Pesan Rahbar

Home » » Menggali Rahasia Do'a Nabi khidir; Bab XIII: Berlebihan dan Melampaui Batas

Menggali Rahasia Do'a Nabi khidir; Bab XIII: Berlebihan dan Melampaui Batas

Written By Unknown on Thursday, 20 October 2016 | 21:03:00


Kini aku datang menghadap kepada-Mu, ya Ilahi, setelah semua kekurangan dan pelampauan batasku terhadap diriku (sambil) menyampaikan pengakuan dan penyesalan, dengan hati hancur luluh, memohon ampun, dan berserah diri, dan dengan rendah hati mengakui segala kenistaan. Tiada kutemui tempat, melarikan diri, dari apa yang telah berlaku atasku, dan tiada tempat berlindung untuk menghadapkan padanya urusanku melainkan pada pengabulan-Mu untuk menerima pengakuan kesalahanku dan memasukkan daku ke dalam keluasan kasih-Mu. Ya Allah, terimalah alasan (pengakuan)ku ini, dan kasihanilah beratnya kepedihanku dan bebaskanlah daku dari kekuatan belengguku.


Penafsiran Etimologis

Kata Isrâf dan tabdzir memiliki arti berlebih-lebihan, Perbedaan antara keduahya adalah bahwa kata isrâf berlebih- lebihan. dalam penggunaan dan melewati batasan normal, sedangkan kata tabdzîr memiliki arti menggunakan sesuatu tidak pada tempatnya.

Kata ‘udzr berarti sesuatu yang dapat menghilangkan cercaan atas dosa, sedangkan kata i’tidzâr berarti memohon ‘udzr atau mengeluarkan alasan demi menolak cercaan.

Kata mustaqil berasal dari kata dasar iqâlah yang memiliki arti pembatalan transaksi. Maksudnya di sini adalah menghentikan dari melakukan perbuatan maksiat yang pernah dikerjakan.

Kata iqrâr, idz’ân, dan i’tirâf, ketiganya memiliki satu arti yaitu pengakuan, dengan perbedaan bahwa jika pengakuan itu dilakukan atas dasar keinginan yang tulus dan tidak ada paksaan maka disebut dengan idz’ân.

Kata mafar dan mafza’ memiliki arti tempat berlindung. Perbedaan antar keduanya adalah bahwa tatkala melarikan diri (firâr) disertai dengan ketundukan dan kerendahan maka ini disebut dengan mafza’.

Kata dhurr memiliki arti kondisi buruk, yang berasal dari kata-dasar dharara. Kata mudhtar juga berasal dari akar kata ini.

Kata watsâq memiliki arti tali atau rantai yang digunakan untuk mengikat tawanan.


Syarah dan Penjelasan

Setelah beliau memohon ampunan atas berbagai pelanggaran yang telah beliau perbuatyang semua itu bukan berdasarkan penentangan dan pembangkangan, namun lantaran dorongan dan pengaruh hawa nafsu serta tipu daya setan, dan dikarenakan qadha dan qadar yang berdasarkan pada kebebasan, kehendak, dan pilihannya sendiridan setelah mengakui bahwa beliau tidak meniiliki hujah dan alasan atas semua itu, beliau lalu mengakui kekurangan dan kesalahannya.

Kemudian, setelah mengungkapkan pengakuan bahwa berbagai musibah dah bencana yang menimpa adalah akibat perbuatan maksiat dan pelanggarannya, dan merupakan perwujudan nyata dari amal perbuatannya, beliau lalu berkata, “Kini aku datang menghadap kepada-Mu, ya Ilahi.”

Ungkapan tersebut, dari sisi tatacara berdoa, dari sisi ‘irfân, dari sisi pembicaraan seorang hamba kepada Tuannya, dari sisi ungkapan seorang perindu (‘âsyiq) kepada kekasih (ma’syuq)nya, dari sisi seorang hamba yang penuh dengan kesalahan terhadap sang Penguasa yang Maha Mengetahui dan Maha Penyayang, merupakan sebuah ungkapan yang sangat luhur, indah, dan sempurna.

Selain itu, pengakuan atas kesalahan, pengakuan atas dosa, pengakuan atas keesaan sang Pemelihara; dan pengakuah akan tidak adanya tempat berlindung selain kepada-Nyayang diulang berkali-kali dalam bermacam kata yang serupamerupakan sebuah keindahan tersendiri yang semakin memperelok kalimat dan ungkapan doa tersebut.

Selain itu, ungkapan doa dan kalimat itu sendiri menunjukkan bahwa si pendoa tenggelam di alam peribadahan, di alam keesaan, dan sama sekali tidak memperhatikan yang lain. Ini merupakan keindahan ketiga, selain dua kindahan yang lain, dan tidak ada sebuah ungkapan dan kalimat yang dapat menandingi keindahan ungkapan dan kalimat ini.


Syarah dan Penjelasan secara Rinci

Dari ungkapan beliau, “dan pelampauan batasku terhadap diriku”, dapat dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa menjaga keseimbangan dan dorongan hawa nafsu, bukan suatu hal yang tercela namun yang tercela. Namun, yang tercela adalah berlebih-lebihan dalam memenuhi kebutuhan hidup merupakan suatu hal yang diharuskan al-Quran, hadis nabawi, dan berbagai riwayat Ahlul Bait. Allah Swt berfirman:

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. (al-Qashâsh: 77)

Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan (yang diberikan) Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” (al-A’râf: 32)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saww mendengar bahwa salah seorang sahabatnya meninggalkan kehidupan duniawi dan mengikuti jejak kependetaan (rahbaniyyah). Beliau saww menjadi gusar dan pergi ke masjid, mengumpulkan masyarakat, dan bersabda, “Aku adalah Rasul kalian, yang makan berbagai kenikmatan, dan menggauli wanita, dan aku berada di tengah-tengah manusia, dan barangsiapa yang tidak melaksanakan sunahku maka ia bukan dari golonganku.”

Ya, sesuatu yang tercela itu adalah yang berlebih-lebihan, menghambur-hamburkan, dan membuang-buang kenikmatan. Allah Swt, dalam menyifati kaum mukmin, berfirman:

Dan orang-orang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu} di tengah-tengah antara yang demikian. (al-Furqan: 67)

Dan, di antara pesan dan anjuran Ilahi adalah:

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (al-Isrâ’: 29)

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (al-A’râf: 31)

Dalam ayat lain, Allah Swt menegaskan:

Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (al-Mukmin: 28)

Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu. (al-Mukmin: 34)

Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (al- Mâidah: 32)

Sesungguhnya Firaun berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang melampaui batas. (Yunus: 83)

...dan sesungguhnya orang-orang yang melampaui batas, mereka itulah penghuni neraka. (Yunus: 43)



Akibat Berlebih-lebihan dan Melampaui Batas

Dari berbagai ayat dan riwayat tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa berlebih-lebihan dan melampaui batas akan menyeret (seseorang) pada kekufuran dan kebinasaan. Dan dampak serta akibat dari sikap dan perbuatan semacam itu ada beberapa macam:

1. Berlebih-lebihan (isrâf) akan menyebabkan kefasikan dan pembangkangan, yang dalam ayat al-Quran disebutkan dengan menggunakan kala itrâf (hidup mewah). Allah berfirman:.

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancumya. (al-Isrâ’: 16)

Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu. Dalam (siksaan) angin yang amat panas dan air panas yang mendidih, dan dalam naungan asap hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka sebelumnya hidup bermewah-mewah. Dan mereka terus menerus mengerjakan dosa besar. (al-Waqi’ah: 41-46)

2. Berlebih-lebihan menyebabkan kemiskinan, sebagaimana yang ditegaskan oleh firman Allah: ...karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.

Oleh karena itu, George Jordac menyatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kemajuan dan perkembangan Islam adalah keberadaan pribadi semacam Dihyah al-Kalbi, yang pada saat menjadi utusan ke negeri Romawi, ia tidak membawa bekal apapun selain untanya, menggunakan susu untanya sebagai makanan, dan unta itu sendiri makan rerumputan yang ada di tengah padang pasir.

Dikisahkan, ada seorang penyair yang melantunkan syair di hadapan Umar bin Abdulazizdimana Umar bin Abdulaziz berusaha mencegah pemborosan yang terjadi di dunia Islam sehingga muslimin mampu berdiri sendiridan ia (penyair) mengharapkan imbalan dan hadiah atas syair yang telah diciptakannya itu.

Umar bin Abdul Aziz bertanya, “Imbalan apa yang Engkau inginkan?” Penyair menjawab, “Para khalifah akan memberikan imbalan seekor kuda, barang berharga, dan harta yang tidak terhitung atas syair itu.” Umar bin Abdul Aziz terperanjat mendengar jawaban itu dan berkata, “Demi Tuhan, saya tidak memiliki harta yang lain selain dua helai pakaian ini dan uang sebanyak empat puluh dirham. Saya bersedia untuk memberikan setengahnya kepadamu.”

Ringkasnya, dampak dan akibat dari pemborosan dan berlebih-lebihan dalam penggunaan harta adalah bahwa ia akan membawa kepada kefakiran, dan kefakiran akan menyeret pada kefasikan dan kekufuran.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata (kepada puteranya), “Wahai anakku! Aku khawatir kepadamu akan kefakiran, maka berlindunglah engkau kepada Allah darinya (kefakiran). Sesunguhnya kefakiran itu mengurangi agama, merusak akal, (dan) menyeru pada kesengsaraan.” Beliau juga berkata, “Kefakiran itu mendekati kekufuran.”

3. Berlebih-lebihan akan menyebabkan kehinaan di dua kehidupan (dunia dan akhirat). Ada sebuah syair yang dinisbahkan kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang isinya sebagai berikut:

Dan berlebih-lebihan dalam kehidupan
Membuat hancur dan remuk pundak kaum lelaki

Dalam syair ini dijelaskan bahwa berlebih-lebihan dalam kehidupan ini akan menyebabkan seseorang menjadi hina dan rendah di hadapan manusia. Di antara akibatnya adalah cenderung untuk berhutang, menggadaikan barang, menjual hasil tanaman' sebelum waktunya, dan seterusnya. Semua itu adalah dampak dan akibat dari berlebih-lebihah dalam memenuhi kebutuhan hidup.


Pemborosan dan Membuang-buang Kenikmatan

Pemborosan dan penyia-nyiaan kenikmatan yang dianugerahkan kepada kita, selain menimbulkan berbagai kerusakan sebagaimana tersebut di atas, al-Quran juga menyatakan bahwa orang semacam itu adalah saudara setan. Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang boros adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. (al-Isrâ’: 27)

Ringkasnya, kebahagiaan dan kesenangan itu tidak dihasilkan dengan pemborosan dan penghamburan harta. Kefakiran, kemiskinan, kehinaan, dan berbagai macam penyakit jiwa, semuanya merupakan dampak dari sikap berlebih-lebihan dan boros.

Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Orang yang boros dan berlebihan tidak akan merasakan kebahagiaan.” Beliau juga berkata, “Terhinalah orang yang serakah, dan mulialah orang yang merasa cukup (qana’ah).”

Yang dimaksud dengan merasa cukup (qana’ah) dalam akhlak Islam adalah berhemat, yang dalam ilmu ekonomi didefinisikan sebagai: hasil produksi sebatas penggunaan dan penggunaan sebatas hasil produksi. Dalam hal ini, bukan sebagaimana yang biasa dipahami masyarakat awam bahwa qana’ah itu identik dengan bermalas-malasan dan menjerumuskan kehidupan dalam kefakiran dan kemiskinan.

Oleh karena itu, siapa saja yang sama sekali tidak disibukkan oleh urusan dunia, meskipun ia adalah seorang yang kaya dan berharta, maka ia adalah orang yang qana’ah. Sedangkan orang yang tidak berfoya-foya dan tidak berlebih-lebihan dalam kehidupannya, adalah sebagaimana diungkapkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, “Barangsiapa yang tidak makan apa yang tidak ia miliki, tidak berpakaian (apa) yang tidak ia miliki, dan tidak membeli sesuatu yang tidak layak bagi dirinya, maka ia adalah seorang yang qana’ah.”

Siapa saja yang dalam kehidupannya melakukan pemborosan dan berloya-foya, sekalipun ia menjaga halal dan haram dalam membelanjakan harta tersebut, ia tetap digolongkan sebagai pemboros. Dan siapa saja yang membelanjakan hartanya di jalan yang haram dan tidak pantas, atau menghambur-hamburkannya, maka ia tergolong sebagai mutrif (orang yang bermegah-megahan) dan mubadzir (orang yang boros).


Syarah dan Penjelasan Kata I’tidzâr (Memohon Maaf)

Kata i’tidzâr dapat diartikan memohon maaf atas kesalahan dan dosa, jika permohonan tersebut sesuai dengan yang digariskan oleh syariat dan rasional. Namun, pabila tidak sesuai dengan syariat dan tidak rasional, maka kata tersebut memiliki arti mencari-cari alasan. Dalain hal ini, al-Quran menggunakan dua pengertian tersebut. Allah Swt berfirman:

Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab, “Dikarenakan permohonan maaf rnereka kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.” (al-A’râf: 164)

Permohonan maaf yang terdapat ayat di atas merupakan merupakan permohonan maaf yang pada tempatnya. Dalam ayat lain dikatakan:

(yaitu) hari yang tidak berguna bagi orang-orang yang zalim permintaan maafnya, bagi,mereka laknat dan bagi mereka tempat tinggal yang buruk. (al-Mukmin: 52)

Ini merupakan permohonan maaf yang tidak pada tempatnya dan hanya mencari-cari alasan, setelah hujah menjadi sempurna baginya dalam kehidupan dunia. Pernohonan maaf dan ampunan sendiri merupakan suatu sifat yang sempurna dan merupakan sebab bagi munculnya rasa tunduk dan penyesalan yang mendalam.

Oleh karena itu, setiap orang yang memiliki sifat rendah hatijika melakukan suatu perbuatan tercela, baik kepada sang Pencipta maupun kepada manusia, dan perbuatan tersebut bukan berdasarkan kesengajaan tetapi disebabkan oleh dorongan dan penguasaah hawa nafsu serta tipuan setanmaka ia akan segera meminta maaf dan memohon ampun. Ya, rasa enggan untuk memohon maaf dan meminta ampun bersumber dari kesombongan dan keangkuhan.

Oleh karena itu, seorang yang merasa dirinya besar dan mulia, atau ditempeli sifat sombong dan angkuh, ia sama sekali tidak akah pernah meminta maaf dan memohon ampun. Bukankah Anda telah mendengar bagaimana setan bersikap angkuh dan menyombongkan diri di hadapan Allah Swt, dan bahkan tidak memohon ampun kepada-Nya?!

Al-Quran menceritakan kisah tersebut:

Allah berfirman, “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (menganggap dirimu) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”

Iblis berkata, “Aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api; sedangkan ia Engkau ciptakan dari tanah.”

Allah berfirman, “Keluarlah kamu dari surga, sesungguhnya kamu adalah orang yang diusir, sesungguhnya kutukan-Ku tetap menimpamu sampai hari pembalasan.”

Iblis berkata, “Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.”

Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh sampai hari yang telah ditentukan waktunya.”

Iblis menjawab, “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang dibersihkan (dari dosa) di antara mereka.” (Shad: 75-82)


Peringatan Penting

Di sini, yang perlu diingat dan diperhatikan adalah, sebagaimana telah disebutkan, bahwa permohonan maaf dan ampunan merupakan sarana yang dapat menyelamatkan seseorang dari kehancuran. Namun, permohonan maaf dan ampunan yang tidak pada tempatnya akan menyebabkan kehancuran dan kebinasaan.

Oleh karena itu, siapa saja yang melakukan perbuatan buruk, maka dalam dua kehidupan (dunia dan akhirat) ia akan merugi. Namun, kerugiannya yang lebih besar ada pada permohonan maaf yang tidak pada tempatnya. Mengapa demikian? Sebab, permohonan maaf yang tidak pada tempatnya akan menyebabkan kehancuran nafsu lawwâmah (yang mencela), meskipun awalnya nafsu lawwâmah menolak permohonan maaf yang tidak pada tempatnya. Allah Swt berfirman:

Bahkan manusia itu mengetahui hakikat dirinya sendiri, meskipun ia mengemukakan alasan-alasan. (al-Qiyâmah: 15)

Alhasil, tatkala seseorang hendak mematikan nafsu lawwâmah dan mengadakan perlawanan terhadapnya, ia akan melakukan itu dengan mencari-cari alasan atas perbuatan buruk dan jahat yang telah dilakukannya, sehingga pada suatu saat ia menjadi jahil murakkab. Allah Swt berfirman:

Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu ia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (al-Fâthir: 8)

Dan pada hari kiamat nanti, ia tetap akan mencari-cari alasan dan mengira bahwa kebenaran ada pada pihaknya. Oleh karena itu, al-Quran menyatakan bahwa ia tidak akan diizinkan untuk mengemukakan alasan:

...dan tidak diizinkan kepada mereka untuk membuka mulutnya sehingga mereka (dapat) mengemukakan alasan. (al-Muralat: 36)

Ringkasnya, betapa buruk dan hinanya dampak dari dorongan nafsu ammârah, rayuan dan tipu daya setan.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI