Pesan Rahbar

Home » » Iman Dan Akal

Iman Dan Akal

Written By Unknown on Friday, 29 January 2016 | 21:27:00


Oleh: Gordon H. Clark

Sepanjang sejarah teologi dan filsafat – baik dalam semua “perang antara sains dan agama,” maupun dalam tulisan-tulisan renungan tentang hubungan antara Tuhan dan manusia – masalah antitesis antara iman dan akal budi sering menjadi pusat perhatian. Namun apakah benar bahwa iman dan rasio bersifat antithesis satu dengan yang lainnya? Kalau digunakan pengertian dari Augustinus, keduanya hampir identik. Dalam konteks lain keduanya ditempatkan sebagai saling bersahabat satu dengan yang lain. Namun tentu saja seringkali keduanya ditempatkan sebagai dua hal yang saling bertentangan.

Diskusi dalam tulisan ini dibahas dalam empat sub judul yang mudah dipahami. Pertama, pandangan Roma Katolik yang akan dibahas di bawah judul “Akal Budi dan Iman.” Kedua, “Akal budi tanpa iman” akan meringkas filsafat modren mulai dari Descartes sampai ke Hegel. Ketiga, munculnya irasionalisme yang menyusul Hegel – termasuk mistisisme, Neo-ortodoksi, serta Nietzsche dan Instrumentalisme – akan dibahas sebagai contoh “Iman tanpa Akal Budi.” Dan keempat akan dibahas kombinasi “Iman dan Akal Budi.”


AKAL BUDI DAN IMAN –TEOLOGI ALAMIAH/NATURAL
Bahwa agama yang benar didahului atau dalam pengertian tertentu didasarkan pada aktivitas akal budi alamiah merupakan sebuah gagasan yang telah dan terus berkembang secara luas. Prosedur yang [dianggap] tepat [menurut gagasan ini] adalah memulai [agama] dengan pembuktian keberadaan Allah. Kalau misalnya orang tidak percaya sudah diyakinkan dengan argumen yang disimpulkan dari alam [bahwa Allah ada], maka langkah berikutnya adalah menunjukkan probabilitas wahyu khusus, lalu akhirnya menunjukkan kemasuk-akalan Alkitab/Kitab Suci.

Bukan saja teologi alamiah (dalam bentuknya yang dikemukakan pada abad pertengahan) telah diadopsi sebagai posisi resmi Romanisme[1] tetapi juga banyak teolog Protestan menerima salah satu dari bentuknya. Tidak semua teolog Protestan seperti itu tentunya. A.H. Strong, Systematic Theology (I, 71), berkata, “[Kesimpulan] argumen-argumen ini adalah keniscayaan dan tidak bersifat demonstratif.” Namun demikian profesor Lutheran, Leander S. Keyser, menguraikan argumen rasional bagi keberadaan Tuhan dalam [bukunya yang berjudul] A System of Natural Theism. Analisa dan penolakannya terhadap argumen ontologis menggarisbawahi ketergantungannya pada argumen lain. A. E. Taylor lebih ambigu lagi posisi gerejaninya, konsepnya tentang Tuhan, dan bahkan pandangannya terhadap kuat lemahnya argumen yang dia kemukakan. Namun dia menulis sebuah buku berjudul, Does God Exist?[2] yang dijawabnya dengan jawaban yang tentunya tidak negatif.

J. Oliver Buswell, Jr., Stuart Hackett, dan Edward John Carnell dengan caranya sendiri bergabung dengan beberapa penulis Protestan yang menerima pembuktian teistik. Namun jauh sebelum semua orang-orang ini ada, Thomas Aquinas dengan cara yang lebih jelas dan bentuk yang lebih sistematis mengemukakan argumen alamiah bagi keberadaan Allah dan atas dasar itu dia mendirikan teologi wahyu.

