Ahmad Rifai Kalisalak (1786-1872).
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa haram rokok sejak awal tahun 2009. Ternyata, fatwa haram rokok dan opium telah dikeluarkan oleh Ahmad Rifai Kalisalak (1786-1872), seorang ulama dari Kendal, untuk melawan Belanda yang membuat masyarakat kecanduan.
“Dialah ulama pertama yang mengeluarkan fatwa haram pada dua hal, rokok dan narkoba, dulunya opium,” ungkap Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, kepada Historia. Ayang menyelesaikan master dan doktornya dalam bidang sejarah, filologi, dan hukum Islam dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Prancis.
Ayang menjelaskan, perdagangan opium telah ada pada paruh pertama abad 17, sebelum Nusantara dikuasai Belanda. Akhir abad 16, bangsa Arab adalah pemasok opium pertama ke Asia, termasuk ke Nusantara, dan khususnya ke Jawa.
Pedagang Inggris, Prancis, Denmark, dan Arab saling bersaing memperebutkan pasar opium. Namun, sejak tahun 1677, Kompeni Belanda menjadi pemain utama setelah menandatangani perjanjian dengan Amangkurat II, penguasa Kerajaan Mataram. Kompeni Belanda pun mendapatkan monopoli perdagangan opium untuk mengimpor dan menjualnya ke seluruh Jawa. Sejak itu, perdagangan opium menanjak pesat.
“Perdagangan opium menjadi sumber pedapatan besar bagi Kompeni pada abad ke-18 dan bagi pemerintahan kolonial pada abad 19 di Jawa,” kata Ayang. Menariknya, kata Ayang, keuntungan terbesar penjualan opium berasal dari orang Jawa. Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi kawasan pengisap opium terbesar di Jawa.
Rifai menentang keras budaya masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai Islam, seperti mengisap opium. Dia juga menentang Belanda yang menumpuk keuntungan dari menjual opium. Akibatnya, dia diasingkan ke Ambon.
Di tempat pembuangan, Rifai terus melawan dengan mengeluarkan fatwa haram mengisap opium dan merokok tembakau. Fatwa itu juga berlaku pada orang yang membantu menyiapkannya. Jika seseorang tetap melakukan perbuatan itu, maka akan membawa kepada kefasikan. Jika seseorang fasik, hilang dua haknya, yaitu hak sebagai saksi nikah dan wali nikah.
Fatwa tersebut tercantum dalam Bahsul Ifta yang ditulis dalam bahasa Jawa dan aksara Arab atau pegon. Naskah ini tidak ditulis langsung oleh Rifai, tetapi diriwayatkan oleh Muhammad Busyra bin Abdul Hamid. Di dalamnya terdapat penjelasan dan surat Rifai dari Ambon. Di dalam naskah, banyak rujukan kepada karya Rifai yang lain. Walaupun tertulis tahun 1269 H (tahun 1852), naskah ini bukanlah naskah asli, tetapi salinan.
“Dari sini jelas naskah ini adalah kumpulan dari tulisan dan pemikiran Rifai dalam berbagai masalah yang disalin oleh para muridnya,” tulis Ayang dalam bukunya, Sejarah Hukum Islam di Nusantara.
Secara umum, Bahsul Ifta banyak membahas ushuluddin yaitu rukun iman, dosa, dan kafir; syariat yaitu taharah, salat, puasa, zakat, dan haji; serta tasawuf yaitu ikhlas, tawakal, riya, dan taubat.
Menariknya adalah sumber fatwa itu. Ayang mencatat bahwa Rifai melakukan ketidakjujuran intelektual dalam mengeluarkan fatwanya. Dia menggunakan dua sumber sebagai landasan mengeluarkan fatwa. Pertama, tiga hadis terkait haram mengisap opium, merokok tembakau, dan akibat bagi mereka yang meragukan hadis Nabi. Kedua, dia merujuk pada karya Kiayi Muhammad Saleh Darat untuk memperkuat pendapatnya.
Menurut Ayang, Rifai tidak menyebutkan kitab hadis yang dirujuknya dan siapa perawinya. Apalagi, dari segi struktur bahasa Arab dan ilmu hadis, hadis yang dia rujuk tampak sangat sederhana dan terkesan bukan hadis tapi seperti pendapat Rifai.
Opium memang sudah ada sejak masa Nabi lahir pada abad ke-6. Namun, Ayang mempertanyakan apakah opium ada di Mekkah dan Madinah pada abad ke-6 dan ke-7? Daerah mana yang memproduksi opium? Apakah sudah ada jual beli opium di Tanah Suci? Padahal, opium bukan hasil alam di Semenanjung Arab, baik di Mekkah maupun Madinah. Opium juga bukan barang dagangan utama bangsa Arab.
“Apakah Rasulullah hanya mendengar perihal opium dari para kafilah dagang yang berbahaya dan memabukkan seperti khamar, lalu mengharamkannya? Saya tidak tahu,” papar Ayang.
Tembakau juga tidak ada di Semenanjung Arab. Tembakau berasal dari pohon yang tumbuh di negara dengan iklim khusus, seperti Indonesia atau negara di Amerika Latin. “Tembakau menjadi rokok adalah fenomena belakangan, terutama setelah kedatangan bangsa Eropa di Amerika pada abad ke-16 dan di Nusantara pada abad ke-17,” lanjutnya.
Soal rujukan pada karya Saleh Darat, Ayang meneliti dan menegaskan bahwa yang digunakan Rifai sebenarnya tidak pernah dikatakan Saleh Darat.
“Ternyata main asal kutip. Saleh Darat tidak pernah menulis tentang keharaman rokok dan opium. Tidak pernah. Saya tidak habis pikir kenapa ulama sebesar dia (Rifai, red) mengeluarkan ini?” tanya Ayang.
Namun, Ayang menilai bahwa Rifai mengeluarkan fatwa itu untuk merespons keadaan masyarakat yang menjadi pecandu opium dan rokok sekaligus melawan Belanda. Dia berharap fatwa itu ditaati sehingga konsumsi menurun dan ekonomi kolonialis jatuh. Sayangnya, fatwa itu tidak diikuti oleh masyarakat. Sampai abad ke-19, konsumsi rokok dan opium di Jawa luar biasa besar. Rifai meninggal di tempat pengasingan, Ambon, di usia 86 tahun pada 1872.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email