Pesan Rahbar

Home » » Ulama dan Rakyat

Ulama dan Rakyat

Written By Unknown on Friday 7 July 2017 | 03:29:00

Ilustrasi

ULAMA DAN RAKYAT
Konsepsi Kedaulatan dalam Wacana Politik Syiah Kontemporer

Oleh: T.M. Aziz

Warisan revolusi Iran agaknya akan senantiasa menjadi prawacana alas konsep politik Islam di panggung dunia. Kendati Islam telah digunakan sebagai doktrin politik oleh banyak gerakan sosial di dunia muslim sebelum pecahnya revolusi Iran, adalah fakta bahwa pergolakan yang mencuat di Iran telah membuat politik Islam memiliki konsepsi yangjauh lebih mendalam dan amat realistis bagi kalangan muslim maupun non-muslim.

Revolusi tersebut telah menunjukkan bahwa Islam merupakan sebuah gelombang doktrin baru yang bersifat revolusioner, di samping liberalisme dan komunisme, yang mampu memotivasi massa, menumbangkan rezim-rezim tirani, serta menghasilkan sistem politik yang dibingkai nilai-nilai inherennya. Sebagai akibatnya, kaum mujahidin di seantero dunia Islam diakui telah menjadi faktor yang jauh lebih ditakuti dan selalu membuat gerah kalangan status quo ketimbang para pendahulu mereka, kaum Marxis dan Jakobian. Agenda politik mereka diarahkan untuk menyokong penegakan sistem politik Islam yang anti-Barat dalam setiap aspek kehidupan.

Meskipun demikian, kebanyakan mujahidin muslim tidak memiliki rencana terpadu untuk meraih tujuan sistem politiknya. Gaung perbedaan antarmereka merentang jauh, mulai dari pandangan perihal karakteristik dan struktur sistem politik masa depan masing-masing, hingga gagasan seputar kemungkinan munculnya satu atau lebih negara Islam dalam satu waktu tertentu.

Tak pelak, seseorang harus mengakui bahwa mereka semua telah dipengaruhi, langsung atau tidak langsung, hanya oleh pengalaman revolusioner bangsa Iran, mengingat Iran telah menjadi negara Is- lam pertama yang pernah muncul dalam sejarah modern.

Kendati terdapat pula kalangan Islam yang sangat kritis terhadap pengalaman revolusioner Iran serta tatanan politiknya (bahkan sebagian dari mereka menganggapnya sebagai suatu bentuk kesesatan dari cita ajaran Islam), para pendukung bangsa Iran, yang sebagian besar bermazhab Syiah, menilai rezim Iran revolusioner sebagai yang terbaik di dunia atau sebagai model yang layak diteladani.

Mereka menganggap keberhasilan revolusi (Islam) Iran tak lain dari pemenuhan mimpi yang sudah sejak lama diidam-idamkan, yakni menjadikan Islam sebagai solusi terhadap penderitaan manusia. Sehingga banyak gerakan politik Syiah ―khususnya gerakan yang berbasis di Iran, atau dibiayai oleh― Iran yang tersebar di belahan lain dunia muslim, berupaya mengadvokasi atau meniru sistem politik Iran. Cukuplah disebutkan di sini, bagaimanapun, bahwa terdapat sejumlah fuqaha Syi’ah yang telah menyerukan agar pembentukan tatanan politik alternatif dan format hubungan sosio- ekonomi dalam sebuah masyarakat Islam mengacu pada bentuk yang ada dalam pemerintahan Iran sekarang ini. Sebagian lainnya bahkan menolak asumsi dasar pendiri pemerintahan Islam Iran sendiri, Ayatullah Khumaini ―asumsi dasar mana yang memang menjadi sandaran dalam mengabsahkan pembentukan sistem politik Iran yang kini berlaku.

Dengan maksud untuk turut terlibat dalam diskusi yang terns berlanjut sampai sekarang, dalam tulisan ini saya akan berupaya membahas berbagai gagasan politik yang saling bertentangan antara satu sama lain dari sejumlah fuqaha kontemporer, sambil melakukan studi komparatif atas pandangan-pandangan politik mereka.

Tujuan saya adalah untuk mengintrodusir berbagai perbedaan pendekatan di kalangan fuqaha Syiah, sebagaimana yang telah mereka artikulasikan lewat sejumlah pandangan yang berkenaan dengan isu- isu politis. Kajian semacam ini jelas sangat bermanfaat bagi pembaca untuk mencermati perdebatan politik yang terus berlangsung dalam dunia Syi’isme, sehingga tidak semata-mata memandang bahwa meknisme sistem politik dan kepemimpinan di Iran didominasi oleh satu kerangka doktrinal dan mental tertentu.

Saya akan membagi kajian ini pada dua bagian. Pertama, seputar pandangan dan doktrin politik Ayatullah Khumaini serta mereka yang mendukung gagasan wilayat al-faqih (kepemimpinan faqih),[1] yang pada kenyataannya sekarang menjadi bangunan karakter dan struktur pemerintahan Iran. Kemudian, saya akan memperkenalkan tiga orang fuqaha Syiah prominen kontemporer yang memberi gagasan politik alternatif mengenai kewilayahan (governorship) dalam pemerintahan Islam.

Saya akan menyebut yang pertama sebagai kubu "daulat-ulama" (statists), yakni para faqih pendukung konsep wilayat al-faqih yang menyokong kontrol sepenuhnya atas segenap persoalan umat, khususnya komunitas Islam, oleh pihak negara; dan untuk yang terakhir, saya menyebutnya sebagai kelompok populis atau "daulat-rakyat", yakni kalangan fuqaha yang mendukung gagasan agar rakyat lebih berperan dalam sistem politik.

Bagaimanapun, taksonomi ini membantu kita dalam menelaah perkembangan konsep kedaulatan rakyat dalam yurisprudensi Islam Syiah. Perkembangan semacam ini sekaligus merupakan kritik yang dikandung Syi'isme, karena secara keseluruhan, esensi gerakan Syiah sepanjang sejarah Islam bertumpu pada premis penguasa "pilihan Ilahi" (di mana konflik historis berkepanjangan antara Sunni-Syi'i terpusat pada legitimasi suksesi dari kepemimpinan ummah sepeninggal Nabi). Ide mengenai pemilihan pemegang otoritas politik yang bersifat kerakyatan memang masih asing terdengar dalam atmosfer pemikiran Syiah awam ―untuk tidak menyebutnya jarang didukung kalangan fuqaha kesohor. Meskipun demikian, sebagian besar risalah-risalah politik yang terfokus pada isu seputar legitimasi seorang kepala pemerintahan Islam, tampak berusaha menapaki isu-isu politik lainnya, seperti lingkup dan batas-batas otoritas politik atau hak-hak serta tanggung jawab masyarakat.

Namun, saya kira penting bagi kita untuk memeriksa proses penggunaan pandangan-pandangan dan konsep-konsep mereka terhadap kedaulatan dan legitimasi dari otoritas politik. Sebagai tambahan, saya juga ingin menegaskan bahwa upaya seperti itu seyogianya tidak dimengerti sebagai keinginan teknis berdasarkan dorongan nilai dalam diri saya demi mendukung gagasan tertentu. Akan tetapi, tulisan ini hanya sekadar menunjukkan adanya sejumlah perbedaan dari kedua pandangan ekstrem tersebut ihwal spektrum politik. Oleh karenanya, saya tidak akan berbuat sekehendak hati dalam membuktikan atau berargumentasi soal validitas tekstual yang berasal dari argumentasi pihak lain. Malahan, sebuah kajian-silang (intercourse) merupakan suatu keharusan ―meski sekadar bersifat subtitusi― bagi telaahan yurisprudensial. Namun, pada dasarnya kajian ini hendak menyajikan tesis utama mereka dan memperlihatkan perkembangan sistematis perihal konsep kedaulatan rakyat dalam yurisprudensi Syi'i.


Model Daulat-ulama (Statists) 

Kendati gagasan wilayat al-faqih bisa dinilai sebagai upaya realistis dari kalangan fuqaha (jamak dari faqih, pen.) Syiah dalam menghadapi problematika kewilayahan (governorship) dalam masyarakat Islam, namun keseluruhan konsep itu pada dasarnya lebih patut dikatakan sebagai sebuah utopia.

Ini berdasarkan pada kesimpulan rasional bahwa setiap keberadaan masyarakat madani (civil society) membutuhkan suatu pemerintahan dan sistem yang tertata, guna mengorganisasikan segenap urusannya, sehingga menjadikan dirinya terlindungi dari anarki dan kehancuran.[2]

Dengan demikian, sepanjang sejarah akan senantiasa terdapat berbagai bentuk sistem sosial dan sejumlah elite penguasa yang bermaksud menegakkan tatanan tertentu serta menghidupkan keadilan. Akibatnya, tak satu pun bukti yang menunjukkan bahwa manusia pernah hidup dalam apa yang disebut sebagai "negara alamiah" (the state of nature) ―konsep negara mana yang banyak diperbincangkan para ahli teori kontrak-sosial Eropa. Dari unit sosial terkecil, keluarga, klan atau suku, sampai ke tatanan yang lebih kompleks dan paling maju seperti bangsa dan kerajaan, selalu terdapat hirarki sosial, pembagian tenaga kerja, dan langkah-langkah koersif demi melindungi keberadaan sistem sosial tertentu.[3]

Mekanisme kontrol politik seperti itu memberikan legitimasi pada sang pemegang otoritas dalam memelihara keselarasan antara nggota yang ada dalam setiap tatanan sosial. Berkenaan dengan itu, Ayatullah Khumaini menegaskan bahwa dalam setiap masyarakat:
Pemerintah diperlukan dalam rangka menegakkan keadilan, [sistem] pendidikan, mengamankan tatanan, menolak ketidakadilan, melindungi tapal-tapal batas, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat dari gangguan musuh-musuh asing; dan kebutuhan- kebutuhan semacam itu jelas sangat rasional, terlepas dari ruang dan waktu.[4]

Kalangan fuqaha menegaskan bahwa nilai penting dari sebuah pemerintahan sangat bersifat kritis bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Yakni suatu pemerintahan yang di dalamnya terkandung maksud-maksud Ilahi yang memandu manusia ke arah terbentuknya lingkungan politik yang sesuai (dengan ajaran Islam, red.).

Sejarah menunjukkan bahwa ketika manusia tidak mampu, atau bahkan mengabaikan keharusan untuk, memilih orang-orang yang tepat untuk ditahbiskan sebagai pemimpin, maka mereka mati tak mati tengah mengupayakan terbentuknya organisasi serta tatanan sosio-ekonomi yang bersifat zalim, yang jelas-jelas akan mengancam kesejahteraan serta kehidupannya.

Ini disebabkan keterbatasan dalam fakultas manusia guna menarik kesimpulan yang benar atas isu-isu yang penting bahwa Allah, Yang Mahamulia, niscaya menyampaikan wahyu khusus untuk memberi petunjuk kepada manusia ihwal pemimpin-pemimpin sejati mereka.

Argumen kedua fuqaha atas pentingnya campur tangan Ilahi, bagaimanapun. hanya mempunyai aroma yurisprudensial. Mereka percaya bahwa karena aturan-aturan dan ajaran-ajaran Islam mencakup semua aspek kehidupan manusia,[5] maka pasti ada suatu petunjuk kepada manusia perihal isu-isu politik. Dan siapa saja yang tidak percaya pada totalitas Islam semacam ini, tegas mereka, harus percaya akan kekuranglengkapan wahyu Ilahi ―sikap mana yang jelas-jelas dilarang Allah.[6] Sebaliknya, warisan, ajaran, dan perintah Islam menunjukkan bahwa isu-isu politik merupakan kepingan-kepingan inti dari risalah wahyu. Nabi Islam telah menegakkan dan memimpin suatu negara politik; men-tahkim sesama manusia, menghukum para agresor, dan membangun suatu sistem keadilan. Lebih jauh, hakikat Islam sendiri sangat vital bagi orang-orang mukmin yang hanya ingin hidup dalam bingkai negara Islam. Misalnya. pengumpulan dan penyebaran pajak-pajak keagamaan menurut kehendak Ilahi, membela kaum Muslim dan negeri Islam dari para penindas dan penyusup, menegakkan moral dan hukum pidana Islam, serta menyatukan kaum Muslim menjadi satu umat, merupakan sebagian dari tugas yang hanya dapat direalisasikan lewat perangkat-perangkat dan kekuasaan suatu negara politik.[7]

Berdasarkan dua sisi argumen rasional-keagamaan yang disebutkan di atas, legitimasi suksesi untuk kepemimpinan dan formasi tatanan politik diatur secara Ilahiah, dan tidak tergantung pada pilihan dan kehendak bebas individu. Secara lugas, al-Hairi menulis: 
Tak ada artinya memiliki fungsi-fungsi legislatif dan regulatif, ataupun menetapkan, jenis sistem politik apa yang diterapkan, di tangan orang-orang jahil akan dirinya sendiri, untuk tidak menyebut kejahilan mereka yang keterlaluan tentang dunia dan rahasia- rahasianya, yang bertolak belakang dengan Pencipta Yang Maha Berilmu dan Mahabijak yang telah mewahyukan hukum-hukum dan perintah-perintah kepada manusia yang memberi mereka kebahagiaan dan membimbing mereka kepada jalan yang lurus.

Oleh karenanya, adalah tidak patut bagi seorang Muslim untuk percaya pada sistem demokrasi dan menerapkannya (bahkan sekadar mengakui dengan memilih dewan-dewan eksekutif) kecuali jika Islam mengatur perkara-perkara semacam itu.[8]

Fuqaha dari garis pemikiran ini telah sampai pada penegasan bahwa orang yang paling ‘alim di kalangan manusia harus mengatur umat karena ia akan bertindak berdasarkan maslahat terbaik bagi seluruh umat dan keluar dari kejahilan yang akan menyebabkan mudharat yang lebih luas bagi setiap anggota. Orang yang paling alim juga harus tulus dan menahan-diri (zuhud, -pen.) dari mencari kekayaan duniawi dan bukan untuk dirinya sendiri.[9]

Demikianlah raja-filosof Platonis Islam adalah seorang faqih yang takwa, orang yang benar-benar memahami ajaran dan hukum Islam, dan cukup saleh guna mencari kemuliaan Allah dan bukan mencari perolehan duniawi.

Di lain pihak, sisi argumen keagamaan lain membenarkan bahwa orang-orang yang terbimbing secara Ilahi, yakni para Nabi dan Imam, merupakan guru-guru alam dan pembimbing manusia. Berdasarkan bimbingan dan perintah mereka, manusia dijamin akan senantiasa berada dalam payung pemerintahan yang dirahmati Allah. Namun, pada masa kegaiban Imam Keduabelas, al-Mahdi al- Muntazhar, kepemimpinan umat Islam “diwariskan” kepada mereka yang terbimbing secara Ilahi, yakni orang-orang yang paling takwa dan paling berilmu di kalangan manusia.

Fuqaha, oleh karenanya, mempakan ahli waris "alami" dari otoritas Nabi karena mereka dipandang memiliki kesadaran akan ajaran dan perintah Allah, Yang Mahakuasa. Di kalangan manusia, mereka lah orang-orang yang paling dekat dengan cahaya Ilahi. Dengan kata lain, mereka tampak seperti, secara teoretis dan praktis, orang-orang maksum.

Peranan fuqaha adalah menjaga agama, menyampaikan firman Allah kepada manusia, dan membimbing manusia menuju tujuan akhir ―semua peranan tersebut identik dengan peran para nabi dan imam. Oleh karenanya, syariah telah menginstruksikan orang-orang guna mencari bimbingan dan petunjuk dari orang-orang yang berilmu tersebut dalam seluruh masalah, yang niscaya mencakup pula persoalan-persoalan keduniaan.[10]

Penekanan semacam ini memperlihatkan bahwa para pendukung dari mazhab ini senantiasa memjuk pada hadis-hadis Nabi dan para Imam suci yang menganjurkan manusia untuk mencari petunjuk dalam kehidupan mereka yang memahami dan mengajarkan Islam. Namun, pada gilirannya, interpretasi atas persoalan-persoalan di mana orang-orang awam mesti merujuk kepada fuqaha, temyata menjadikan kalangan fuqaha Syiah terbagi ke dalam dua kubu: Pendukung dan penentang wilayat al-faqih. Ayatullah Khumaini telah memaparkan secara gamblang dengan memberikan spesifikasi atas batas-batas persoalan yang mengindikasikan bahwa petunjuk tersebut mesti mencakup persoalan-persoalan temporal maupun spiritual, duniawi maupun ukhrawi. Dengan demikian, Ayatullah Khumaini menarik kesimpulan bahwa para fuqaha harus mewarisi otoritas politik Nabi dan para Imam secara menyeluruh, yakni otoritas dalam bidang dan batas yang lebih luas.[11]

Tentang makna dan tujuan otoritas politik fuqaha, terdapat, misalnya, satu ayat al-Quran yang secara luas dirujuk Ayatullah Khumaini dan para pendukungnya, yang mengimplikasikan bahwa kekuasaan totaliter harus berada di tangan orang-orang yang terbimbing secara Ilahi:
Nabi itu hendaknya lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri. (QS. 33: 6).

Keberadaan fuqaha diyakini sebagai penerus Nabi yang absah (legitimate). Oleh karenanya, mereka mempakan pewaris alamiah yang bertindak sebagai kekuatan kontrol atas kehidupan orang-orang mukmin. Jadi, tugas fuqaha adalah untuk menyebarkan firman Allah kepada manusia, memandu umat, memerintahkan pasukan, mengumpulkan pajak-pajak dan sedekah-sedekah agama untuk kemudian mendistribusikannya kepada kaum fakir-miskin, serta melakukan obligasi sosial berupa pelaksanaan diktum amar makruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat sebagaimana yang pernah dilakukan Nabi. Bagaimanapun juga mereka, tulis Ayatullah Khumaini, "adalah kepercayaan para Nabi dalam semua persoalan yang berkaitan dengan kenabian, yang mencakup persoalan paling jelas berupa kepemimpinan umat dan pemerataan keadilan sosial."[12]


Wilayat Al-faqih dalam Perspektif 

Keseluruhan ikhtiar Ayatullah Khumaini berkisar pada pemerintahan Islam yang terkonsentrasi pada isu-isu mendasar― yang pada dasarnya telah menjadi sentra kajian yurisprudensial dan teologis Syi'i selama berabad-abad― seputar legitimasi orang-orang yang memegang otoritas politik. Meskipun pada masa sebelumya telah berkembang semacam argumen yang bersifat umum seputar legitimasi Ilahiah berkenaan dengan Dua Belas Imam Suci Syiah yang meneruskan Nabi dalam memimpin negara Islam, Ayatullah Khumaini dan fuqaha dari mazhab daulat-ulama mengajukan argumen secara proporsional demi mengintrodusir keberadaan fuqaha dalam pelaksanaan wewenang Ilahi dan kepemimpinan komunitas Islam. Hak-hak fuqaha untuk mengatur, dinilai sebagai legitimate hanya karena, menurut Ayatullah Khumaini, teks-teks agama mengindikasikan bahwa Nabi dan para Imam suci memilih mereka ―tanpa bisa dibantah lagi― sebagai pewaris atau wakil mereka.[13] Jadi, mereka adalah penguasa yang legitimate, yang mengharuskan komunitas Islam mengakuinya sebagai otoritas mereka, sekaligus mematuhi bimbingannya.

Sekali lagi, ketika legitimasi kalangan fuqaha dalam hal kekuasaan politik telah mapan secara yuridis, maka adalah logis jika kemudian mereka memiliki domain kekuasaan, yang pada gilirannya mewajibkan orang-orang untuk mengikutinya. Akibatnya, ranah otoritas mereka hampir seluas ranah yang diemban Nabi, yakni pengawasan total aktivitas manusia dan segenap relasi sosial yang terjadi di masyarakat. Jadi, ia harus berbuat sesuai dengan kapasitas fungsi-fungsi yang dipercayakan Nabi dan para Imam suci. Satu- satunya perbedaan antara otoritas pemimpin yang maksum dengan fuqaha adalah fakta bahwa fuqaha bukanlah "pemberi-hukum" (law- giver), namun lebih sebagai "penafsir-hukum" (lawr-interpreter).

Diferensiasi semacam ini cukup jelas sehingga dalam ihwal hukum, batas-batas upaya yang diperbolehkan bagi kalangan fuqaha adalah sekadar mengekstrapolasi hukum-hukum Ilahi dengan terlebih dulu mempertimbangkan lingkungan dan keadaan yang berkembang dan dihadapi. Karena alasan inilah, Ayatullah Khumaini menolak gagasan bahwa negara Islam harus memiliki badan legislatif atau parlemen, untuk kemudian menggantinya dengan gagasan pembentukan suatu Dewan Perencanaan.[14]

Namun, aspek lain dari otoritas Nabi dan yurisdiksinya diteruskan oleh para penggantinya yakni fuqaha. Sehingga persoalan-persoalan yang termasuk jihad ofensif melawan orang-orang kafir ―yang secara historis diyakini fuqaha Syiah telah diberlakukan secara eksklusif oleh para Imam maksum[15] ―juga termasuk dalam domain otoritas fuqaha[16], sebagaimana ditegaskan oleh Ayatullah Kazhim al-Hairi, seorang faqih terkenal dan guru besar di Hawzah Ilmiyyah Qum.

Sebenarnya, yurisdiksi wilayat al- faqih meliputi seluruh bidang relasi-relasi manusia. Ada satu contoh menarik. Pada tahun 1988, ketika Ali Khamenei ―wali faqih sekarang yang sebelumnya pernah jadi presiden Iran― di hadapan publik menunjukkan dalam satu khutbah Jum'atnya bahwa negara Islam tak memiliki yurisdiksi guna melakukan kontrol sepenuhnya atas kehidupan personal atau kekayaan pribadi seseorang, Ayatullah Khumaini secara terbuka mendebatnya dan menyatakan dalam suatu statemen publik bahwa pemerintahan Islam, karena ia merupakan perpanjangan otoritas Nabi dan para Imam suci, diakui sebagai salah satu ajaran iman fundamental dalam Islam dan, dengan demikian, mempunyai keutamaan ketimbang berbagai bentuk ibadah seperti melakukan shalat, berpuasa, atau naik haji. Maka, sebagai misal, pemerintah bisa menghapus upacara-upacara ritual haji atau mencabut kontrak-kontrak legal yang tengah dijalankan bersama orang-orang, ketika kontrak-kontrak ini, pada persoalan-persoalan agama dan sebaliknya, dirasa mengganggu ajaran-ajarannya.[17]

Lebih jauh, karena kekuasaan politik para faqih adalah satu- satunya kepemimpinan Ilahi yang legitimate di bumi semasa kegaiban Imam Mahdi, maka kepasrahan total manusia pada otoritasnya menjadi sesuatu yang niscaya. Ini disebabkan tindakan-tindakan negara ditujukan demi kemaslahatan manusia, karena ia dipimpin oleh pikiran terbaik dan jiwa yang tersuci, yakni faqih yang adil dan takwa. Faqih dan negaranya bertanggung jawab dalam membimbing manusia menuju tujuan akhirnya. Sekali orang menyadari bahwa kepemimpinan mereka adalah legitimate secara Ilahi, maka kepatuhan terhadap perintah dan bimbingannya menjadi suatu keharusan baginya. Rasionalisasi di balik kepatuhan total seperti ini, menurnt Ayatullah al-Hairi, berasal dari fakta bahwa kekuasaan faqih dimaksudkan untuk mengatasi kekurangan manusia yang berkenaan dengan kesadaran atau melengkapi kepentingan pribadi mereka.[18] Jadi, keberadaan seorang faqih bagaikan seorang ayah yang merawat anak-anaknya, atau bagaikan seorang wali terhadap anak yatim.[19]

Secara demikian, sistem politik Islam analog dengan kasus ayah tersebut, yakni bertujuan untuk mengangkat kesejahteraan serta keberadaan kaum minoritas, dengan semata-mata bergantung pada keputusan terbaik dari wali mereka.[20]

Oleh karenanya, dalam menjalankan kekuasaannya, wali-faqih (jurist-guardian) bisa mencari masukan (input) dari pihak lain, atau berkonsultasi dengan para pakar, kendati ia sendiri harus melengkapi dirinya dengan keahlian dan pengetahuan yang penting bagi berlangsungnya proses kepemimpinan, di mana hanya dirinya yang memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan:
Kita harus menggunakan salah satu dari kepakaran ilmiah dan teknis dalam bidang administratif, [perencanaan] dan manajemen fungsi-fungsi [negara].

Namun mengenai administrasi tertinggi dari negara, pemerataan keadilan, memberi keamanan, memberi sanksi yang tepat atas hubungan sosial, dan hukuman yang adil, serta memberikan keputusan di antara sesama manusia, ini secara akurat mernpakan fungsi faqih.[21]

Dalam corak hubungan wali-pengikut, lebih jauh, tiada ruang yang tersedia untuk melakukan penentangan terhadap otoritas wilayat al-faqih, paling tidak dalam teori. Dalam hal ini, yang dinobatkan sebagai pemimpin hanyalah faqih yang dinilai sebagai pribadi pertama dan terutama di antara para faqih lain yang sederajat (secara yudisial, fuqaha dianggap sebagai pewaris yang sah atas para imam maksum). Sehingga, meskipun kekuasaan yang dimandatkan rezim fuqaha tidak dianggap se-Ilahi hukum-hukum Nabi, mereka mempunyai bangunan semu-ketuhanan (pseudo-divinity), yang karenanya mereka harus dipatuhi, bahkan oleh fuqaha lain yang tidak sepakat dengan otentisitas tekstual seputar kedudukan mereka atau derivasinya.

Mereka menegaskan bahwa masyarakat harus memiliki sistem hukum dan pranata yang stabil untuk diikuti, dan kebingungan serta ketidaksepakatan akan memunculkan anarki dan disintregrasi. Bahkan pertentangan dengan fuqaha lain diputuskan demi persatuan umat atau pertahanan rezim Islam yang legitimate. Dan jika pertentangan ini dibolehkan atau diungkapkan, ia mesti dipecahkan bersama dalam lingkaran fuqaha yang serba tertutup serta melalui medium pelaksanaan peradilan yang berlaku di antara mereka.[22]

Ketidaksetujuan dan perlawanan mereka hanya dianggap sekadar sebagai masalah perbedaan gagasan yuristik seputar ekstrapolasi hukum, di mana masing-masing pihak bisa keliru, bisa juga benar. Untuk mencari pemecahan masalah secara realistis serta meminimalkan pengaruhnya ke dalam aras sosial, dengan demikian, orang harus memiliki kekuatan de fakto guna mempertahankan pendapatnya pada tataran sosial yang niscaya akan melahirkan keputusan akhir. Dengan demikian, hukuman atas pelanggaran kekuasaan faqih adalah sah dan adil, karena mereka tak lain dan pengejawantahan hukuman Ilahi yang onsinil.


Argumen Daulat-rakyat (Populis)

Tentu saja tidak semua fuqaha Syiah menganut argumen yang menyatakan bahwa mereka mempunyai hak-hak dan legitimasi Ilahi yang khusus untuk mengatur masyarakat Islam. Meskipun tidak menolak gagasan bahwa Dua Belas Imam Suci merupakan penguasa yang sah dalam meneruskan Nabi, namun mereka memiliki keberatan-keberatan yang genus tentang legitimasi kedudukan dan otoritas kalangan fuqaha. Yang terkemuka di antaranya adalah Muntazhiri.

Karya Muntazhin, Dirasat fi Wilayat al-Faqih, merupakan suatu cara yang dimaksudkan sebagai risalah politik dalam pembelaan atas "Kepemimpinan Fuqaha" dan suatu justifikasi untuk jenis sistem politik yang didirikan di Iran pasca-revolusi. Namun, ia kemudian melangkah lebih jauh dengan meninjau kembali seluruh sunah Nabi yang diduga mendukung legitimasi otoritas faqih. Kritik tekstualnya menghasilkan kesimpulan bahwa semua sunah berdasarkan analisis yuristik tidak memenuhi syarat-syarat otentisitas atau tidak mengandung referensi.[23]

Secara eksplisit, ia menyatakan bahwa "keberadaan hadis-hadis tersebut dalam upaya membuktikan penandaan otoritas kepada faqih tidaklah konklusif."[24] Makna- maknanya telah disalahtafsirkan[25], direntangkan[26], ditekan keras[27], atau dalam masalah, lain seluruh keterangan tekstual berada pada sumber yang lemah untuk dijadikan sandaran.[28] Hadis yang menonjol dan paling bermakna, tegasnya, mendelegasikan otoritas kepada seluruh fuqaha, dan bukan untuk salah seorang dari mereka.[29]

Bagaimanapun, ia mendeduksi suatu argumen yang berbeda guna membela otoritas faqih sebagaimana dilembagakan dalam Konstitusi Republik Islam Iran. Argumen ganjilnya dalam hal ini bukan bertolak pada "hak Ilahi seorang faqih" untuk memegang otoritas, namun pada "hak Ilahi setiap orang" untuk berpartisipasi dalam proses politik. Muntazhiri menyatakan bahwa Allah telah menginstruksikan orang-orang untuk menangani masalah-masalah mereka sendiri dengan berkonsultasi satu sama lain, untuk menghargai kontrak-kontrak yang dibuat di antara mereka, serta mengakui sumpah setia. Ini jelas, menurut Muntazhiri, bahwa tanggungjawab keagamaan merupakan basis hubungan politik dan oleh karenanya merupakan fondasi negara Islam.[30]

Dalam pengakuan ini, konsep bai'ah (sumpah setia) serupa dengan beberapa bentuk kontrak sosial di antara manusia dengan pemirnpin rnereka. Tentang ini Muntazhiri menulis:
" ...esensi bai'ah adalah menandai dalam dirinya sendiri suatu sarana untuk membentuk semacam otoritas ketika kontrak dan persetujuan telah dicapai. Telah diketahui bahwa suku-suku [Arab] ketika mereka merasa membutuhkan seorang kepala suku untuk melindungi sistem [kesukuan]-nya dan rnembelanya melawan orang-orang asing, mereka berkumpul bersama-sama, yang dengan siapa mereka menemukan kepemimpinan yang cocok untuk membuat suatu kontrak dan memperlihatkan bersamanya terma- terma dan tanggung jawabnya. Dan ketika kesepakatan mutualistis dicapai, mereka menguatkan apa yang telah mereka kontrakkan dan setujui dengan berjabat tangan. Dan melalui bentuk institusi ini, keberadaan otoritas biasa dibenarkan.[31]

Jenis formasi otoritas ini, yakni pemilihan umum kepala negara Islam, saran Muntazhiri, tampaknya lebih memiliki legitimasi keagamaan ketimbang penunjukkan Ilahi terhadap faqih seperti dijelaskan oleh Ayatullah Khumaini dan fuqaha mazhab daulat- ulama. Dengan kata lain, kepemimpinan negara Islam selama kegaiban Imam Keduabelas dapat dibentuk dan memperoleh legitimasi hanya lewat sebuah "kontrak sosial", dan Muntazhiri mengutip banyak keterangan tekstual keagamaan guna mendukung pandangan ini.[32]

Namun, ini tidak berarti bahwa fuqaha tidak memainkan peranan dalam model negara daulat-rakyat versi Muntazhiri. Dia hanya mengajukan persoalan dari sudut yang berbeda. Orang-orang, tegasnya, meskipun memiliki hak Ilahi untuk memilih pemimpinnya, namun pilihan mereka dibatasi pada pihak-pihak yang "kompeten", bukan kepada sembarang orang. Karena negara Islam berkewajiban menegakkan perintah-perintah Allah sebagai pengganti hukum-hukum buatan manusia, dengan demikian meniscayakan kebutuhan akan pengetahuan seputar perintah Ilahi. Manusia, oleh karenanya, mesti memilih seseorang di antara mereka yang berilmu dan menguasai detail persoalan syari'at. Ringkasnya, kaum Muslim diharapkan hanya memilih seorang faqih yang quali- fied untuk posisi kepemimpinan[33], yang kelak bisa memimpin mereka menuju jalan yang lurus.

Lebih jauh, formulasi teoretis Muntazhiri tidak hanya menjaga peran kepemimpinan politik seorang faqih, namun juga meletakkan suatu tujuan kepada problem perenial ihwal pluralitas kedaulatan yang telah memperlemah konsolidasi otoritas dalam teori wilayat al-faqih. Karena kedaulatan Ilahi diperuntukkan bagi fuqaha secara umum, maka setiap faqih memiliki hak-hak Ilahi untuk mengklaim otoritas sekaligus mempunyai legitimasi untuk mengasumsikan fungsi-fungsinya.

Multiplisitas otoritas semacam ini diperkuat lagi dengan doktrin bahwa setiap Syiah demi keselamatannya mesti menyesuaikan amal perbuatannya dengan aturan yang dikonstruksikan oleh seorang faqih. Muntazhiri ―yang menjadi salah satu perumus tatanan politik pemerintahan Ayatullah Khumaini dengan seruan untuk menjunjung kedaulatan rakyat banyak― telah mengurangi dilema politik semacam ini. Fuqaha, simpul Muntazhiri, tidak memiliki klaim atas otoritas kecuali diperoleh melalui pemilihan umum. Sekali seorang faqih terpilih dan kontrak (sosial, red.) diberlakukan terhadapnya, semua orang, tennasuk fuqaha, mati tak mau hares menaati segenap perintahnya. Dan karena legitimasi hanya dapat tetjadi melalui pemilihan dan kontrak sosial, fuqaha lain jelas tak memiliki klaim Ilahi atas kepemimpinan dalam arti apapun. Itu terjadi segera setelah orang- orang menyuarakan pilihannya.

Oleh sebab itu, wali faqih memiliki otoritas total bukan hanya pada fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif suatu pemerintahan[34], namun juga mencakup seluruh aspek kehidupan sosial.[35] Muntazhiri secara eksplisit menolak klaim fuqaha lain, bahkan dalam hal kepemilikan otoritas bimbingan keagarnaan tradisional mereka dalam kerangka negara Islam.[36] Secara lugas, ia membatalkan wewenang berdasarkan salah satu konsep dan praktik keagamaan Syiah yang paling mendasar, bahwa seorang mukmin harus merujuk pada seorang faqih yang mumpuni[37]. Semua warga negara di bawah pimpinan-faqih mesti mematuhi hukum-hukum dan perintah yang tercakup dalam sistem politik.

Inti dari teorinya menyatakan bahwa agama (juga persoalan- persoalan sipil) merupakan bagian dari ranah pemerintahan Islam. Kedaulatan pluralistik tidak ditolerir oleh Muntazhiri dengan keyakinan bahwa fuqaha tidak dibolehkan untuk menyuarakan di depan publik, hasil pengamatannya atas bulan baru.[38]

Berkaitan dengan pengamatan sebagian dari ritual-ritual keagamaan penting ―semacam puasa di bulan Ramadhan atau melakukan haji ke Makkah― yang ditata berdasarkan kalender bulan, maka perbedaan dalam menentukan permulaan bulan baru di kalangan fuqaha bisa menyebabkan disintegrasi sosial.

Oleh karenanya, pemerintahan Islam, klaim Muntazhiri, memiliki yurisdiksi tunggal atas persoalan- persoalan sosio-religius.[39]

Kesimpulannya, wali faqih merupakan otoritas tunggal dan hares menjadi satu-satunya otoritas yang legiti- mate, yang diakui bersama negara Islam.

Setelah mendefinisikan peranan penting faqih dalam konteks negara Islam yang dipilih secara umum, adalah masuk akal bagi Muntazhiri untuk mengelaborasi dinamika kedaulatan rakyat. Meskipun ia mempunyai pandangan positif atas peranan warga negara untuk mengeluarkan keputusan yang matang dan bertanggung jawab sekaitan dengan pemilihan pemimpin mereka (berbeda dengan fuqaha dari wilayat al-faqih yang menerangkan bahwa manusia adalah emosional, seringkali jahil dalam mengambil keputusan yang bijaksana), ia memiliki sejumlah syarat tentang kemampuan yang menjadikannya mungkin bagi setiap orang untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan pemilihan wali faqih.[40]

Bagi kaum Muslim, gamblangnya, adalah mustahil untuk mengadakan rapat di satu tempat guna memutuskan pilihan mereka. Itu terjadi, bahkan, sejak permulaan abad Islam. Sebagai gantinya, hanya penduduk Madinah, yakni mukmin pertama, yang berhak (atau mungkin memiliki aksesibilitas) untuk memilih khalifah. Mereka telah bertindak sebagai wakil dari seluruh komunitas Islam ―yang acapkali terdiri dari orang-orang yang barn masuk Islam― dalam hal isu-isu kritis yang melingkupi mereka. Dari preseden ini, Muntazhiri mendeduksi prinsip bahwa rakyat harus memilih wakil-wakil mereka, yaitu orang-orang yang well-qualified dan saleh, di mana mereka secara bergiliran akan membentuk dewan guna memilih pemimpin. Dengan kata lain, pandangan sistem politiknya menyerupai beberapa macam perwakilan teokrasi dengan karakteristik sistem parlementer.[41]


Penyokong Kedaulatan Rakyat 

Bagaimanapun juga, kedaulatan rakyat betul-betul dimaterialisasi secara teoretis melalui karya-karya Muhammad Baqir Al-Shadr dari Irak. Walaupun ia seorang pendiri partai politik Syiah penama, Partai Dakwah Islam, yang menjadikarmya pemimpin ruhani dan guru intelektual bagi gerakan fundamentalis Syiah Arab dan seorang pembela tersohor gagasan wilayat al-faqih yang setia sebelum munculnya Republik Islam Iran; tetapi ia ternyata telah banyak pula menyerukan keterlibatan rakyat dalam politik.[42]

Keterbukaannya terhadap kedaulatan rakyat tidak konsisten dengan teori dan perspektif generalnya tentang dinamika politik dalam Islam. Baginya, kedaulatan rakyat dan kewilayahan faqih merupakan dua sisi dari satu mata uang, atau bagian integral dari politik Islam.

Secara ideologis, Shadr mendasarkan teorinya pada dua konsep keagamaan fundamental mengenai tujuan manusia di bumi. Dua konsep tersebut adalah:
1) Peranan kekhalifahan yang Allah telah percayakan kepada manusia; dan
2) petunjuk Ilahi dan penyelamatan manusia di muka bumi.[43]

Dua konsep di atas diturunkan dari pemahaman seputar kisah penciptaan manusia sebagaimana dituturkan dalam al-Quran. Adam (personifikasi dari keberadaan manusia) diciptakan untuk tinggal di bumi, dengan eksistensinya yang lebih unggul di atas semua makhluk, termasuk para malaikat di langit. Shadr menulis bahwa:
Allah telah mempercayakan kepada manusia dengan kekhalifahan di bumi karena ia merupakan makhluk unik di antara unsur-unsur lain di alam semesta yang berperan sebagai wakil Allah di bumi dan melalui kekhalifahan ini ia menjadi mulia sehingga para malaikat bersujud di hadapannya.[44]

Superioritas ini diperkuat oleh kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan Ilahi (nama-nama yang diajarkan Allah kepadanya). Shadr melanjutkan argumentasinya bahwa tinggalnya Adam dan Hawa di surga secara sementara menunjukkan bahwa surga mereka berdua hanyalah tempat latihan sekaligus ruang persiapan bagi mereka untuk tinggal di bumi.[45]

Pengalaman mereka, lantaran rayuan setan, melakukan dosa dan maksiat, yang diikuti dengan penyesalan, merupakan intisari penting bagi kehidupan bersosial di bumi. Ini disebabkan pengalaman manusia yang memungkinkannya memperoleh kapasitas intelektual-spiritual untuk tinggal di bumi dan memandang pada tanggung jawab kekhalifahan.[46]

Berulang kali Allah mengingatkan ihwal musuh mereka (setan), dan janji abadi untuk memberikan petunjuk kepada mereka.

Namun kekhalifahan ini mengimplikasikan bahwa manusia adalah agent of God di bumi, suatu peran yang menunjukkan kehendak bebasnya, kebebasan guna bertindak sesuai pemahamannya terhadap misi Ilahi (divine mission). Bagaimanapun, ia memiliki kapasitas untuk melakukan kejahatan maupun kebaikan. Secara gamblang, ia adalah makhluk bermoral.

Apa yang membuatnya terombang-ambing, bak pendulum dari satu sisi ke sisi yang lain, merupakan basil dari berlangsungnya dua bentuk mekanisme internal dan eksternal: yang pertama, fakultas rasionalnya berikut hasrat-hasratnya; kedua, petunjuk Ilahi dan godaan setan. Faktor krusial dalam upaya menjaga manusia agar tetap berada di "jalan yang lurus" dalam skema ini, merupakan bimbingan Ilahi di mana Allah mengirimkan utusan-Nya kepada manusia pada saat-saat diperlukan yang memungkinkannya memperkuat benteng rasionalitas, serta memberinya pengetahuan Ilahi guna mengontrol hasrat batinnya dan menjaganya dari rayuan setan, selain pula memungkinkannya beremansipasi terhadap kesempurnaan.

Kenabian, dengan demikian, memainkan peran ini guna memandu manusia sepanjang sejarah. Para Nabi adalah pemberi kesaksian (syuhada) atas kemajuan manusia dan menjadi simbol utama tentang kesetiaan akan tanggungjawab kekhalifahan. Dengan kata lain, drama kehidupan Ilahi di bumi tergantung pada permainan dua aktor utama: kekhalifahan dan syahid; atau sebut saja peran antara manusia dengan Allah; atau antara perbuatan kehendak bebas manusia dan petunjuk Ilahi.

Peranan kekhalifahan secara implisit mengekspresikan nilai- nilai tertentu yang bertanggung jawab alas keberadaan manusia berkenaan dengan perannya sebagai agen Tuhan di muka bumi: bahwa ia,
1) bukan milik siapapun kecuali dirinya sendiri;
2) bertanggungjawab hanya kepada Tuhan;
3) mengabdi bukan kepada siapa-siapa selain Yang Maha Tinggi; dan
4) setara dengan yang lainnya di hadapan Tuhan.[47]

Dalam istilah politik, masing-masing menegaskan bahwa manusia diikat oleh persaudaraan universal dengan manusia lainnya; bahwa ia mempunyai misi untuk menunaikan peran sebagai agen kehendak bebas di hadapan Allah; bahwa ia memiliki kebebasan bertindak sesuai kapasitasnya; dan bahwa ia akan diperlakukan setara dan sederajat di hadapan hukum. Hak-hak istimewa Ilahi ini jelas paralel dengan gagasan yang belakangan disebut banyak kalangan sebagai hak-hak asasi manusia (HAM) atau nilai universal kemanusiaan: universalisme, kemajuan, kesetaraan, serta kebebasan.

Lebih jauh, petunjuk Ilahi merupakan suatu cara untuk melindungi hak-hak di atas, berikut hak-hak istimewa manusia lainnya, serta menjamin tujuan kemanusiaan, yang dalam prosesnya bergerak menuju kesempurnaan. Petunjuk Ilahi telah mengalami materialisasi dalam bentuk wahyu bagi para nabi dan kepemimpinan para imam. Di samping memberi pengetahuan yang jelas goal pesan Ilahi, para maksumin ini bertanggung jawab untuk:
1) melindungi wahyu dan hukum-hukum Allah dari kemunduran;
2) mengawasi tingkah laku manusia dari penyelewengan dan penyimpangan peran kekhalifahannya; dan
3) menentang dan melindungi masyarakat ketika penyelewengan kian marak.[48]

Lantaran itu, keberadaan "saksi" pada dasarnya menjadi titik referensi spiritual dan politik bagi manusia.
Bagaimanapun, klaim para Nabi dan Imam (lantaran mereka adalah para utusan Allah dan penjaga wahyu) terhadap peran yang lebih besar dalam kehidupan semacam itu, masing-masing, dapat di terima dengan baik. Namun persoalan keraguan akan muncul jika fuqaha tetap beranggapan ihwal peran “saksi”! Kerangka acuan teoretis Shadr menganut ide penempatan faqih ―lebih spesifik lagi, faqih agung atau marji dalam hirarki Syiah― sebagai saksi untuk meneruskan para Nabi dan Imam. Apakah para faqih memiliki kelebihan yang khas sehingga mampu menanggung peran luhur dalam pola Ilahi tersebut? Shadr menegaskan bahwa faqih mempunyai kapabilitas dalam menjalankan peran sebagai saksi lantaran latihan intelektual dan spiritual yang intensif, sehingga memberinya kemampuan signifikan untuk melindungi diri dari tindak kejahatan. Secara fasih, Shadr mendefinisikan "marji" sebagai:
orang yang melalui usaha individual dan ketabahannya yang lama telah mencapai pemahaman Islam dan sumber-sumbernya secara menyeluruh, komprehensif, dan bersungguh-sungguh, serta memperoleh kesalehan mendalam untuk melembutkan dirinya sendiri sehingga [Islam] dapat menjadi suatu kekuatan untuk mengontrol kehidupan dan perilakunya.[49]

Kendatipun faqih agung tidak disebutkan oleh Allah secara eksplisit sebagai orang yang berperan sebagai saksi, namun karena dirinya memenuhi syarat dengan sifatnya yang jelas, maka tanggung jawab sebagai saksi bisa ia jalankan. Shadr menyandarkan pendapatnya dengan merujuk ayat:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya berisi petunjuk dan cahaya, yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. [QS. 5: 44].[50].

Menurut Shadr, mereka yang diidentifikasi Allah sebagai pihak yang bisa memerintah berdasarkan Kitab serta mampu mendukung peran saksi adalah: para nabi, para wali (yang dikatakan Shadr sebagai para Imam), dan faqih hukum-hukum Tuhan.[51].

Dengan demikian, Shadr telah membangun corak hubungan antara "faqih-saksi" dan khalifah Tuhan, yakni antara marji dan orang-orang dalam negara Islam. Model negaranya memberi gagasan bahwa ada pembagian kekuasaan antara dua aktor utama tersebut, di samping beberapa bentuk mekanisme check-and-balance di antara mereka.

Di satu pihak, sebagaimana disebutkan di atas, Shadr mengidentifikasi fungsi politik utama dan saksi; yakni mengawasi aktivitas negara, menjadikan pendapat yuridisnya sebagai standar legal dalam proses legislatif, dan memerintah manusia untuk menegakkan tanggung jawab kekhalifahan mereka di dunia ini.[52]

Ringkasnya, saksi adalah pembimbing legal dan moral manusia serta negara.

Di lain pihak, model Shadr menempatkan arus utama politik di tangan orang-orang tertentu dengan melalui sistem pemilihan. Ia membenarkan hak-hak politik sebagai sesuatu hal yang tidak konsisten dengan tradisi Kenabian yang menenma sumpah setia dan masyarakat. Para Nabi dan Imam suci, kendati dicirikan dengan nama-nama mereka per se kepada kedudukan otoritas oleh Allah Yang Maha Kuasa, "kebiasaan mereka [dalam menerima sumpah selia dari masyarakat] adalah untuk menekankan pentingnya hak-hak publik semacam itu dan untuk menerapkannya dalam praktik konsep teoretis kekhalifahan kepada orang-orang secara umum."[53]

Keberadaan masyarakat, simpul Shadr, penting untuk mendukung kekuasaan eksekutif dan legislatif atas pemerintahan. Persoalan yang mungkin timbul adalah bagaimana memahami dengan baik, kondisi orang-orang yang memilih para pemimpin dan pejabat-pejabat pemerintah. Namun ternyata itu tidak tampak sebagai sesuatu yang inkonsisten dengan formula dasar teori Shadr yang menyarankan bahwa mereka pada dasarnya bisa membuat undang-undang di hadapan Tuhan! Bukankah peran itu, jika secara teoretis dibenarkan, disetujui untuk dilakukan oleh saksi? Barangkali jawaban Shadr sendiri antara "ya" dan "tidak".

Sekalipun Shadr, sebagaimana seluruh pemikir Muslim, percaya bahwa hukum-hukum.lslam melingkupi semua masalah yang berkaitan dengan kehidupan manusia di atas bumi. Namun pada saat bersamaan, ia telah meninggalkan pintu-lebar bagi legislasi manusia dan hukum-hukum buatan manusia untuk ditegakkan secara berdampingan dengan negara bimbingan Ilahi. Dia berpendapat, sekalipun Islam memiliki aturan-aturan konkret yang mesti diikuti, masih terdapat bidang cukup luas yang mengandungi berbagai persoalan semrawut, di mana Tuhan dengan sengaja telah meninggalkannya bagi manusia, agar mereka berkesempatan mengeluarkan undang-undang atau hukum yang sesuai dengan lingkungannya.[54]

Shadr menyatakan bahwa itu adalah hukum-hukum syari'ah yang jelas dan mengikat, sebagaimana pasal-pasal dalam sebuah konstitusi. Bagaimanapun, ia telah mengidentifikasi dua wilayah lain di mana kalangan (rakyat, red.) umum bisa memberikan masukan-masukan. Wilayah pertama berupa "wilayah tidak terbatas" (indeterminate sphere) dari hukum, di mana fuqaha berbeda pendapat hukumnya terhadap isu-isu keagamaan tertentu yang dapat berubah.

Dalam masalah ini, rakyat melalui para legislator mereka bisa memilih salah satu pendapat-pendapat yuridis yang tersedia. Wilayah kedua adalah "wilayah bebas" (discreationary sphere) di mana legislator Ilahi tidak meninggalkan aturan-aturan atau regulasi khusus, yang acapkali bersinggungan dengan isu-isu sosio-ekonomi. Di sini, para legislator dapat melakukan legislasi dan mengeluarkan hukum-hukum dengan merujuk kepada prinsip-prinsip umum Islam dan ajaran-ajaran pokok Islam lain.[55]

Seraya melakukan kilas balik, Shadr memberi gagasan yang di dalamnya tercakup dua wilayah hukum-hukum sosial, Ilahiah dan sipil, yang kedua-duanya dinilai sebagai sama- sama berada dalam domain yurisprudensi Islam. Faqih-saksi diyakini memiki hak veto terhadap perundang-undangan yang bertentangan dengan etika Islam dan prinsip-prinsip yuristik.

Sudah barang tentu pengawasan faqih dalam negara yang luas seperti itu telah direalisasikan oleh Shadr. Dalam pada itu, ia juga telah mengusulkan sebuah mekanisme untuk menyeimbangkan efek-efek politiknya. Dia mengakui bahwa selama ini para marji telah melakukan aktivitas sosio-politiknya dengan cara yang konvensional. Dengan kata lain, dalam menjalankan otoritasnya, mereka tidak memiliki struktur kelembagaan yang bisa dijadikan sandaran. Keputusan untuk memperhatikan kesejahteraan seluruh komunitas acapkali diturunkan dari hasil konsultasi dengan keluarga dan mitra dekat. Untuk menghapus kelemahan tradisi ini, Shadr mengusulkan dilakukannya penataan sebuah institusi "marji'iyyah"[56], tempat di mana sekelompok dewan ahli dalam bidang-bidang yang berbeda memberikan nasihat untuk, serta melaksanakan keputusan yang diambil marji.

Fenomena modern seperti itu, tegasnya, tidak hanya alan menyelamatkan faqih-saksi dari pengambilan keputusan secara sewenang-wenang, namun juga berperan sebagai medium untuk mendidik fuqaha baru dalam hal tanggung jawab saksi dan memanfaatkan mereka untuk melakukan percobaan dari latihan otoritas yang terns menerus.[57]

Mekanisme kedua, kata Shadr, adalah cara tradisional yang berdasarkan pada kompetisi bebas untuk menempati posisi otoritas.[58] Fuqaha mesti memperoleh kredibilitasnya melalui pembuktian kualitas intelektual dan spiritualnya kepada publik melalui cara yang lengkap dan utuh. Kendatipun pada kenyataannya banyak yang menentang kedudukan otoritas, adalah hak rakyat dalam pemilihan umum marji untuk menentukan pilihan-pilihan yang berbeda.[59]

Dengan kata lain, praktik semacam itu jauh lebih longgar ketimbang gagasan kaku Platonik yang sangat menjiwai pemikiran yuridis Syi'i dalam hal memilih seseorang yang memiliki pikiran terbaik dan jiwa termulia untuk suatu kedudukan otoritatif, ke arah pemilihan seseorang yang secara populer lebih diinginkan. Akibatnya, proses pemilihan marji yang telah menggeser kalangan fuqaha ke posisi saksi, dengan melalui mekanisme pemilihan umum, ini akan menempatkan keberadaan khalifah Allah yang dipercaya berkuasa untuk melakukan penunjukkan-penunjukkan Ilahi. Suatu tanggung jawab dan penghormatan sebenarnya yang lebih besar telah diberikan kepada masyarakat. Dalam teori Shadr, orang-orang di masa kegaiban Imam Keduabelas bertindak atas nama Allah dan memilih pemimpin- pemimpin serta berhak menentukan nasib mereka sendiri.

Ringkasnya, Shadr tanpa ragu lagi menyerukan sistem wilayat al-faqih yang lebih terbuka. Shadr mengkategorikan sistem politiknya sebagai sistem demokrasi yang diperbaharui. Secara jujur ia menyatakan:
Teori Islam menolak sistem kerajaan dan monarkhi; kediktatoran satu orang dalam bentuk apapun; pemerintahan aristokrasi; tetapi Islam mendukung suatu corak sistem yang menyediakan semua unsur positif dari sistem demokrasi plus faktor- faktor khusus yang mengoptimalkan obyektivitas strukturnya dan membimbingnya melawan penyelewengan.[60]

Lebih jauh, Shadr menguraikan agar sistem Islam memiliki sebuah struktur politik yang setara dengan bentuk pemerintahan parlementer, di mana tak ada pemisahan yang jelas antara cabang- cabang legislatif dan eksekutif.[61]


PembataIan Konsep Kedaulatan Yuridis 

Pandangan yudisial terakhir yang dianalisis di sini adalah pandangan Muhammad Jawad Mughniyyah. Ia seorang faqih Syiah terkemuka dan penulis produktif dari Libanon yang telah menghasilkan berjilid-jilid karya tentang berbagai topik keagamaan yang sebagian besar darinya ditujukan dengan menyederhanakan ajaran dan kajian yurisprudensial Islam kepada masyarakat umum. Malahan sebagian dari karya-karyanya tentang yurisprudensi, hukum-hukum Islam, serta tafsir al-Quran dinilai sebagai karya-karya ilmiah terkenal dan berrnutu berdasarkan penelitian dan perenungan mendalam. Salah satu karyanya, Fiqh al-Imam al-Shadiq, dipuji Shadr sebagai sebuah masterpiece dalam memahami dimensi-dimensi sosial hukum-hukum Islam.[62]

Karya terakhirnya, Al-Khumayni wa al-Dawlah al-Islamiyyah (Ayatullah Khumaini dan Negara Islam), meskipun minim dari tema atau tesis yang analitis, tapi memuat poin-poin kritis terhadap Al-Hukumah al-Islamiyyah karya Ayatullah Khumaini. Buku ini barangkali menjadi satu-satunya karya termasyhur dari faqih terkemuka yang menyerang premis-premis dasar Ayatullah Khumaini pada kemunculan revolusi gemilangnya. Buku tersebut tidak dipublikasikan sejak edisi pertamanya pada tahun 1979.

Mughniyyah mengawali uraiannya dengan terlebih dulu mempertanyakan klaim Ayatullah Khumaini bahwa fuqaha adalah pewaris para nabi dan imam atas kepemimpinan negara Islam. Mughniyyah menggunakan argumen rasional dan yurisprudensial guna menyangkal klaim seperti itu. Argumentasi pertamanya adalah bahwa fuqaha, tentu saja, tidak memiliki kualitas-kualitas dan karakter-karakter yang mulia sebagaimana para maksumin (para nabi dan imam, pen.). Oleh karenanya, bidang otoritas mereka mesti berhubungan dengan status mereka.[63]

Mughniyyah memandang bahwa tingkat otoritas haruslah proporsional dengan kapasitas para pemimpin. Ketika Allah mendelegasikan otoritas yang serba-lengkap kepada para nabi dan imam, itu lantaran mereka memiliki karakteristik menonjol dan hubungan langsung dengan Tuhan yang menjaga dan memelihara mereka dari penyalahgunaan kekuasaan dan kedudukan. Karena kemaksuman yang dimiliki, mereka berhak mendapat ketaatan total dari manusia lantaran aturan dan keputusan mereka akan senantiasa menjadi yang terbaik bagi kepentingan individu dan masyarakat. Nah, hal itu jelas tidak dimiliki kalangan fuqaha, sekalipun. Mereka, manusia-manusia yang tidak maksum, merupakan "subyek bagi lupa, sombong, penipuan, emosi pribadi, dan dipengaruhi lingkungan."[64]

Berdasarkan semua pertimbangan ini, mereka harusnya tidak mengharapkan ketaatan mutlak dari manusia. Secara rasional, alasan mendasar Mughniyyah yang memperkuat hal itu adalah bahwa "perbedaan-perbedaan dalam karakteristik pribadi harus pasti sejalan dengan perbedaan-perbedaan dalam perbuatan."[65]

Inilah alasan mengapa orang-orang maksum lebih dipercaya oleh orang-orang mukmin ketimbang orang-orang mukmin oleh sesama mereka sendiri. Akan tetapi, bukan dikarenakan hal itu, kalangan fuqaha lantas dipandang layak memperoleh supremasi semacam itu.

Untuk mendukung tesis ini, Mughniyyah mengutip pandangan-pandangan dan pertimbangan-pertimbangan dari kalangan fuqaha Syiah terkemuka, semacam al-Anshari, Bahr al-Ulum, dan Na'ini[66] yang telah mencapai kesimpulan yang sama.[67] Malah, ia mempersoalkan pembenaran atas kewilayahan (governorship) dari fuqaha, sebagaimana digambarkan Ayatullah Khumaini dalam Islamic Government, yang menyatakan bahwa pajak-pajak keagamaan Islam dilenibagakan dalam kegiatan keuangan pemerintah dan bukan hanya untuk membantu kaum fakir-miskin belaka. Mughniyyah menegaskan, tak ada keterangan semacam itu yang dapat ditemukan dalam kitab suci ataupun sunah Nabi yang memperkuat klaim tersebut. Ia mengatakan, Ayatullah Khumaini, "Yang mempunyai perhatian besar dalam bukti-bukti tekstual" belum mengeluarkan keterangan semacam itu.[68]

Sebenarnya teks keagamaan secara terbuka menyatakan bahwa tujuan dari pajak-pajak keagamaan ini ditujukan untuk menyejahterakan orang-orang yang tidak beruntung dan serba-kekurangan.[69]

Pendeknya, Mughniyyah melihat bahwa kedaulatan pada masa kegaiban Imam maksum pada dasarnya mernpakan milik rakyat secara umum dan bukan milik eksklusif kalangan fuqaha semata. Rakyat, termasuk fuqaha di dalamnya, harus memilih aparat-aparat dan wakil-wakil pemerintahan untuk membuat perundang- undangan, serta melaksanakan dan menegakkan tatanan hukum. Lebih jauh lagi ia membuktikan, fungsi negara tidak semuanya berkaitan dengan persoalan keagamaan, namun acapkali seiring dengan bidang-bidang administrasi dan masalah-masalah sosial yang di dalamnya tidak terdapat tek-teks keagamaan atau hukum yang menyinggung isu-isu ini.[70] Sebab itu, ekstrapolasi hukum, tulis Mughniyyah.

Harus ditinggalkan bagi kebudayaan dan para pakar harus mempertemukan kepentingan-kepemingan umum meskipun kita akan menirn Barat, sepanjang itu tidak melegalisasi larangan atau ancaman yang diizinkan.[71]

Pandangan yang diartikulasikan Mughniyyah bertolak dari pendiriannya bahwa hakikat negara semata-mata bergantung pada doktrin mendasar yang terkandung dalam hukum-hukum, praktek- praktek, dan konstitusinya, dan bukan pada hakikat dari kelas para pemimpinnya.[72]

Lagipula, negara Islam, jelasnya, dapat meminjam kebijaksanaan dari negara yang lain, bahkan dalam bentuk regulasi- regulasi dan praktek-praktek legislatif bila itu bisa membantu mengangkat kesejahteraan umum masyarakat. Untuk menguatkan pandangannya, Mughniyyah mengutip beberapa hadis tekstual yang menganggap kekuasaan penguasa berhala yang adil lebih baik ketimbang penguasa Muslim yang zalim, karena pada bentuk yang pertama, masyarakat akan beroleh manfaat dari keadilannya, sedangkan pada yang kedua, mereka akan menderita karena tirani.[73]

Dalam mengantisipasi perlawanan masyarakat terhadap pandangannya mengenai pemerintahan Islam, Mughniyyah merujuk pada salah seorang faqih agung dan pemimpin Iran yang vokal dalam menentang Ayatullah Khumaini, yakni Ayatullah Syari'atmadari yang mengatakan:
Konsep pemerintahan Islam itu tidak jelas, dan telah memberi kesan kepada yang lain soal adanya nilai-nilai kekasaran dan kediktatoran. Kekhawatiran tersebut diperkuat dengan penolakan kami atas penambahan kata demokrasi pada slogan Republik Islam.

Prinsip yang kami dukung atasnya adalah bahwa masyarakat memerintah diri mereka sendiri dan apa yang oleh Republik Islam perintahkan. Lantaran ini tidak diperbolehkan bagi hanya seorang individu atau hanya suatu kelas yang mengatur. Ini adalah [hak] rakyat guna memilih wakil-wakil mereka dalam pemilihan yang bebas untuk parlemen, dan tanggung jawab setiap pemerintah yang ingin mengatur adalah memperoleh kepercayaan parlemen segera setelah ditunjuk presiden republik. Dan ketika parlemen mengundang-undangkan hukum, ia mesti mempertimbangkan pandangan-pandangan mayoritas, karena hukum-hukum ini tidak akan bertentangan dengan Islam, karena mayoritas besar masyarakat [di Iran] adalah Muslim.[74]


Kesimpulan

Intisari dari tulisan ini adalah melacak perkembangan kedaulatan rakyat dalam pemikiran politik Syiah kontemporer. Tentu saja orang bisa menarik kesimpulan bahwa fuqaha Syiah kontemporer mempunyai pendapat dan pemahaman yang berbeda- beda ihwal persoalan-persoalan politik mendasar. Meskipun mereka semua sama-sama lulusan Hawzah Ilmiyyah di Najaf atau Qum, pandangan-pandangan mereka bisajauh berbeda. Fuqaha yang saya cermati dalam kajian komparatif ini adalah para aktivis terkemuka dan intelektual utama yang memiliki kontribusi dalam bidang yurisprudensi. Namun, masing-masing telah mengajukan pandangan mereka dalam menentang yang lain, dengan suatu cara yang lebih santun guna meraih solusi terbaik atas kontradiksi yang marak yang ada dalam masyarakat. Orang mesti mengambil penilaian dan memberi sumbangan dalam mendorong perdebatan tersebut demi terciptanya proses perkembangan politik yang lebih baik.

Dalarn meraih tujuan kajian ini, saya mesti memaparkan pandangan-pandangan mereka tentang legitimasi otoritas dan siapa yang harus menerlma dan mewarisi kedaulatan transenden di zaman kita. Bidang otoritas apa yang harus dimiliki pemimpin yang legitimate? Bisakah penguasa yang legitimate mengundang-undangkan atau melaksanakan hukum-hukum baru bersama dengan hukum-hukum Ilahi? Dalam proses ini, saya telah menemukan kutub-kutub yang jelas di kalangan fuqaha yang dapat menerangkan eksistensi dua mazhab politik utama, "daulat-ulama" (statist) dan "daulat-rakyat" (populis). Bagaimanapun, ikhtiar ini telah menunjukkan tentang adanya spektrnm dalam khasanah politik Islam.

Mazhab daulat-ulama percaya bahwa otoritas (keagamaan, red.) bersifat Ilahi, di mana hanya kedaulatan transenden yang memiliki hak untuk menunjuk penguasa guna memimpin umat. Fuqaha, karena pengetahuan serta pemahaman mereka akan wahyu Ilahi dan kualitas moral mereka yang mulia, bertanggung untuk menjalankan kekuasaan. Banyak teks keagamaan yang telah diajukan guna menunjukkan bahwa hanya fuqaha yang merupakan pewaris para nabi, sumber petunjuk bagi manusia, sekaligus aparat yang menjaga hukum-hukum Allah.

Oleh karenanya, masyarakat harus mematuhi perintah-perintah mereka dan berserah diri tanpa syarat pada kekuasaannya. Di sini, faqih yang harus mengeluarkan, bukan membuat, hukum dari teks-teks agama; melaksanakan hukum- hukum di tengah masyarakat; menegakkan keadilan dan keamanan pada batang tubuh umat. Adalah bukan kekuasaan individu untuk mengeluarkan undang-undang bersama hukum-hukum Allah, lantaran kitab suci dan sunah Nabi telah menyediakan suatu sistem hukum yang komprehensif bagi manusia. Tugas penguasa Islam, dengan demikian, hanyalah melaksanakan kehendak Ilahi. Tentang peran masyarakat dalam lingkungan sua ini adalah berbuat secara positif pada kehendak pemerintah yang sah (legitimate), yakni taat secara sukarela. Itu dimaksudkan karena kekuasaan fuqaha tersebut berorientasi pada kebaikan serta kepentingan individu dan masyarakat umum.

Spektrum lainnya, yakni kalangan daulat-rakyat, tidak menganut gagasan tersebut, di mana hanya fuqaha sebagai pewaris sah para Nabi dan Imam dalam mengepalai negara Islam. Pemahaman yurisprudetisi mereka menganugerahkan sifat kepada fuqaha sebagai hakim, kesalehannya menjadikan mereka sumber petunjuk bagi yang lain, tetapi karakter-karakter ini tidak lantas melegitimasi dirinya sebagai pemimpin yang kompeten.

Negara sebagai sebuah fenomena yang memajukan kehidupan sosial secara berkesinambungan sepanjang sejarah, merupakan instrumen keadilan, keamanan publik, dan kesejahteraan sosial, dan dalam praktiknya tidak hanya berkenaan dengan isu-isu keagamaan atau masalah-masalah ibadah. jadi, untuk ini lebih diperlukan pihak-pihak yang kompeten ketimbang sekadar fuqaha, dalam hal pengelolaan fungsi-fungsi dan kelangsungan aktivitasnya.

Masyarakat secara keseluruhan bertanggung jawab dalam memilih para pakar dari bidang keilmuan dan teknis yang bermacam-macam untuk mengelola negara. Allah telah menasihatkan mereka untuk menjalankan masalah-masalah dirinya dengan berkonsultasi satu sama lain, dan Nabi serta para Imam pun telah menerima berbagai pendapat dan masukan dari rakyat.

Oleh karena itu, pemilihan umum bisa dinilai sebagai sarana yang absah untuk menyeleksi para pemimpin dan aparat-aparat pemerintahan. Lebih jauh, wakil-wakil rakyat berhak untuk mengeluarkan hukum-hukum dan peraturan yang bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat dan untuk memelihara keadilan sosial, namun tidak diperbolehkan melanggar ajaran kitab suci. Ringkasnya, Negara harus bekelja demi keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. yang merupakan tujuan utama dari hukum-hukum dan perintah-perintah Ilahi.

Akan tetapi, orang bisa menyaksikan bahwa pendapat yang disuarakan oleh kalangan mazhab daulat-ulama pada dasamya bersumber dari penafsiran mereka yang lebih bersifat liberal terhadap teks-teks keagamaan. Argumen intinya terbilang rasional, yang belakangan dibenarkan oleh ayat-ayat dan sunah kenabian, yang makna-maknanya harus disimpulkan untuk menunjang tesis mereka.
Acapkali mereka menyandarkan pada konsensus pendapat fuqaha, atau pemahaman umum untuk memperteguh tesis tersebut.

Sebaliknya, pandangan-pandangan kaum daulat-rakyatjustru terasa sempit, sehingga cenderung bersikukuh pada batas-batas literal dan tekstual. Jika kitab suci tidak menyatakan bahwa fuqaha harus menjadi penguasa per se, maka orang harus mengambil kehati-hatian (ihtiyath) dalam memperluas cakrawala pandangan atas apa yang diwahyukan atau diketahui: Misalnya, jika teks menggambarkan fuqaha sebagai pembimbing atas yang lain dan pelindung wahyu Allah, maka orang-orang seharusnya tidak mengekstrapolasi gagasan yang mungkin terjadi, yakni bahwa mereka penguasa yang sah, bukan hanya sebagai para khatib atau fuqaha semata.

Lagipula, sekiranya Allah tidak melarang orang-orang meminjam [hukum dan peraturan] dari yang lain dalam praktik sosial dan keputusan- keputusan hukum yang menguntungkan bagi kesejahteraan umum, maka mereka bebas melakukan hal demikian. Begitu seterusnya.


Spektrum Politik Islam

Populis Statis
Mughniyyah Shadr Muntaziri Khumaini Ha’iri

Konsep

Rakyat (1) Otoritas fuqaha
Umum (2) legitimasi Ilahiah
Pluralisme (3) Kekuasaan absolutisme
Kesetaraan (4) Stratifikasi sosial hirarki
Kondisional (5) Ketundukan total
Keadilan sosial (6) Tujuan negara emansipasi
Pembuatan hukum (7) Proses legislatif ekstrapolasi


Diterjemahkan oleh Arif Mulyadi dari "Popular Sovereignity in Contemporary Shi'i Political Thought". dalam Message of Thaqalayn, Vol. 1 , No.2, Januari 1994, hal. 71-96.


Catatan Kaki:

1. Pengertian yang luas dari faqih dalam Islam dinisbahkan kepada orang yang ahli fiqih, teolog, dan atau muballigh. Namun, saya secara bebas akan merujuk ke faqih sebagai seorang ahli fiqih dengan menarik kesimpulan dari definisi spesifik fiqih dalam studi Islam yang artinya yurisprudensi.
2. Kazhim AI-Hairi, Asas al-Hukumah al-Islamiyyah, (Dasar-dasar Pemerintahan Islam), al-Nail Publications, Beirut: 1979, hal.13.
3. Ibid., hal. 14.
4. Rahullah Khumaini, Bahts Istidlali 'Ilmi fi Wilayat al-Faqih (Suatu Kajian Yurisprudensial tentang Wilayat al-faqih), AI-Falah Institution, Beirut: 1985, hal. 11.
5. Ibid., hal. 11-12.
6. Ibid., hal. 10-11.
7. Ayatullah Khumaini, AI-Hukumah al-lslamiyyah (Pemerintahan Islam), edisi ke-4 (tanpa tanggal penerbitan), hal. 24-37.
8. Hairi, Asas, hal. 64.
9. Ayatullah Khumaini, AI-Hukamah, hal. 45-47, 55.
10. Ibid., hal. 78.
11. Ibid., hal. 51, 88-89.
12. Ayatullah Khumaini, Bahts, hal. 31.
13. Ibid., hal. 55-82.
14. Ayatullah Khumaini, AI-Hukamah, hal. 31.
15. Abdulaziz A. Sachedina, The Just Ruler in Shi'ite Islam, Oxford University Press, New York: 1988, hal. 105-118.
16. Kazhim AI-Hairi, AI-Kifah al-Musallah, (Perjuangan Bersenjata), AI-Rasal al-Mushthafa Publication, Qum, Iran: (tanpa tahun), hal. 9-72.
17. Untuk keseluruhan teks sural Ayatullah Khumainî kepada Presiden Ali Khamene’i, lihat Iththila'ah, 7 Januari 1988.
18. Hairi, Asas, hal.141-142.
19. Ibid., hal. 166.
20. Ibid., hal. 50.
21. Ayatullah Khumaini, AI-Hukumah, hal. 133-134.
22. Hairi, Asas, hal. 189-197.
23. Ali Husain Muntazhiri, Dirasat fi Wilayat al-Faqih, (Kajian tentang Wilayat al-Faqih), jilid 1, International Centre for Islamic Studies Press, Qum, Iran: 1988, hal. 489.
24. Ibid.
25. Ibid., hal. 461-466.
26. Ibid., hal. 467-477.
27. Ibid., hal. 430-455.
28. Ibid., hal. 427-429.
29. Ibid.
30. lbid., hal. 493-500.
31. Ibid., hal. 523.
32. Ibid., hal. 500-512.
33. Ibid., hal. 489, 491.
34. Ibid., jilid 2, hal. 51-55.
35. Ibid., hal. 24-25.
36. Ibid., hal. 86-109.
37. Ibid.
38. Ibid., hal. 593-610.
39. Ibid., hal. 796-780 (?)
40. Ibid., jilid 1, hal. 553-562, dan hal. 577-579.
41. Muntazhiri menganggap sistem politik Islam sebagai suatu sistem teokrasi. Lihat, ibid., jilid 1, hal.10.
42. Tentang aktivitas politik serta prestasi intelektual Muhammad Baqir Shadr, lihat karya saya "The Role of Muhammad Baqir al-Shadr in the Shi'i Political Activism in Iraq from 1958-1980; International Journal of Middle East Studies: Musim Semi, 1993, hal. 207-222.
43. Meskipun pamflet pendek Shadr, Khilafat al-Insan wa Syahadat al-Anbiya', yang disusun dengan pamflet lain dalam AI-Islam Yaqud al-Hayat, yang semula untuk mendefinisikan dua konsep tersebut, karya-karya beliau yang sebelumnya memberikan analisis lebih mendalam temadap teori politiknya.
44. Muhammad Baqir al-Shadr, Khilafat al-Insan wa Syahadat al-Anbiya' (Kekhalifahan Manusia dan Kesaksian Para Nabi), dalam Shadr, AI-Islam Yaqud al-Hayat, Islamic Ministry of Guidance, Iran: 1981, hal. 133.
45. Untuk pandangan Shadr yang rinci mengenai periode prasejarah kehidupan manusia, lihat Kazhim al-Ha'jri, "AI-Tafsir al-Maudu'i Ii al-al-Qur'an", AI-Hiwar al-Fikri wa al-Siyasi: Agustus, 1985, hal. 63-65.
46. Shadr, Khilafat, hal.152-153.
47. Ibid., hal. 135-136.
48. Ibid., hal.145.
49. Ibid.
50. The Koran Interpreted, jilid 1, penerjemah A.J. Arberry, Mc Millan Publishing Co., New York: 1955, hal. 134-135.
51. Shadr, Khilafat, hal. 144.
52. Ibid., hal.145, 168-170; dan Shadr, Lamhah Tamhidiyyah "an Masyru" Distur al-Jumhuriyyah al-Islamiyyah (Suatu Basis Yurisprudensi Pengantar atas Konstitusi Republik Islam), dalam Shadr, AI-Islam Yaqud al-Hayat, Islamic Ministry of Guidance, Iran: 1981, hal. 12-13.
53. Shadr, Khilafat, hal. 162.
54. Shadr menyebut bidang diskresioner hukum-hukum Islam ini sebagai "wilayah hukum yang sia-sia" di mana Pemberi-hukum Tertinggi tidak mengkhususkan larangan atau izin ihwal persoalan-persoalan ini. Lihat Shadr, Iqtishaduna (Ekonomi Kita), Dar al-Ta'aruf, Beirut: 1981, hal. 721-722.
55. Shadr, Lamhah, hal. 10-11.
56. Shadr mencirikan versi marji'iyyah yang dimodernkan sebagai "obyektif" vs bentuk yang eksis "individualistik", atau "subjective". Lihat karyanya, "Uthruhat al-Marji'iyyah al-Sahlah" (Tesis tentang Marji'iyyah yang tepat), dalam Kazhim al-Hairi, Mabahits fi "Ilm al-Ushul, Dar al-az-Zahra", Qum, Iran: 1988, hal. 92-100.
57. lbid., hal. 96-97.
58. Shadr mengacu pada gaya pemilihan tradisional marji sebagai "proses alamiah dalam preseden sejarah." Lihat Lamhah-nya, hal. 13.
59. Ibid., hal. 14.
60. Ibid., hal.17-18.
61. Ibid.,hal. 18.
62. Shadr, "Al-Fahm al-Ijtima'i Ii al-Nas" (Tafsir Sosial Teks-teks Keagamaan) dalam Shadr, Ikhtama Lak, Dar al-Zahra", Beirut: 1982, hal. 91.
63. Muhammad Jawad Mughniyyah, Khumayni wa al-Dawlah al-Islamiyyah, Dar al-'Ilm lil Malayin, Beirut: 1979, hal. 61-62.
64. Ibid., hal. 59.
65. Ibid., hal. 61.
66. Tiga fuqaha terkemuka di abad 19 dan awal abad ke-20 yang karya-karyanya menjadi rujukan mendasar dalam kajian-kajian agama di bidang yurisprudensi.
67. Mughniyyah, Khumayni, hal. 62-64.
68. Ibid., hal. 100.
69. Ibid., hal. 99-103.
70. Ibid., hal. 65.
71. Ibid., hal. 65-66.
72. Ibid., hal. 71.
73. Ibid., hal. 72-73.
74. Ibid., hal. 74-75.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: