Koleksi arsip kuno dari Indonesia yang disimpan di Universitas Leiden di Belanda sangat banyak. Arsip-arsip itu merupakan koleksi Leiden yang kemudian ditambah dari Universitas Amsterdam yang diperoleh pada masa penjajahan kolonial. Lantaran Universitas Leiden merupakan lembaga pendidikan yang khusus pempelajari tentang Asia Timur.
“Kalau dijejer, panjangnya bisa mencapai 12 kilometer,” kata Rektor Universitas Leiden Carel Stolker dalam bahasa Inggris saat ditemui di Gedong Jene, Keraton Kasultanan Yogyakarta, Kamis 27 Februari 2014.
Menurut Stolker, meskipun kondisi arsip-arsip tersebut sudah rapuh, namun masih tersimpan dengan baik. Banyak dosen dari Indonesia yang datang ke sana untuk mempelajarinya. “Itu adalah sejarah bersama tentang hubungan Indonesia dengan Belanda,” kata Stolker.
Koleksi dari Indonesia tersebut, juga ada arsip-arsip kuno milik keraton Yogyakarta. Untuk dibawa kembali ke Indonesia, menurut Stolker tidak memungkinkan. Alasannya, karena kondisinya sudah rapuh. Salah satu solusinya adalah melakukan digitalisasi arsip-arsip tersebut. Kemudian mengunggahnya melalui internet.
“Sehingga semua bisa melihat. Itu untuk kepentingan pemerintah Indonesia dan Belanda. Meski biayanya mahal,” katanya.
Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY Budi Wibowo akan melakukan penelusuran arsip-arsip kuno keraton Yogyakarta ke Inggris dan Belanda pada Juni mendatang. Banyak arsip pada masa Hamengku Buwono I dan II yang diangkut kapal pada masa penjajahan Inggris di bawah Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Bingley Raffles. “Ada 165 gerobak berisi arsip yang diangkut,” kata Budi.
Dia berharap bisa membawa kembali arsip-arsip tersebut. Minimal memperoleh fotokopiannya. Lantaran satu sisi, perpustakaan DIY belum mempunyai lemari dan ruangan penyimpanan arsip yang tahan api. Fasilitas tersebut diharapkan bisa dimiliki untuk melindungi dan merawat arsip-arsip kuno di DIY.
Yogyakarta Mendaftar Aset Sejarah Era Ibu Kota RI.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta mulai mengiventarisasi
sejumlah aset bersejarah. Aset tersebut, khususnya adalah yang pernah
menjadi kantor pemerintahan Indonesia saat ibu kota dipindah ke
Yogyakarta, dari tahun 1946-1949.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta Budi Santosa menuturkan, pihaknya baru berhasil mendeteksi beberapa bangunan saja. Sedikitnya ada empat bangunan bersejarah yang sudah dicatatkan dalam dokumen pemerintah. “Semua aset itu dimiliki perorangan, tidak ada yang menjadi milik negara atau daerah,” kata Budi, Kamis 26 September 2013.
Sejumlah bangunan bersejarah yang terlacak antara lain bekas Kantor Departemen Agama yang kini menjadi Sekolah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Ngampilan dan Kantor Kementerian Luar Negeri yang kini menjadi Museum Sandi Negara.
Selain itu ada pula bangunan yang terdata seperti Sekolah Menengah Atas (SMA) 17 yang merupakan bekas markas Tentara Pelajar dan tempat pelaksaan Kongres Budi Utomo 1908 yang sekarang menjadi Gedung SMA Negeri 11.
Budi mengungkapkan, inventarisasi dilakukan bukan untuk membebaskan lahan itu agar bisa dibeli pemerintah. “Kalau membeli pasti butuh dana sangat besar. Kami hanya menjaga dan mengajak masyarakat agar bangunan bersejarah ini tidak ada yang mengalami perubahan bentuk, apalagi dirobohkan,” kata dia.
Meski telah berhasil mendata sekitar 600 benda bersejarah dari berbagai masa, dinas pariwisata kesulitan melacak keberadaan aset terutama yang menjadi roda pemerintahan Indonesia selama empat tahun di Yogya.
Anggaran inventarisasi juga sangat terbatas, tidak sampai Rp 100 juta per tahun. Padahal untuk melacak keberadaan bangunan butuh penelusuran banyak dokumen, bukan hanya dokumen yang tersimpan dalam Kantor Arsip Daerah milik pemerintah Yogyakarta. Anggota tim inventarisasi ini hanya lima orang dan semua berasal dari kalangan pemerintah.
Saat ini, pemerintah Yogya tengah melakukan pendataan pada kawasan Kota Baru, Danurejan, dan Pakualaman yang disinyalir masih banyak bangunan bersejarah namun belum terdata. “Khususnya Kota Baru, kami yakin ada banyak bekas kantor pemerintahan di masa transisi ini,” kata dia.
Pengamat sejarah Universitas Gadjah Mada Djoko Suryo mengatakan rencana pendaftaran aset ini akan membutuhkan tenaga ekstra. Terlebih karena transisi republik pada masa kemerdekaan sangat dinamis.
“Perlu tim yang melibatkan unsur di luar pemerintah, bahkan dari daerah lain khususnya pemerintah DKI Jakarta,” kata dia. Djoko mengungkapkan untuk melacak aset bersejarah saat Yogya jadi ibu kota itu, perlu melihat kronologi dari tahun 1940, 1945, dan 1950.
“Banyak yang beralih fungsi dua sampai tiga kali,” kata dia. Ia pun merekomendasikan penelusuran dokumen yang lebih lengkap, mulai kantor arsip di Yogya, Jakarta, bahkan jika perlu ke Leiden Belanda.
(Tempo/ABNS) Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta Budi Santosa menuturkan, pihaknya baru berhasil mendeteksi beberapa bangunan saja. Sedikitnya ada empat bangunan bersejarah yang sudah dicatatkan dalam dokumen pemerintah. “Semua aset itu dimiliki perorangan, tidak ada yang menjadi milik negara atau daerah,” kata Budi, Kamis 26 September 2013.
Sejumlah bangunan bersejarah yang terlacak antara lain bekas Kantor Departemen Agama yang kini menjadi Sekolah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Ngampilan dan Kantor Kementerian Luar Negeri yang kini menjadi Museum Sandi Negara.
Selain itu ada pula bangunan yang terdata seperti Sekolah Menengah Atas (SMA) 17 yang merupakan bekas markas Tentara Pelajar dan tempat pelaksaan Kongres Budi Utomo 1908 yang sekarang menjadi Gedung SMA Negeri 11.
Budi mengungkapkan, inventarisasi dilakukan bukan untuk membebaskan lahan itu agar bisa dibeli pemerintah. “Kalau membeli pasti butuh dana sangat besar. Kami hanya menjaga dan mengajak masyarakat agar bangunan bersejarah ini tidak ada yang mengalami perubahan bentuk, apalagi dirobohkan,” kata dia.
Meski telah berhasil mendata sekitar 600 benda bersejarah dari berbagai masa, dinas pariwisata kesulitan melacak keberadaan aset terutama yang menjadi roda pemerintahan Indonesia selama empat tahun di Yogya.
Anggaran inventarisasi juga sangat terbatas, tidak sampai Rp 100 juta per tahun. Padahal untuk melacak keberadaan bangunan butuh penelusuran banyak dokumen, bukan hanya dokumen yang tersimpan dalam Kantor Arsip Daerah milik pemerintah Yogyakarta. Anggota tim inventarisasi ini hanya lima orang dan semua berasal dari kalangan pemerintah.
Saat ini, pemerintah Yogya tengah melakukan pendataan pada kawasan Kota Baru, Danurejan, dan Pakualaman yang disinyalir masih banyak bangunan bersejarah namun belum terdata. “Khususnya Kota Baru, kami yakin ada banyak bekas kantor pemerintahan di masa transisi ini,” kata dia.
Pengamat sejarah Universitas Gadjah Mada Djoko Suryo mengatakan rencana pendaftaran aset ini akan membutuhkan tenaga ekstra. Terlebih karena transisi republik pada masa kemerdekaan sangat dinamis.
“Perlu tim yang melibatkan unsur di luar pemerintah, bahkan dari daerah lain khususnya pemerintah DKI Jakarta,” kata dia. Djoko mengungkapkan untuk melacak aset bersejarah saat Yogya jadi ibu kota itu, perlu melihat kronologi dari tahun 1940, 1945, dan 1950.
“Banyak yang beralih fungsi dua sampai tiga kali,” kata dia. Ia pun merekomendasikan penelusuran dokumen yang lebih lengkap, mulai kantor arsip di Yogya, Jakarta, bahkan jika perlu ke Leiden Belanda.
Post a Comment
mohon gunakan email