Daftar Isi Nusantara Angkasa News Global

Advertising

Lyngsat Network Intelsat Asia Sat Satbeams

Meluruskan Doa Berbuka Puasa ‘Paling Sahih’

Doa buka puasa apa yang biasanya Anda baca? Jika jawabannya Allâhumma laka shumtu, maka itu sama seperti yang kebanyakan masyarakat baca...

Pesan Rahbar

Showing posts with label Marja. Show all posts
Showing posts with label Marja. Show all posts

Mengapa Para Marjaʻ Berbeda dalam Menentukan Idul Fitri?


Mengapa para marjaʻ taklid kadang-kadang berbeda pandangan dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri? Apakah hal ini tidak akan menimbulkan masalah di kalangan masyarakat?
 
Satu hal yang harus kita tekankan pertama kali adalah menentukan Hari Raya Idul Fitri bukanlah tugas seorang mujtahid dan marjaʻ taklid. Tugas mukallaflah untuk menentukan hilal sesuai dengan cara dan jalan-jalan yang telah dipaparkan dalam kitab-kitan Tawdhīh Al-Masā’il. Ia tidak wajib menunggu pengumuman mujtahid dan marjaʻ taklid.

Poin kedua, dalam sebagian masalah, syariat Islam telah menentukan cara-cara yang bisa digunakan untuk memahami obyek-obyek sebuah hukum. Seperti dalam masalah kita ini, syariat telah menentukan bahwa bulan Ramadhan dimulai dengan melihat hilal dan ditutup juga dengan melihat hilal. Semua masalah bergantung pada melihat hilal: shum li ru’yah wa afthir lir ru’yah.

Termasuk dalam kategori melihat hilal apabila dua orang adil menyatakan telah menyaksikan hilal.

Dengan demikian, jika setiap orang, baik mujtahid maupun mukallaf, telah menentukan hilal melalui jalan-jalan yang telah ditentukan, maka ia wajib berpuasa dan juga wajib berbuka puasa. Jika tidak terbukti, maka ia tidak memiliki kewajiban apapun.

Lalu, mengapa terjadi perbedaan pandangan dalam menentukan Idul Fitri?

a. Sebagian marjaʻ taklid meyakini kesaksian dua orang adil atau wakil-wakil mereka di berbagai daerah bahwa hilal telah tampak.

b. Perbedaan prinsip para marjaʻ dalam menentukan melihat hilal. Sebagian marjaʻ meyakini bahwa hilal yang sudah terlihat di setengah belahan bumi adalah hujjah untuk seluruh penduduk di bagian bumi ini. Sementara itu, sebagian marjaʻ yang lain berkeyakinan hilal hanya menjadi hujjah untuk daerah hilal terlihat dan juga daerah-daerah yang seufuk dengan daerah ini.

c. Apakah melihat hilal harus dengan mata telanjang ataukah juga bisa dengan menggunakan alat seperti teleskop? Sebagian marjaʻ akhir-akhir ini menyatakan fasilitas seperti ini adalah muktabar.

Untuk itu, dengan kesadaran ilmiah seperti ini, perbedaan pandangan dalam menentukan Idul Fitri tidak akan menimbulkan problem di tengah masyarakat.

(Shabestan/ABNS)

Cara Mengetahui Marja’ A’lam


Soal 1.
Apabila ada seorang ustadz yang saya percaya berkata kepada saya bahwa “si Fulan marja’ adalah a’lam dan kamu boleh bertaklid kepadanya”, apakah taklid semacam ini dianggap sah?


Jawab:
Jika ustadz tersebut membuktikan ucapannya dengan kesaksian dua orang ahli khibrah[1][1] yang adil[2][2], maka taklid tersebut dianggap sah.


Penjelasan:
Sebagaimana dapat kita baca di dalam risalah amaliyah Rahbar bahwa mujtahid yang telah memenuhi syarat dapat diketahui dengan dua cara, yaitu:

Dengan cara ithmi’nan (keyakinan hati) yang diperoleh baik melalui informasi yang tersebar di masyarakat umum, atau melalui pembuktian pribadi, maupun melalui cara-cara lainnya.

Dengan kesaksian dua orang yang adil dari ahli khibrah sekalipun tidak sampai mendatangkan ithmi’nan.

Dengan demikian bahwa apabila terdapat kesaksian syar’i (seperti kesaksian dua orang yang adil dari ahli khibrah) bahwa si fulan A adalah seorang mujtahid atau marja’ yang telah memenuhi syarat dan merupakan marja’ yang a’lam, maka kesaksian tersebut menjadi hujjah syar’i selama tidak ada kesaksian lainnya yang bertentangan dengannya. Dan kesaksian semacam itu dapat dipegang sekalipun tidak sampai mendatangkan ithmi’nan. Pada kondisi seperti ini tidak diwajibkan mencari dan menetapkan adanya kesaksian yang bertentangan dengannya. Dengan itu, maka hukumnya sah bertaklid kepada marja’ tersebut.


Ihtiyath Wajib.

Soal 2.
Apabila dalam beberapa masalah Tuan mengeluarkan hukum berdasarkan ihtiyath wajib, apakah tugas si mukallaf? Apabila di dalam masalah tersebut si mukallid (orang yang bertaklid) ingin bertaklid kepada marja’ lain yang mengeluarkan hukum secara tegas (tidak berdasarkan ihtiyath), apakah hal itu dibolehkan? Apabila dibolehkan, apakah marja’ tersebut harus a’lam setelah marja’ taklidnya? Apabila memang harus demikian, bagaimana cara menentukan marja’ tersebut?


Jawab:
Di dalam masalah-masalah yang bersifat ihtiyath wajib, si mukallaf dibolehkan merujuk kepada mujtahid atau marja’ lainnya, tetapi ia harus memperhatikan urutan a’lamiyahnya. Adapun untuk mengetahui urutan a’lamiyahnya, maka hal itu merupakan tugas si mukallaf sendiri.


Penjelasan:
Suatu hukum atau fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid atau marja’ ada yang bersifat wajib, ada yang bersifat ihtiyath mustahab dan ada yang bersifat ihtiyath wajib atau ihtiyath wujubi. Tugas si mukallaf atau mukallid atas hukum atau fatwa yang bersifat wajib, ia harus mengamalkannya dengan penuh ikhlas sekalipun bertentangan dengan selera syaithaniyahnya. Misalnya fatwa mengenai keharaman muamalah MLM, membeli produk-produk Zionis Israel, mencuri air atau listrik milik negara, dan lain-lain. Karena ketetapannya itu merupakan ketetapan Allah Swt dan Rasul-Nya. Tetapi apabila hukum atau fatwa itu bersifat ihtiyath mustahab, maka si mukallaf boleh tidak mengerjakannya artinya ia boleh meninggalkannya. Karena ihtiyath mustahab berarti sama dengan mustahab atau sunat di mana si mukallaf boleh tidak mentaatinya dan ia tidak dianggap berdosa. Tetapi jika ia mentaatinya dan mengerjakannya dengan ikhlas, maka ia akan menerima pahalanya kelak di hari akhirat. Misalnya fatwa Rahbar mengenai bacaan “empat tasbih” yang dibaca pada rakaat ketiga dan keempat shalat fardhu. Beliau berfatwa bahwa hukumnya boleh membaca “tasbih arba’ah” hanya satu kali saja (yaitu: subhanallah wal hamdulillah walaa ilaha illallah wallahu akbar), tetapi secara ihtiyath mustahab hendaknya membacanya sebanyak tiga kali. Adapun hukum atau fatwa yang bersifat ihtiyath wujubi atau ihtiyath wajib, maka si mukallaf boleh memilih antara keharusan mengerjakan fatwa tersebut atau mencari dan mengerjakan fatwa dari marja’ lainnya, tetapi harus menjaga urutan a’lamiyahnya. Dan untuk menetapkan urutan a’lamiyah marja’ lainnya itu, ia bisa bertanya atau berkonsultasi kepada ahli khibrah.

Supaya masalah ini menjadi jelas, saya berikan contoh sebagai berikut. Misalnya fatwa Rahbar sehubungan dengan pembacaan shigah akad nikah, baik nikah daim (permanen) maupun nikah mutلh atau muلqqat. Menurut fatwa beliau sighah akad nikah itu –secara ihtiyath wujubi- harus dibaca -oleh kedua calon suami-isteri atau wakilnya- dengan bahasa Arab. Dalam hal ini, apabila kedua calon suami isteri itu atau wakilnya merasa keberatan atau tidak ingin membacakan shigah akad nikah dengan bahasa Arab, maka mereka boleh mencari fatwa dari marja’ lainnya yang membolehkan membaca shigah akad nikah dengan selain bahasa Arab. Apabila mereka telah menemukannya dan telah mendapakan info atau bantuan dari ahli khibrah dalam menetapkan urutan a’lamiyahnya, maka mereka boleh mengamalkan fatwa tersebut.


Catatan Kaki:
[1] . Yang dimaksud dengan ahli khibrah pada bab taklid adalah: Seseorang yang telah mampu menilai dan menetapkan kemujtahi dan kea’lamiyahan seseorang dan juga mampu menilai dan membedakan bahwa si fulan A sudah mencapai peringkat mujtahid atau marja’, sementara si fulan B belum. Atau si fulan A lebih alim dalam berijtihad dibandingkan dengan fulan B. kemampuannya itu diperoleh lantaran telah lama belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama seperti ushul fiqih, fiqih, tafsir dan lain-lain. Ahli khibrah itu tidak mesti mujtahid, artinya seseorang dapat mencapai derajat ahli khibrah sekalipun belum mencapai peringkat mujtahid. Tetapi jika seseorang telah mencapai peringkat mujtahid bisa diyakini telah mencapai maqam ahli khibrah. Hingga saat ini saya belum pernah mendengar atau menerima informasi bahwa ada di antara ikhwan kita yang telah mencapai peringkat ahli khibrah, baik ikhwan kita yang belajar di hauzah Qum al-Muqaddasah, apalagi yang tidak mengecap pendidikan hauzah ilmiah. Wallahu a’lam.

[2] . Yang dimaksud dengan adil atau ‘adalah dalam bab fiqih ialah: Seseorang yang tidak pernah melakukan dosa besar (seperti berdusta, menggibah, mengadu domba, memfitnah, merusak persaudaraan dan ukhuwwah, dan lain-lain) dan tidak sering melakukan dosa-dosa kecil. Diantara syarat imam jamaah di dalam mazhab haq (Syi’ah Imamiyah) adalah: harus memenuhi sifat ‘adalah atau adil ini. Karena itulah, masalah imam dan kepemimpinan sangat ketat di dalam mazhab Syi’ah dibandingkan dengan mazhab Sunni. Biasa kita saksikan di mushalla-mushalla stasiun kereta api atau terminal ataupun di mushalla bandara, orang awam yang berpendidikan rendah pun boleh menjadi imam jamaah di dalam mazhab Sunni, walaupun terkadang bacaannya belum fasih betul. Tetapi di dalam mazhan Syi’ah tidaklah demikian. Yang jelas mazhab Syi’ah telah menunjukkan pemimpin mereka -yang berani, alim, mendalam ilmunya, luas wawasannya dan sukses- di mata dunia, seperti sosok imam Ali Khamene’i Hf dan sayyid Hasan Nasrullah Hf. Kita doakan semoga kaum Sunni pun tidak mau ketinggalan oleh kaum Syi’ah. Hendaknya mereka jangan berputus asa lantaran beberapa negara Arab bukan saja tidak menampakkan kepemimpinan Islamnya, bahkan malah bergandengan tangan dengan Zionis Israel dan Amerika Setan Besar.

Sumber: ABNA

Terkait Berita: