Oleh: Mohamad Guntur Romli
Kita sering mendengar propaganda “kembali ke…” Propaganda ini hanya mem-bebek gerakan di Arab sana, al-audah (kembali). Propaganda ini pun mengaitkan dengan hal yg suci, al-Audah Ilal Quran was Sunnah (Kembali ke Al-Quran dan Sunnah). Namun sebenarnya propaganda ini tak lebih sebagai propaganda politik kekuasaan yang menggunakan politisasi Al-Quran dan Sunnah. Alias, politisasi agama.
Di negeri kita yang tercinta ini, muncul gerakan-gerakan yang mengatasnamakan “Kembali ke Al-Quran dan Sunnah” sebagai gerakan puritan yang memusuhi kearifan-kearifan lokal hingga dasar-dasar bernegara. Mereka mempropagandakan “Kembali ke hukum Allah” daripada menggunakan dasar, konstitusi dan hukum yang mereka sebut kafir, atau “Kembali ke Khilafah” karena NKRI bukan ajaran Islam.
Padahal dalam Islam tidak dikenal proganda “kembali ke” (al-audah) ini, yang ada justeru terus berjalan, bergerak, berubah yang disebut dengan filosofi Hijrah, yang kita rayakan pergantian tahunnya hari ini.
Hijrah vs Al-Audah (Kembali)
Hijrah adalah pergerakan, perjalanan ke depan, menyambut masa depan, gerak maju, alih-alih kembali ke masa lalu. Pengandaian yang tertanam bagi propagandis al-Audah (kembali) orang yang bergerak, berjalan, pastilah meninggalkan dan menjauh. Hal ini benar kalau agama diandaikan sekadar tempat dan ruang yang bisa ditinggalkan dan dijauhkan. Namun bagi filosofis hijrah, agama tak bisa ditinggalkan dan dijauhkan, karena agama adalah internalisasi dalam individu, di mana pun dan kapan pun, agama akan tetap melekat, tak bisa disanggah, tak bisa ditanggalkan.
Dalam pengandaian propagandis “al-Audah”, dengan menyebut kembali ke Al-Quran dan Sunnah, seolah-olah Al-Quran dan Sunnah ditinggalkan, makanya perlu kembali padanya. Pengandaian yang lebih konkret, bagi propagandis al-Audah memahami Al-Quran dan Sunnah seperti lampu teplok, seperti lampu pakai kabel dengan sakelarnya, yang terikat dengan ruang dan tempat. Tapi bagi filosofis hijrah, Al-Quran dan Sunnah itu seperti obor yang bisa dibawa kemana-mana menjadi suluh penerang yang menembus sekat-sekat ruang. Atau seperti lampu “wireless” (nirkabel) yang tak terpaku pada tembok dan kabel, tapi yang lebih tepat, Al-Quran dan Sunnah adalah sepasang mata yang tak bisa ditinggalkan dan akan terus digunakan untuk melihat, mengamati dan memahami.
Dengan demikian, bagi yang terus bergerak, berjalan ke depan, menyongsong masa depan tidak ada kekhawatiran dan ketakutan kehilangan dan meninggalkan penerang serta tak perlu bergerak memutar kembali (refresif), karena cahaya penerang itu selalu mengikuti dan terinternalisasi dalam diri untuk bergerak maju (progresif).
Inilah filosofi Hijrah yang mengajak kita terus bergerak maju, menyongsong masa depan, masyarakat yang adil, makmur, damai dan sejahtera, serta bebas dari korupsi!
Selamat Tahun Baru Hijriyah
1 Muharram 1440 H/11 September 2018
(Gun-Romli/Suara-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email