Soal 1. Apabila ada seorang ustadz yang saya percaya berkata
kepada saya bahwa “si Fulan marja’ adalah a’lam dan kamu boleh bertaklid
kepadanya”, apakah taklid semacam ini dianggap sah?
Jawab:
Jika ustadz tersebut membuktikan ucapannya dengan kesaksian dua orang
ahli khibrah[1][1] yang adil[2][2], maka taklid tersebut dianggap sah.
Penjelasan:
Sebagaimana dapat kita baca di dalam risalah amaliyah Rahbar bahwa
mujtahid yang telah memenuhi syarat dapat diketahui dengan dua cara,
yaitu:
Dengan cara ithmi’nan (keyakinan hati) yang diperoleh
baik melalui informasi yang tersebar di masyarakat umum, atau melalui
pembuktian pribadi, maupun melalui cara-cara lainnya.
Dengan kesaksian dua orang yang adil dari ahli khibrah sekalipun tidak sampai mendatangkan ithmi’nan.
Dengan demikian bahwa apabila terdapat kesaksian syar’i (seperti
kesaksian dua orang yang adil dari ahli khibrah) bahwa si fulan A adalah
seorang mujtahid atau marja’ yang telah memenuhi syarat dan merupakan
marja’ yang a’lam, maka kesaksian tersebut menjadi hujjah syar’i selama
tidak ada kesaksian lainnya yang bertentangan dengannya. Dan kesaksian
semacam itu dapat dipegang sekalipun tidak sampai mendatangkan
ithmi’nan. Pada kondisi seperti ini tidak diwajibkan mencari dan
menetapkan adanya kesaksian yang bertentangan dengannya. Dengan itu,
maka hukumnya sah bertaklid kepada marja’ tersebut.
Ihtiyath Wajib.
Soal 2.
Apabila dalam beberapa masalah Tuan mengeluarkan hukum berdasarkan
ihtiyath wajib, apakah tugas si mukallaf? Apabila di dalam masalah
tersebut si mukallid (orang yang bertaklid) ingin bertaklid kepada
marja’ lain yang mengeluarkan hukum secara tegas (tidak berdasarkan
ihtiyath), apakah hal itu dibolehkan? Apabila dibolehkan, apakah marja’
tersebut harus a’lam setelah marja’ taklidnya? Apabila memang harus
demikian, bagaimana cara menentukan marja’ tersebut?
Jawab:
Di dalam masalah-masalah yang bersifat ihtiyath wajib, si mukallaf
dibolehkan merujuk kepada mujtahid atau marja’ lainnya, tetapi ia harus
memperhatikan urutan a’lamiyahnya. Adapun untuk mengetahui urutan
a’lamiyahnya, maka hal itu merupakan tugas si mukallaf sendiri.
Penjelasan:
Suatu hukum atau fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid atau
marja’ ada yang bersifat wajib, ada yang bersifat ihtiyath mustahab dan
ada yang bersifat ihtiyath wajib atau ihtiyath wujubi. Tugas si mukallaf
atau mukallid atas hukum atau fatwa yang bersifat wajib, ia harus
mengamalkannya dengan penuh ikhlas sekalipun bertentangan dengan selera
syaithaniyahnya. Misalnya fatwa mengenai keharaman muamalah MLM, membeli
produk-produk Zionis Israel, mencuri air atau listrik milik negara, dan
lain-lain. Karena ketetapannya itu merupakan ketetapan Allah Swt dan
Rasul-Nya. Tetapi apabila hukum atau fatwa itu bersifat ihtiyath
mustahab, maka si mukallaf boleh tidak mengerjakannya artinya ia boleh
meninggalkannya. Karena ihtiyath mustahab berarti sama dengan mustahab
atau sunat di mana si mukallaf boleh tidak mentaatinya dan ia tidak
dianggap berdosa. Tetapi jika ia mentaatinya dan mengerjakannya dengan
ikhlas, maka ia akan menerima pahalanya kelak di hari akhirat. Misalnya
fatwa Rahbar mengenai bacaan “empat tasbih” yang dibaca pada rakaat
ketiga dan keempat shalat fardhu. Beliau berfatwa bahwa hukumnya boleh
membaca “tasbih arba’ah” hanya satu kali saja (yaitu: subhanallah wal
hamdulillah walaa ilaha illallah wallahu akbar), tetapi secara ihtiyath
mustahab hendaknya membacanya sebanyak tiga kali. Adapun hukum atau
fatwa yang bersifat ihtiyath wujubi atau ihtiyath wajib, maka si
mukallaf boleh memilih antara keharusan mengerjakan fatwa tersebut atau
mencari dan mengerjakan fatwa dari marja’ lainnya, tetapi harus menjaga
urutan a’lamiyahnya. Dan untuk menetapkan urutan a’lamiyah marja’
lainnya itu, ia bisa bertanya atau berkonsultasi kepada ahli khibrah.
Supaya masalah ini menjadi jelas, saya berikan contoh sebagai berikut.
Misalnya fatwa Rahbar sehubungan dengan pembacaan shigah akad nikah,
baik nikah daim (permanen) maupun nikah mutلh atau muلqqat. Menurut
fatwa beliau sighah akad nikah itu –secara ihtiyath wujubi- harus dibaca
-oleh kedua calon suami-isteri atau wakilnya- dengan bahasa Arab. Dalam
hal ini, apabila kedua calon suami isteri itu atau wakilnya merasa
keberatan atau tidak ingin membacakan shigah akad nikah dengan bahasa
Arab, maka mereka boleh mencari fatwa dari marja’ lainnya yang
membolehkan membaca shigah akad nikah dengan selain bahasa Arab. Apabila
mereka telah menemukannya dan telah mendapakan info atau bantuan dari
ahli khibrah dalam menetapkan urutan a’lamiyahnya, maka mereka boleh
mengamalkan fatwa tersebut.
Catatan Kaki: [1] .
Yang dimaksud dengan ahli khibrah pada bab taklid adalah: Seseorang yang
telah mampu menilai dan menetapkan kemujtahi dan kea’lamiyahan
seseorang dan juga mampu menilai dan membedakan bahwa si fulan A sudah
mencapai peringkat mujtahid atau marja’, sementara si fulan B belum.
Atau si fulan A lebih alim dalam berijtihad dibandingkan dengan fulan B.
kemampuannya itu diperoleh lantaran telah lama belajar dan mendalami
ilmu-ilmu agama seperti ushul fiqih, fiqih, tafsir dan lain-lain. Ahli
khibrah itu tidak mesti mujtahid, artinya seseorang dapat mencapai
derajat ahli khibrah sekalipun belum mencapai peringkat mujtahid. Tetapi
jika seseorang telah mencapai peringkat mujtahid bisa diyakini telah
mencapai maqam ahli khibrah. Hingga saat ini saya belum pernah mendengar
atau menerima informasi bahwa ada di antara ikhwan kita yang telah
mencapai peringkat ahli khibrah, baik ikhwan kita yang belajar di hauzah
Qum al-Muqaddasah, apalagi yang tidak mengecap pendidikan hauzah
ilmiah. Wallahu a’lam.
[2] . Yang dimaksud dengan adil atau
‘adalah dalam bab fiqih ialah: Seseorang yang tidak pernah melakukan
dosa besar (seperti berdusta, menggibah, mengadu domba, memfitnah,
merusak persaudaraan dan ukhuwwah, dan lain-lain) dan tidak sering
melakukan dosa-dosa kecil. Diantara syarat imam jamaah di dalam mazhab
haq (Syi’ah Imamiyah) adalah: harus memenuhi sifat ‘adalah atau adil
ini. Karena itulah, masalah imam dan kepemimpinan sangat ketat di dalam
mazhab Syi’ah dibandingkan dengan mazhab Sunni. Biasa kita saksikan di
mushalla-mushalla stasiun kereta api atau terminal ataupun di mushalla
bandara, orang awam yang berpendidikan rendah pun boleh menjadi imam
jamaah di dalam mazhab Sunni, walaupun terkadang bacaannya belum fasih
betul. Tetapi di dalam mazhan Syi’ah tidaklah demikian. Yang jelas
mazhab Syi’ah telah menunjukkan pemimpin mereka -yang berani, alim,
mendalam ilmunya, luas wawasannya dan sukses- di mata dunia, seperti
sosok imam Ali Khamene’i Hf dan sayyid Hasan Nasrullah Hf. Kita doakan
semoga kaum Sunni pun tidak mau ketinggalan oleh kaum Syi’ah. Hendaknya
mereka jangan berputus asa lantaran beberapa negara Arab bukan saja
tidak menampakkan kepemimpinan Islamnya, bahkan malah bergandengan
tangan dengan Zionis Israel dan Amerika Setan Besar.
Sumber: ABNA