Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Muhammad Arkoun. Show all posts
Showing posts with label Muhammad Arkoun. Show all posts

Antara Islam dan Modernisme menurut Pandangan Muhammad Arkoun





Pendahuluan.
Kita telah mengetahui bahwa apa itu modernisme dan apa pula yang dihasilkan. Dengan adanya modernisme maka manusia tidak lagi menjadi saling empati, tidak lagi menjadi saling mempunyai rasa sebagai makhluk social yang saling bergantung antar sesamanya dan tidak lagi mempunyai sikap kepedulian.

Modernisme pada nyatanya telah merusak sendi-sendi kehidupan yang ideal. Sehingga banyak dari golongan-golongan menolak adanya modenisme dan kembali menyeru kepada zaman klasik, karena pada nyatanya pada zaman klasik permasalahan dapat terselesaikan dengan baik dan tidak menjadi sebuah ancaman baik dari segi moral maupun segi eksistensi manusia dan lingkungan, dan pada akhirnya hegemoni prinsip-prinsip modernisme dapat segera luntur.
Akan tetapi ada juga yang tidak menolaknya, beberapa dari kalangan ada yang mengupayakan ide-ide untuk mengakulturasikan modernism terhadap ideologinya. Jadi maksudnya yang baik dari modernisme itu diambil sebagai bahan tambahan dan yang buruk dibuang sebagai bahan yang merugikan.

Dalam hal ini, Islam selalu dihadapkan dengan modernisme, karakter klasik selalu dinisbatkan kepada Islam, dan maka dari itu Islam menjadi lawan dari modernism. Lantas apakah benar bahwa di dalam tubuh Islam sama sekali tidak ada jiwa-jiwa modernism? Jikalau ada kenapa keduanya selalu dipertentangkan? Apakah selama ini orang salah dalam menilai modernisme? Maka makalah ini akan sedikit membahasnya yakni dengan memberikan ide-ide dari para pemikir Islam kontemporer seperti Muhammad Arkoun dan Al-Jabiri.

Antara Modernisme, Barat dan Islam.
Kalau kita lihat dalam sejarah kemodernan barat, ada semacam perjuangan gerakan kebangkitan untuk memperbaiki agama pada abad pertengahan oleh sejumlah pejuang kemanusiaan yakni para filosof. Akan tetapi dalam perkembangan sejarahnya, barat berupaya untuk menghapus sisi-sisi sebab dari keberhasilannya, yakni sebab tersebut adalah mempelajari segala pengetahuan dari para sarjana muslim. Maka dari itu tentu saja posisi yang dipegangi oleh barat terhadap pertumbuhannya yang khas ini memiliki pengaruh yang sangat dholim terhadap konsep sejarah bagi peradaban Islam. Akibatnya adalah bahwa hingga masa kini, sedikit sekali pemikir dan ilmuwan arab muslim yang dirujuk.[1]

Jika orang ingin berupaya untuk memahami kaitan antara Islam dan modernism maka tentu saja ia harus mengetahui modernism secara mendasar, dan bukanlah mengetahui modernism dalam kacamata barat. Karena pada hakikatnya modernism pada awalnya tumbuh di dunia Arab. Para sejarawan jika ingin merujuk kepada rentetan perkembangan pemikirannya, ia hanya mengambil garis lurus kepada Yunani-Romawi dan kitab suci atau Bible dan langsung menuju Barat, yang mana sudah pasti telah melampaui periode historis abad ke-7 dan 8 yang mana pada waktu itu dunia timur tengah atau Islam yang jauh lebih berperan.
Dari praktek-praktek tersebutlah muncullah kebencian-kebencian terhadap Arab-Muslim, yang mana pihak Barat hanya mengungkap modernism yang aktif tersebut hanya dilihat dari aspek sejarah mereka saja. Sehingga muncullah pertentangan-pertentangan dialog dari pihak Arab-Muslim khususnya di Aljazair, yang menyatakan bahwa sesungguhnya geraan modernism barat pada dasarnya berasal dari kiprah para sarjana muslim pada zaman kejayaan islam. Mereka juga mengataka bahwa ideology-ideologi Barat seperti benih revolusi sosial di Perancis, dan benih demokrasi sesungguhnya telah teralisasi lebih dahulu dalam kaidah-kaidah sejarah umat muslim yang diusung pada zaman sahabat dan seterusnya.

Tiga Ciri Islam.
Pada hakikatnya pembaruan-pembaruan yang dimiliki oleh barat ini diawali dari keadaan yang terpuruk, meneliti dan bangkit, ilmu etnosentris pastinya dapat membedakannya yakni manakala mereka masih bersifat primitive sampai menuju perkembangannya yang pesat. Demikian pula hal tersebut telah dialami oleh kaum Arab terdahulu, dari zaman kejahiliyahan menuju keemasan berkat beberapa faktor pendukung. Padahal sebelum masyarakat arab jaya, ada dua imperium besar terdekat yang bisa saja menjajah jazirah arab pada masa itu, yakni imperium Babilonia dan Byzantium, akan tetapi jazirah arab diabaikan saja oleh keduanya dikarenakan hanya sebuah padang pasir yang primitive dan hamper tidak ditemukan manfaat-manfaat di dalamnya. Akan tetapi siapa sangka dari keterpurukannya masyarakat Arab dapat bangkit dan pernah memimpin dunia. Maka seperti itulah yang dialami oleh barat.

Jika isyarat-isyarat tersebut memanglah benar, maka tak dapat tidak kita mesti mengakui bahwa modernism layak dinyatakan sebagai tahapan Islam-Arab sebagaimana ia juga merupakan tahapan Kristen-Barat. Malah justru dengan adanya kesamaan ini, modernism bisa dipandangan sebagai kekuatan pemersatu, bukannya pembeda dan pemecah belah.[2] Sehingga perlu dari sebagian pemikir kita untuk meluruskan pemaknaan dari modernism itu sendiri, karena faktanya maodernisme itu ada yang bersifat pemikiran dan ada juga yang bersifat materialism seperti majunya industrialisme. Arkoun juga memberikan pandangan bahwa modernism material adalah kegiatan perbaikan-perbaika yang memasuki kerangka eksternal eksistensi manusia. Sedangkan modernism pemikiran adalah mencakup metode, atau alata berfikir dan sikap rasional yang mempercayai rasionalitas yang lebih sesuai dengan realitas.[3]

Selain itu, Arkoun juga mengklasifikasikan Islam ke dalam tiga tahapan, yakni Islam sebagai agama kekuatan, Islam sebagai agama bentuk dan islam sebagai agama individu. Agama beroperasi pada awalnya pada individu dan masyarakat dengan keseluruhan kekuatan yang berpengaruh dan aktif dalam kehidupan manusia, yakni dengan adanya aspek keimanan manusia yang terkait dengan kesakralan agama, lalu bangunan agama kekuatan berubah menjadi symbol-simbol seperti bahasa, budaya dan lainnya. Al-Qur’an contohnya, yang memberikan banyak gambaran baik itu berisfat cerita-cerita kesejarahan maupun tentang manusia dan alam semesta. Al-Qur’an menjabarkan pandangan lintas sejarah dan lintas waktu.[4] Intinya agama kekuatan memberikan suatu sifat yang tak habis dimakan waktu atau mampu menjawab tantangan kesulitan sejarah. Sehingga agama kekuatan telah meninggalkan tradisi-tradisi yang sarat dengan nilai-nilai doa, ritus-ritus, mitologi dan lainnya.

Lalu kita juga bisa mendapati bahwa pada hakikatnya dalam agama-agama wahyu layaknya islam, Yahudi dan Kristen telah memiliki suatu identitas tersendiri yang notabene juga menjaga kesucian dalam kelestariannya, identitas tersebut semisal kita contohkan pada islam yakni tauhid. Maka seperti itulah agama bentuk, ada sebuah ciri yang menjadi label dari agama tersebut. Tauhid menjadi cirri khas yang mutlak di dalam islam yang mana tidak dipungkiri lagi tidak mampu untuk dijangkau oleh kekuatan-kekuatan manipulasi sejarah, sehingga tauhid mampu hidup independen. Dengan demikian kita lihat bagaimana pertimbangan-pertimbangan ini menguatkan perlunya peninjauan kembali nilai wujud Islam dalam sejarah masyarakat modern. Karena selain selain unsur syahadat/tauhid, islam juga memiliki persepsi-persepsi gaya hidup, akhlak, seni, budaya, geografis dan lainnya yang jelas tampak untuk kita lihat.[5]

Sebenarnya bukanlah dikatakan bahwa Islam hanya melulu bersifat tradisional karena hanya dilihat dari pemikiran tradisionalnya dan melupakan ilmu-ilmu humaniora di dalamnya. Akan tetapi pada faktanya hal ini begitu diyakini karena pemikiran barat yang telah mengupayakan keterpisahan antara ideology agama yang bersifat spiritual dan ilmu-ilmu humaniora yang mereka klaim bersifat scientific. 

Sebelum munculnya pemisahan ini, kehidupan agama menemukan lapangan lestari di mana ia telah berkecimpung di dalam jaringan yang luas dalam hal-hal ilmu humaniora, seperti contohnya hubungan lingkungan dan moral ekonomi, kegiatan industry kecil dan seni, system pendidikan dan lain sebagainya.[6]


[1] Islam Kemarin dan Hari Esok, M. Arkoun dan Louis Gardet (Bandung: Pustaka, 1997) Hal: 116
[2] Islam Kemarin dan Hari Esok, M. Arkoun dan Louis Gardet (Bandung: Pustaka, 1997) Hal: 119-120
[3] Ibid, Hal: 120
[4] Ibid, Hal: 136
[5] Islam Kemarin dan Hari Esok, M. Arkoun dan Louis Gardet (Bandung: Pustaka, 1997) Hal: 139-141
[6] Ibid, Hal: 181

Terkait Berita: