Pendahuluan.
Kita
telah mengetahui bahwa apa itu modernisme dan apa pula yang dihasilkan.
Dengan adanya modernisme maka manusia tidak lagi menjadi saling empati,
tidak lagi menjadi saling mempunyai rasa sebagai makhluk social yang
saling bergantung antar sesamanya dan tidak lagi mempunyai sikap
kepedulian.
Modernisme
pada nyatanya telah merusak sendi-sendi kehidupan yang ideal. Sehingga
banyak dari golongan-golongan menolak adanya modenisme dan kembali
menyeru kepada zaman klasik, karena pada nyatanya pada zaman klasik
permasalahan dapat terselesaikan dengan baik dan tidak menjadi sebuah
ancaman baik dari segi moral maupun segi eksistensi manusia dan lingkungan, dan pada akhirnya hegemoni prinsip-prinsip modernisme dapat segera luntur.
Akan
tetapi ada juga yang tidak menolaknya, beberapa dari kalangan ada yang
mengupayakan ide-ide untuk mengakulturasikan modernism terhadap
ideologinya. Jadi maksudnya yang baik dari modernisme itu diambil
sebagai bahan tambahan dan yang buruk dibuang sebagai bahan yang
merugikan.
Dalam
hal ini, Islam selalu dihadapkan dengan modernisme, karakter klasik
selalu dinisbatkan kepada Islam, dan maka dari itu Islam menjadi lawan
dari modernism. Lantas apakah benar bahwa di dalam tubuh Islam sama
sekali tidak ada jiwa-jiwa modernism? Jikalau ada kenapa keduanya selalu
dipertentangkan? Apakah selama ini orang salah dalam menilai
modernisme? Maka makalah ini akan sedikit membahasnya yakni dengan
memberikan ide-ide dari para pemikir Islam kontemporer seperti Muhammad
Arkoun dan Al-Jabiri.
Antara Modernisme, Barat dan Islam.
Kalau
kita lihat dalam sejarah kemodernan barat, ada semacam perjuangan
gerakan kebangkitan untuk memperbaiki agama pada abad pertengahan oleh
sejumlah pejuang kemanusiaan yakni para filosof. Akan tetapi dalam
perkembangan sejarahnya, barat berupaya untuk menghapus sisi-sisi sebab
dari keberhasilannya, yakni sebab tersebut adalah mempelajari segala
pengetahuan dari para sarjana muslim. Maka dari itu tentu saja posisi
yang dipegangi oleh barat terhadap pertumbuhannya yang khas ini memiliki
pengaruh yang sangat dholim terhadap konsep sejarah bagi peradaban
Islam. Akibatnya adalah bahwa hingga masa kini, sedikit sekali pemikir
dan ilmuwan arab muslim yang dirujuk.[1]
Jika
orang ingin berupaya untuk memahami kaitan antara Islam dan modernism
maka tentu saja ia harus mengetahui modernism secara mendasar, dan
bukanlah mengetahui modernism dalam kacamata barat. Karena pada
hakikatnya modernism pada awalnya tumbuh di dunia Arab. Para sejarawan
jika ingin merujuk kepada rentetan perkembangan pemikirannya, ia hanya
mengambil garis lurus kepada Yunani-Romawi dan kitab suci atau Bible dan
langsung menuju Barat, yang mana sudah pasti telah melampaui periode
historis abad ke-7 dan 8 yang mana pada waktu itu dunia timur tengah
atau Islam yang jauh lebih berperan.
Dari
praktek-praktek tersebutlah muncullah kebencian-kebencian terhadap
Arab-Muslim, yang mana pihak Barat hanya mengungkap modernism yang aktif
tersebut hanya dilihat dari aspek sejarah mereka saja. Sehingga
muncullah pertentangan-pertentangan dialog dari pihak Arab-Muslim
khususnya di Aljazair, yang menyatakan bahwa sesungguhnya geraan
modernism barat pada dasarnya berasal dari kiprah para sarjana muslim
pada zaman kejayaan islam. Mereka juga mengataka bahwa ideology-ideologi
Barat seperti benih revolusi sosial di Perancis,
dan benih demokrasi sesungguhnya telah teralisasi lebih dahulu dalam
kaidah-kaidah sejarah umat muslim yang diusung pada zaman sahabat dan
seterusnya.
Tiga Ciri Islam.
Pada
hakikatnya pembaruan-pembaruan yang dimiliki oleh barat ini diawali
dari keadaan yang terpuruk, meneliti dan bangkit, ilmu etnosentris
pastinya dapat membedakannya yakni manakala mereka masih bersifat
primitive sampai menuju perkembangannya yang pesat. Demikian pula hal
tersebut telah dialami oleh kaum Arab terdahulu, dari zaman
kejahiliyahan menuju keemasan berkat beberapa faktor pendukung. Padahal
sebelum masyarakat arab jaya, ada dua imperium besar terdekat yang bisa
saja menjajah jazirah arab pada masa itu, yakni imperium Babilonia dan
Byzantium, akan tetapi jazirah arab diabaikan saja oleh keduanya
dikarenakan hanya sebuah padang pasir yang primitive dan hamper tidak
ditemukan manfaat-manfaat di dalamnya. Akan tetapi siapa sangka dari
keterpurukannya masyarakat Arab dapat bangkit dan pernah memimpin dunia.
Maka seperti itulah yang dialami oleh barat.
Jika
isyarat-isyarat tersebut memanglah benar, maka tak dapat tidak kita
mesti mengakui bahwa modernism layak dinyatakan sebagai tahapan
Islam-Arab sebagaimana ia juga merupakan tahapan Kristen-Barat. Malah
justru dengan adanya kesamaan ini, modernism bisa dipandangan sebagai
kekuatan pemersatu, bukannya pembeda dan pemecah belah.[2]
Sehingga perlu dari sebagian pemikir kita untuk meluruskan pemaknaan
dari modernism itu sendiri, karena faktanya maodernisme itu ada yang
bersifat pemikiran dan ada juga yang bersifat materialism seperti
majunya industrialisme. Arkoun juga memberikan pandangan bahwa modernism
material adalah kegiatan perbaikan-perbaika yang memasuki kerangka
eksternal eksistensi manusia. Sedangkan modernism pemikiran adalah
mencakup metode, atau alata berfikir dan sikap rasional yang mempercayai
rasionalitas yang lebih sesuai dengan realitas.[3]
Selain
itu, Arkoun juga mengklasifikasikan Islam ke dalam tiga tahapan, yakni
Islam sebagai agama kekuatan, Islam sebagai agama bentuk dan islam
sebagai agama individu. Agama beroperasi pada awalnya pada individu dan
masyarakat dengan keseluruhan kekuatan yang berpengaruh dan aktif dalam
kehidupan manusia, yakni dengan adanya aspek keimanan manusia yang
terkait dengan kesakralan agama, lalu bangunan agama kekuatan berubah
menjadi symbol-simbol seperti bahasa, budaya dan lainnya. Al-Qur’an
contohnya, yang memberikan banyak gambaran baik itu berisfat
cerita-cerita kesejarahan maupun tentang manusia dan alam semesta.
Al-Qur’an menjabarkan pandangan lintas sejarah dan lintas waktu.[4]
Intinya agama kekuatan memberikan suatu sifat yang tak habis dimakan
waktu atau mampu menjawab tantangan kesulitan sejarah. Sehingga agama
kekuatan telah meninggalkan tradisi-tradisi yang sarat dengan
nilai-nilai doa, ritus-ritus, mitologi dan lainnya.
Lalu
kita juga bisa mendapati bahwa pada hakikatnya dalam agama-agama wahyu
layaknya islam, Yahudi dan Kristen telah memiliki suatu identitas
tersendiri yang notabene juga menjaga kesucian dalam kelestariannya,
identitas tersebut semisal kita contohkan pada islam yakni tauhid. Maka
seperti itulah agama bentuk, ada sebuah ciri yang menjadi label dari
agama tersebut. Tauhid menjadi cirri khas yang mutlak di dalam islam
yang mana tidak dipungkiri lagi tidak mampu untuk dijangkau oleh
kekuatan-kekuatan manipulasi sejarah, sehingga tauhid mampu hidup
independen. Dengan demikian kita lihat bagaimana
pertimbangan-pertimbangan ini menguatkan perlunya peninjauan kembali
nilai wujud Islam dalam sejarah masyarakat modern. Karena selain selain
unsur syahadat/tauhid, islam juga memiliki persepsi-persepsi gaya hidup,
akhlak, seni, budaya, geografis dan lainnya yang jelas tampak untuk
kita lihat.[5]
Sebenarnya
bukanlah dikatakan bahwa Islam hanya melulu bersifat tradisional karena
hanya dilihat dari pemikiran tradisionalnya dan melupakan ilmu-ilmu
humaniora di dalamnya. Akan tetapi pada faktanya hal ini begitu diyakini
karena pemikiran barat yang telah mengupayakan keterpisahan antara
ideology agama yang bersifat spiritual dan ilmu-ilmu humaniora yang
mereka klaim bersifat scientific.
Sebelum
munculnya pemisahan ini, kehidupan agama menemukan lapangan lestari di
mana ia telah berkecimpung di dalam jaringan yang luas dalam hal-hal
ilmu humaniora, seperti contohnya hubungan lingkungan dan moral ekonomi,
kegiatan industry kecil dan seni, system pendidikan dan lain
sebagainya.[6]
[1] Islam Kemarin dan Hari Esok, M. Arkoun dan Louis Gardet (Bandung: Pustaka, 1997) Hal: 116
[2] Islam Kemarin dan Hari Esok, M. Arkoun dan Louis Gardet (Bandung: Pustaka, 1997) Hal: 119-120
[3] Ibid, Hal: 120
[4] Ibid, Hal: 136
[5] Islam Kemarin dan Hari Esok, M. Arkoun dan Louis Gardet (Bandung: Pustaka, 1997) Hal: 139-141
[6] Ibid, Hal: 181