Pesan Rahbar

Home » » Kota di Antara Dua Shalawat dan Meminta Kepada Nabi Tidak Syirik

Kota di Antara Dua Shalawat dan Meminta Kepada Nabi Tidak Syirik

Written By Unknown on Wednesday 26 October 2016 | 02:18:00

Anggota jamaah Sholawat Wahidiyah menangis saat mengikuti Mujahadah Kubro di Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri, Jawa Timur, Minggu 26 Desember 2010 – (Foto: Antara News)

Kecamatan Mojoroto Kota Kediri terletak di sebelah barat sungai Brantas yang membelah kota yang berjuluk kota tahu. Di Kecamatan ini terdapat 29 pondok pesantren dari mulai yang besar seperti Pondok Pesantren Lirboyo sampai yang terkecil.

Di kecamatan ini pula telah berdiri satu pondok pesantren salaf sebagai tempat lahirnya Shalawat Wahidiyah yang bagi warga Kediri dan sekitarnya sudah cukup dikenal. Di pesantren Kedunglo ini Shalawat Wahidiyah telah menyebar ke seluruh pelosok tanah air dan diamalkan umat muslim.

Shalawat yang ditaklif oleh KH Abdul Majid Makruf ini mulai Kamis, 20 Oktober 2016 hingga 23 Oktober 2016 menggelar mujahadah kubro. Acara ini merupakan ritual tahunan yang diadakan setiap dua tahun sekali bagi pengamal Shalawat Wahidiyah. Ritual biasanya dilaksanakan pada malam hari.

Saat jelang peringatan Hari Santri Nasional, tepatnya hari Jumat 21 Oktober 2016 lalu, ratusan ribu pengamal Shalawat Wahidiyah dari seluruh Indoesia berkumpul di Popes Kedunglo dipimpin oleh KH Abdul Latif Majid mendoakan bangsa Indonesia agar keluar dari krisis multi dimensi.

Jamaah yang memenuhi lokasi sekitar ponpes meluber hingga di Jalan Wahid Hasyim Kota Kediri malam itu dipimpin kiai menangis agar dosa mereka diampuni oleh Allah swt dan memohon agar semua persoalan bangsa Indonesia segera teratasi.

“Mari kita minta tolong kepada Rasulullah, kita menangis agar diampuni oleh Allah swt sehingga bangsa Indonesia lepas dari semua persoalan,” ajak Kiai Latif saat memimpin Mujahadah Kubro untuk ibu-ibu.

Sementara itu pada waktu yang bersamaan, 2 km sebelah barat dari Ponpes Kedunglo, tepatnya di arena Muktamar Ponpes Lirboyo Kediri, Ketua PBNU, Said Agil Sirajd dalam gelaran 1 milyar Shalawat Nariyah dalam rangka memperingati Hari santri Nasional k-2, tengah menjelaskan bershalawat yang diyakini kalangan nahdhiyin sebagai permintaan kepada pribadi Nabi bukanlah sesuatu yang dilarang dalam Islam.

Bagi jamaah NU, menurut Said, meminta kepada pribadi Nabi bukanlah sesuatu yang syirik, lantaran posisi Nabi Muhammad saw adalah sebagai wasilah (perantara) permohonan kepada Allah swt. Banyak riwayat yang mengisahkan tidak dilarangnya meminta kepada Nabi sebagaimana kisah suku bani Mudor yang meminta kepada Nabi diberi rahmat agar mereka disingkirkan dari paceklik.

Dikisahkan oleh Said, pimpinan suku Mudor, Labib bin Robiah menghadap Nabi Muhammad dengan meminta rahmat dan perlindungn kepada pribadi Nabi agar paceklik disingkirkan. Nabi pun tidak melarang pimpinan suku Mudor meminta rahmat kepadanya. Seketika hujan turun di kampung suku Mudor sebelum mereka kembali ke kampungnya usai Nabi bersabda ‘Turunkan hujan kepada suku Mudor’.

“Yang tidak percaya teruskan tidak percayanya, yang percaya bersama saya, yang tidak percaya tidak berhak mendapat syafaat Nabi,” kata Said Agil Siradj.


Shalawat Secara Filosofis

Filsuf Indonesia Dr Muhsin Labib di akun twitternya mengatakan, Shalawat adalah deklarasi mengkoneksikan diri kepada Sang Ultim via Sang Konektor. “Bersalawat berarati mengabsahkan tawassul,” ucapnya.

Menurut Labib, tawasul adalah pengkoneksian antara yang tidak mutlak dengan yang mutlak. Ia mengatakan, hukum kesenyawaan menetapkan, sesuatu yang suci tak brsenyawa dengan tak suci. “Tidak ada koneksi langsung kita yang maha dekil dengan Dia yang Mahasuci,” tulisnya.

Hubungan langsung antara dua entitas yang berbeda diametrikal meniscayakan paradoks. Hukum avinitas ini juga berlaku dalam fisika. Filsuf-filsuf dari Socrates,Plato dan Aristo lalu Kindi,Farabi dan Ibn Sina sampai Suhrawardi dan Sadra berusaha menyelesaikan isu koneksi ini. Bahkan para Mistikus seperti Ibn Arabi, Al Hallaj, Bustami, Rumi hingga Khomeini mengkonfirmasi gradasi tajalli untuk menyelesaikan isu koneksi ini.

Menurut Labib, hukum relativitas juga menetapkan keniscayaan jarak dan relasi antar entitas-entitas berquiditas. Karena jarak-jarak itulah, media diperlukan. Media beposisi sebagai konektor itu harus memuat dua sisi yang memungkinkannya berhubungan secara bersamaan dengan entitas yang berbeda itu.

Ia haruslah sesuatu yang berbeda dengan dua entitas yang dihubungkannya. Andai sama, ia bukan konektor. Karena bukan konektor, ia memerlukan konektor juga. “Konektor pasti bukan Tuhan. Andai dia Tuhan, ia yang Mutlak dan suci tak berkoneksi dengan lain-Nya dengan yang tak suci dan relatif,” terangnya.

Konektor haruslah entitas yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan yang mutlak dan yang nisbi. Ia punya sisi kemutlakan dan kenisbian. Bila tak menghimpun dua arus kemutlakan dan kenisbian, ia pastilah nisbi semata. Bila nisbi semata, ia memerlukan konektor lagi dan seterusnya.

Konektor itu adalah manusia karena manusia adalah akibat paling sempurna dan menghimpun semua elemen makhluk. Ia adalah proptotip manusia. Andai bukan manusia, ia tidak jadi konektor karena konektor haruslah sempurna secara eksistensial.dari yang memerlukannya, yaitu manusia itu sendiri.

Konektor itu haruslah manusia sempurna. Bila bukan manusia sempurna, ia tidak jadi konektor bagi manusia sederajat dengannya yang juga tak smpurna. Karena insan sempurna, ia punya sesuatu yang tak dimiliki insan-insan tak smpurna. Andai memiliki sesuatu yang juga dimiliki insan-insan tak sempurna, ia tak smpurna.

“Karena dialah insan palin sempurna, maka dialah makhluk paling sempurna.Karena mkhluk paling sempurna, dialah satu-satunya jadi konektor yang mahasempurna,” terangnya.

(Antara-News/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: