuk kelembagaan politik ini tidak menjelaskan karakter negara modern. Oleh karena itu, kebijakan publik apapun yang dikeluarkan pemerintah Saudi tidak lahir dari mekanisme demokrasi yang melibatkan partisipasi rakyat.
Kedua, sistem monarki yang diadopsi Saudi menyebabkan setiap perubahan kebijakan strategis negara apapun harus dilakukan secara sentralistik melalui raja, demikian juga dengan ekonomi. Pada hari Senin, 26 September 2016, Raja Salman bin Abdul Aziz Al Saud mengeluarkan dekrit penerapan paket reformasi ekonomi yang mulai diberlakukan tepat di awal tahun baru Hijriah, hampir sepekan setelahnya.

Berdasarkan kebijakan tersebut, pemangkasan gaji pegawai negeri sipil diberlakukan secara resmi. Selain pegawai biasa, keputusan ini berimplikasi pemotongan gaji menteri kabinet sebesar 20 persen. Tidak hanya itu, tunjangan tahunan untuk perumahan, furnitur dan kendaraan roda empat dari anggota legislatif dan Dewan Syura dipangkas sebesar 15 persen.

Gaji serta tunjangan pegawai negeri dan pejabat tinggi negara menyumbang hampir separuh pengeluaran negara mencapai 120 miliar dolar di tahun 2015. Bloomberg (28/12/2015) melaporkan total pengeluaran pemerintah Saudi menembus 260 miliar dolar. Menjelang akhir tahun 2015, pemerintah Riyadh memutuskan menaikkan harga bahan bakar minyak, serta tarif dasar air dan listrik demi mengatasi defisit anggaran yang membengkak hingga menembus 98 miliar dolar di tahun 2015.

Di permukaan, rangkaian kebijakan ini sebagai bagian dari reformasi ekonomi pemerintah Saudi di bawah instruksi langsung raja Salman dan kendali penuh putranya selaku wakil putera mahkota, Muhammad bin Salman.Tampaknya, pemangkasan ini baru tahap awal Reformasi Ekonomi Saudi yang selama ini bertumpu pada penjualan minyak bumi sebagai sumber utama pendapatan negaranya. Kini, Riyadh mempersiapkan skenario pemangkasan belanja negara jangka panjang hingga beberapa tahun mendatang. Menurut pangeran Muhammad bin Salman, pemangkasan gaji PNS dan tunjungannya akan mencapai 40 persen dalam 14 tahun mendatang.

Reformasi ekonomi ini menjadi proyek besar Raja Salman untuk menampilkan wajah Saudi baru yang tidak ingin bertumpu pada minyak semata. Oleh karena itu, Riyadh meluncurkan agenda yang disebut IMF sebagai “Saudi Arabian Economy in Vision 2030 and The National Transformation Program”.

Tampaknya, raja Salman ingin menyontek keberhasilan Uni Emirat Arab dengan mengotimalkan potensinya yang besar di sektor pariwisata Islam, “menjual” Mekah dan Madinah untuk pangsa pasar umat Islam dunia yang luas. Proyek prestisius ini didukung dengan perluasan area Masjidil Haram, dan dibangunnya hotel-hotel mewah di dua tempat suci umat Islam itu.

Ketiga, reformasi ekonomi raja Salman ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan politiknya, terutama politik luar negeri yang mengedepankan tujuan nasional Arab Saudi sebagai kekuatan paling berpengaruh di Timur Tengah. Oleh karena itu, dalam kamus raja Salman, kebijakan apapun harus dilakukan demi tujuan tersebut, termasuk melancarkan perang minyak terhadap lawan politiknya, terutama Iran dan Rusia, meski Riyadh mengklaim untuk menjegal shale oil AS.

Selama beberapa tahun terakhir, Arab Saudi memproduksi minyaknya melebihi kapasitas yang telah ditetapkan oleh OPEC sekitar 10,5 juta barel perhari, sehingga berdampak anjloknya harga minyak di pasar global. Pada saat yang sama, sanksi nuklir internasional terhadap Tehran menyebabkan Iran harus memangkas pasokan minyaknya hingga jauh di bawah 2 juta barel perhari. Tapi kemudian, Iran mengambil langkah lain melalui kesepakatan dengan kelompok 5+1 dan menghasilkan kesepakatan JCPOA, yang salah satau butirnya membolehkan Tehran memasok kembali minyak sesuai batas sebelum sanksi diberlakukan, yang mencapai 3,8 juta barel perhari.

Memang, perang minyak menyebabkan Iran dan lawan politik Saudi lainnya seperti Rusia cukup terpukul. Tapi, Riyadh dengan kebijakannya tersebut justru melubangi kapalnya sendiri. Ketika Iran mulai bangkit di bawah implementasi JCPOA, perang minyak malah menjadi bumerang bagi Arab Saudi yang kehilangan sebagian besar pendapatan akibat terpuruknya harga minyak di pasar dunia. Penerapan reformasi ekonomi sebagai cara Raja Salman menebus mahal kesalahan strategis kebijakan luar negerinya itu.

Berbagai indikator ekonomi menunjukkan perekonomian Saudi mengalami pukulan setelah menikmati pertumbuhan signifikan ketika harga minyak dunia meroket lebih dari 120 dolar perbarel antara tahun 2010 hingga 2011. Betapa tidak, di tahun 2011, pertumbuhan ekonomi Saudi menembus 10 persen. Tapi kini anjlok menjadi hanya 1,2 persen. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di tahun 2011 sebesar 12,2 persen. Tapi kemudian terseok menjadi 0,6 persen di tahun 2016. Budget Saudi sejak tahun 2011 hingga 2016 turun tajam sebesar 24 persen.

Keempat, kebijakan reformasi ekonomi Saudi tidak bisa dipisahkan dari posisi Riyadh sebagai mitra utama Washington di kawasan, dan perannya sebagai saolah satu operator skenario besar Timur Tengah Baru. Ada hubungan simbiosis mutualisme yang dijalin antara Riyadh dan Washington. Terlepas siapa yang paling diuntungkan, tapi bagi Saudi sendiri, dukungan penuh AS dan negara-negara Barat lainnya terhadap Riyadh sebagai bagian dari cara dinasti Al Saud melanggengkan kekuasannya.

Terpilihnya Saudi sebagai panel Dewan HAM PBB (UNHRC) periode 2014-2016 tidak bisa dilepaskan dari peran besar dukungan politik Barat. Bahkan The Independent (29/9/2015) menyebut ada kesepakatan terselubung antara Inggris dan Arab Saudi mengenai masalah ini.

Berbagai lembaga HAM dunia telah membeberkan deretan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Saudi. Misalnya, Human Rights Watch (HRW,7/1/2016) melaporkan Arab Saudi menggunakan senjata terlarang, bom cluster jenis CBU-58 yang diproduksi oleh pabrik senjata di negara bagian Tennessee, AS pada tahun 1978 untuk menghantam wilayah pemukiman penduduk di sekitar Sanaa, ibu kota Yaman.

Sumber Yaman mengklaim bahwa mesin perang Saudi telah membunuh sekitar 7.500 orang Yaman. Selain itu, sebagian infrastruktur penting, termasuk pusat layanan medis porak poranda. Tidak hanya itu, Sekjen PBB, Ban Ki-moon menarik kembali pernyataannya yang menyebut Saudi sebagai pelanggar hak asasi anak Yaman gara-gara Riyadh memprotes dan mengancam akan menghentikan bantuan finansial kepada PBB.

Hingga kini, AS masih tetap melanjutkan kontrolnya terhadap kawasan kaya sumber daya energi di Timur Tengah, termasuk dengan menggandengn Saudi. Setidaknya ada tiga kepentingan ekonomi politik yang diraih AS dari kebijakan tersebut. Pertama, kepentingan geopolitik. AS bisa terus membenamkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah, sehingga negara-negara di kawasan ini, terutama Arab Saudi masih berada dalam kendalinya, sekaligus memiliki sekutu untuk menjalankan skenario menekan Iran. Kedua, kepentingan minyak. AS sebagai konsumen terbesar minyak dunia menikmati harga minyak yang murah dan berlimpah di pasar global. Ketiga, kepentingan senjata. AS dan juga negara-negara Barat lainnya meraup untung besar dari kebijakan ini, karena mampu menjual senjata dan alutsista kepada Arab Saudi (dan juga negara Arab lainnya di kawasan Timur Tengah).

Laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pada April 2016 menunjukkan posisi Arab Saudi bertengger di peringkat ketiga negara dengan anggaran belanja militer terbesar di dunia setelah AS dan Cina, senilai 87,2 miliar dolar di tahun 2015. Laporan SIPRI juga menunjukkan kenaikan anggaran sebesar 97 persen dari tahun 2006 hingga 2015 dengan persentase sebesar 13,7 dari produk domestik bruto (PDB) negara Arab ini.

Grafik peningkatan anggaran militer Saudi selama beberapa tahun terakhir menunjukkan sebuah fakta bahwa reformasi ekonomi bukan sebuah opsi murni ekonomi yang diambil demi kepentingan rakyat Saudi.Tapi, lahir dari rumusan kepentingan nasional rezim Al Saud yang didefinisikan oleh raja Salman yang kental dipengaruhi politik luar negeri (Polugri) negaranya. Tampaknya, Dean Acheson benar,”The national purpose of the Kingdom of Saudi Arabia, like that of any other country, is ‘to survive, perchance to prosper,’ but with the added proviso “under the Al Saud dynasty.” Separuh buktinya, kita saksikan dari proyek reformasi ekonomi Raja Salman.

Oleh : Purkon Hidayat
Peneliti ICMES bidang ekonomi-politik

(Mahdi-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: