Pesan Rahbar

Home » » Hak Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan

Hak Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan

Written By Unknown on Thursday, 17 March 2016 | 10:49:00


Imam Ali dalam Tradisi Kebudayaan Islam Indonesia

Oleh: AM Safwan*)

Amirul Mukminin, Imam Ali as memiliki pengaruh yang sangat besar bagi Indonesia, terutama dalam konteks budaya negara ini. Faktanya dapat ditemukan dalam ajaran tasawuf di Indonesia, yang juga dikenal oleh masyarakat Iran dengan sebutan irfan. Meski tentu saja secara teoritis ada sejumlah perbedaan yang mendasar antara irfan dan tasawuf yang diajarkan di Iran dan Indonesia. Tetapi, dalam sampel budaya keislaman di Indonesia, Imam Ali as bukanlah kata yang asing. Sebab sumber-sumber tareqat dan referensi tasawuf mereka itu merujuk kepada keturunan dan silsilah kepemimpinan dari Imam Ali as yang dibawa ke Indonesia melalui Ali al-Uraidhi yang sampai kepada Imam Musa al-Kazdim. Sumber-sumber dan mata rantai ini sangat memengaruhi pribadi para pengikut setianya yang tidak dikenal sebagai orang-orang yang mengajarkan suluk tareqat, sebagaimana yang dibawa dalam konteks Indonesia.

Kedua, pengaruh pemikiran Imam Ali as atau ajaran-ajarannya dalam konteks Islam Indonesia, terutama dalam tradisi Islam pertama yang masuk ke Tanah Air bisa dilacak dari pendekatan tasawuf yang saat ini banyak dikembangkan oleh organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdhatul Ulama. Mereka tidak asing dengan ucapan-ucapan dan kalam Sayidina Ali terutama dalam dimensi esoterik batiniah.

Pengaruh Imam Ali semakin terdengar gemanya pada era kontemporer ketika Revolusi Islam Iran yang dicetuskan oleh Imam Khomeini dan juga murid-murid setianya seperti Ayatullah Syahid Muthahhari. Sehingga pemikiran sosok dan kepribadian Imam Ali juga melingkupi masyarakat Islam menengah Indonesia dan Islam perkotaan yang notabene tidak menyentuh tradisi Islam klasik. Mereka juga mulai mendengar nama, pikiran maupun bentuk-bentuk kehadiran pemikiran Imam Ali di era kontemporer. Dan kita di Indonesia mendengarnya melalui Revolusi Islam Iran. Karena itu, dasar pemikiran Imam Ali as pada level kebudayaan Islam di Indonesia itu sudah sangat jauh berpengaruh sejak awal masa perkembangan Islam yang dikenal dengan Wali Songo sebagai pembawa ajaran Islam awal yang sangat masyhur dan tidak mungkin dilepaskan kaitannya dengan perkembangan sejarah Islam di Indonesia. Wali Songo yang berjumlah sembilan itu merupakan keturunan Imam Ja’far Shadiq as (salah seorang Imam Syiah).

Pengaruh pemikiran Imam Ali dan figurnya pada level Islam perkotaan di era kontemporer ini juga didengar melalui pemikiran-pemikiran politik Imam Ali yang dicetuskan oleh Imam Khomeini. Bisa dikatakan bahwa pribadi besar Imam Ali turut dipelajari pada level yang sangat kultural dan juga mulai didekati pada level struktural. Bentuknya melalui berbagai pendekatan organisasi dan kajian kelompok-kelompok studi, misalnya pada level filsafat politik Imam Ali dengan mengkaji doktrin-doktrin kekuasaan dalam konsepsi Wilayatul Fakih, dan berbagai kolaborasi yang dilakukan kelas menengah di Indonesia juga mulai dipandang sebagai kajian-kajian yang otentik.

Mengenang Amirul Mukminin Imam Ali as, buat saya yang paling luar biasa sebagai seorang pembaca, sebagai seorang awam, Sayidina Ali telah berhasil memfilsafatkan kehidupan itu sebagai sebuah spiritualitas. Imam Ali as berhasil menjelaskan filsafat kehidupan tersebut dalam bahasa sehari-hari yang sangat rapi dan dalam. Beliau juga menjelaskan pemikiran besar melalui kehidupan sehari-hari. Imam Ali menyampaikan konsep-konsep besar melalui tindakan-tindakan praktisnya sehari-hari. Beliau bisa menjelaskan sesuatu yang sangat filosofis dengan pola dan perilaku yang sangat biasa sebagaimana kehidupan orang biasa tetapi menawarkan hikmah yang dalam.

Dalam konsepsi Indonesia, mungkin kita mendengar banyak tentang Imam Ali sejauh yang saya ketahui adalah dari buku Nahjul Balaghah, puncak kefasihan yang disyarah oleh Sayyid Radhi. Padahal ada juga kalam atau ucapan Imam Ali yang sangat besar yaitu Ghurar al-Hikam. Itupun saya kira penting untuk diupayakan ditransformasikan ke dalam bahasa pembaca Indonesia. Sehingga pribadi Imam Ali lebih dikenal dalam berbagai dimensinya.

Untuk konteks yang lebih jauh, tradisi penelitian tentang pemikiran Imam Ali ini memang secara khusus banyak dikaitkan dengan ajaran Syiah Imamiah. Tetapi tampaknya sekarang ini kurang banyak kolaborasi atau pemikiran-pemikiran yang dikaji langsung pada pemikiran Nahjul Balaghahnya Imam Ali as. Bisa jadi karena keterbatasan sumber untuk bisa membantu meneliti karya Nahjul Balaghah itu. Sumber-sumber yang mensyarahi Nahjul Balaghah hampir tidak ada yang kita bisa baca dalam kultur pembacaan kontekstual Islam Indonesia. Mungkin juga karena pensyarahnya banyak hadir dalam referensi berbahasa Persia sehingga kita yang di Indonesia dengan kemampuan berbahasa Indonesia, Inggris dan Arab kurang punya akses terhadap referensi berkenaan dengan syarah kehidupan Imam Ali as. Padahal kebudayaan Islam di Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari pengaruh keturunan Ahlul Bait yang membawa ilmu Imam Ali.

Dalam tradisi kebudayaan Indonesia, orang tidak mungkin melupakan istilah yang dikaitkan dengan Imam Ali dalam kultur Indonesia seperti istilah Baginda Ali. Baginda Ali itu dalam tradisi kebudayaan Indonesia dapat disetarakan dengan seorang raja. Raja dalam mistisisme, raja di dalam tasawuf. Dan itu sebenarnya adalah akar-akar sufi di dalam tradisi Islam di Indonesia. Pengaruh Imam Ali cukup besar. Namun untuk konteks yang lebih lanjut, kita pembaca di Indonesia sangat membutuhkan banyak upaya untuk menerjemahkan syarah-syarah tentang kehidupan Imam Ali dari bahasa Persia ke dalam bahasa Indonesia ataupun Inggris maupun bahasa Arab yang sampai pada kultur akademik Islam di Indonesia. Bukan semata karena persoalan teknis terjemahan tetapi memang upaya untuk menerjemahkan karya besar itu juga memerlukan orang-orang yang menguasai bahasa dari teks Nahjul Balaghah itu dengan baik sehingga meminimalkan kemungkinan reduksi pengertian.

Tampaknya harus ada kerja keras untuk mentransformasikan berbagai bentuk penafsiran dan syarah tentang Imam Ali, sehingga upaya ini bisa lebih kontinyu dan mampu menampilkan pemikiran Imam Ali lebih utuh, di saat banyak dari masyarakat Islam Indonesia mereduksi kebesaran Imam Ali semata-mata dalam konteks kemazhaban Syiah. Padahal tentu kita ketahui bahwa Imam Ali lebih dari sekedar seorang pendiri mazhab, lebih besar daripada hanya seorang pencetus aliran agama. Sejatinya, Imam Ali adalah seorang wali, seorang hujah zaman yang berbicara bukan hanya pada level gelar, level tasawuf, level filosofis, sekaligus beliau juga berbicara tentang bagaimana agama itu bisa hadir sebagai sebuah teori sosial, dan memiliki makna dalam kebudayaan.

Saya kira upaya itu bisa dibaca dari apa yang sudah dikerjakan Ayatullah Syahid Muthahhari ketika menginterpretasikan pemikiran-pemikiran Imam Ali dalam konteks sosial masyarakat. Saya kira kerja yang besar ini memerlukan transformasi, karya-karya, penafsiran-penafsiran yang lebih banyak sehingga kita cukup terbantu karena memang problema teks-teks Imam Ali as ini bukanlah teks yang begitu mudah untuk diterjemahkan kalau bukan oleh orang-orang yang ahli dalam dua sumber, paling tidak dalam bahasa Persia, menguasai konteks pemikiran atau dasar-dasar teologi filosofis dan irfani, serta tahu bahasa sasaran yaitu konteks pelajaran bahasa dan berbahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris maupun bahasa Arab. Dan yang jauh lebih prinsip dari semua itu bahwa sosok dan kepribadian Imam Ali jauh dari hingar-bingar yang hanya berkenaan dengan masalah-masalah yang terbatas dalam konteks mazhabnya saja.

Imam Ali pun sebagaimana kita ketahui adalah sosok yang disebut dalam bahasa orang Eropa sebagai Humanistik, sangat asketis, sangat spiritual, sangat filosofis, sekaligus juga tidak kehilangan akar kehidupan sosialnya sehari-hari. Beliau juga adalah seorang pekerja keras. Namun lebih dari itu semua, Imam Ali adalah seorang ulama, dan sepertinya kita kehilangan background seperti itu. Dalam konteks kebudayaan Indonesia, sekarang ini background tersebut lebih banyak menjadi mitos daripada sebuah figur yang hidup dalam kesadaran berpikir umat.

Selanjutnya yang terakhir dalam pandangan saya, kita memerlukan sebuah upaya menjalin banyak kerjasama dengan lembaga-lembaga yang ada di Indonesia untuk bisa mengangkat kembali pengaruh dan kebesaran seorang Imam Ali dalam tingkat pemikiran sosial, pemikiran politik dan pemikiran kebudayaan. Sehingga orang bisa melihat bahwa pemikiran Imam Ali tidak semata-mata terbatas dalam definisi teologis, tetapi juga bisa dilihat sebagai figur yang mencakup satu kerangka pemikiran sosial yang handal, sebagaimana dijelaskan dalam interpretasi dan syarah Ayatullah Muthahhari tentang pemikiran Imam Ali as. Dan tentunya beliau lebih besar dari apa yang saya bicarakan ini.

*) Ketua Yayasan Rausyan Fikr Yogyakarta
____________________________________________



Dalam Kovensi tentang Hak-Hak Sosial dan Politik yang telah diratifikasi dalam UU no.12 tahun 2005 telah diatur tentang hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Pasal 18

Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.

Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.


KEBEBASAN BERAGAMA DAN MELAKSANAKAN AGAMA/ KEPERCAYAAN PERSPEKTIF HAM
» Senin, 11 November 2013 01:54, Oleh: Dr. HM. Zainuddin, MA, Kategori: WR1Hit: 2728

I. PEMBUKA Setiap orang berhak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan. Konsekwensinya tidak seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/ kepercayaannya. Namun, negara (cq. Pemerintah) wajib mengatur kebebasan di dalam melaksanakan/ menjalankan agama atau kepercayaan agar pemerintah dapat menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM dan demi terpeliharanya keamanan, ketertiban, kesehatan atau kesusilaan umum.

II. MAKNA KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEPERCAYAAN Secara normatif dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) hak kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat disarikan ke dalam 8 (delapan) komponen yaitu;
1. Kebebasan Internal Setiap orang mempunyai kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama dan keyakinannya.
2. Kebebasan Eksternal Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadahannya. 3. Tidak ada Paksaan Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan yang menjadi pilihannya.
4. Tidak Diskriminatif Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk: asli atau pendatang, serta asal usulnya.
5. Hak dari Orang Tua dan Wali Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.
6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas keagamaan adalah untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.
7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.
8. Non-Derogability Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun.

III. JAMINAN KEMERDEKAAN BERAGAMA DALAM UUD & UU 1. UUD 1945 Pasal 28E, ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. 2. UUD pasal 29 ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.


HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN BERAGAMA 

Siti Musdah Mulia Pendahuluan HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu konsep etika politik modem dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya manusia. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al-mustad'afin) dari tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa.

Karena itu, esensi dari konsep hak asasi manusia adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun; serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi. Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development).

Konsep HAM berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep HAM menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan memandang manusia sebagai makhluk yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya. Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak beragama dan hak berkepercayaan.

Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun dan juga tidak boleh ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama. Isu Kebebasan Beragama Dalam Dokumen HAM Isu kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (disingkat DUHAM), ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM, seperti dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights (1966).

Pasal 2 DUHAM menyatakan: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”

(Author)
_____________________________________________

Agama dan Kekerasan


Oleh: Jalaluddin Rakhmat

“Jika aku bisa mengayunkan tongkat sihirku dan harus memilih apakah melenyapkan perkosaan atau agama, aku tidak akan ragu-ragu lagi untuk melenyapkan agama,” tulis Sam Harris, yang bersama Daniel Dennett dan Richard Dawkins dikenal sebagai the Unholy Trinity of Atheism.

“Agama sudah semestinya ditinggalkan manusia bukan karena alasan teologis, tetapi -masih kata Harris dalam The End of Faith: Religion: Terror and the Future of Reason – “karena agama telah menjadi sumber kekerasan sekarang ini dan pada setiap zaman di masa yang lalu”.

Romo Magnis pernah mengatakan kepadaku bahwa orang menjadi ateis lebih banyak bukan karena pemikiran filsafat atau sains. Mereka menjadi ateis karena tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para pengikut agama. Mereka melihat kontradiksi antara apa yang dikhotbahkan dengan apa yang dilakukan.

Alkisah, ada seorang Inggris yang sangat religius. Kalau bukan orang yang tekun ibadat, ia orang yang rajin ‘mencoba’ berbagai agama. Ia dibesarkan sebagai Anglikan, dididik sebagai Methodist, berpindah kepada Greek Orthodoxy karena perkawinan, dan dikawinkan kembali oleh seorang rabbi Yahudi.

Sebagai wartawan, ia mengembara secara geografis dan intelektual. Ia mengumpulkan setumpuk data tentang keterlibatan semua agama dalam berbagai peperangan dalam sejarah. Hasil pengembaraan ‘spiritualnya’ membuahkan buku: god (dengan huruf kecil) is not Great. Ia menuliskan namanya dengan setiap huruf pertamanya huruf besar: Christopher Hitchens. Ia membagi bab-bab dalam bukunya berdasarkan kontribusi setiap agama pada pembunuhan, peperangan, dan kekejaman. Seumur hidupnya, ia menjadi pendakwah ateis yang efektif, terutama terhadap orang-orang yang menjadi korban kekejaman agama.

Setelah Hitchens, Dan Baker menulis buku dengan judul yang ditulis dengan huruf kecil dan subjudul dengan huruf besar semua: godless, How an Evangelical Preacher Became One of America’s Leading Atheists. Jawab: Karena tindakan kekerasan umat beragama.

Ayaan Hirsi Ali untuk Islam sama dengan Hitch dan Dan Baker untuk Kristen. Ia lahir di Somalia, dari keluarga bangsawan Muslim. Waktu remaja, ia masuk sekolah muslimah yang berbahasa Inggris dan didanai Saudi. Guru-gurunya keluaran Saudi. Dengan semangat ia berpindah dari mazhab Syafii yang toleran kepada mazhab baru yang sangat keras. Hidup dengan aliran keras ini tidak membahagiakannya. Ia menyaksikan berbagai tindakan kekerasan, terutama kepada perempuan, atas nama agama.

Ia mengungsi ke negeri Belanda. Di sini, ia mendapat perlakuan yang tidak enak dari sesama Muslim. Setelah kecewa dengan peristiwa 11 September, setelah membaca Manifesto Atheis dari Herman Philipse, secara resmi ia meninggalkan Islam dan menyatakan diri Atheis.

Pada 2004, Ayaan, yang kini menjadi anggota Parlemen Belanda, menulis naskah dan menyediakan suara untuk film pendek Submission. Seorang aktris, berpakaian chador yang tembus pandang, mengisahkan penderitaan empat tokoh perempuan yang ditindas atas nama Islam.

Melalui chador yang transparan, penonton melihat tubuh telanjang yang bertuliskan ayat-ayat Al-Quran. Film ini tentu saja menimbulkan kemarahan hatta di negeri Belanda sekalipun. Produsernya, Theo van Gogh, dibunuh di jalan di Amsterdam. Di atas jenazahnya diselipkan surat dan pisau yang berisi ancaman kepada Ayaan. Ia ditunjuk Time sebagai 100 most influential people in the world. “This woman is a major hero of our time,” kata Richard Dawkins, anggota trinitas Atheis. Hirsi Ali menjadi dewi ateis sedunia.

Walhasil, kenapa orang menjadi atheis? Karena mereka menyaksikan atau mengalami sendiri tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Agamanya sendiri sebetulnya hanya menjadi kambing hitam. Bisa saja orang menyulut konflik karena motif-motif sekular –misalnya, ekonomi, politik, rasialisme – tetapi mereka menyelimuti nya dengan jubah agama.

Jika kita belajar sejarah, kita akan segera tahu bahwa konflik Palestina adalah konflik etnis (Yahudi yang terdiri dari 22,9 persen ateis, 21 persen sekular dan sisanya menganut agama Yahudi dan etnis Arab yang terdiri dari Islam dan Kristen); bahwa konflik di Irlandia Utara disebabkan karena masalah etnis-politis, setelah Inggris mendirikan Perkebunan Ulster tahun 1609; bahwa konflik bersenjata antara Pakistan dan India tentang Kashmir ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah kolonial Inggris, dan bukan karena anjuran Kitab Suci; bahwa perang Irak dan Iran dimulai dari perebutan wilayah, bukan karena perbedaan mazhab (terbukti setelah perang diketahui bahwa Syiah juga mayoritas di Irak).

Bagaimana dengan konflik Sunnah dan Syiah di berbagai tempat di Jawa Timur, termasuk Sampang? “Bukan karena perbedaan pendapat, tetapi karena perbedaan pendapatan,” kata petinggi NU masih dari daerah yang sama. Rois dan Tajul, kakak-beradik, dilantik sebagai pengurus Ijabi (Ikatan Jamaah Ahlil Bait Indonesia) pada 2007. Pada 2009, mereka terlibat konflik keluarga, antara lain karena masalah santri perempuan di pesantren Tajul.

Karena persoalan pendapatan, Rois meninggalkan paham Syiah dan beralih pendapat. Katanya, “Saya kembali ke Nahdhiyin, karena banyaknya penyimpangan dalam ajaran Syiah”. Pada pengujung 2011, Rois –menurut pengakuannya sendiri- membiarkan orang-orang yang sependapat dengan dia menghancurkan teritori dan massa pengikut saudaranya. Media melaporkan, “Roisul Hukama memimpin massa Ahli Sunnah untuk menyerang perkampungan dan pesantren Tajul Muluk, yang berpaham Syiah”. Para tokoh Islam, dengan pendapatan yang lebih besar, kemudian menabuh genderang perang. Atas nama agama!

Siapakah yang beruntung? Tidak satu pihak pun. Tidak Rois dan tidak Tajul. Siapakah yang menang? Kaum ateis. Mereka punya amunisi baru. Mereka akan menisbahkan tindakan kekerasan dan kekejian kepada agama. Tidak jadi soal apakah penyebab yang sebenarnya itu berasal dari masalah ekonomis, politis, ideologis, ethnis, atau sekedar pertikaian di antara keluarga miskin di kampung yang miskin!

*) Jalaluddin Rakhmat adalah Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia.


(IRIB Indonesia/Insepar-Foundation/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: