Supersemar di Arsip Nasional Republik Indonesia (Foto: MerahPutih/Noer Ardiansjah)
Serangkaian peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah bangsa ini merdeka laksana kisah “epic” Mahabharata, di mana menyematkan segala lakon baik maupun jahat.
Berkenaan dengan sejarah, seperti yang diucapkan oleh Sang Proklamator Ir Soekarno agar sekiranya sebagai generasi bangsa, haram untuk sekali-kali melupakan sejarah atau yang mungkin lebih dikenal dengan istilah “Jas Merah”.
Ironisnya, rangkaian peristiwa bersejarah itu seolah menjadi saksi bisu yang tersembunyi di dalam sebuah catatan rahasia para penguasa yang tak ternilai harganya, seperti peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Surat yang saat ini berada di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), menurut salah seorang sejarawan sekaligus penulis beberapa buku tentang Nusantara merupakan catatan sejarah yang penuh dengan misteri dan juga tipu daya.
“Supersemar yang disimpan di ANRI adalah palsu. Supersemar yang disimpan di etalase arsip negara itu ada tiga versi,” kata Ahmad Yanuana Samantho, sejarawan sekaligus penulis kepada merahputih.com, Selasa (8/3).
Keyakinan ia terhadap ketidakotentikan surat tersebut, sama seperti yang dikatakan oleh mantan Kepala ANRI, M Asichin.
Ahmad Samantho, yang mengutip perkataan M Asichin menegaskan bahwa lazimnya surat kepresidenan, sudah semestinya pada bagian kop surat berlambang bintang, padi, dan kapas. Bukannya Burung Garuda, apalagi polosan seperti yang terakhir.
Belum lagi, kata Ahmad, kontroversi terkait empat jenderal yang menghadap Bung Karno sebelum peristiwa Supersemar terjadi.
“Inilah yang masih misterius. Besar kemungkinan issue empat orang ini (jenderal) benar adanya. Akan tetapi, yang satu tidak masuk ke dalam istana Bogor menemui Bung Karno, melainkan menunggu di mobil di luar pagar istana Bogor,” kata Ahmad. “Versi lain, menurut Letnan Satu (Lettu) Sukardjo Wilardjito, pengawal presiden yang berjaga malam itu berjumlah 4 orang; Basuki Rachmat, yang ditemani Brigjen Amir Machmud, Brigjen M Jusuf, dan M Panggabean. Mungkin itu, Jenderal Suharto sendiri yang keempatnya. Atau mungkin, dia menunggu di ruangan bersama tentara pengawal di Istana Bogor yang menyaksikan bagaimana Supersemar itu dibuat atau diketik secara dadakan,” paparnya.
(News-Merah-Putih/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email