Pesan Rahbar

Home » » Sarat Kepentingan, Rakyat Dinilai Tak Butuh Kereta Cepat

Sarat Kepentingan, Rakyat Dinilai Tak Butuh Kereta Cepat

Written By Unknown on Saturday 5 September 2015 | 06:48:00

Kereta cepat China, CRH (China Railway Highspeed) Beijing-Shanghai di Beijing Southwest Railway Station. China kini mengincar proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi)

Institut Studi Transportasi (Instran) menilai ada tarik menarik kepentingan antara Jepang dan China di balik wacana pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Padahal, proyek tersebut dinilai Instran bukan kebutuhan transportasi yang sifatnya mendesak bagi masyarakat Indonesia.

“Jadi keduanya, baik proyek yang diusulkan Jepang maupun China, tidak diperlukan,” ujar Ketua Instran Darmaningtyas kepada CNN Indonesia, Ahad (30/8).

Menurut Darmaningtyas, pernyataan mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Andrinof A. Chaniago yang menyatakan bahwa Kereta Super Cepat (High Speed Railways) bukan prioritas Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ada benarnya. Andrinof sebelum dilengserkan dari Kabinet Kerja pernah menyatakan bahwa infrastruktur transportasi yang mendesak untuk dibangun adalah di luar Jawa guna menciptakan pemerataan dan keadilan dalam pembangunan.

“Kebijakan Presiden Jokowi ini sudah tepat mengingat selama 70 tahun merdeka, ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa itu justru semakin melebar,” tuturnya.

Darmaningtyas menilai Sangat tidak adil bila dana APBN sebesar Rp 150 triliun dihabiskan hanya untuk membangun kereta cepat yang hanya menghubungkan Jakarta-Bandung, yang sebenarnya infrastruktur transportasi lainnya sudah berlimpah di kedua kota tersebut.

“Sementara di luar Jawa mayoritas daerah mengalami defisit infrastruktur. Bahkan jalan penghubung antar kabupaten pun banyak yang belum diaspal,” jelasnya.

Sementara itu, lanjutnya, jika proyek kereta cepat dibangun oleh swasta murni, termasuk BUMN, hal itu akan berdampak pada mahalnya tarif yang harus dibayar oleh penumpang. Apabila tarif terlalu tinggi, Dramaningtyas menjamin kereta cepat tersebut tidak akan laku, yang pada akhirnya akan diserahkan kepada pemerintah untuk mengelolanya dan membebani APBN.

“Jadi meskipun dibangun oleh swasta murni, ujung-ujungnya tetap akan membebani APBN seumur hidup, terutama untuk operasionalnya,” jelasnya.

Dia menambahkan, pembangunan kereta super cepat Jakarta – Bandung maupun Jakarta – Surabaya tidak diperlukan baik sekarang maupun yang akan datang. PAsalnya, proyek tersebut bukan kebutuhan mendesak bagi masyarakat, melainkan keinginan Jepang maupun China untuk memanfaatkan jalur kereta api Jakarta – Bandung yang telah tersedia sejak masa Pemerintahan Kolonial Belanda.

“Sudah ada Tol Cipularang yang dapat menghubungkan Jakarta – Bandung antara 2-2,5 jam dengan tarif yang terjangkau. Meskipun Kereta Super Cepat akan membuat perjalanan Jakarta – Bandung dapat ditempuh dalam 37 menit, tapi dengan tarif yang tinggi, belum tentu akan menjadi pilihan warga.,” tuturnya.

Luky Eko Wuryanto, Deputi Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan pemerintah akan memutuskan siapa pemenang tender proyek kereta cepat pada Senin (31/8). Proses penetapan pemenang, kata Luki, akan dibahas bersama lintas kementerian pada hari itu.

“Yang terlibat dalam pembahsan nanti antara lain Menko Perekonomian, Menteri Perhubungan, Menteri BUMN, dan Menko Kemaritiman,” ujarnya ketika dikonfirmasi CNN Indonesia.
Sayangnya, Luki enggan merinci spesifikasi usulan proyek Jepang dan China maupun kriteria yang bisa meluluskan salah satu dari proposal proyek tersbeut. “Tunggu nanti, Senin sore atau paling lambat Selasa,” katanya.

Sejarah Kereta Cepat
Berdasarkan catatan Instran, wacana pembangunan kereta super cepat pernah muncul pada awal 2014 ketika Susilo Bambang Yudoyono (SBY) masih berkuasa. Pada saat itu Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan Indonesia sangat membutuhkan KA Super Cepat Jakarta – Surabaya untuk menghubungkan kedua kota tersebut, seperti yang diusulkan oleh pihak Jepang.

Namun, Wakil Menteri Perhubungan kala itu, Bambang Susantono mengusulkan agar rute kereta dibuat agar melewati Bandung. Pada saat itu, Dirjen Perkeretaapian Kemenhub, Hermanto Dwi Atmoko menyatakan bahwa studi kelayakan sudah dilakukan bekerjasama dengan Jepang.

Namun wacana tersebut kemudian tenggelam saat terjadi pergantian rezim, dan muncul kembali setelah Presiden Jokowi berkunjung ke Tiongkok pada 26 Maret 2015. Dalam kunjungan tersebut, Jokowi menyaksikan penandatangan delapan naskah kerjasama, dimana salah satunya adalah MoU antara Menteri BUMN dengan Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi RRT untuk Proyek Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Pada saat bertemu Presiden China Xi Jin Ping di Jakarta Convention Center pada acara peringatan KTT Non Blok ke-60 (22/4), Presiden Jokowi memperjelas komitmen China merealisasikan pembangunan kereta Super Cepat Jakarta – Bandung tersebut. Pertemuan itu kemudian ditindak-lanjuti dengan penanda-tanganan nota kesepahaman (MoU) antara Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sejumlah perusahaan BUMN dengan BUMN China mengenai realisasi pelaksanaan pembangunannya. Dengan demikian, kesepakatan tersebut bukan G to G (Government to Government), melainkan B to B (Business to Business).

Bila kita merujuk pada pernyataan Bambang Susantono dan Hermanto Dwi Atmoko, inisiator maupun negara yang ingin membangun kereta super cepat adalah Jepang, sehingga Jepang pula yang membiayai studi kelayakannya (feasibility study).

Namun usai kunjungan Jokowi dan Menteri BUMN ke China, arahnya bergeser di mana China akan menjadi pelaksana proyek tersebut.

Jepang yang berpengalaman mengoperasikan Shinkasen lebih dari 50 tahun tanpa pernah mengalami kecelakaan merasa laik untuk membangun Kereta Cepat di Indonesia. Demikian pula China merasa mampu mewujudkannya meskipun kereta cepat buatanya pernah mengalami kecelakaan pada 24 Juli 2014 dan menewaskan 32 orang penumpang di Provinsi Zhenjian.

“Adanya pertarungan kepentingan kedua negara tersebut menyadarkan pada kita, tentang siapa sesungguhnya yang berkepentingan membangun Kereta Cepat Jakarta – Bandung,” jelas Darmaningtyas.

(CNN-Indonesia/Mahdi-News/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: