Muhammad Ali. (Foto: REUTERS/Jorge Nunez)
Merdeka.com - Petinju Legendaris Muhammad Ali wafat di Kota Phoenix, Arizona, Amerika Serikat kemarin, dalam usia 74 tahun. Dia mengalami gangguan pernafasan dipicu penyakit parkinson yang sudah diidap selama tiga dekade terakhir.
Ali, terlahir dengan nama Cassius Marcellus Clay, adalah petinju yang dikenal memiliki gaya flamboyan. Dia juga senang memprovokasi lawan-lawannya dengan komentar yang nyelekit. Tak heran nyaris seluruh orang sepakat menjulukinya petinju terbaik sepanjang masa.
Pesona Ali sebagai seorang muslim juga mewabah hingga Indonesia. Pada 1996, sang petinju gaek itu sempat melawat ke Jakarta, ditemui langsung Menteri Penerangan Harmoko.
Adapun situs berita vox, Sabtu (4/6), melansir pesan terakhir Ali yang diumumkan pada publik beberapa bulan sebelum masuk rumah sakit.
Sebagai muslim, Ali ternyata khawatir melihat dukungan luas pada Donald Trump yang mengikuti pilpres AS lewat partai Republik. Usulan Trump agar Amerika melarang orang beragama Islam masuk dalam kurun tertentu diprotes oleh Ali.
Jika tujuan program Trump itu sekadar menjaring calon teroris agar tidak masuk AS, maka caranya keliru.
"Sebab setiap muslim paham bahwa tidak boleh kita memaksakan Islam kepada manusia lain. Sudah jelas bila jihadis itu menerapkan tafsir yang salah atas Islam," tulis Ali.
Dia pun menyerukan agar Trump, serta calon presiden lainnya, berusaha lebih memahami Islam alih-alih memusuhinya.
Muhammad Ali dalam kenangan (Foto: REUTERS/Action Images/MSI)
Ali, dalam catatan wasiat tersebut, mengaku merasakan sendiri pahitnya mengalami diskriminasi baik oleh warna kulit ataupun agama.
"Pemimpin Amerika Serikat wajib menjernihkan pandangan keliru publik atas Islam, yang bisa mengaburkan nilai-nilai sejati agama indah ini," kata Ali.
Dalam cerita berbeda, sang petinju itu tertarik pada Islam karena mengajarkan kesetaraan antar umat manusia. Pada 1960, sepulang dari memenangkan medali emas Olimpiade untuk tinju, Ali muda mampir ke toko burger.
Ternyata pelayan menolak menjual burger untuknya karena dia berkulit hitam. Walau dijelaskan bahwa dia adalah petinju pemenang Olimpiade, pelayan itu tetap bergeming.
Pengalaman diskriminasi itu begitu membekas. Pada 1964, sebelum meraih gelar juara dunia ketiganya, Ali menjalin komunikasi intensif dengan Malcolm X dan Elijah Muhammad dari organisasi Nation of Islam (NOI).
Ormas NOI menggabungkan ajaran Islam dengan agenda kesetaraan ras bagi warga kulit hitam Amerika Serikat yang masih mengalami diskriminasi kala itu.
Lambat laun, Clay tertarik pada ajaran Islam. Dia menganggap ajaran Nabi Muhammad itu memiliki tujuan emansipasi bagi seluruh umat manusia.
Setelah berhasil memenangkan pertandingan melawan Liston, dan meraih gelar juara dunia, tahun itu juga Clay mengubah namanya menjadi Cassius X, lalu Muhammad Ali. "Saya membuang nama budak saya," ujarnya saat itu.
"Ajaran Islam adalah kesetaraan bagi seluruh manusia," kata Ali menambahkan.
(Vox/Reuters/Merdeka/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email