Pandangan Thomistik[3] membedakan antara proses untuk mencapai kebenaran dengan akal budi manusia [tanpa wahyu] dan penerimaan sukarela terhadap kebenaran berdasarkan otoritas wahyu Allah. Yang disebut pertama merupakan filsafat yang dapat didemonstrasikan; dan yang disebut kedua diterima tanpa demonstrasi dan merupakan bidang iman. Karena itu dalam pengertian tertentu iman dan akal budi tidak saling kompatibel. Tentu saja pengertian [kompatibel] yang digunakan di sini tidak sama dengan yang digunakan kaum humanis atau materialis dimana yang dimaksud adalah keduanya saling bertentangan. Namun demikian, [yang dimaksud di sini adalah] keduanya secara psikologis atau subyektif tidak saling kompatibel. Jika sebuah proposisi sudah didemonstrasikan[4] secara rasional, maka merupakan sebuah ketidakmungkinan bagi kita untuk mempercayainya hanya atas dasar otoritas. Sebagai contoh, seorang guru SMA mengatakan kepada siswanya bahwa sebuah bidang segitiga memiliki 180 derajat. Seandainya si siswa paham apa maksudnya ‘derajat’, maka dia akan mempercayai apa yang dikatakan gurunya. Tetapi ketika si siswa telah memahami pembuktiannya, dia tidak lagi mempercayai teorema tersebut atas dasar otoritas sang guru; tetapi dia memahami teorema tersebut karena dia telah membuktikannya.

Thomas dan Aristotle bahkan memperbolehkan penggunaan contoh dari pengalaman inderawi. Seorang Amerika mungkin mengatakan kepada seorang Eropa bahwa Denver berada di Barat St. Louis. Namun ketika si Eropa datang ke Amerika dan mengunjungi kota-kota di sana, dia tidak lagi akan mempercayainya atas dasar otoritas namun dia mengetahuinya karena sudah mengalami. Karena itu tidaklah memungkinkan untuk mengetahui dan mempercayai/mengimani hal yang sama pada saat yang sama. Prinsip ini juga berlaku pada proposisi tentang keberadaan Allah.

Namun demikian, inkompatibilitas subyektif antara mengetahui dan mempercayai hal yang sama pada saat yang sama tidak menghalangi proposisi tersebut menjadi bagian dari teologi satu orang dan namun menjadi bagian dari filsafat orang lainnya. Allah telah mengakomodir dirinya sendiri dengan kelemaham manusia sehingga agama Kristen tidak terbatas hanya diperuntukkan bagi para pakar. Karena itu Allah secara supranatural telah mewahyukan beberapa kebenaran yang dapat ditemukan sendiri oleh para pakar. Jadi Allah telah menyatakan keberadaan-Nya sehingga para petani dan orang-orang bodoh dapat mempercayainya. Dengan demikian mereka memiliki iman. Namun Thomas tidak lagi mempercayai keberadaan Allah; namun dia mengetahui bahwa Allah ada karena dia telah membuktikannya.

Dalam pengertian lain yang lebih penting, akal budi dan iman tidaklah tak kompatibel. Keduanya saling melengkapi. Ada banyak kebenaran-kebenaran tentang Allah yang tidak dapat didemonstrasikan. Namun walaupun tidak dapat diperoleh secara alamiah, kebenaran-kebenaran tersebut adalah persyaratan bagi agama positif. Karena itu, Allah dalam kemurahan-Nya telah mewahyukannya. Sebagai contoh, walaupun dapat didemonstrasikan bahwa Allah ada dan bahwa Dia adalah penyebab dunia ini, tetapi doktrin Trinitas tidak dapat didemonstrasikan. Namun demikian, doktrin Trinitas tidaklah tak kompatible dengan akal budi karena tidak berkontradiksi dengan proposisi apa saja yang dapat didemonstrasikan dalam filsafat[5]. Sebaliknya, doktrin wahyu melengkapi apa yang tidak dapat diselesaikan oleh filsafat. Kedua kebenaran tersebut saling melengkapi.

Iman yang benar dan akal budi yang benar tidak dapat saling berkontradiksi satu dengan yang lain. Pengetahuan alamiah dan kebenaran iman sama-sama berasal dari Allah – walaupun [didapatkan] dengan cara berbeda. Namun karena keduanya berasal dari Allah, keduanya harus saling konsisten. Karena itu tidak terelakkan bahwa iman seringkali mendukung akal budi. Ketika dalam pemikiran spekulatifnya seorang pemikir sampai pada sebuah proposisi yang tidak konsisten dengan iman, seperti yang terjadi pada Averroës ketika dia menyimpulkan individu tidaklah kekal, dia harus menerima peringatan wahyu bahwa dia telah melakukan kesalahan dalam argumentasinya. Iman tidak pernah menjadi penghalang bagi akal budi; orang tidak boleh memiliki gambaran tentang seorang percaya sebagai tahanan yang harus dibebaskan karena iman hanya membatasi seseorang dari kesalahan. Dengan demikian akal budi dan iman berada dalam keadaan harmonis satu dengan yang lain.

Haruslah dicatat makna dari iman dan akal budi dalam pandangan Thomistik. Keduanya adalah istilah kunci yang tidak memiliki makna yang sama ketika digunakan oleh semua filsuf/penulis. Karena itu diskusi historis yang menggunakan kedua istilah ini tidak selalu terkait dengan hal yang sama. Bagi Thomas Aquinas Iman merujuk kepada kebenaran yang diterima dengan impartasi informasi secara supranatural, tetapi itu bukan definisi iman [yang digunakan oleh] F. H. Jacobi dan yang kemudian juga digunakan oleh Friedrich Schleiermacher. Akal budi dalam konteks pembicaraan tulisan [mengenai pandangan Thomistik] ini berarti sebuah proses yang dimulai dengan sensasi inderawi, kemudian masuk imajinasi, lalu pemanfaatan abstraksi, dan kemudian tiba pada pengetahuan konseptual. Namun demikian, dalam filsafat abad ketujuh belas akal budi sepenuhnya dipisahkan dari sensasi inderawi. Akal budi berarti logika semata. Karena ada variasi penggunaannya, maka kita perlu berhati-hati. Pandangan seorang penulis / filsuf terhadap iman dapat saja memang berlaku bagi definisi/makna iman tertentu, sementara pada saat yang sama dapat saja tidak ada hubungan sama sekali dengan definisi/makna yang digunakan orang lain. Kegagalan untuk memperhatikan ini – bukan hanya oleh pembaca tetapi lebih penting lagi oleh para penulis – telah menjadi sumber kebingungan yang tidak berkesudahan.

Sebelum membahas argumen kosmologis untuk menentukan apakah akal budi dapat memenuhi ekspektasi Aquinas, perlu dipertimbangkan beberapa keberatan terhadap program [Aquinas] yang secara umum digambarkan secara ringkas di atas. Edwin A. Burtt dalam tulisannya berjudul Types of Religious Philosophy tampaknya setuju dengan kritikan berikut ini:

Jika akal budi manusia secara alamiah tidak kompeten untuk sampai pada kesimpulan tentang doktrin Trinitas atau pada kebenaran iman lainnya, pastilah akal budi tersebut tidak kompeten untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Mengapa satu kebenaran dapat didemonstrasikan dan yang lainnya tidak? Lebih jauh lagi, bahkan jika keberadaan dan kebaikan Allah telah dibuktikan, itu tidak berimplikasi bahwa dibutuhkan wahyu supranatural. Allah dapat saja menunjukkan kebaikannya dengan cara yang lain.

Menurutnya penganut Katolik Roma menghadapi dilemma berikut: Jika akal budi manusia mampu [sampai pada kesimpulan] bahwa kebaikan Allah berimplikasi adanya wahyu supranatural, maka wahyu tersebut tidak dibutuhkan karena akal budi pasti dapat memutuskan apa yang dibutuhkan untuk mencapai kebaikan; jika akal budi tidak kompeten untuk menunjukkan jalan bagi keselamatan manusia, maka akal budi lebih tidak mampu lagi menyimpulkan sesuatu tentang providensia yang tak terbatas.[6]

Mungkin benar ada kecacatan dan bahkan kecacatan serius dalam filsafat Thomistik. Namun kritikan Profesor Burtt tampaknya meleset. Tampaknya aneh bahwa diskusi [ini] yang bertujuan untuk sampai pada penolakan menyeluruh terhadap Tomisme harus berhenti sebentar untuk membelanya dari serangan kontemporer. Namun bukan hanya orang harus mencoba untuk bersikap adil, tetapi juga harus menjadi bagian dari kepentingan pribadinya untuk tidak bergantung pada krikan yang cacat. Professor Burtt telah menempatkan beban pada Thomisme yang sebenarnya tidak perlu ditanggungnya.

Pertama-tama, bukanlah sebuah keharusan untuk menyimpulkan bahwa kebaikan Tuhan berimplikasi valid adanya wahyu supranatural. Cukuplah bagi kebaikan Allah untuk berimplikasi bahwa Dia mengijinkan adanya kemungkinan wahyu. Tentu saja, Allah bisa saja menunjukkan kebaikannya dengan cara yang lain seperti dipercayai Burtt, tetapi [pandangan] ini tidak secara rasional meniadakan wahyu khusus.

Kemudian kedua, seandainyapun kebaikan Allah berimplikasi adanya wahyu khusus, itu sama sekali tidak berimplikasi valid bahwa akal budi semata dapat menemukan isi dari wahyu tersebut. Seandainya diterima tanpa syarat bahwa dari kebaikan Tuhan kita dapat secara valid menyimpulkan kepastian adanya wahyu – yaitu kita menerima bahwa kita membutuhkan informasi lebih lanjut tentang metode untuk mendapatkan kebahagiaan tertinggi – masih tidak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa informasi tersebut dapat ditemukan melalui upaya mandiri tanpa bantuan [ilahi]. Sebaliknya, bukankah ketidakmampuan kita menemukan persyaratan dari Allah bagi kita yang mengakibatkan kita untuk menyimpulkan perlu adanya wahyu?

Kritikan Burtt bergantung sepenuhnya pada prinsip bahwa jika ada kemungkinan untuk mendemonstrasikan salah satu proposisi, maka ada pula kemungkinan untuk mendemonstrasikan proposisi lain. Ini tidak masuk akal. Bukanlah sesuatu yang irasional atau berkontradiksi dengan diri sendiri untuk berpegang pada prinsip demonstrabilitas beberapa kebenaran dan indemonstrabilitas kebenaran lain. Bahkan Hegel, yang dengan eksegesis terhadap sistemnya harusnya mampu mendemonstrasikan segala sesuatu, mengakui adanya kontinjensi[7] di alam.

Dalam konstruksi/sistem Hegel, pengakuan ini tentu saja bisa jadi sebuah kecacatan. Idealisme absolut mempra-anggapkan bahwa semua pengetahuan begitu terkait satu dengan yang lain sehingga membentuk sebuah satu kesatuan. Alam dianggap dapat dipahami melalui manifestasi dialektis dari konsep-konsep yang sepenuhnya dapat kita kendalikan. Namun Thomisme bukanlah Hegelianisme. Jika [kita setuju] dengan Thomas bahwa premis dari sebuah demonstrasi diperoleh dari pengalaman sensasi inderawi, maka setiap orang memiliki pengalaman inderawi yang terbatas, dan semua umat manusia akan dibatasi oleh semesta pengalaman yang di dalamnya tidak mengandung premis untuk semua kebenaran. Tanpa premis-premis [untuk semua kebenaran] ini kita tidak mungkin sampai pada kesimpulan yang diinginkan. Pertimbangan epistemiologis yang rumit memainkan peranan penting di sini dan tidak dapat dibahas saat ini. Namun dari pandangan yang lebih umum, ketidakmampuan mendemonstrasikan kejadian-kejadian dalam sejarah tampaknya tidak membatalkan bukti-bukti teorema-teorema dalam geometri.

Burtt kemudian menganggap bahwa untuk menjawab kritikan yang mengatakan bahwa kompetensi rasional mengakibatkan tidak dibutuhkannya wahyu, si Romanis[8] akan menunjuk kepada Alkitab sebagai bukti adanya wahyu. Namun, Burtt berpandangan bahwa jawaban ini bukanlah jawaban yang memadai terhadap kritikannya. “Penerimaan akan sesuatu yang dianggap wahyu sebagai fakta aktual bergantung pada keyakinan awal bahwa di alam semesta terdapat Allah yang mampu dan mau menyediakan [wahyu tersebut]” (hal. 406, edisi revisi). Penegasan ini juga jauh meleset, namun dalam hal tertentu lebih menggambarkan posisi [yang diserang] daripada dilemma sebelumnya. Dilema ini bergantung pada pandangan bahwa satu argumen yang mendukung keberadaan Allah berimplikasi adanya wahyu. Dengan kata lain, pertama-tama Burtt berpandangan bahwa jika sebuah demonstrasi keberadaan Allah dilanjutkan, maka akan juga mendemonstrasikan keberadaan dan isi dari wahyu. Kalimat terakhir hanyalah menegaskan bahwa sebuah keyakinan tentang keberadaan Allah mendahului penerimaan terhadap sebuah wahyu. Ini tidak terkait dengan pertanyaan apakah keberadaan Allah berimplikasi adanya wahyu, melainkan ini merupakan sebuah posisi yang lebih sederhana bahwa sebuah wahyu bergantung pada asumsi bahwa Allah mampu dan bersedia menyatakan diri-Nya.

Jelas Thomas mengklaim bahwa dia telah mendemonstrasikan keberadaan Allah yang seperti itu. Karena itu langkah berikutnya adalah mencari dan menemukan di dunia akan adanya wahyu yang telah terjadi. Dan sekali lagi jelas Thomas menemukan Alkitab. Burtt menegaskan bahwa penemuan ini bukalah jawaban yang memadai terhadap kritikannya. Namun kalau kita menerima bagian pertama dari filsafat Thomas, tidaklah mudah untuk memahami mengapa langkah ini dapat disebut tidak memadai.

Namun demikian, masih ada satu lagi sumber kebingungan. Penerimaan akan sebuah wahyu dapat saja tidak bergantung pada keyakinan sebelumnya akan keberadaan Allah. Jelas, sebuah wahyu mempra-anggapkan adanya Allah. Tetapi penerimaan terhadap sebuah wahyu tidak membutuhkan kepercayaan sebelumnya akan Allah. Orang dapat saja menerima Alkitab dan waktu menerimanya juga merupakan saat pertama kali dia meyakini keberadaan Allah. Artinya dia mungkin akan menemukan Allah dalam wahyu itu. Bahkan jelas bahwa karena tidak banyak orang yang kompeten untuk memahami bukti-bukti keberadaan Allah, dan karena banyak yang kompeten tidak mempelajarinya, maka tampaknya sebagian besar orang yang menerima wahyu belum meyakinkan diri mereka secara intelektual akan keberadaan Allah. Mereka mempercayai keberadaan Allah dan isi dari Alkitab dengan iman.

Tentu saja secara logis, fakta [adanya] wahyu mempraanggapkan adanya Allah. Kalau ini yang dimaksud, jelas Burtt benar. Namun ini bukan kritikan yang menghancurkan, karena Thomas juga mengakui hal yang sama. Hal ini jelas sesuai dengan pembedaan yang dilakukan Thomas namun yang diabaikan begitu saja oleh Burtt, yaitu antara tata aturan realitas dan tata aturan mengetahui. Dalam realitas Allah harus ada terlebih dahulu baru yang lain mengikuti; tetapi menurut Thomas proses belajar manusia dimulai dengan hal lain terlebih dahulu baru kemudian sampai pada Allah sebagai kesimpulan. Karena itu, walaupun mungkin rumit, kritikan Burtt terhadap Thomas harus dinilai tidak solid.

Perenungan terhadap kritikan Burtt dapat mengindikasikan bahwa hal-hal yang dia bahas bersifat sekunder. Inti masalahnya sendiri terletak pada demonstrasi [Thomas] itu sendiri. Jika demonstrasi itu valid, maka dengan sendirinya penolakan [terhadapnya] gagal. Namun apakah demonstrasi itu valid? Apakah Thomas mampu membuktikan keberadaan Allah? Ini adalah pertanyaan penting.


ARGUMEN KOSMOLOGIS
Pada argumen inilah bergantung nasib semua teologi natural/alamiah bukan teologi wahyu. Dan kekuatan argumen inilah yang nanti akan menentukan apakah karya selama berabad-abad itu bernilai atau apakah karya tersebut salah arah. Jika argumen kosmologis (dengan mengabaikan argumen ontologis) tidak valid, maka ada dua kemungkinan yaitu Kekristenan tidak memiliki dasar rasional, atau harus ditemukan makna akal budi yang independen dari filsafat Thomistik. Arah dari diskusi ini adalah menunjukkan bahwa argument Thomas terbukti tidak valid dan penggunaan definisi akal budi dalam sistemnya tidak dapat dipertahankan; kemudian akan diusulkan makna alternatif dari akal budi (reason) yang di samping referensi Thomistik juga menunjukkan adanya ambiguitas dalam tuduhan humanistik modern bahwa Kekristenan tidak rasional.

Argumen kosmologis bagi keberadaan Allah [yang paling paripurna dikembangkan oleh Thomas Aquinas] merupakan sebuah sesat pikir. Tidaklah memungkinkan untuk memulai dengan pengalaman inderawi dan kemudian melanjutkan dengan hukum logika formal menuju keberadaan Allah sebagai kesimpulannya. Istilah sesat pikir, hukum logika fomal, invaliditas, demonstrasi, dan lain-lain sebagainya merujuk kepada hukum-hukum pemikiran yang tidak ada pengecualian. Istilah-istilah ini merujuk kepada penarikan kesimpulan yang tidak terelakkan.

Beberapa teolog Protestan menggambarkan penalaran valid sebagai sesuatu yang bersifat matematis. Sebagai contoh, David S. Clark hendak “membedakan antara bukti dan demonstrasi matematis.”[9]Yang dia maksud dengan bukti adalah petunjuk – petunjuk / evidensi seperti yang digunakan dalam ruang pengadilan. Alasannya menggunakan istilah matematis dalam kaitan dengan demonstrasi adalah bahwa aljabar dan secara khusus geometri terdiri dari penarikan kesimpulan yang tidak terelakkan. Demonstrasi – demonstrasi geometri jelas valid. Demonstrasi – demonstrasi ini adalah contoh yang menonjol dari pemikiran yang benar. Jika premis diakui sebagai benar, maka kesimpulan tidak dapat dihindari.

Dalam pengadilan, satu petunjuk (evidence) – dan seringkali semua petunjuk secara bersama-sama – tidak mengharuskan satu keputusan atau kesimpulan. Namun demikian, penggunaan istilah matematis, patut disayangkan; karena bukti-bukti geometris tidak lebih valid dari silogisme non-matematis yang telah digunakan selama berabad-abad dalam buku teks logika yaitu: Semua manusia fana; Socrates adalah manusia; karena itu, Socrates fana. Ini adalah inferensi yang tidak dapat dielakkan. Thomas Aquinas bertujuan dan teologi alamiah menuntut bahwa argumen yang mendukung keberadaan Allah haruslah merupakan demonstrasi yang valid secara formal yaitu kesimpulan yang tidak dapat dielakkan kalau premis benar. Dalam hal ini saya akan menunjukkan argumen kosmologis gagal.

Alasan pertama mengapa argumen ini gagal terlalu rumit untuk dibahas di sini. Seperti diringkas dalam Summa Theologiae I, Q. 2, argumen kosmologis bergantung pada latar belakang filosofis luas yang dipinjam dari Aristoteles. Di dalamnya termasuk teori tentang gerakan/perubahan yang mengatakan bahwa tidak ada yang dapat menggerakkan diri sendiri. Tesis ini bergantung pada konsep potensialitas dan aktualitas. Thomas mendefinisikan motion (gerak/perubahan) sebagai reduksi potensialitas menjadi aktualitas. Penyebab dari sebuah gerakan atau perubahan adalah sesuatu yang aktual dan sesuatu yang digerakkan adalah potensial. Karena tidak ada apapun yang sekaligus aktual dan potensial dalam pengertian/hubungan yang sama, maka tidak terelakkan bahwa tidak ada hal yang menggerakkan diri sendiri.

Sayangnya konsep potentialitas dan aktualitas tetap tidak terdefinisi. Aristoteles mencoba menjelaskannya dengan menggunakan sebuah analogi. Dalam konteks [penjelasan-]nya, gerakan/perubahan digunakan dalam penjelasan [tentang potentialitas dan aktualitas] dan kemudian konsep potensialitas dan aktualitas digunakan untuk mendefinisikan gerakan. Karena itu argumennya melingkar / sirkular. Di balik ini semua berdiri sejumlah besar ajaran metafisika dan epistemiologi. Kerumitan seperti itu tidak dapat dibahas di sini, namun patut dicatat bahwa jika satu saja silogisme esensial dalam sebuah argumen besar ini tidak valid, maka seluruh sistem ini dan bukti akan keberadaan Allah ambruk.

Alasan kedua menolak argumen kosmologis dapat dijelaskan dengan lebih rinci. Dalam upayanya untuk menyimpulkan adanya Penggerak yang Tidak Bergerak (Unmoved Mover), Thomas berargumen bahwa serangkaian hal yang digerakkan oleh hal lain tidak dapat terus berlanjut ke tak berhingga. Alasan yang diberikan Thomas untuk menolak menyangkali penyebab gerak tidak dapat terus berlanjut ke tak berhingga adalah karena hal itu akan menghapuskan kebutuhan akan Penggerak Pertama. Namun alasan yang diberikan Thomas ini pada dasarnya merupakan kesimpulan yang dia ingin buktikan. Tentu saja, serangkaian penyebab gerak yang tak terhingga tidak konsisten dengan Penggerak Awal yang Tidak Bergerak (Unmoved Mover). Tetapi jika argumen ini dirancang untuk mendemonstrasikan [keberadaan] Unmoved Mover, keberadaannya tidak dapat digunakan sebagai salah satu premis dalam argumen.

Alasan ketiga terkait dengan keprihatinan yang sedikit berbeda yaitu tentang identitas Unmoved Mover. Andaikan bahwa semua silogisme valid sampai membuktikan adanya Unmoved Mover. Andaikan keberadaan Unmoved Mover telah didemonstrasikan. Ketika Thomas menambahkan bahwa, “[Penggerak Pertama] ini dipahami semua orang sebagai Tuhan,” kita masih bisa mengajukan keberatan. Kalau ini dipandang sepenuhnya secara harfiah, maka argumen ini hanya membuktikan adanya penyebab fisik. Kita malah dapat mengatakan bahwa argumen ini hanya dapat membuktikan keberadaan sebagian penyebab fisik dari gerakan/perubahan. Untuk menghindari hal ini, Aristoteles sampai bersusah-payah untuk membuktikan bahwa si Unmoved Mover tidak memiliki besaran. Namun inilah yang merupakan bagian yang paling tidak memuaskan dari argumennya. Namun jelas bahwa si Unmoved Mover yang dibuktikan itu tidak memiliki kualitas personalitas transenden. Tidak ada yang bersifat supranatural dari penyebab ini. Seandainya argument ini valid, dan seandainya si Unmoved Mover menjelaskan proses di alam, maka Allah Abraham, Ishak, dan Yakub tidak berguna dan bahkan tidak mungkin ada.

Ini adalah titik dimana kita harus memperhatikan seorang teolog besar kontemporer. Karl Barth, bapak Neo-orthodoxy, dalam bukunya Church Dogmatics II, 1, 79ff., mengemukakan alasannya untuk menolak pandangan Roma Katolik. Bertentangan dengan keputusan Konsili Vatican, 24 April 1870, [yang menyatakan] bahwa Allah yang merupakan yang awal dan yang akhir dari segala sesuatu, dapat dengan pasti diketahui dari fenomena alam ciptaan dengan kekuatan penalaran alami manusia, Barth menyatakan bahwa Allah hanya dapat diketahui melalui Allah. Alasan utama yang dikemukakan Barth adalah bahwa kita sedang berbicara tentang Allah Kekristenan, yaitu Allah Tritungal.

Memang benar Konsili Vatican tidak bermaksud berbicara tentang Allah yang lain, ataupun hanya tentang sebagian dari Allah yang satu ini. Tetapi metode yang digunakan menyebabkan pemisahan (partitioning) terhadap Tuhan sehingga menghasilkan Allah yang lain. Keputusan Konsili tersebut menggunkaan sebutan “Allah kami,” tetapi argumen yang dikemukakan hanya terkait dengan “awal dan akhir segala sesuatu.” Menurut Barth, Kekristenan percaya bahwa Allah merupakan awal dan akhir dari segala sesuatu, tetapi juga percaya bahwa Allah adalah Penebus; dan ketika kita serius memperhatikan kesatuan dalam Allah itu, kita tidak dapat memisahkan satu dari yang lainnya sehingga pengenalan/pengetahuan akan Allah sebagai yang awal dan yang akhir dari segala sesuatu berasal dari alam dan pengenalan/pengetahuan lain tentang Allah sebagai Tuhan dan Penebus berasal dari wahyu. Tidak, kata Barth. Pengetahuan tentang Allah tidak dapat dipartisi/dibagi-bagi. Pengetahuan tentang Allah sebagai awal dan akhir tidak dapat ada tanpa pengetahuan tentang Allah sebagai Penebus. Demikian juga kita tidak dapat mengetahui/mengenal Allah sebagai Penebus tanpa mengetahui/mengenal Dia sebagai Yang Awal dan Yang Akhir dari segala sesuatu.

Bukankah Deus Dominus et creator dari doktrin ini merupakan hasil konstruksi pikiran manusia – yaitu pemikiran yang pada gilirannya tidak didasarkan pada dasar dan esensi Gereja, pada Yesus Kristus, pada para nabi dan rasul, namun yang bergantung pada dirinya sendiri? Walaupun dapat diketahuinya konstruksi ini dapat diafirmasi tanpa wahyu, bukankah kita harus bertanya apa otoritas yang kita miliki dari dasar dan esensi Gereja sehingga kita menyebutnya “Allah”?

Mungkin kita tidak dapat mengikuti setiap kalimat penolakan Barth yang dikutip di atas. Kemungkinan besar Pascal mengemukakan keberatannya dengan lebih akurat dalam tulisannya yang membedakan Allah para filsuf dengan Allah Abraham, Ishak, dan Yakub. Namun demikian jelas bahwa kesenjangan antara si “Unmoved Mover” dan Allah yang hidup sudah digarisbawahi [dalam tulisan tersebut].

Keempat dan terakhir, argumen Thomas tidak valid karena salah satu dari term utamanya digunakan dengan dua pengertian. Bukankah jelas bahwa sebuah argumen valid mengharuskan term-termnya memiliki makna yang sama dalam kesimpulan dan dalam premis yang mendukungnya? Sayangnya, Thomas dengan tegas di dalam tulisannya yang lain mengatakan bahwa tidak ada term/istilah yang ketika diterapkan pada Allah memiliki makna yang persis sama dengan ketika term/istilah tersebut diterapkan pada manusia atau ciptaan lain. Ketika kita katakan bahwa Allah bijak, dan bahwa Salomo bijak, term bijak tidak univokal.[10] Tidak saja istilah bijak; tetapi juga term ada [tidak bersifat univokal ketika diterapkan pada Allah dan ciptaan]. Dalam proposisi Allah ada, term ada memiliki makna yang berbeda daripada ketika digunakan dalam proposisi manusia ada. Thomas sangat menekankan hal ini. Tetapi jika sebuah term tidak digunakan secara univokal dalam sebuah silogisme, atau jika sebuah term tidak memiliki makna yang persis sama, maka silogisme tersebut tidak valid. Hukum logika dilanggar.[11]

Mereka yang saat ini menerima argumen kosmologis akan dengan segera menyangkali bahwa nasib [argumen kosmologis] tergantung pada formulasi Thomas. Kata mereka, ada cara lain menyatakan argumen tersebut sehingga kesalahan yang dibuat Thomas dapat dihindari. Jika demikian adanya, kita mungkin dapat menemukan formulasi tidak bercela ini dalam tulisan-tulisan pembelanya. Namun kenyataanya tidak ditemukan formulasi seperti itu.[12] Ada referensi-referensi tentang argumen kosmologis, ada diskusi tentang argumen ini, dan ada berbagai ringkasannya. Namun formulasi argumen sepenuhnya tanpa ada langkah yang dilewati, tampaknya tidak pernah dicetak.


CATATAN:
[1] Romanisme di sini maksudnya sama dengan Roma Katolisisme
[2] Terjemahan: Apakah Allah ada?
[3] Pandangan Tomistik adalah pandangan yang diajarkan oleh Tomas Aquinas yang dibahas di sini
[4] Makna mendemonstrasikan di sini adalah menunjukkan validitas argument yang mendukung sebuah kesimpulan berdasarkan non-wahyu
[5] Segala proposisi yang dapat didemonstrasikan merupakan bagian filasfat
[6] Burtt, Types of Religious Philosophy, 454. Edisi pertama.
[7] Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang mungkin terjadi tetapi tidak dapat diprediksi secara pasti
[8] Romanis – penganut ajaran Roma Katolik
[9] David S. Clark, Syllabus of Systematic Theology, 62.
[10] Univokal=memiliki makna yang sama
[11] See the author’s Thales to Dewey, The Works of Gordon Haddon Clark, 217-221.
[12] Saat Clark membuat tulisan ini tidak ada yang membuat formulasi yang tidak menderita kesalahan Thomas. Untuk saat ini, mungkin harus dipelajari lebih lanjut apakah ada formulasi yang lebih baik dari Thomas.

(Teras-Erwin/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: