Pusat rekrutmen ISIS di Asia Tenggara adalah Indonesia. Dan mengapa kaum wanita lebih tertarik bergabung dengan ISIS sekarang?
Beberapa pekan terakhir menjadi waktu yang menyibukkan bagi negara-negara di dunia dalam menganalisis pergerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
ISIS, yang juga dikenal sebagai Negara Islam, atau IS, ISIL, dan Da’esch (sebuah singkatan dari bahasa Arab), adalah inkarnasi terbaru dari ideologi mematikan Al-Qaeda, yang terbentuk saat proxy war di Afghanistan akhir 1980-an.
Namun, penerus Al-Qaeda ini dinilai lebih sukses dari induknya, karena berhasil menaklukkan daerah seluas Inggris dan menguasainya seperti menjadikannya seperti sebuah menara bagi semua simpatisan di seluruh dunia yang ingin bersama-sama membangun Khilafah Islamiyah.
ISIS mungkin adalah organisasi teroris terkaya sedunia, menurut perhitungan Departemen Keuangan Amerika Serikat. Dananya sebagian berasal dari ladang minyak yang dapat menghasilkan 40 juta USD per bulan.
Pada Jumat, 20 November kemarin, kelompok bersenjata ini memperingati sepekan serangan Paris yang terjadi pada 13 November lalu dan menewaskan 132 orang, sedangkan 350 lainnya luka-luka.
ISIS mengklaim telah melakukan penembakan dan bom bunuh diri di enam tempat yang berbeda di Paris, ibu kota Perancis. Mereka meningkatkan eskalasi serangan menjadi perang, sekaligus memberikan sinyal bahwa ada koordinasi dari ISIS pusat yang selama ini terlewatkan oleh negara-negara Barat.
Setelah insiden itu, Kepala Center for Political Violence & Terrorist Research Rohan Gunaratna mengatakan kepada Rappler, “Perancis akan memainkan peran penting dalam upaya dunia internasional menstabilisasi zona konflik di Suriah, Irak, Libya, negara Timur Tengah lainnya, dan Afrika”.
Sementara itu, teror dari ISIS beruntun terjadi. Pada Selasa, 17 November, Rusia mengumumkan bahwa sebuah bom telah melumpuhkan sebuah pesawat terbang yang melintas di wilayah udara Mesir akhir bulan lalu, dan menewaskan 224 penumpangnya. ISIS mengklaim bertanggung jawab.
Setelah itu, insiden serangan lainnya terjadi di sebuah pasar di Beirut, Lebanon. Insiden yang menewaskan 43 orang tersebut juga diklaim oleh ISIS.
Sebagai balasan, Rusia dan Perancis —yang dipimpin oleh aliansi Amerika Serikat— memborbardir wilayah ISIS dengan serangan udara pekan ini.
Konferensi Tingkat Tinggi pemimpin sedunia, mulai dari G20 di Turki, APEC di Filipina, hingga KTT ASEAN di Malaysia pun bereaksi keras terhadap serangan ISIS. Kepala pemerintahan negara-negara ini menyerukan persatuan dan aksi kolektif untuk memerangi terorisme.
“Kami sangat mengutuk semua aksi, metode, dan praktek terorisme dalam segala bentuk dan manifestasi,” kata 21 pemimpin negara yang hadir di APEC dalam deklarasinya pada Kamis, 19 November.
“Kami tidak akan mengizinkan terorisme mengancam nilai-nilai fundamental kebebasan dan ekonomi terbuka kami.”
Presiden AS Barack Obama lebih tegas lagi. “ISIL adalah wajah setan,” kata Obama dalam acara G20 di Turki.
“Tujuan kami adalah untuk mendegradasi dan tentu saja menghancurkan organisasi barbar ini.”
Lalu mengapa Asia Tenggara harus peduli?
Ancaman ISIS di Asia Tenggara lebih kecil jika dibandingkan kawasan lain, tapi nyata, dan berpotensi untuk menjadi lebih besar jika tidak ditangani dengan benar.
Sangat nyata bahwa ISIS telah menyegarkan kembali jaringan terorisme yang sudah tumbuh di kawasan Asia Tenggara. (BACA: ISIS’ global ambitions and plans for Southeast Asia)
“Kita harus waspada menghadapi ancaman yang nyata di wilayah kita,” kata Perdana Menteri Malaysia Najib Razak saat membuka KTT ASEAN di Kuala Lumpur pada 21 November ini.
“Militan lokal dan grup seperti Abu Sayyaf telah bersumpah untuk bergabung dengan Negara Islam. Mereka telah dengan keji membunuh warga negara kita Bernard Then pada Selasa,” kata Najib, merujuk kepada seorang warga negara Malaysia yang dipancung di Filipina pekan lalu.
“Solusi pasukan militer tunggal tidak akan cukup untuk mengalahkan mereka yang menginginkan perang,” Najib menambahkan.
“Ini adalah ideologi yang dipropagandakan oleh para ekstrimis yang menyebabkan kekejian yang sadis. Kita tak seharusnya hilang pandangan bahwa faktanya ideologi itu sendiri harus diekspos sebagai sebuah kebohongan yang tidak sesuai dengan Islam. Itu tidak akan pernah sesuai,” katanya.
Diketahui sekitar 600-800 warga asal Asia Tenggara, termasuk perempuan dan anak-anak, telah melakukan perjalanan ke Irak dan Suriah, dan gelombang pertama telah pulang kembali ke Malaysia dan Indonesia.
“Asia Tenggara adalah pusat rekrutmen bagi ISIS,” kata Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, Mei tahun ini.
Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, negara dengan populasi lebih dari 250 juta orang, adalah pusat rekrutmen ISIS di Asia Tenggara.
Indonesia juga merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan telah ikut menderita karena serangan teroris yang mematikan setelah Bom Bali pada 2002.
Mereka, teroris Bom Bali, merupakan anggota-anggota Jemaah Islamiyah, sebuah kelompok teroris lokal yang didanai, dilatih, dan terinspirasi dari Al-Qaeda.
Inkarnasi terbarunya adalah ISIS.
Berikut adalah 4 hal yang perlu kamu tahu tentang ISIS di Indonesia:
Jangan lihat namanya, lihat ideologinya.
Sekitar 500-700 warga Indonesia telah bergabung dengan ISIS, termasuk perempuan dan anak-anak. Angka ini terus bertambah, menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Pada Agustus 2014, mereka bersama warga negara Malaysia mendirikan sebuah perkumpulan pejuang berbahasa Melayu di ISIS, yang disebut sebagai Katibah Nusantara.
Seperti tragedi 9/11 di Amerika Serikat, Bom Bali pada 2002 mengungkap keterlibatan jaringan teror Jemaah Islamiyah (JI) yang dipimpin oleh warga negara Indonesia.
Kejadian ini adalah awal dari akhir JI, ketika pihak otoritas di Indonesia telah melumpuhkan jaringan tersebut dengan menembak mati hingga menahan pemimpin mereka. Namun, ideologi tersebut masih disebarkan melalui kelompok-kelompok lainnya dengan nama-nama yang berbeda.
Salah satu anggota sempalan JI itu, mengeksekusi tiga gadis di sekolah Kristen pada 2006. Aksi ini disebut untuk memprovokasi sebuah babak baru dari kekerasan sekte mereka.
Tapi aksi itu dinilai gagal karena kelompok ini kemudian berevolusi menjadi Mujahideen Indonesia Timur (MIT). MIT mungkin adalah cabang paling mematikan dari JI. Pemimpinnya, Santoso, berikrar kepada ISIS pada 2014 dan mungkin adalah satu-satunya orang yang punya hubungan langsung dengan Suriah.
Sementara itu, pendiri dan pemimpin spiritual JI, Abu Bakar Ba’asyir, membubarkan diri dan mendirikan grup lainnya, Jemaah Ansharut Tauhid (JAT).
Dari penjara, dia berikrar setia pada ISIS, dan pada pertengahan 2014, JAT melakukan protes dan membawa bendera ISIS.
Sebagai catatan, jihadis Indonesia pertama yang tewas di Suriah, pernah belajar di Pondok Ngruki, yang didirikan Ba’asyir. Ngruki menjadi tempat sekolah bagi hampir setiap pelaku Bom Bali 2002.
Setidaknya 16 dari 26 pelaku Bom Bali 2002 yang memiliki hubungan dengan JI pernah bersekolah di tiga tempat ini: Al-Mukmin di Pondok Ngruki, Lukmanul Hakim di Malaysia, dan Al-Islam di Jawa Timur.
Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengomentari gerakan para jihadis dan kelompoknya ini dalam buku yang ditulis penulis yang berjudul From Bin Laden to Facebook. “Mereka bergerak di bawah tanah meskipun kita telah berupaya keras untuk menghentikan mereka,” kata SBY saat diwawancara penulis pada 2011.
“Mereka punya kemampuan dalam mengonsolidasikan, mereorganisasi, dan mencari kesempatan untuk menyerang kita lagi. Masih banyak organisasi-organisasi kecil lainnya. Banyak cabang yang dikembangkan, dan sesungguhnya sisa-sisa dari gerakan ini masih ada. Al-Qaeda adalah kakak tertua mereka,” katanya.
Nama mungkin bisa berubah, tapi jaringan sosial dan ideologi mematikan itu masih sama, dan berlanjut untuk berevolusi. Kini mereka melengkapi diri dengan smarthphones dan media sosial.
ISIS sangat ahli di media sosial dan kini bergeser ke aplikasi chat
Simpatisan ISIS di Indonesia sangat aktif di media sosial, yang sangat membantu mereka untuk memperluas basis dan menyebarkan faham radikalisme dan melakukan perekrutan.
Sementara kita bisa melihat dengan jelas bahwa beberapa dari mereka punya hubungan yang jelas dengan jaringan JI, lainnya tak punya hubungan sama sekali.
Itu karena ISIS sedang mencari target demografik yang baru.
ISIS pusat diyakini adalah sebuah organisasi yang sangat ahli dalam menggunakan media sosial untuk propaganda dan radikalisasi.
Video dan pesan mereka secara konsisten diunggah untuk menarik simpati anak-anak muda yang merasa terpinggirkan dan tersingkir. Caranya pun berbeda.
Otoritas di seluruh dunia telah mengidentifiksikan empat tahapan radikalisasi yang dilakukan ISIS:
1. Agitasi, antara lain memainkan hal yang sangat personal, seperti kemiskinan, trauma, ketidakadilan tanpa harapan, dan ketakutan.
2. Identifikasi diri, kelompok atau grup yang menekankan bahwa pentingnya kita merasa memiliki ikatan, atau gratifikasi.
3. Indoktrinasi, meliputi peningkatan kapasitas, jaminan pribadi.
4. Ekstrimis keji, meliputi aksi, pengorbanan, dan menyerahkan diri secara utuh demi kepuasan diri.
Mereka yang direkrut pun mulai terisolasi dari keluarga dan hilang ikatan dengan masyarakat di sekitarnya. Ketika ikatan tersebut mulai terkikis, anak-anak muda ini akan menjadi sangat mudah diajak bergabung dengan ISIS.
Pada pertengahan 2015, the Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menuliskan bahwa ada masa penurunan penggunakan Facebook, Google Plus, dan Twitter oleh jihadis asal Indonesia. Untuk alasan keamanan, mereka beralih ke WhatsApp, Telegram, dan Zello.
Di luar Indonesia, kini ISIS agresif mengambil alih hashtag agar tak terdeteksi sensor di Twitter. (BACA: Twitter Terror: How ISIS is using hashtags for propaganda)
Targetnya sederhana, yaitu menyebarkan pesan sejauh dan seluas mungkin. Sekali lini masa terikat, percakapan lebih intim pun terjadi, dan mereka mengenskripsi platform serta lambang-lambang mereka.
Lebih banyak perempuan dan pernikahan daring untuk ISIS di Indonesia
Secara global, ISIS kini tidak lagi mengajak laki-laki bergabung, tapi lebih banyak perempuan dibanding sebelumnya. Perempuan juga punya peran dalam proses radikalisasi, meski media sosial menyamaratakannya.
Pernikahan telah mempererat perserikatan sesama jihadi, dan perempuan memainkan peran kunci dalam plot Jemaah Islamiyah, mulai dari jadi penerjemah hingga sebagai pelengkap. Tapi teknologi telah meningkatkan frekuensi keterlibatan perempuan, sama seperti dalam pernikahan daring (online).
Perempuan asal Indonesia, tergiur dengan iming-iming membesarkan anak-anak mereka di Negara Islam, bergabung dengan suami mereka dan mengajak sesamanya untuk berangkat ke Suriah.
Seperti Siti Khadijah, yang mengunggah foto “hijrah” keluarganya ke Suriah. Ia menjelaskan apartemennya yang lengkap dengan perabotan, gaji tetap setiap bulan, hingga sekolah dan pelayanan kesehatan gratis, sebagai pancingan untuk pertanyaan di Facebooknya bagi warga Indonesia lain yang ingin tahu bagaimana ia bisa tinggal di Suriah.
IPAC juga menemukan bahwa jumlah pasangan ekstrimis terus meningkat, termasuk narapidana dan pejuang di Susriah yang bertemu di Facebook, kemudian saling mengenal lewat jaringan online, dan menikah via telepon saja.
Seperti yang dialami oleh Najma, seorang perempuan pekerja domestik di Hong Kong, yang menikahi Abu Arianto lewat telepon.
Mereka pertama kali bertatap muka setelah mereka menikah, ketika Abu Arianto datang ke Hong Kong, dalam perjalanannya ke Suriah.
Najma kemudian bergabung dengan Abu Arianto ke Suriah beberapa bulan kemudian, dan tak berapa lama mengandung anak Abu Arianto.
Namun nasib naas menanti Abu Arianto yang tewas hanya beberapa minggu setelah Najma tiba di Suriah.
Serangan tunggal di Indonesia?
Analisis media sosial adalah kerangka yang penulis gunakan untuk menganalisa jaringan sosial fisik yang mendukung serangan teroris di Indonesia.
Setelah Bali, struktur komando Jemaah Islamiyah lumpuh, dan operasional mereka terdegradasi karena anggota jaringannya telah tewas dan ditangkap aparat.
Namun pada dasarnya, pimpinan pucuk dan tengah mereka yang melumpuhkan jaringan itu untuk mempersiapkan operasi yang lebih canggih dalam skala besar.
Nyatanya, jaringan mereka masih tetap hidup dan menyebarkan ideologi tersebut. Mereka melakukan perekrutan-perekrutan yang baru, lebih tidak teratur dan polanya tidak terdesentralisasi.
Pada 2010 dan 2011, jaringan yang lebih kecil, lebih fokus pada satu tujuan, lebih profesional muncul tanpa koordinasi dari pusat.
Beberapa aksi mereka, seperti aksi bunuh diri di stasiun kereta api pada 2011 atau dua teroris mencegat seorang polisi di tengah malam dan membunuhnya di kantor polisi, bisa diperkirakan sebagai serangan tunggal, meski IPAC mengatakan hanya dua serangan yang bisa dikatakan sukses sejak 2006.
Otoritas mengaku bahwa serangan tunggal seperti ini sangat tidak mungkin diprediksi dan dicegah.
Maria A Ressa
(Rappler/Gerilya-Politik/Berbagasi-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email