Nashr Hamid Abu Zaid berkata: “Esensi Al-Quran merupakan hasil dari budaya yang terbentuk selama 23 tahun dalam konteks realitas budaya masa Nabi, Al-Quran adalah tidak qadim, dengan meyakini ke-qadimannya maka akan menghalangi tadabbur dan perenungan terhadapnya, karena sakralitas Al-Quran menghalangi pemikiran dan rasionalitas, tidak penting untuk dikatakan bahwa Al-Quran merupakan kitab suci dan memiliki nilai metafisik, dengan memaksakan ini pasti akan menutup pemahaman dari Al-Quran”.
Memang tidak mungkin bisa memahami Al-Quran tanpa memahami realitas dan budaya masanya, namun meneliti sejarah dan budaya merupakan titik awal untuk memulai memahaminya, disamping harus mengetahui secara tradisional pembahasan-pembahasan sejarah dalam batas mengetahui asbab nuzul, disamping itu harus juga menggunakan metodelogi-metodelogi ilmiah.
Al-Quran memiliki dua sisi yaitu arti tekstual dan inti kontektual, untuk memahami arti yang sesuai dengan tekstualnya harus memahami budaya masa turunnya, dan untuk memahami inti kontektualnya harus merujuk kepada situasi-situasi setiap jaman dan memperhatikan kesesuaian dengan budaya-budaya yang kontemporer.
Teks Al-Quran tidak memiliki arti yang statis akan tetapi ia memiliki implementasi-implementasi yang mengalir dan dinamis, inilah konsekwensi dari ciri khas keistimewaan teks-teks agama untuk umat manusia, meskipun terdapat beberapa bagian dari Al-Quran hanya berupa sejarah yang tidak bisa ditakwil dengan kondisi-kondisi budaya kontemporer, ia turun hanya sesuai dengan budaya dan peradaban masa turunnya dan untuk masa kini tidak tepat untuk diterapkan.
Ada mafhum seperti Jin, sihir, Setan, jizyah, budak dan perbudakan adalah bentuk akidah yang benar dan tidak diragukan, namun dalam membahasnya menimbulkan bahan kritik terhadap agama, untuk itu harus ada rekonstruksi terhapap mafhum yang dimaksud.
Harus ada revitalisasi ilmiah dan ijtihad serta harus ada penghargaan terhadapnya untuk memuluskan jalan rasionalisasi yang baru untuk memasuki bahasa agama. Rasionalitas dalam pemikiran agama memang masih perlu dipertimbangakan dan tidak memiliki posisi strategis, namun rasionalitas yang terukur dalam bingkai syariat dan metodelogi-metodelogi proporsional dan muktabar harus diaktifkan.
Selama ini memang tidak terlihat maksimal upaya untuk mengintegrasikan antara pemahaman dan tafsir Al-Quran dengan ilmu-ilmu humaniora dan saintifik, demikian ini harus lebih ditingkatkan, perkembangan ilmu pengetahuan tidak statis namun harus diyakini bahwa terdapat interaksi antara keduanya yaitu ilmu pengetahuan dan Al-Quran.
Meski di dalam teks agama terdapat pengaruh budaya, namun ini tidak terjadi pada semua teks agama, itupun terbatas pada konteks budaya dan keyakinan masing-masing di jamannya.
*****
Akal Kalaupun ada sebagian orang berupaya untuk menampilkan peran akal tidak signifikan untuk memahami Al-Quran, toh tidak dapat dipungkiri bahwa mereka masih menggunakan media akal untuk memahami dhahir-dhahir Al-Quran, tapi tetap saja mereka berusaha dengan argumentasi-argumentasi nalar logis dan berbagai alibi membuktikan peran lemah akal dalam memahaminya.
Praktis tidak dapat diragukan bahwa minimal akal sebagai salah satu media tidak dapat diragukan oleh siapapun, akan tetapi apakah akal dikategorikan hanya sebagai media yang berfungsi memahami Al-Quran, ataukah berperan lebih dari itu?
Akal pastinya tidak hanya diyakini sebagai media tapi selain itu ia merupakan sumber pengetahuan, sebagai metodologi juga sebagai penyempurna bagi sumber-sumber pengetahuan selainnya sehingga memerankan fungsinya dalam memahami Al-Quran.
Pertama, akal mampu berfungsi dalam memahami dasar-dasar dan berbagai metodelogi memahami Al-Quran, apakah murni rasional digunakan secara independent ataukah digunakan sebagai basis pendukung rasional untuk sumber-sumber yang selainnya. Mufassir ketika menggunakan sumber pengetahuan yang lain untuk memastikan penting atau tidaknya digunakan untuk memahami makna ayat-ayat Al-Quran sebagaimana dengan riwayat-riwayat hadis pasti dengan rasionalisasi akal.
Kedua, Akal sangat berperan dalam memahami makna-makna tekstual ayat-ayat Al-Quran dalam kajian-kajian lunguistik
Ketiga, akal mampu mendemonstrasikan secara rasional ayat-ayat Al-Quran, menafsirkan dan menjelaskannya.
Keempat, akal mampu selain memahami arti tekstual ayat-ayat Al-Quran juga arti kontekstual yang terkandung di dalamnya. Dalam teori ilmu logika dijelaskan bahwa selain terdapat arti signifikansi teks ada juga arti signifikansi konteks.
Kelima, akal mampu mengidentifikasi tujuan dan maksud Al-Quran ketika disandingkan secara bersamaan beberapa ayat dalam tema yang berbeda.
Keenam, nilai-nilai aksiomatik logis dan murni dapat digunakan sebagai indikator dalam memahami Al-Quran.
Ketujuh, akal mampu mengklasifikasikan ayat-ayat yang turun dengan tema-tema tertentu sesuai dengan asbab nuzulnya dan dapat memilahnya dari tema-tema yang selainnya sehingga tidak terjadi kerancuan. Dalam istilah ilmu ushul “تنقيح المناط و الغاء الخصوصية” yaitu menfokuskan kepada visi atau mengarahkan pada tujuan yang dimaksud dan membatalkan karkteristik diluar maksudnya (kaidah ini disebut juga dengan “قاعده جري و تطبيق” ) , yang demikian ini merupakan wilayah dan peran akal.
Pastinya hal-hal yang dimaksud diatas adalah tidak keluar dari system logika yang benar, yang membutuhkan penjabaran yang lebih lanjut…
Akan tetapi ironi sekali bilamana media penting akal ini tidak digunakan dengan semestinya, terkadang difungsikan tanpa kreteria kaidah-kaidah rasional sehingga memunculkan “tafsir bi ra’yi” yang fatal menyimpang dari maksud Al-Quran, yang penting adalah bahwa realisasi Al-Quran sebagai rujukan utama tidak mungkin terwujud tanpa menggunakan akal yang benar.
(Al-Hassanain/Study-Syiah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email