Selama saya tinggal di Syiria saya bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al-Arnauthi, salah seorang ulama Syiria. Dia mempunyai ijazah di dalam ilmu hadis.
Pertemuan ini berlangsung dengan tanpa persiapan dari saya, melainkan terjadi dengan kebetulan.
Saya mempunyai seorang teman dari Sudan yang bernama Adil. Saya mengenalnya di kawasan Sayyidah Zainab as, dan Allah SWT telah menerangi hatinya dengan cahaya Ahlul Bait as. Teman saya ini memiliki sifat-sifat terpuji yang jarang ditemukan pada yang lainnya. Dia seorang yang berakhlak, taat beragama dan warak. Keadaan telah memaksanya untuk bekerja di sebuah ladang di kawasan yang ber-nama "Adliyyah", kurang lebih berjarak sembilan kilometer sebelah selatan kawasan Sayyidah Zainab as. Di sebelah ladang tempat dia bekerja terdapat ladang lain milik seorang laki-laki tua yang dipanggil dengan sebutan Abu Sulaiman.
Ketika tetangga ini tahu bahwa orang Sudan yang bekerja di ladang sebelahnya itu orang Syi'ah, dia datang dan berbicara kepadanya. Tetangga itu berkata:
"Wahai saudaraku, orang-orang Sudan itu orang Ahlus Sunnah yang baik, lantas dari mana kamu menjadi Syi'ah?! Apakah di keluargamu ada orang yang bermazhab Syi'ah?"
Adil menjawab, "Tidak, namun agama dan keyakinan tidak dibangun di atas dasar taklid kepada masyarakat dan keluarga."
Tetangga itu berkata, "Sesungguhnya Syi'ah menipu dan membohongi masyarakat."
Adil menjawab, "Saya tidak melihat yang demikian itu dari mereka."
Tetangga itu berkata lagi, "Benar, kami mengenal mereka dengan baik."
Adil berkata, "Wahai haji, apakah Anda percaya pada Bukhari dan Muslim dan kitab-kitab sahih yang enam?"
Tetangga itu menjawab, "Tentu."
Adil berkata lagi, "Sesungguhnya Syi'ah berargumentasi atas berbagai keyakinan yang mereka yakini dengan menggunakan sumber-sumber ini, apalagi sumber-sumber mereka."
Tetangga itu berkata, "Mereka itu berdusta. Mereka mempunyai sahih Bukhari dan Muslim yang telah diselewengkan."
Adil menjawab, "Mereka tidak mengharuskan saya dengan kitab tertentu, melainkan mereka meminta saya untuk mencarinya di perpustakaan manapun di dunia Arab."
Tetangga itu berkata, "Ini bohong, saya wajib mengembalikan Anda ke dalam Ahlus Sunnah. Karena Rasulullah saw telah bersabda, "Jika Allah memberikan petunjuk kepada seorang laki-laki dengan perantaraanmu, maka yang demikian itu lebih baik bagimu dibandingkan seluruh dunia dan isinya."
Adil berkata, "Kita ini pencari kebenaran dan petunjuk, kita akan condong bersama argumentasi ke mana pun argumentasi itu condong."
Tetangga itu berkata, "Saya akan mendatangkan kepadamu ulama terbesar di kota Damaskus. Yaitu 'Allamah Abdul Qadir ar-Arnauti, seorang ulama terpandang dan ahli hadis yang hafal Al-Qur'an. Orang-orang Syi'ah telah berusaha membujuknya dengan uang berjuta-juta supaya dia bersama mereka, namun dia menolaknya."
Teman saya Adil menyetujui rencana ini. Abu Sulaiman berkata kepadanya, "Janji kita pada hari Senin, Anda dan orang-orang Sudan lainnya yang terpengaruh pikiran Syi'ah silahkan datang." Adil datang kepada saya. Dia mengabarkan apa yang telah terjadi, dan meminta saya untuk pergi bersamanya. Dengan sangat senang saya menerima tawaran itu. Saya janji akan pergi bersamanya pada hari Senin tanggal 8 Safar 1417 Hijrah, tepat jam 12 siang.
Hari itu adalah hari yang sangat panas. Kami berkumpul di tempat yang telah dijanjikan, dan kemudian kami bertolak ke ladang bersama tiga orang Sudan lainnya. Setelah kami sampai, teman kami Adil menyambut kami di ladang yang hijau yang dipenuhi dengan berbagai pohon buah-buahan, seperti murbei, persik, apel dan buah-buahan lainnya yang tidak terdapat di negara kami, Sudan.
Setelah itu kami pun tergesa-gesa menuju ladang tetangganya yang Ahlus Sunnah itu. Tetangga itu menyambut kedatangan kami dengan kasar. Setelah beristirahat sejenak di tempat yang dikelilingi sayur-sayuran itu, saya berdiri untuk mengerjakan salat Zuhur. Pada saat saya mengerjakan salat Zuhur tibalah rombongan yang membawa Syeikh ar-Arnauthi. Ruangan bangunan telah dipenuhi oleh manusia sementara bagian luarnya telah dipenuhi oleh mobil. Kebingungan melanda wajah teman-teman saya, dikarenakan kedudukan yang sedemikian tingginya. Karena mereka tidak mengira urusan ini sedemikian besarnya. Setelah masing-masing menempati tempatnya, saya memilih tempat di sebelah Syeikh.
Setelah berlangsung acara perkenalan di antara semua, pemilik ladang berkata kepada Syeikh, "Mereka ini adalah saudara-saudara kita dari Sudan. Mereka telah terpengaruh Syi'ah di kawasaan Sayyidah Zainab. Di antara mereka ada seorang Syi'ah yang bekerja di ladang sebelah kami."
Syeikh itu bertanya, "Mana yang Syi'ah itu?"
Mereka menjawab, "Pergi ke ladangnya, dan nanti akan kembali tidak lama lagi."
Syeikh berkata, "Kalau begitu kita tunda pembicaraan kita hingga dia kembali."
Salah seorang Sudan pergi mencarinya dan kemudian membawanya ke majlis. Syeikh memanfaatkan kesempatan ini untuk membacakan banyak hadis yang dia hafal di luar kepala. Adapun tema hadis-hadis yang dibacakannya itu ialah berkenaan dengan keutamaan sebagian negeri atas sebagian negeri yang lain, khususnya yang berkenaan dengan negeri Syiria dan kota Damaskus. Tema ini telah memakan waktu sekitar setengah jam. Sebuah tema yang tidak ada faidahnya. Saya sangat heran kenapa dia tidak memanfaatkan kesempatan ini, padahal semua yang hadir telah menajamkan pikiran mereka untuk mendengarkan hadis yang dapat mereka manfaatkan di dalam agama dan dunia mereka. Kemudian dia berkata, "Sesungguhnya agama Allah tidak diambil berdasarkan nasab dan keturunan. Allah SWT telah menjadikan agamanya untuk semua manusia, lalu dengan hak apa kita mengambil agama kita dari Ahlul Bait?! Rasulullah saw telah memerintahkan kita untuk berpegang teguh kepada Kitab Allah dan sunahnya. Hadis ini adalah hadis yang sahih yang tidak ada seorang pun yang mampu mendhaifkannya, dan tidak ada jalan lain selain jalan ini." Kemudian dia menepukkan tangannya ke punggung Adil sambil berkata kepadanya, "Wahai anakku, jangan sampai perkataan Syi'ah dapat menipumu."
Saya memotong pembicaraannya dengan mengatakan, "Yang mulia Syeikh, kami adalah pencari kebenaran, dan kini perkara telah bercampur sedemikian rupa sehingga membingungkan kami. Oleh karena itu, kami datang kepada Anda supaya dapat mengambil manfaat dari Anda manakala kami mengetahui Anda seorang ulama besar, ahli hadis dan hafidz."
Syeikh itu menjawab, "Itu benar."
Saya berkata lagi, "Sudah merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi bahwa kaum Muslimin telah terbagi ke dalam beberapa golongan dan mazhab, dan masing-masing golongan mengklaim bahwa dirinyalah yang benar sementara yang lainnya salah. Apa yang harus saya lakukan sementara saya diwajibkan oleh agama Allah untuk mengetahui kebenaran di antara jalan-jalan yang saling bertentangan itu?! Apakah Allah menghendaki kita berpecah-belah atau menginginkan kita berada pada satu agama, yaitu kita menyembah Allah dengan agama yang satu?! Jika ya, lantas jaminan apa yang telah ditinggalkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kita supaya umat terjaga dari kesesatan?
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perselisihan pertama yang terjadi di antara kaum Muslimin adalah perselisihan yang terjadi secara langsung setelah Rasulullah saw wafat, padahal Rasulullah saw tidak mungkin meninggalkan umatnya tanpa ada petunjuk."
Syeikh berkata, "Sesungguhnya jaminan yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah saw untuk mencegah umat dari perselisihan ialah sabdanya yang berbunyi, "Sesungguhnya aku tinggalkan sesuatu padamu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan sunah."
Saya berkata, "Beberapa saat yang lalu Anda menyebutkan terkadang ada sebuah hadis yang tidak ada sumbernya, artinya tidak disebut di dalam kitab-kitab hadis."
Syeikh menjawab, "Itu benar."
Saya katakan kepadanya, "Hadis ini tidak memiliki sumber di dalam kitab-kitab sahih yang enam, lantas kenapa Anda menyebutkannya, sementara Anda seorang muhaddis?"
Di sini, bangkitlah kemarahan Syeikh, lalu dia berteriak lantang, "Apa yang Anda maksud, apakah Anda ingin mendhaifkan hadis ini."
Saya merasa heran kenapa Syeikh sedemikian marah padahal saya tidak mengatakan apa-apa.
Saya berkata, "Sabar, sesungguhnya pertanyaan saya hanya satu, yaitu apakah hadis ini terdapat di dalam kitab sahih yang enam?"
Syeikh itu menjawab, "Kitab sahih itu tidak hanya enam. Kitab hadis itu banyak sekali. Hadis ini terdapat di dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik."
Saya berkata dengan menghadap kepada para hadirin, "Baik, Syeikh telah mengakui bahwa hadis ini tidak terdapat di dalam kitab-kitab sahih yang enam, dan hanya terdapat di dalam kitab al-Muwaththa Imam Malik."
Dengan nada tinggi dia memotong pembicaraan saya dengan mengatakan, "Lalu, apakah kitab al-Muwaththa bukan kitab hadis?"
Saya menjawab, "Kitab al-Muwaththa kitab hadis, namun hadis 'Kitab Allah dan sunahku' adalah marfu' dengan tanpa sanad, padahal diketahui bahwa semua hadis yang terdapat di dalam kitab al-Muwaththa bersanad."
Di sini Syeikh berteriak setelah hujjahnya patah. Dia mulai memukul saya dengan tangannya dan menggerak-gerakkan tubuh saya ke kanan dan ke kiri sambil berkata, "Anda ingin mendhaifkan hadis ini, padahal Anda ini siapa sehingga hendak mendhaifkannya." Dia tidak dapat mengontrol emosinya sehingga tindak tanduknya telah keluar dari batas-batas yang wajar. Seluruh orang yang hadir merasa heran dengan gerak dan tingkah lakunya.
Saya berkata, "Ya Syeikh, di sini tempat diskusi dan dalil, dan cara ini tidak layak untuk diikuti. Saya telah duduk dengan banyak ulama Syi'ah namun saya tidak pernah melihat sama sekali cara yang seperti ini." Allah SWT berfirman, 'Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.' Setelah itu, dia sedikit reda dari kemarahannya.
Saya berkata, "Ya Syeikh, saya bertanya kepada Anda apakah riwayat Malik terhadap hadis "Kitab Allah dan sunahku" di dalam kitab al-Muwaththa itu dhaif atau sahih?!"
Dengan penuh berat hati Syeikh menjawab, "Dhaif."
Saya berkata, "Jika demikian, kenapa Anda mengatakan hadis tersebut ada di dalam kitab al-Muwaththa padahal Anda tahu hadis tersebut dhaif?"
Dengan nada tinggi Syeikh menjawab, "Sesungguhnya hadis tersebut mempunyai jalan-jalan yang lain."
Saya berkata kepada para orang-orang yang hadir, "Syeikh telah melepaskan riwayat al-Muwaththa, dan mengatakan bahwa hadis ini mempunyai jalan-jalan yang lain, maka marilah kita mendengarkan jalan-jalan itu darinya."
Di sini Syeikh merasa malu, karena sebenarnya tidak ada jalan yang sahih yang dimiliki hadis ini. Pada saat itu tiba-tiba salah seorang hadirin yang duduk berbicara, lalu Syeikh menepuk saya dan berkata sambil menunjuk kepada orang yang bicara, "Dengarkan dia." Saya tahu dia ingin lari dari pertanyaan sulit yang saya lontarkan kepadanya. Saya merasakan itu darinya, namun saya tetap bersikeras dan berkata, "Ya Syeikh, sebutkanlah kepada kami jalan-jalan lain yang dimiliki hadis ini?"
Dengan nada putus asa Syeikh menjawab, "Saya tidak hapal, dan saya akan menuliskannya untuk Anda."
Saya berkata, "Subhanallah! Anda hapal seluruh hadis-hadis ini, hadis-hadis tentang keutamaan negeri-negeri, namun tidak hapal jalan hadis terpenting yang merupakan pilar utama mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menjaga umat dari kesesatan, sebagaimana yang telah Anda katakan." Mendengar itu Syeikh terdiam seribu bahasa.
Ketika para hadirin merasakan rasa malu Syeikh, salah seorang dari mereka berkata kepada saya, "Apa yang Anda inginkan dari Syeikh, padahal Syeikh telah berjanji akan menuliskannya untuk Anda."
Saya berkata, "Saya akan coba dekatkan jalan untuk Anda. Sesungguhnya hadis ini juga terdapat di dalam kitab Sirah Ibnu Hisyam dengan tanpa sanad."
Syeikh al-Arnauthi berkata, "Sirah Ibnu Hisyam adalah kitab sejarah, bukan kitab hadis."
Saya berkata, "Kalau begitu berarti Anda mendhaifkan riwayat ini."
Syeikh al-Arnauthi menjawab, "Ya."
Saya berkata, "Anda telah membantu saya menyelesaikan diskusi ini."
Kemudian saya meneruskan perkataan saya dengan mengatakan: "Hadis ini juga terdapat di dalam kitab al-llma' karya Qadhi 'lyadh, dan kitab al-Faqih al-Mutafaqqih karya Khatib al-Bagdadi, apakah Anda mengambil riwayat-riwayat ini?"
Syeikh menjawab, “Tidak”.
Saya berkata, "Jika demikian, maka hadis "Kitab Allah dan sunahku" itu dhaif menurut kesaksian Syeikh, dan tidak ada jaminan lain di hadapan kita kecuali satu jaminan yang akan mencegah umat dari perselisihan, yaitu hadis mutawatir dari Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh kitab-kitab hadis Ahlus Sunnah dan kitab-kitab sahih yang enam selain Bukhari, yaitu sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
"Aku meninggalkan dua perkara yang sangat berharga, yang jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan tersesat sepeninggalku, yaitu Kitab Allah, yang merupakan tali yang terbentang di antara langit dan bumi, dan 'ltrah Ahlul Baitku. Sesungguhnya Zat Yang Maha Mengetahui telah memberitahukanku bahwa keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga mendatangiku di telaga," Sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat Ahmad bin Hambal. Tidak ada alternatif lain bagi seorang Mukmin yang menginginkan Islam sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya selain dari jalan ini. Yaitu jalan Ahlul Bait yang mereka telah disucikan di dalam Al-Qur'an al-Karim dari segala dosa dan kotoran. Dan kemudian saya menyebutkan sekumpulan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait as. Tidak sebagaimana biasanya, Syeikh terdiam tidak mengatakan satu patah kata pun selama saya berbicara.
Ketika murid-murid Syeikh melihat kekalahan di wajah gurunya, mereka pun membuat kegaduhan dengan berteriak-teriak.
Saya berkata, "Sungguh merupakan dajjal, kemunafikan dan penghindaran dari kebenaran. Sampai kapan pengingkaran ini akan terus berlangsung?! Kebenaran jelas ayat-ayatnya, tampak kelihatan penjelasan-penjelasannya, dan saya telah menegakkan hujjah atas Anda bahwa tidak ada agama selain dari Kitab Allah dan 'ltrah Rasululah saw yang suci."
Syeikh diam dan tidak membantah sedikit pun apa yang saya katakan. Tiba-tiba dia berdiri sambil berkata, "Saya ingin pergi, saya punya tugas mengajar", padahal dia tahu dia diundang untuk makan siang!!
Tuan rumah memaksa dia untuk tetap tinggal, dan setelah makanan disajikan suasana majlis pun menjadi tenang, dan Syeikh tidak mengatakan sepatah kata apa pun selama menyantap makanan, padahal sebelumnya dia yang menguasai majlis dan pembicaraan.
Demikianlah nasib setiap orang yang menghindari dan menyembunyikan kebenaran. Mau tidak mau pasti akan tersingkap di hadapan orang banyak.
(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email